ANALISIS TINGKAT KEMANDIRIAN PETERNAK PADA POLA INTEGRASI TERNAK SAPI DENGAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI PROVINSI JAMBI Nahri Idris, Afriani H dan Fatati Fakultas Peternakan Universitas Jambi, Jambi, Indonesia Email: nahri.idris@yahoo.com; afriani@yahoo.co.id; fatati@gmail.com ABSTRAK Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis tingkat kemandirian peternak pada pola integrasi pemeliharaan ternak sapi di kawasan perkebunan kelapa sawit, sehingga dapat dicari metode yang efektif dan efisien untuk meningkatkan kemandirian peternak dalam menerapkan pola integrasi. Metode penelitian adalah metode survei. Teknik pemilihan responden menggunakan teknik penarikan contoh acak kelompok multi tahap ( multistage cluster random sampling). Data primer diperoleh dari wawancara dan pengamatan langsung dengan pendekatan partisipatif. Secara umum analisis data dilakukan secara deskriptif. Untuk menganalisis tingkat kemandirian peternak dilakukan dengan sistem skor berdasarkan kepada panca usaha ternak potong. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio jumlah ternak sapi dengan luas perkebunan kelapa sawit tergolong masih sangat jarang. Tingkat kemandirian peternak sapi tergolong sedang (60,20 %), dengan tingkat kemandirian rendah pada kemandirian dalam pengadaan bibit (49,72%). Kebanyakan peternak berada dalam kategori pasif untuk memperkuat kemandiriannya. Tingkat kemandirian rendah mengarah sedang mengindikasikan dua hal, pertama, peternak sudah berusaha untuk mandiri, namun situasi dan kondisi yang menyebabkan kekurang mandirian, kedua, peternak memang berada dalam tingkat kemandirian yang rendah, namun ada intervensi yang masif dari pihak lain yang berusaha untuk meningkatkan kemandirian peternak. Hal utama yang perlu ditanamkan adalah agar kegiatan pemeliharaan ternak sapi tidak semata-mata kegiatan sampingan dengan sistem pemeliharaan seadanya, tapi agar peternak lebih termotivasi untuk meningkatkan produksi dan produktifitas ternaknya. Kata Kunci : Kemandirian, Peternak, Integrasi, Sapi, Kelapa Sawit. PENDAHULUAN Salah satu sumberdaya alam untuk pengembangan peternakan yang belum dimanfaatkan secara optimal adalah integrasi antara tanaman dan ternak, khususnya pemeliharaan ternak di sela tanaman perkebunan. Untuk saat sekarang, Integrasi yang paling mungkin dilaksanakan adalah antara ternak sapi dan perkebunan kelapa sawit.. Provinsi Jambi sebagai daerah perkebunan kelapa sawit yang utama, jelas sangat potensial untuk pengembangan integrasi antara tanaman kelapa sawit dan ternak khususnya ternak sapi. Namun kenyataan menunjukkan bahwa populasi ternak sapi di wilayah perkebunan kelapa sawit masih rendah. Padahal dari sisi aspek kelayakan teknis dan ekonomis, maka ternak sapi sangat mungkin untuk dipelihara di areal perkebunan kelapa sawit. Upaya pengembangan peternakan sudah sering dilakukan, namun upaya-upaya tersebut kurang menunjukkan hasil LPPM Universitas Jambi Halaman 162
yang memuaskan. Karena itu faktor yang penting untuk dikaji adalah faktor sumberdaya manusia, yakni petani peternak. Berdasarkan hal tersebut, apabila semua faktor sangat mendukung pola integrasi ternak sapi dengan perkebunan kelapa sawit, tetapi penerapannya masih belum optimal, maka perlu dicarikan solusi sehingga sistem integrasi peternakan sapi dengan perkebunan kelapa sawit dapat berjalan baik. Menurut hasil penelitian Idris dkk (2012) terdahulu menunjukkan bahwa salah satu faktor kelemahan utama pemberdayaan peternak pada pola integrasi ternak sapi dengan perkebunan kelapa sawit adalah kemandirian peternak yang rendah. Untuk mengatasi hal tersebut, faktor yang utama yang harus dibenahi adalah bagaimana membangun kemandirian peternak dalam menerapkan pola integrasi ternak sapi dengan perkebunan kelapa sawit. Untuk itu, terlebih dahulu perlu diketahui dan dianalisis tingkat kemandirian peternak pada pola integrasi ternak sapi dengan perkebunan kelapa sawit. