I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Gula Tahun Periode

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan

V. GAMBARAN UMUM KONDISI PERGULAAN NASIONAL, LAMPUNG DAN LAMPUNG UTARA

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian

V. EKONOMI GULA. dikonsumsi oleh masyarakat. Bahan pangan pokok yang dimaksud yaitu gula.

ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI TEBU RAKYAT DI WILAYAH KERJA PTPN VII UNIT USAHA BUNGAMAYANG KABUPATEN LAMPUNG UTARA PROPINSI LAMPUNG

V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula Subsistem Input Subsistem Usahatani

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditi strategis bagi perekonomian Indonesia, karena merupakan salah satu dari sembilan

I. PENDAHULUAN. berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

I Ketut Ardana, Hendriadi A, Suci Wulandari, Nur Khoiriyah A, Try Zulchi, Deden Indra T M, Sulis Nurhidayati

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia gula merupakan komoditas terpenting nomor dua setelah

MIMPI MANIS SWASEMBADA GULA

4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional

BAB I PENDAHULUAN. penduduk Indonesia. Bagi perekonomian Indonesia kacang kedelai memiliki

BAB I PENDAHULUAN. sumber pendapatan bagi sekitar ribu RTUT (Rumah Tangga Usahatani Tani) (BPS, 2009).

I. PENDAHULUAN. komoditas utama penghasil serat alam untuk bahan baku industri Tekstil dan

REKAYA DAN UJI KINERJA ALAT ROGES TEBU BAB I PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. zaman pendudukan Belanda. Pabrik-pabrik gula banyak dibangun di Pulau Jawa,

Upaya Peningkatan Produksi dan Produktivitas Gula dalam Perspektif Perusahaan Perkebunan Negara

BAB I PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

stabil selama musim giling, harus ditanam varietas dengan waktu kematangan yang berbeda. Pergeseran areal tebu lahan kering berarti tanaman tebu

I. PENDAHULUAN. Gambar 1 Proyeksi kebutuhan jagung nasional (Sumber : Deptan 2009, diolah)

BAB I PENDAHULUAN. Gula adalah salah satu komoditas pertanian yang telah ditetapkan

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

perluasan kesempatan kerja di pedesaan, meningkatkan devisa melalui ekspor dan menekan impor, serta menunjang pembangunan wilayah.

I. PENDAHULUAN. sebagai dasar pembangunan sektor-sektor lainnya. Sektor pertanian memiliki

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ANALISIS PERKEMBANGAN HARGA GULA

BAB I. PENDAHULUAN. kegiatan pertanian yang mendominasi perekonomian masyarakat desa, dimana

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan suatu tindakan untuk mengubah kondisi

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia di samping kebutuhan

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, khususnya tanaman pangan bertujuan untuk meningkatkan

ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN PEMBINAAN PERAN INDUSTRI BERBASIS TEBU DALAM MENUNJANG SWASEMBADA GULA NASIONAL.

BAB I PENDAHULUAN. beras, jagung dan umbi-umbian menjadikan gula sebagai salah satu bahan

I. PENDAHULUAN. pemerintah yang konsisten yang mendukung pembangunan pertanian. Sasaran pembangunan di sektor pertanian diarahkan untuk meningkatkan

I. PENDAHULUAN. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas.

STUDI KASUS PERMASALAHAN KOMODITAS KEDELAI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sektor pertanian dalam tatanan pembangunan nasional memegang peranan

BAB I PENDAHULUAN. Menuju Swasembada Gula Nasional Tahun 2014, PTPN II Persero PG Kwala. Madu yang turut sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Luas Lahan Komoditi Perkebunan di Indonesia (Ribu Ha)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Tahun (Milyar rupiah)

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

I. PENDAHULUAN. Untuk tingkat produktivitas rata-rata kopi Indonesia saat ini sebesar 792 kg/ha

YOGYAKARTA, 9 SEPTEMBER 2017 FGD "P3GI" 2017

BAB I PENDAHULUAN. tanaman pangan. Sektor tanaman pangan adalah sebagai penghasil bahan makanan

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik

LAPORAN AKHIR KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDUSTRI GULA UNTUK MENDUKUNG SWASEMBADA GULA

BAB I PENDAHULUAN. yang putih dan terasa manis. Dalam bahasa Inggris, tebu disebut sugar cane. Tebu

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram

TESIS. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-2 PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS.

PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

PRODUKSI PANGAN INDONESIA

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Produksi, Produktivitas, dan Luas Areal Ubi Kayu di Indonesia Serta

KEBIJAKAN GULA UNTUK KETAHANAN PANGAN NASIONAL

Analisis Faktor Produktivitas Gula Nasional dan Pengaruhnya Terhadap Harga Gula Domestik dan Permintaan Gula Impor. Lilis Ernawati

PENDAHULUAN. Indonesia, tercapainya kecukupan produksi beras nasional sangat penting

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. di Pulau Jawa. Sementara pabrik gula rafinasi 1 yang ada (8 pabrik) belum

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

BAB I PENDAHULUAN. Tebu merupakan tumbuhan sejenis rerumputan yang dikelompokkan

yang tinggi dan ragam penggunaan yang sangat luas (Kusumaningrum,2005).

KEMENTERIAN PERTANIAN

SISTEM AGRIBISNIS BIBIT TEBU ASAL KULTUR JARINGAN BPTP SULAWESI SELATAN

I PENDAHULUAN. [3 Desember 2009] 1 Konsumsi Tempe dan Tahu akan Membuat Massa Lebih Sehat dan Kuat.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

PROSPEK TANAMAN PANGAN

POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT

PENDAHULUAN. dan tidak bisa dipisahkan yaitu pertama, pilar pertanian primer (on-farm

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Tahun Produksi Impor

DINAMIKA DAN RISIKO KINERJA TEBU SEBAGAI BAHAN BAKU INDUSTRI GULA DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

I. PENDAHULUAN. negara dititikberatkan pada sektor pertanian. Produksi sub-sektor tanaman

BAB I PENDAHULUAN. tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, perikanan dan peternakan dengan tujuan

I. PENDAHULUAN. pengekspor jagung (net exporter), namun situasi ini secara drastis berubah setelah

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

I. PENDAHULUAN. setiap rakyat Indonesia. Salah satu komoditas pangan yang penting di Indonesia

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

KINERJA PRODUKSI DAN HARGA KEDELAI SERTA IMPLIKASINYA UNTUK PERUMUSAN KEBIJAKAN PERCEPATAN PENCAPAIAN TARGET SUKSES KEMENTERIAN PERTANIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

I. PENDAHULUAN. untuk tanaman pangan salah satunya yaitu ubi kayu (Manihot utilissima). Ubi

PENCAPAIAN SURPLUS 10 JUTA TON BERAS PADA TAHUN 2014 DENGAN PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM (SYSTEM DYNAMICS)

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM BIDANG PERTANIAN UNTUK MEWUJUDKAN KEMANDIRIAN PANGAN DAN ENERGI BERBASIS PERTANIAN

POLICY BRIEF DAYA SAING KOMODITAS PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI DALAM KONTEKS PENCAPAIAN SWASEMBADA PANGAN. Dr. Adang Agustian

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL Dalam Mendukung KEMANDIRIAN PANGAN DAERAH

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Jumlah Tenaga Kerja Pertanian di Indonesia Tahun Pertanian ** Pertanian. Tenaga Kerja (Orang)

Transkripsi:

1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula termasuk salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Dengan luas areal rata-rata 400 ribu ha pada periode 2007-2009, industri gula berbasis tebu merupakan sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu petani dengan jumlah tenaga kerja yang terlibat mencapai sekitar 1.3 juta orang. Selain itu, gula merupakan salah satu sumber kalori dalam struktur konsumsi masyarakat selain bahan pangan, dan merupakan bahan baku untuk industri makanan dan minuman (Mirzawan et al., 2009). Berdasarkan hal tersebut, maka industri gula yang berbasis tebu dapat digolongkan dalam industri yang memiliki keterkaitan ke depan dan ke belakang, bahkan yang tertinggi dari seluruh bahan pangan (Minarso dan Ibrahim, 2010). Pentingnya gula bagi masyarakat di Indonesia tercermin pula pada kebijakan pemerintah yang menetapkan gula sebagai lima komoditas pangan strategis yang masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 selain beras, kedelai, jagung, dan daging sapi untuk ketahanan pangan. Seiring dengan bertambahnya populasi penduduk, konsumsi gula diperkirakan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Informasi berkaitan dengan perkembangan konsumsi gula dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Gula Tahun Periode 2000-2009 Tahun Kebutuhan Industri (Juta Ton) Kebutuhan Rumah Tangga (Juta Ton) Total Konsumsi (Juta Ton) 2000 0.69 2.51 3.20 2001 0.74 2.51 3.25 2002 0.78 2.52 3.30 2003 0.78 2.58 3.35 2004 0.80 2.60 3.40 2005 0.93 2.58 3.50 2006 1.22 2.64 3.85 2007 1.25 2.70 3.95 2008 1.48 2.67 4.15 2009 2.15 2.70 4.85 Sumber: Pusdatin Kementan, 2010 Konsumsi gula terus mengalami kenaikan baik konsumsi rumah tangga maupun untuk industri. Pada tahun 2000, konsumsi gula sebesar 3.2 juta ton

