PENDAaULUAN Latar belabng Sapi merupakan salah satu jenis temak yang tetah memberikan kontibusi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat Indonesia. Diperkirakan kebutuhan daging maupun susu di masa yang akan &tang semakin meningkat sebagai akibat turnbuhnya kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi protein hewani. Disisi lain, perkembangan kuantitas maupun kualitas petemakan sapi rakyat yang merupaksn pemasok terbesar kebutuhan daging maupun susu masyarakat, berlangsung sangat lambat. Sebagai akibatnya, sejak tahun 1986 Indonesia mulai mengimpor daging maupun sapi potong guna meningkatkan pasokart daging masyarakat (BPS, 1987). Kondisi semacam ini bila di biarkan, akan semakin memperparah keadaan. Hal ini memperbesar peningkatan impor sapi, dagng dan susu dari negara fain yang berakibat pemborosan devisa negara. Gejala ini menjadi lebih buruk pa& saat Indonesia mengalami krisis ekonomi. Pada sektor pertanian subsektor peternakan mengalami pukulan terberat dibanding subsektor lainnya. Untuk itu diperlukan upaya strategis pembangunan peternakan yang terencana dan terarah khususnya di bidang pengadaan bibit. Salah satu alternatrf untuk mengatasi kondisi tersebut adalah pemanfaatan teknologi reproduksi berupa transfer embrio. Dengan teknologi ini diharapkan embrioembrio bibit unggul dapat didistribusikan kedaerah-daerah pusat pembibitan dan produksi daging serta susu untuk perbaikan mutu genetik dan produktifitasnya. Penerapan pengembangan transfer embrio sering te rjadi berbagai kendala rnisalnya, berupa adanya keterbatasan jumlah ernbrio yang siap di transferkan. Upaya-
upaya untuk meningkatkan jurnlah embrio dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi embrio Honing sederhana guna memproduksi kernbar identik. Teknologi manipulasi embrio ini merupakan teknologi yang dilakukan dengan cara pemisahan blastomer (splitting) embrio menjadi dua bagian. Teknik ini akan menghasilkan klon embrio yang mempunyai genotip sama dengan tetua. Diharapkan dengan metode semacam ini dapat meningkatkan jurnlah embrio dengan tidak mengurangi kualitas. Menurut King dkk.(1992) klon embrio ini juga dapat dibekukan Dengan teknologi pembekuan, klon embrio dapat disimpan dan dikirirnkan tanpa hambatan waktu dan jdah. Oleh karena itu teknologi manipulasi embrio merupakan bagian integral dari rekayasa biologi yang diolah berdasarkan pendekatan padat ihu clan teknologi, serta mencerminkan unsur prod* proses dan pelayanan (Sukra, 1986). TeknoIogi ini juga dapat dirnanfaatkan untuk embryo sexing. Bagian dari sel-sel embrio hasil manipulasi &pat dirnanfaatkan untuk dianalisis jenis kelaminnya dengan menggunakan teknik kariotiping atau PCR (Hochrnan dkk-, 1996). Teknologi manipdasi embrio membutuhkan ernbrio berkualitas baik, sehingga diperlukan teknik fertilisasi in vitro yang dapat menghasilkan embrio-embrio siap di manipulasi. Meskipun hasil penelitian fertilisasi in vitro pa& hewan percobaan maupun pada sapi menunjukkan perkembangan yang cukup berarti, tetapi penerapannya pada ternak-temak sapi procluktif keberhasilannya relatif masih belum memuaskan. Kendala aplikasi fertilisasi in vitro adalah pematangan oosit clan kapasitasi sperma (Kanagawa dkk. 1989; Tervit, 1991 ; Pinyopumintr clan Bavister, 1991). Rangkaian proses fertilisasi in vitro (FIV) diawali dengan Penentuan kualitas oosit dan pematangan msit. Proses pematangan oosit dapat dilakukan berdasarkan