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Jambi. Pengambilan data lapangan dilakukan pada bulan Juni september 2015. Lokasi penelitian adalah di beberapa kawasan perkebunan kelapa sawit terpilih yang petaninya memelihara ternak sapi. Data yang Dihimpun Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara langsung dengan responden dengan pendekatan partisipatif atau PRA ( Participatory rurral appraisal), dengan bantuan daftar pertanyaan yang telah disiapkan, serta pengamatan terlibat. Data primer meliputi : keadaan umum peternak, keadaan umum ternak sapi, sistem pemeliharaan ternak sapi, pola integrasi ternak sapi dengan perkebunan kelapa sawit, serta tingkat kemandirian peternak sapi. Data sekunder diperoleh dari instansi dan lembaga yang terkait dalam penelitian ini, meliputi : gambaran umum lokasi penelitian, gambaran umum peternakan dan ternak di lokasi penelitian, data klimat, pola penggunaan lahan, kegiatan kelompok tani dan penyuluhan, serta kebijakan pemerintah. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei dengan unit analisis adalah petani di kawasan perkebunan kelapa sawit di Provinsi Jambi yang terpilih sebagai responden. Teknik pengambilan sampel dilakukan menggunakan teknik penarikan contoh acak kelompok multi tahap (multistage cluster random sampling). Tahap pertama adalah pemilihan daerah tingkat II dalam Provinsi Jambi yang akan dijadikan daerah penelitian. Dasar pemilihan adalah Kabupaten yang memiliki kawasan perkebunan kelapa sawit yang telah dipanen dan petaninya memelihara ternak sapi. Atas dasar keterwakilan wilayah dan luasan LPPM Universitas Jambi Halaman 163
lokasi perkebunan kelapa sawit, Kabupaten yang dianggap mewakili adalah kabupaten sentra produksi perkebunan kelapa sawit yang mewakili tiap bagian dari Provinsi Jambi. Sesuai dengan kaedah penarikan sampel, maka masing masing kabupaten diperlakukan sama berdasarkan clusternya. Kemudian dilakukan metode acak sederhana untuk memilih satu kabupaten yang mewakili clusternya. Kabupaten terpilih adalah Kabupaten Tanjab Barat, Kabupaten Muaro Jambi dan Kabupaten Merangin. Tahap kedua dan ketiga adalah pemilihan kecamatan dan desa sebagai lokasi penelitian. Desa-desa tersebut adalah : Desa Kemang Manis, Sungai Muluk dan Dusun Mudo (Kecamatan Muaro Papalik), Desa Marga Mulya, Bhakti Mulya dan Rantau Harapan (Kecamatan Sungai Bahar), serta Desa Meranti, Bukit Bungkul dan Lantak Seribu (Kecamatan Renah Pamenang). Tahap terakhir pemilihan responden, yang dilakukan dengan metode simple random sampling terhadap petani yang ada di lokasi desa terpilih. Jumlah sampel keseluruhan adalah 120 orang, dengan rincian 60 orang di Kecamatan Sungai Bahar, dan 44 orang di Kecamatan Muaro Papalik serta 76 orang di Kecamatan Renah Pamenang. Analisis Data Data yang terkumpul diolah dengan cara operasional bilangan, rataan dan persentase. Secara umum analisis data dilakukan secara deskriptif. Untuk menilai tingkat kemandirian peternak pada pola integrasi ternak sapi dengan perkebunan kelapa sawit digunakan sistem skoring untuk masih-masing komponen penilaian tingkat kemandirian. Komponen tingkat kemandirian terdiri dari pancausaha sapi potong, yakni bibit, pakan, tatalaksana, pencegahan dan pengobatan penyakit serta pemasaran. Sistem skoring terdiri dari 3 tingkatan yakni skor 1 (rendah), skor 2 (sedang), dan skor 3 (tinggi). Skor-skor tersebut kemudian dijumlahkan. Untuk memudahkan analisis, skor ditrasformasikan menjadi persentase. Untuk melihat kehandalan instrumen dilakukan Uji validitas dengan korelasi Pearson, kemudian dilakukan uji reliabilitas. HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan umum wilayah penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa wilayah studi memiliki areal kebun sawit yang sangat luas, hanya di Kec. Muaro Papalik yang sebagian warganya masih menggantungkan hidupnya dari perkebunan karet. Peranan sektor pertanian, khususnya perkebunan kelapa sawit di wilayah penelitian sangat dominan. Disamping itu terdapat juga lahan persawahan dan tegalan. Sebenarnya ini merupakan potensi untuk menunjang usaha peternakan, karena ternak bisa dipelihara di sela-sela perkebunan, serta limbah pertanian bisa dimanfaatkan sebagai pakan ternak sapi. Luasnya areal perkebunan kelapa sawit tidak diimbangi dengan jumlah ternak sapi yang memadai. Hanya di Kecamatan Renah Pamenang yang populasi sapinya memadai, sedangkan di dua kecamatan lain, populasi ternak sangat jarang. Angka pada Tabel 3 menunjukkan arti bahwa di Kecamatan Sungai Bahar hanya ada 64 ekor sapi per 1000 Ha LPPM Universitas Jambi Halaman 164
kebun kelapa sawit, sedangkan di Kecamatan Muaro Papalik justru lebih sedikit yakni hanya 18 ekor sapi per 1000 Ha lahan perkebunan kelapa sawit. Hal tersebut membuka peluang untuk pengembangan ternak sapi. Apabila perbandingan antara populasi sapi dan luas lahan kelapa sawit diasumsikan 1 ekor sapi saja per 2 ha, maka wilayah studi akan masih mampu menampung masing masing 1400; 9.969 dan 3900 ekor. Padahal menurut Didiet (2008), 1 Ha lahan perkebunan kelapa sawit mampu diintegrasikan dengan 2 ekor ternak sapi. Pemeliharaan Ternak Sapi dan Kaitannya dengan Pola Integrasi Jumlah kepemilikan ternak sapi oleh peternak sangat bervariasi. Jumlah kepemilikan ternak sapi yang dominan berkisar antara 1 6 ekor per peternak, dengan persentase paling besar adalah pada tingkat kepemilikan 3-4 ekor (39,42 %), kemudian kepemilikan 1 2 ekor (29,81 %). Hal ini menunjukkan ciri khas peternakan rakyat yakni skala kecil, dengan usaha sebagai tambahan pendapatan keluarga. Hal ini sesuai dengan pendapat Suharno dan Nazaruddin (1994) yang menyatakan bahwa jumlah kepemilikan ternak pada usaha peternakan rakyat biasanya 2-3 ekor sapi. Asal mula kepemilikan ternak sapi peternak adalah dari milik sendiri/orang tua dan gaduhan. Fakta menunjukkan bahwa ternyata perolehan awal sapi dari gaduhan lebih dominan (74,04 %) dibandingkan berasal dari peternak sendiri (25,96 %). Hal ini mengindikasikan dua hal, yakni pertama peternak tidak mampu mengadakan bibit ternak sapi sendiri, dan atau alasan kedua bahwa peternak tidak mau menanggung resiko yang besar, sehingga merasa lebih nyaman dengan memelihara ternak gaduhan. Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa ternak gaduhan yang berasal dari pemerintah sangat dominan (49,04 %) dalam penyediaan bibit ternak sapi. Hal ini mengindikasikan ketergantungan peternak yang besar terhadap pemerintah dalam hal pengadaan bibit ternak. Sebagian besar ternak sapi yang dipelihara peternak adalah untuk tujuan penggemukan, hanya sebagian kecil yang memelihara ternak untuk dikembangbiakkan. Karena itu rataan skala kepemilikan ternak sapi oleh peternak juga kecil. Karena biasanya untuk tujuan penggemukan, peternak hanya memelihara 1-3 ekor saja. Alasan peternak adalah bahwasanya memelihara ternak penggemukan lebih cepat menghasilkan, lebih praktis, dengan resiko dan sumberdaya yang lebih kecil dibanding memelihara sapi untuk tujuan perkembangbiakan. Hal ini mengindikasikan sikap pragmatisme peternak, yang menunjukkan keengganan peternak untuk berinvestasi dengan modal sendiri, dan atau ketidakmauan peternak dalam menanggung resiko, jika harus memodali sendiri usaha ternak sapinya. Sehingga pilihan untuk memelihara sapi untuk tujuan penggemukan adalah pilihan yang aman. Pemeliharaan ternak sapi dilakukan dengan sistem semi intensif, yakni pada siang hari ternak dilepas di pekarangan/kebun atau digembalakan pada lahan