2 menjadi 4.85 pada tahun 2009 atau dengan laju peningkatan rata-rata sebesar 4.84 persen pertahun. Peningkatan konsumsi yang signifikan khususnya pada konsumsi gula untuk industri, ternyata tidak dimbangi dengan upaya peningkatan produksi gula nasional. Tabel 2 menyajikan perkembangan produksi tebu dan gula nasional dari tahun 2000-2009. Tabel 2. Perkembangan Produksi Tebu, Rendemen, Produksi Gula, Luas Lahan dan Produktivitas Gula Periode 2000-2009 Tahun Produksi Tebu (Ton) (a) Rendemen Produksi Gula (%) (b) (Ton) (c) Luas Lahan (Ha) (c) Produktivitas Gula (Ton/Ha) (a) 2001 25 946 872 6.65 1 725 467 344 441 5.01 2002 24 516 117 7.16 1 755 354 350 722 5.00 2003 25 261 889 6.46 1 631 918 335 725 4.86 2004 29 351 130 6.99 2 051 644 344 793 5.95 2005 36 391 916 6.16 2 241 742 381 786 5.87 2006 30 760 360 7.50 2 307 027 396 441 5.82 2007 34 983 813 7.50 2 623 786 427 799 6.13 2008 34 342 703 7.77 2 668 428 436 505 6.11 2009 32 398 636 7.77 2 517 374 422 953 5.95 : Data produksi tebu merupakan hasil konversi dari data produksi gula Ditjenbun Kementan 2010 dengan data rendemen nasional FAO 2010 Sumber: (a) Hasil konversi; (b) FAO, 2010; (c) Ditjenbun Kementan, 2010 Produksi gula Indonesia rata-rata sebesar 1.72 juta ton antara tahun 2000-2002 dengan luasan lahan rata-rata 345 274 hektar. Pada tahun 2003, produksi gula Indonesia menurun menjadi 1.63 juta ton atau turun sebesar 0.12 juta ton dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini dikarenakan adanya penurunan luas lahan sebesar 14 997 hektar dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 350 722 hektar. Produksi gula nasional setelah tahun 2003 cenderung naik sampai pada tahun 2008. Rata-rata produksi gula nasional sebesar 2.73 ton pertahun dengan laju peningkatan produksi rata-rata per tahun sebesar 10.66 persen (0.2 juta ton perhektar). Peningkatan produksi ini dikarenakan adanya peningkatan luas lahan sebesar 5.44 persen atau 20 156 hektar per tahun. Perkembangan produksi gula nasional yang lebih rendah dibandingkan dengan perkembangan konsumsinya mengakibatkan terjadinya defisit pemenuhan kebutuhan gula dalam negeri. Infomasi selengkapnya berkaitan dengan perkembangan produksi, konsumsi dan defisit gula nasional selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.