tingkat pembelahan meiosis, yaitu suatu proses pembelahan sei-sel gamet dari yang bersifat diploid menjadi haploid (Whitaker, 1996). Proses ini merupakan rangkaian peristiwa yang berawal dari tahap pembelahan profase, metafase I, anafase I, telofase I, sampai metafase fl.tahap ini merupakan tahap a i r terjadinya ovulasi secara alamiah pa& sapi indikator pematangan oosit (Campbell dkk., 1996; Chian dkk., 1992; Sirard dan Coenon, 1995). Pada omit. secara mikroskopis proses miosis ini dapat diamati melaiui transformasi inti oosit, yaitu berupa tahap germinal vesicle (GV), germinal vesicle break down (GVBD), prometafase (PM), metafase I, sampai dengan metafase I1 (Abeydeera dan Niwa, 1992; Yoshida, 1992). Salah satu kondisi yang sangat penting pa& tahap pematangan oosit adalah kondisi fisioiogis pematangan oosit sampai terjadinya proses ovulasi. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa ada beberapa hormon penting yang sangat berperan &lam proses pematangan oosit yaitu FSH, LH. Estradiol (Gerrity, 1992; Kakenkintepe dkk., 1994; Pawshe dkk., 1996). Hormon-hormon ini bekeja sama diantaranya dengan faktor penumbuh insulin like growth factor-1 IGF-I (Yallampalli dkk.,1992), IGF-I ini behgsi merangsang sel-sel granulosa untuk mensekresi hormon FSH dan LH (Lavranos dkk.,1996). Fungsi dan peran hormon-hormon gonadotropin secara teoritis &pat digantikan oleh honnon-hormon sejenis lainnya seperti PMSG (pregnant mare serum gonadotropin) dm hcg (human chorionlc gonudofropin). Menurut Solomon (1988) kedua hormon ini mempunyai bioaktifitas m~np FSH dan LH, sehingga dengan suplementasi PMSG dan hcg pa& medium kultur akan mempengamhi proses transfomasi inti oosit.
Sel-sel kumulus adalah sel-sel granulosa yang menempel pada oosit dan dindingnya berhngsi sebagai agen "komunikasi" antara sel dan penghubung mekanisme hormonal dari menuju oosit, karena pa& sel-sel kumulus terdapat banyak reseptor FSH dan LH yang juga dapat berfungsi sebagai reseptor PMSG dan hcg (Moore dan Ward, 1980; Licht dkk., 1979; Gillou dan Combamus, 1983; Stewart dan Allen, 1981; Haresign dkk.,1994). Disamping itu berperan juga dalarn pemasokan nutrisi terhadap oosit. Sel-sel kumdus akan mengalami ekspansi (mengembang) apabila terstimulasi akibat adanya peningkatan aktifitas peran hormon gonadotropin dm metabolisme seluler tersebut (DeHaan, 1994; Konishi dkk., 1996; Wandji dkk.. 1996). Sel-sel kumulus berperan sangat penting dalam proses pematangan oosit dan dengan pengamatan tingkat ekspansinya dapat dievaluasi tingkat kematangannya. Peranan lain yang sangat penting dari sel-sel kumulus pada saat fertilisasi in vifro adalah peranan sel-sel tersebut dalarn reaksi akrosom spermatozoa fbavister,l982). Peran ini dikarenakan set-sel kumdus banyak mengandung asam hyaluronat (Talbot dan DiCarlantonio, 1984), sehingga sel-sel kumulus tidak perlu dlepaskan dari oosit pa& saat fertilisasi in vifro. Sel-sel kurnulus dapat pula mensekresikan hormon-hormon progresteron, estradiol, clan prostaglandin dengan kadar yang relatif cukup tinggi dan dapat berperan dalam proses suplai nutrisi yang dibutuhkan oleh embrio (Canipari. 1994; Liu dkk.,1987; Mattioli, 1994, Ny dkk.,1987). Dari pendapat ini sel-sel kumulus ini masih dapat dimanfaatkan untuk kultur embno. Pada saat setelah fertilisasi banyak terdapat sel-sel kumulus yang rusak dan hancur, sehingga diperlukan penambahan hormon-hormon gonadotropin pa& medium tumbuh embrio termasuk chorionic gonadatropm, yaitu