kosong, dan pada sore serta malam hari ternak dikandangkan. Namun demikian ada beberapa peternak yang mengandangkan ternaknya secara terus menerus. Sistem pemeliharaan yang demikian membutuhkan hijauan yang memadai. Semua peternak telah menyediakan kandang untuk ternaknya, meskipun tidak semua kandang yang ada memenuhi syarat kandang yang baik, terutama dalam hal letak, arah, bentuk, kondisi dan kebersihan kandang. Keberhasilan usaha ternak sapi tidak terlepas dari usaha pencegahan dan pengobatan penyakit, agar kesehatan ternak tetap terjaga. Tindakan LPPM Universitas Jambi Halaman 165
pencegahan umumnya sudah dilakukan oleh peternak, seperti membersihkan kandang dan lingkungannya serta memandikan ternak. karena itu ternak sapi jarang terkena penyakit. Sebagian peternak sudah melakukan vaksinasi untuk ternaknya. Sedangkan untuk pengobatan penyakit masih banyak dilakukan dengan cara tradisional. Sehubungan dengan pola integrasi, sebenarnya peternak sendiri cukup optimis bahwa pola integrasi sangat mungkin dilakukan. Hal ini ditunjukkan dari hasil penelitian Afriani, dkk (2010), yang menunjukkan minat yang cukup tinggi dari peternak di Provinsi Jambi untuk mengembangkan ternak sapi di perkebunan kelapa sawit. Tingkat Kemandirian Peternak Sapi pada Pola Integrasi dengan Perkebunan Kelapa Sawit Tingkat kemandirian peternak sapi terhadap pola integrasi ternak sapi dengan perkebunan kelapa sawit ditentukan berdasarkan angka tingkat kemandirian yang diukur dengan sistem skor, yang dikonversikan menjadi persentasi tingkat kemandirian peternak. Angka tingkat kemandirian dibagi kedalam 5 komponen sesuai dengan Panca usaha ternak. Angka tingkat kemandirian peternak sapi pada pola integrasi dengan perkebunan kelapa sawit diprovinsi Jambi adalah seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Angka Tingkat Kemandirian Peternak pada Pola Integrasi Ternak Sapi dengan Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Jambi. No Kemandirian Tingkat Skor Skor Kategori Kemandirian Sebenarnya Maksimal Kemandirian (%) 1. Kemandirian penyediaan bibit 895 1800 49,72 Rendah 2. Kemandirian penyediaan pakan 1446 2160 66,94 Sedang 3. Kemandirian dalam tata laksana/ 1293 2160 59,86 Sedang penyediaan sapronak 4. Kemandirian dalam hal 903 1440 62.71 Sedang pencegahan dan pengobatan penyakit 5. Kemandirian dalam hal 881 1440 61.18 Sedang pemasaran Jumlah 5418 9000 Rata-rata 60,20 Sedang Hal ini mengindikasikan dua hal, yakni pertama, apakah peternak sudah berusaha untuk mandiri, namun situasi dan kondisi yang menyebabkan kekurang mandirian tersebut sehingga tidak bisa maksimal; sedangkan yang kedua adalah secara riil sebenarnya peternak memang berada dalam tingkat kemandirian yang rendah, namun ada intervensi yang masif dari pihak ketiga (dalam hal ini pemerintah dan atau lembaga swasta) yang berusaha keras untuk meningkatkan kemandirian peternak. Terlepas dari asumsi tersebut, angka kemandirian yang 60,20 % tersebut menunjukkan bahwa masih banyak hal yang harus dilakukan untuk meningkatkan kemandirian peternak. Hal yang utama perlu lebih ditanamkan adalah agar LPPM Universitas Jambi Halaman 166
kegiatan pemeliharaan ternak sapi tidak semata-mata kegiatan sampingan dengan sistem pemeliharaan seadanya, tapi agar masyarakat lebih termotivasi untuk meningkatkan produksi dan produktifitas ternaknya. Hal ini memerlukan peran petugas lapangan seperti penyuluh, inseminator, mantri ternak serta kelembagaan pembina peternak sebagai ujung tombak mendorong peningkatan kemandirian peternak. Menurut Slamet (1985) peran serta penyuluh selaku pelaku utama kegiatan penyuluhan serta kerjasama yang baik sangat mutlak dalam keberhasilan suatu pembangunan. Selanjutnya ditambahkan syarat tumbuhnya kerjasama tersebut adalah kesediaan atau kesepakatan, adanya kerjasama, dan adanya