3 Tabel 3. Perkembangan Produksi, Konsumsi dan Defisit Gula Nasional Periode 2001-2009 Tahun Produksi (Juta Ton) Konsumsi (Juta Ton) Defisit (Juta Ton) 2001 1.73 3.25 1.52 2002 1.76 3.30 1.54 2003 1.63 3.35 1.72 2004 2.05 3.40 1.35 2005 2.24 3.50 1.26 2006 2.31 3.85 1.54 2007 2.62 3.95 1.33 2008 2.67 4.15 1.48 2009 2.52 4.85 2.33 Sumber: Pusdatin Kementan, 2010 Berdasarkan Tabel 3 di atas diketahui bahwa rata-rata pertahun Indonesia mengalami kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan gula dalam negeri sebesar 1560 ribu ton kurun waktu 2000-2009. Defisit gula nasional tersebut selama ini dipenuhi oleh pemerintah dengan melakukan impor. Keputusan pemerintah untuk melakukan impor gula dalam upaya pemenuhan kebutuhan gula nasional ini justru membuat produksi gula nasional menurun. Sebagai contoh adalah kebijakan impor gula yang dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan tahuan 2008 yaitu Peraturan Menteri Perdagangan No. 256/M-DAG/3/2008 tentang Impor GKP, dan Peraturan Menteri Perdagangan No. 19/M-DAG/PER/5/2008 tentang Impor Gula membuat produksi gula tahun 2009 menurun. Produksi gula nasional sebesar 2.52 juta ton atau turun sebesar 0.15 juta ton dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebesar 2.67 juta ton pada tahun 2008. Rata-rata impor gula Indonesia dari tahun 1995 sampai 2009 sebesar 1.32 juta ton dengan laju peningkatan rata-rata 2.5 persen pertahun. Perkembangan impor gula sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Pada periode 1996-1998, impor gula mengalami peningkatan sangat tajam karena pemberlakukan tarif impor 0 persen dan hilangnya hak monopoli impor Bulog sejak 1998 (Nainggolan, 2005). Sementara ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan pembatasan pelaku impor dan perijinan impor yang dikaitkan dengan harga tingkat petani serta kuota impor oleh pemerintah yang didasarkan pada kondisi produksi dan persediaan dalam negeri, volume impor cenderung menurun secara

4 signifikan selama tahun 2002 sampai dengan tahun 2006. Sebaliknya, sejak tahun 2007 impor gula kembali mengalami peningkatan tajam yang dipicu oleh meningkatnya impor gula rafinasi untuk memenuhi kebutuhan industri. Tabel 4. Perkembangan Impor Gula Indonesia Periode 1996-2009 Tahun Volume (Ton) Tahun Volume (Ton) 1996 1 099 306 2003 1 489 625 1997 578 025 2004 1 130 291 1998 844 852 2005 1 998 367 1999 1 398 950 2006 1 506 002 2000 1 538 519 2007 2 972 788 2001 1 284 790 2008 1 018 594 2002 970 978 2009 1 373 546 Sumber: Ditjenbun Kementan, 2010 Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan produksi gula nasional untuk memenuhi kebutuhan gula dalam negeri dan mengurangi ketergantungan terhadap gula impor. Salah satu cara meningkatkan produksi gula nasional adalah peningkatan produksi tebu rakyat karena produksi tebu nasional sebagian besar dihasilkan dari perkebunan rakyat. Informasi selengkapnya berkaitan dengan luas areal panen dan produksi perkebunan rakyat, perkebunan besar negara, dan perkebunan besar swasta dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Luas Panen dan Produksi Perkebunan Rakyat, Perkebunan Besar Negara, dan Perkebunan Besar Swasta Periode 2001-2009 Tahun Luas Panen (Ha) a Produksi Tebu (Ton) b PR PBN PBS PR PBN PBS 2001 178 887 87 687 77 867 11 072 450.98 3 281 344.54 9 315 728.29 2002 196 509 79 975 74 238 12 233 654.14 4 675 924.81 9 037 293.23 2003 172 015 87 251 76 459 13 507 821.23 4 157 611.73 6 850 684.36 2004 184 283 78 205 82 305 12 988 049.54 5 734 922.60 6 538 916.41 2005 211 479 80 383 89 924 14 716 466.38 5 492 017.17 9 142 646.64 2006 213 876 87 227 95 338 19 377 483.77 6 873 717.53 10 140 714.29 2007 249 487 81 665 96 657 16 357 933.33 6 043 120.00 8 359 306.67 2008 252 783 82 222 101 500 20 193 720.00 5 662 560.00 9 127 533.33 2009 243 219 74 185 105 549 19 771 029.60 5 098 918.92 9 472 754.18 : Data produksi tebu merupakan hasil konversi dari data produksi gula Ditjenbun Kementan 2010 dengan data rendemen nasional FAO 2010. PR: Perkebunan Rakyat, PBN: Perkebunan Besar Negara, PBS: Perkebunan Besar Swasta Sumber: (a) Ditjenbun Kementan, 2010; (b) Data hasil konversi