PMSG dan KG, PMSG secara in vitro &pat mengoptimalisasikan stimulasi sel-sel kumulus tersisa untuk mensekresikan progresteron. Fertilisasi adalah merupakan rangkaian proses yang dimulai ckri adanya peristiwa penetrasi spermatozoa ke dalam oosit sampai te jadinya proses singami dari pronukleus jantan dan betina (Yanagimachi. 1988; Kanagawa dkk, 1989). Peristiwa ini dapat dilakukan secara buatan melalui teknologi fertilisasi jn vifro. Hambatan utama dalm aplikasi teknologi fertilisasi in vitro (FN) adalah adanya perbedaan men&sar kondisi in vzvo dan in vitro. Hambatan dalarn fertilisasi in vitro dapat diatasi dengan menggunakan medium fertilisasi yang sesuai dan mendekati kondisi in vivo. Salah satu medium dasar FIV yang digunakan adalah medium BO (Brackett dan Oliphant. 1975). Medium BO pa& dasarnya pengembangan dari medium yang digunakm untuk FIV pada kelinci dan hewan percobaan laimya, sehingga perlu adanya modifikasi. Modifikasi BO tersebut dilakukan dalam bentuk konsentrasi bahan kimia tertentu yang berbeda dengan medium BO sebagairnana dilakukan pada FIV kelinci. Senyawa penting yang berperanan dalam proses kapasitasi adalah sodium bikarbonat (NaHC03, (Salustri dkk.,1992). Senyawa ini berperan sebagai penyangga dalam medium FIV (Thompson,l996), dengan adanya senyawa penyangga &lam medium FIV virtbiltas sperma akan tetap tejaga, sehingga proses kapasitasi, reaksi akrosom, dan motilitas sperma selama di dalam media kultur akan tetap te jaga. Dengan penambahan senyawa NaHC03 dengan konsentrasi tertentu dan dikuitur dalam waktu tertentu, diharapkan spermatozoa akan mampu melakukan penetrasi terhadap oosit. Dengan demikian suplementasi medium fertilisasi in virro (BO) dengan kafein dan heparin serta NaHC03 mernpermudah te rjadinya fertilisasi in vitro.
Pada kultur klon embrio masalah utama yang dihadapi adalah cekarnan dan pemulihan kondisi sel-sel blastomer ataupun inner cell mass yang rusak akibat adanya penyayatan embrio (Williams dkk., 1985; Baker dan Shea, 1985; ~akeda dkk., 1985; Gray dkk., 1991; Kippax dkk 1991). Untuk mengatasi kendala tersebut, medium manipulasi di tambah dengan senyawa penyangga HEPES yang dapat berpentnan untuk mengatasi cekaman mekanis akibat manipulasi embrio. Pemulihan kondisi embrio akibat manipulasi memerlukan penambahan bioaktif tertentu yang dapat mempercepat proses pemulihan kembali klon embrio tersebut. Salah satu alternatifnya adalah penambahan * faktor penumbuh IGF-I. IGF-I ini merupakan faktor penumbuh yang berfungsi untuk menstimulir pembelahan mitosis, proliferasi, differensiasi, dan morfogenesis set-sel embrio (Armstrong dan Xia, 1993;Heyner dkk.,l993;simmen dkk., 1993). Penambahan IGF-I klon embrio dapat mempercepat rekonstmksi inner cell mass dan blastomer sehingga berkembang menjadi embrio barn. Berdasarkan ha1 tersebut diatas, maka perlu dilakukan upaya penelitian guna perbaikan sistem kultur pada fertilisasi in virro. Upaya tersebut diantaranya melalui proses pematangan oosit, kapasitasi dan reaksi akrosam sperma, serta pertumbuhan embrio maupun klon embrio. Dalam penelitian ini di cobakan pendayagunaan PMSG dan hcg sebagai gonadotropin yang lebih murah untuk pematangan oosit dan pertumbuhan embrio. Moditikasi BO sebagai memum FIV serta peranan sel-sel kumulus pada saat FIV. Disamping itu perlu adanya metode kultur klon embrio dengan berbagai modifikasinya dan pemanfaatan IGF-I clan FCS pada medium kultur, sehingga akan dihasilkan embrio-klon embno siap di transfer.