kemampuan untuk bekerjasama. Disamping itu, penyediaan sarana dan prasarana yang memadai, terutama sarana produksi peternakan, sehingga masyarakat dapat mengakses dengan mudah sarana dan prasarana tersebut, sehingga akan mendorong peternak menjadi lebih mandiri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka tingkat kemandirian per komponen pengukuran berkisar dari rendah sampai sedang, ternyata dari 5 komponen penilaian untuk mengukur tingkat kemandirian peternak, sebanyak 4 komponen (80 %) menunjukkan tingkat kemandirian sedang, sedangkan 1 komponen ( 20,00 %) menunjukkan tingkat kemandirian yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak hal yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kemandirian peternak untuk berusaha ternak sapi. Bila dilihat berdasarkan komponen penilaian tingkat kemandirian, hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kemandirian yang tergolong paling tinggi adalah kemandirian dalam penyediaan pakan. Hal ini karena di wilayah studi masih banyak ditemukan rumput alam, sehingga peternak tidak kerepotan dalam mencari pakan ternak. Akan tetapi untuk meningkatkan sistem pemeliharaan ternak ke sistem intensif, maka perlu diperhatikan untuk penyediaan pakan yang tersedia sepanjang tahun. Apalagi pada saat musim kemarau, maka peternak kesulitan dalam mencari pakan. Hal yang sangat menarik adalah bahwasanya hampir semua peternak menyatakan bahwa mereka telah diperkenalkan dengan pemanfaatan pelepah sawit sebagai pakan ternak, dan minimal sebagai anggota kelompok telah pernah memperoleh bantuan chopper (penghalus pelepah saw it). Malah ada peternak yang telah memperoleh sampai dua-tiga kali dari sumber yang berbeda. Namun hampir semua responden menyatakan tidak mamanfaatkan alat tersebut. Alasan yang paling utama adalah tidak efisien. Menurut peternak, mencari makanan sendiri dengan menyabit rumput lebih menguntungkan dari sisi biaya operasional dibandingkan harus mengolah pelepah sawit menjadi makanan yang mau dimakan oleh ternak. Sebagian yang lain menyatakan bahwa tingkat kesukaan ternak sapi dengan pelepah sawit tergolong rendah. Fakta-fakta ini harus diakui sebagai suatu kegagalan dalam penerapan inovasi teknologi, yang harus dicarikan solusinya. Komponen yang juga tergolong sedang adalah dalam hal pencegahan dan pengobatan penyakit, hal ini karena peternak terbiasa dengan pola pengobatan tradisional, sehingga angka kemandirian tergolong sedang. Hal lain adalah kemandirian dalam hal pemasaran. Angka tingkat kemandirian yang sedang mengindikasikan bahwa peternak masih tergantung kepada pedagang/belantik dalam menjual ternaknya, namun ketergantungan itu tidak sepenuhnya menekan peternak, kecuali dalam kondisi yang mendesak. LPPM Universitas Jambi Halaman 167
Namun perlu dicermati komponen tingkat kemandirian yang tergolong rendah yakni kemandirian dalam hal pengadaan bibit. Hal ini tercermin dari angka cara awal memelihara sapi, yang umumnya tidak berasal dari modal sendiri, melainkan gaduhan dari pihak lain (74,04 %). Ini menunjukkan keengganan peternak untuk berinvestasi dengan modal sendiri, dan atau ketidakmauan peternak dalam menanggung resiko, jika harus memodali sendiri usaha ternak sapinya. Hal inilah yang menjadi kendala dalam pengembangan ternak sapi di tingkat peternak. Hal tersebut masih diperkuat dengan hasil survei tentang kemauan dan inisiatif sendiri untuk mencari informasi yang berkenaan dengan cara pemeliharaan ternak sapi (74,63 %) dan pola integrasi ternak sapi dengan perkebunan kelapa sawit yang hanya 68,15 %. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar peternak bersifat pasif/menunggu bantuan dan penyuluhan dari pihak terkait. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa masih banyak peternak yang enggan untuk belajar mandiri ataupun mencari informasi baru berkenaan dengan usaha ternak sapi di kawasan perkebunan kelapa sawit. Mungkin hal inilah salah satu penyebab lambannya perkembangan usaha ternak sapi di kawasan perkebunan kelapa sawit. Fakta ini tentunya mesti disikapi oleh pihak terkait dengan memperbanyak frekwensi penyuluhan. Fakta tersebut juga memperkuat asumsi keragu-raguan peternak dengan pola integrasi. Hal ini sebenarnya bisa dimaklumi karena peternak kita umumnya adalah peternak yang relatif enggan mengambil resiko terhadap usaha peternakannya. Hal ini menunjukkan ciri-ciri khas petani yang tinggi tingkat kepasrahannya terhadap alam dan kejadian yang akan datang. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Rasio jumlah ternak sapi dengan luas perkebunan kelapa sawit adalah 0,22 untuk Kecamatan Renah Pamenang, 0,064 untuk Kecamatan Sungai Bahar dan 0,18 untuk Kecamatan Muara Papalik, tergolong masih sangat jarang. 2. Tingkat kemandirian peternak sapi tergolong sedang mengarah ke rendah, dengan tingkat kemandirian rendah pada kemandirian dalam pengadaan bibit, sehingga sebagian besar peternak bersifat pasif. 3. Tingkat kemandirian yang rendah mengarah sedang mengindikasikan dua hal, yakni peternak sudah berusaha untuk mandiri, namun situasi dan kondisi yang menyebabkan kekurang mandirian tersebut sehingga tidak bisa maksimal; sedangkan yang kedua adalah sebenarnya peternak memang berada dalam tingkat kemandirian yang rendah, namun ada intervensi yang masif dari pihak lain yang berusaha keras untuk meningkatkan kemandirian peternak. 4. Hal utama yang perlu ditanamkan adalah agar kegiatan pemeliharaan ternak sapi tidak semata-mata kegiatan sampingan dengan sistem pemeliharaan seadanya, tapi agar masyarakat lebih termotivasi untuk meningkatkan produksi dan produktifitas ternaknya. LPPM Universitas Jambi Halaman 168
Saran 1. Pola integrasi ternak sapi dengan perkebunan kelapa sawit harus terus diterapkan dengan penekanan kepada pemberdayaan peternak terutama peningkatan kemandirian peternak. 2. Perlu upaya terus menerus untuk lebih mendorong kemandirian peternak untuk memanfaatkan limbah kelapa sawit, tanaman sela dan kotoran ternak melalui penerapan kemajuan teknologi peternakan modern serta penyediaan bibit serta sarana dan prasarana dan permodalan dengan dukungan penuh pemerintah dan swasta. 3. Perlu penelitian lanjutan untuk mencari model dan strategi yang tepat untuk meningkatkan kemandirian peternak. DAFTAR PUSTAKA Afriani H, Nahri I, Fatati. 2010. Minat dan Motivasi Peternak untuk Mengembangkan Ternak Sapi pada Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Jambi. Jurnal Penelitian UNJA Vol. 12 No.02 Juli 2010 : 35-39 Didiet. 2011. Budidaya Sapi Potong dengan Pola Integrasi. http:www. peternakandidiet.blogspot.com. Diakses tanggal 28 Oktober 2011. Gunawan, Azmi I, W. Marthin, Daryoto, Majestika, S Kholik dan DM Sitompul (2004). Evaluasi Model Pengembangan Sistem Integrasi Sapi dan Kelapa Sawit. Proseding Seminar Nasional Kerja sama Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan dengan BPTP Bali dan Crop Asian Research Network (CASREN), Bogor : 112-116. Idris, N, Afriani H, Wirawan AW. (2012). Model Strategi Pemberdayaan Peternak pada Pola Integrasi Ternak Sapi dengan Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Jambi. Laporan Penelitian Universitas Jambi, Jambi. Kariyasa, K. 2005. Sistem Integrasi Tanaman Ternak dalam Perspektif Reorientasi Kebijakan Subsidi Pupuk dan Peningkatan Pendapatan Petani. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian 3 (1) : 68-80. Purwoko, A dan B. Sumantri. 2007. Faktor-faktor Penentu Tingkat Adopsi Teknologi Pemeliharaan Sapi di PT. Agricinal Kabupaten Bengkulu Utara. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia, Edisi khusus No.1 : 14-21. LPPM Universitas Jambi Halaman 169