5 Perkembangan luas perkebunan rakyat cenderung menunjukkan peningkatan. Akan tetapi, pada tahun 2009 terjadi penurunan luas areal perkebunan rakyat seluas 9 564 ha dibandingkan tahun sebelumnya. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya penurunan produksi tebu rakyat sebesar 13 552 ton. Penurunan jumlah produksi tebu rakyat akan memberikan dampak pada penurunan pendapatan bagi petani tebu rakyat. Pendapatan yang rendah menyebabkan modal yang dimiliki petani terbatas. Biaya usahatani yang meningkat sering menyebabkan petani tidak mampu melakukan tahapan budidaya dan produksi serta penggunaan teknologi sebagaimana mestinya. Padahal dalam usahatani tebu, tahapan tahapan budidaya dan produksi serta penggunaan teknologi yang tepat merupkan salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas yang tinggi sehingga diperoleh pendapatan maksimal (Jasila, 2009). Perbaikan sistem produksi tebu di tingkat petani memiliki arti yang sangat strategis, khususnya pada wilayah-wilayah yang secara teknis dan ekonomis mempunyai potensi untuk dikembangkan. Hal ini juga karena sampai saat ini sekitar 80 persen bahan baku pabrik gula berasal dari tebu rakyat (Malian et al., 2004). 1.2. Perumusan Masalah tebu nasional. Lampung merupakan salah satu propinsi yang menjadi sentra produksi Tabel 6. Perkembangan Produksi Tebu Beberapa Daerah Sentra Tebu Nasional Tahun 2001-2009 Propinsi Produksi (Juta Ton) 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Jawa Timur 10.93 11.67 11.93 12.89 17.02 14.23 17.88 16.77 14.18 Lampung 9.53 7.34 7.33 10.16 11.27 9.25 9.53 10.43 11.63 Jawa Tengah 1.89 2.38 2.18 2.51 2.78 3.92 3.75 4.01 3.34 Jawa Barat 1.26 1.13 1.28 1.72 1.85 1.71 1.91 1.68 1.33 Sumatera Selatan 0.53 0.60 0.65 0.84 0.84 0.89 0.85 0.89 1.33 Sumatera Utara 0.69 0.45 0.40 0.20 0.61 0.76 0.73 0.61 0.57 Gorontalo 0.36 0.41 0.53 0.57 0.58 0.46 0.77 0.39 0.53 Sulawesi Selatan 0.32 0.51 0.44 0.42 0.39 0.27 0.29 0.53 0.34 Yogyakarta 0.30 0.36 0.37 0.36 0.46 0.20 0.24 0.24 0.26 : Data produksi tebu merupakan hasil konversi dari data produksi gula Ditjenbun Kementan 2010 dengan data rendemen nasional FAO 2010 Sumber: Ditjenbun Kementan, 2010