Penerapan teknik fertilisasi in vitro dihadapkan pada adanya kesenjangan kondisi lingkungan antara in vitro dan in vivo, serta adanya cekaman oosit terlepas dari folikel secara tidak alamiah. Kondisi lingkungan tersebut berupa kondisi lingkungan fisiologis serta kebutuhan nutrisi, hormon maupun faktor biokimiawi lainnya mtuk pematangan oosit, kapasitasi dan akrosom reaksi sperma, mailpun tumbuh kembang embrio. Sedangkan pada teknologi manipulasi embrio disebabkan karena adanya cekaman pa& saat embrio di manipulasi berupa kerusakan blastomer, matriks pengikat antar blastomer, inner cell mass (ICM), maupun trofoblas. Dari pemikiran-pemikiran. tersebut &pat diidentifikasikan pennasalahan utama dari pelitian ini yaitu bagaimanakah tingkat keberhasilan pembuatan medium kultur terhadap proses aplikasi teknologi pematangan oosit, fertilisasi, kultur embrio dengan memanfaatkan FCS, PMSG dan hcg sebagai suplemen pada TCM 199 dan suplementasi pada kultur klon embrio in vitro pada temak sapi dengan IGF-1 dan FCS pada TCM 199. Tujuan pcnrlitian Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui : 1. Keberhasilan pembuatan sistem kultur dengan suplementasi serum anak sapi (FCS), hormon PMSG dan hcg serta sistem kokultu) dengan menggunakan sel-sel kumulus sebagai sel dampingan untuk pematangan oosit, fertilisasi, maupun perkembangan embrio in vitro. 2. Modifikasi sistim lama inkubasi fertilisasi m vrtro (FIV), peranan sel-sel kumulus pada saat fertilisasi dan pengaruh perbedaan konsentras~ NaHC03 pada medium FIV
Keberhasilan pernbuatan klon embrio dengan memanipulasi embrio pada tahap perkernbangan embrio yang berbeda. Keberhasilan suplementasi dengan kombinasi serum anak sapi (FCS) dan IGF-I pada TCM199 untuk kultur klon embrio in vitro. Manfaat penelitian Meningkatkan efisiensi aplikasi FIV sebagai dasar pengembangan bioteknologi berupa embrio kloning, sexing embrio dan transgenik di Indonesia. Meningkatkan ketersediaan embrio berkuditas tinggi dengan rnernanfaatkan klon embrio, sehingga klon embrio tersebut dapat disebarluaskan ke pusat-pusat embrio transfer dan lembaga-lembaga penelitian. Memperkaya perbendaharaan dan penguasaan ilmu pengetahuan di bidang reproduksi hewan khususnya fisiologi pertumbuhan sel-sel garnet dan embriologi. Hipotesis. Suplementasi serum anak sapi Cfetal cacfserum/fcs), PMSG dan hcg pada TCM 199 serta pemanfaatan sel-sel kumulus untuk sistem kokultur berpengaruh untuk pematangan oosit in vitro (PIV) dan perkembangan embrio in virro. Fertilisasi in virro (FIV) dapat dilakukan dengan modifikasi sistem inkubasi dan rnernanfaatkan oosit berkumulus serta modifikasi konsentrasi NaHCO, pada medium FIV (SO). Pembuatan klon embrio dengan tahap perkembangan embrio yang berbeda meningkatkan produksi klon embrio.
4. Suplementasi FCS dan insulin like growth factor-l (IGF-I) pada TCM 199 memberikan pengaruh untuk produksi klon embrio.