6 Tabel 6 menunjukkan produksi tebu di Lampung pada tahun 2001 sebesar 9 528 285 ton menjadi 11 625 740 ton pada tahun 2009 dengan jumlah gula yang dihasilkan mencapai 903 320 ton. Angka ini menjadikan Lampung sebagai penghasil tebu terbesar kedua di Indonesia setelah Jawa Timur dengan proporsi sebesar 36 persen dari total produksi tebu nasional. Jawa Timur menjadi propinsi penghasil tebu terbesar pada tahun 2009 dengan produksi mencapai 1 101 538 ton atau 44 persen dari total produksi tebu nasional. Besarnya produksi tebu di Jawa Timur dibandingkan dengan Lampung karena Jawa Timur memiliki luas lahan lebih besar dibandingkan dengan Lampung. Luas lahan tebu di Jawa Timur pada tahun 2009 mencapai 198 944 hektar sedangkan luas lahan di Lampung mencapai 114 255 hektar pada tahun yang sama sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 7. Tabel 7. Perkembangan Luas Lahan Tebu Beberapa Daerah Sentra Tebu Nasional Tahun 2001-2009 Propinsi Luas Lahan (Ribu Hektar) 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Jawa Timur 150.00 159.44 148.92 150.11 169.34 171.40 204.13 198.60 198.94 Lampung 86.92 80.73 88.47 96.26 102.85 105.92 103.06 116.36 114.26 Jawa Tengah 34.16 40.60 34.65 37.11 41.78 50.96 46.49 52.06 55.89 Jawa Barat 22.23 21.50 20.20 21.14 22.73 21.96 23.60 23.26 23.09 Sumatera Selatan 12.32 12.09 12.28 11.66 12.30 12.48 12.41 12.50 18.14 Sumatera Utara 9.97 10.24 10.45 10.07 10.19 9.40 10.89 12.76 11.12 Gorontalo 13.88 13.08 9.38 5.99 9.36 12.84 13.38 12.37 9.67 Sulawesi Selatan 6.85 6.26 6.58 8.16 7.78 8.22 10.02 5.08 6.56 Yogyakarta 4.61 4.87 4.80 4.30 5.47 3.28 3.82 3.53 3.78 Sumber: Ditjenbun Kementan, 2010 Luas lahan di Jawa Timur lebih tinggi jika dibandingkan dengan Lampung, tetapi lebih rendah dalam produktivitasnya yaitu berturut-turut 82.09 dan 97.72 ton per hektar. Informasi selengkapnya berkaitan dengan tingkat produktivitas tebu di sentra produksi tebu nasional dapat dilihat pada Tabel 8. Akan tetapi jika dilihat dari produktivitas berdasarkan pengusahaan, maka besarnya produktivitas tebu di Lampung lebih dikarenakan produktivitas tebu yang dihasilkan oleh perkebunan swasta dibandingkan dengan perkebunan rakyat. Bahkan produktivitas tebu rakyat paling rendah dibandingakan dengan yang lain.

7 Tabel 8. Produktivitas Tebu Beberapa Daerah Sentra Tebu Nasional Tahun 2001-2009 Propinsi Produktivitas (Ton/Ha) 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Jawa Timur 72.85 73.20 80.08 85.89 100.54 83.03 87.58 84.42 71.26 Lampung 109.62 90.90 82.80 105.56 109.58 87.31 92.46 89.67 101.75 Jawa Tengah 55.35 58.66 62.86 67.70 66.51 76.96 80.72 77.09 59.71 Jawa Barat 56.54 52.45 63.17 81.25 81.46 77.66 81.13 72.28 57.68 Sumatera Selatan 43.35 49.86 52.73 72.46 68.04 71.07 68.27 70.80 59.43 Sulawesi Selatan 32.10 49.46 41.98 41.24 37.87 29.19 26.43 41.86 30.92 Sumatera Utara 49.39 34.45 42.95 33.80 65.61 59.28 54.72 49.35 58.92 Gorontalo 52.64 65.53 79.84 69.96 74.23 56.24 77.22 76.26 81.05 Yogyakarta 64.27 73.95 77.32 82.94 83.61 61.50 62.11 66.70 69.73 Sumber: Ditjenbun Kementan, 2010 Pada kurun waktu 2004-2009, rata-rata produktivitas tebu rakyat hanya 67.81 ton perhektar, lebih kecil dibandingkan dengan produktivitas tebu perkebunan negara yang mencapai 78.75 ton perhektar, dan tebu perkebunan swasta yang mencapai 102.91 ton perhektar. Informasi selengkapnya berkaitan dengan produktivitas tebu di Lampung berdasarkan pengusahaannya disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Produktivitas Tebu Perkebunan Rakyat, Perkebunan Swasta dan Perkebunan Negara 2004-2009 di Propinsi Lampung Jenis Pengusahaan Produktivitas (Ton/Ha) 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Perkebunan Rakyat 68.55 72.96 69.42 60.19 70.23 65.52 Perkebunan Negara 73.66 88.17 81.13 68.40 79.15 81.97 Perkebunan Swasta 111.20 115.28 89.33 97.41 92.84 111.40 : Data produksi gula dan luas lahan bersumber dari BPS Propinsi Lampung 2005-2010 dengan penyesuaian menurut data produksi nasional Ditjenbun Kementan 2010. Data produksi tebu merupakan konversi dengan menggunakan nilai rendemen FAO 2010. Sumber: Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung, 2010 Produktivitas tebu perkebunan rakyat yang sebagian besar masih rendah berkaitan dengan berbagai faktor antara lain: (1) sebagian besar lahan tebu adalah lahan tegalan atau lahan kering karena konversi lahan tebu untuk industri atau perumahan, (2) sekitar 60 70 persen merupakan tanaman keprasan, (3) varietas yang digunakan merupakan varietas lama, (4) teknik budidaya yang belum optimal, (5) keterbatasan modal, dan 6) sistem bagi hasil yang kurang memotivasi

8 petani. 1 Produktivitas yang rendah juga mencerminkan tingkat efisiensi yang rendah. Hal ini berpangkal pada budidaya yang tidak optimal akibat dari: (1) kualitas bahan tanaman yang kurang baik, (2) harga gula yang rendah, dan (3) kebijakan pemerintah yang kurang mendukung (Susila dan Sinaga, 2005b). Rendahnya produksi dan produktivitas tebu rakyat membuat pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk meningkatkankannya. Salah satu program yang dikeluarkan pemerintah adalah Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula (APPG). Program ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas gula nasional demi tercapainya swasembada gula tahun 2014. Propinsi Lampung merupakan salah satu propinsi yang menjadi sasaran dari program tersebut karena Lampung termasuk sentra produksi tebu nasional dengan Kabupaten Lampung Utara sebagai daerah pelaksanaan program tersebut. Pemilihan perkebunan rakyat karena tebu rakyat sering menghadapi masalah, yaitu: (1) lemahnya modal usahatani, (2) lemahnya penguasaan teknologi, (3) lemahnya lembaga penyedia sarana produksi, dan (4) teknologi pascapanen (Sriati et al, 2008). Berbagai kelemahan tersebut dinilai menjadi salah satu penyebab rendahnya produktivitas tebu rakyat. Akan tetapi kebijakan tersebut gagal karena tidak mencapi target yang ditetapkan 2. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk mencapai swasembada gula melalui peningkatan produksi gula nasional sebagaimana yang diuraikan sebelumnya, ternyata masih menghadapi berbagai kendala. Kondisi ini juga terlihat pada usahatani tebu rakyat di Lampung. Rata-rata tingkat produktivitas tebu rakyat kurun waktu 2004-2009 masih sangat rendah yaitu sebesar 67.51 ton perhektar. Kondisi ini masih jauh jika dibandingkan dengan produktivitas di Brazil dan Australia dengan nilai rata-rata 75.12 ton perhektar dan 83.27 ton perhektar pada kurun waktu yang sama sebagaimana ditunjukkan Tabel 10. 1 2 Wayan R. Susila. 2005. Peningkatan Efisiensi Industri Gula Nasional melalui Perbaikan Sistem Bagi Hasil antara Petani dan PG.http://www.ipard.com[Diakses tanggal 14 Oktober 2014] Berdasarkan wawancara dengan Kepala Bagian Produksi Dinas Perkebunan Propinsi Lampung 13 Juni 2011.

9 Tabel 10. Produktivitas Tebu Rakyat Lampung, Tebu Nasional, Jawa Timur, Brazil dan Australia Periode 2004-2009 Propinsi/Negara Produktivitas (Ton/Ha) 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Rata-Rata Lampung (a) 64.92 66.95 67.02 67.85 70.81 67.47 67.51 Jawa Timur (b) 85.89 100.54 83.03 87.58 84.42 71.26 85.45 Nasional (b) 66.95 76.68 73.65 62.52 62.56 63.09 67.58 Brazil (c) 67.02 72.85 75.11 77.63 79.27 78.85 75.12 Australia (c) 67.85 87.15 89.46 89.07 85.72 80.39 83.27 Sumber: (a) PTPN VII, 2011; (b) Ditjenbun Kementan, 2010; (c) FAO, 2010 Produktivitas rendah ini juga diakibatkan adanya sistem bagi hasil antara petani dengan pabrik gula yang kurang memotivasi petani untuk meningkatkan produksinya. Sistem bagi hasil yang berlaku saat ini adalah 66 persen dari total produksi gula untuk petani dan 34 persen untuk pabrik gula sebagai upah pengolahan. Sistem ini masih sering menimbulkan perdebatan. Bagi petani, bagian mereka seharusnya bisa lebih tinggi bila pengolahan di pabrik gula berjalan efisien dan kapasitas giling cukup memadai (Susila dan Sinaga, 2005a). Rendahnya produktivitas tebu rakyat ini semakin diperburuk dengan rendemen yang rendah pula sebagaimana disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Perkembangan Rendemen Tebu Rakyat (TR), Nasional, Brazil, Australia, PTPN VII Unit Usaha Bungamayang dan Gunung Madu Plantations (GMP) Periode 2001-2009 Tahun PTPN VII UU Bunga Mayang (a) TR (TRK dan TRB) (a) Nasional (b) Brazil (b) Australia (b) Gunung Madu Plantation (GMP) (c) 2001 5.55 5.80 7.14 9.88 14.80 6.91 2002 6.18 6.58 6.65 11.16 14.67 7.52 2003 7.02 7.20 7.16 12.02 14.76 9.71 2004 7.67 7.49 6.46 12.71 13.99 9.82 2005 7.54 7.36 6.99 13.32 14.24 9.71 2006 8.23 7.53 6.16 12.02 14.00 9.32 2007 7.58 7.18 7.50 11.44 14.31 9.43 2008 7.79 7.27 7.50 9.94 15.11 9.14 2009 8.18 7.48 7.77 9.96 15.57 9.13 Rata-rata 7.30 7.10 7.04 11.38 14.61 8.97 Sumber: (a) PTPN VII, 2010; (b) FA0, 2010; (c) DPR RI, 2010 Rata-rata rendemen tebu rakyat dalam kurun waktu 2001-2009 adalah sebesar 7.10. Angka ini memang diatas rendemen nasional yaitu 7.04, akan tetapi

10 masih dibawah rendemen tebu PTPN VII Unit Usaha Bungamayang, tebu swasta (Gunung Madu Plantations). Angka ini akan semakin jauh jika dibandingkan dengan Brazil dan Australia yang mempunyai rendemen rata-rata berturut-turut 11.38 dan 14.61. Kebijakan lain untuk meningkatkan produktivitas tebu adalah dengan memberikan bantuan kredit bagi petani tebu rakyat melalui hubungan kemitraan dengan pabrik gula dimana pabrik gula bertindak sebagai avalis antara petani dan pihak perbankan. Kebijakan ini dinilai penting untuk mengatasi permasalahan permodalan yang sering menjadi kendala para petani tebu rakyat (Retna, 1999; Sriati et al, 2008). Lebih lanjut Fadjar (2006) menyatakan meskipun pelaksanaan kemitraan usaha perkebunan belum dapat mengatasi ketimpangan antara perkebunan besar dan perkebunan rakyat, namun kelemahan tersebut dapat diperbaiki melalui pemberdayaan masyarakat perkebunan yang komunikatif. Sikap komunikatif diharapkan menciptakan kemitraan yang mampu mendistribusikan peluang dan manfaat usaha serta aset produksi kepada petani. Di Kabupaten Lampung Utara terdapat satu perusahaan persero yang mengolah tebu menjadi gula dalam skala yang besar untuk memenuhi permintaan gula di pasaran yaitu PTPN VII Unit Usaha Bungamayang. PTPN VII Unit Usaha Bungamayang melakukan hubungan kemitraan dengan petani tebu melalui Program Tebu Rakyat Kredit (TRK) untuk memenuhi kebutuhan bahan bakunya. TRK memiliki arti penting sebab melalui program ini peserta akan diberikan kemudahan kredit dan sarana produksi dalam rangka peningkatan pendapatan. Pada pelaksaannya kemitraan antara PG dan petani ini bukanlah tanpa kendala. Salah satu contohnya adalah penyaluran kredit penyediaan pupuk yang disaat para petani sudah melewati masa pemupukan. Bunga kredit yang harus dibayarkan petani juga cukup besar yaitu 6-7 persen pertahun. Besaran ini sangatlah jauh dibandingkan dengan kredit bagi petani tebu di Vietnam, Thailand, dan Brazil yang besarnya berturut-turut 1.5 persen, 1.3 persen dan 1.1 persen. 3 Selain pemberian kredit yang terlambat dan besarnya bunga yang harus dibayarkan, masalah lain yang muncul adalah besarnya kredit yang tidak sesuai 3 Soemitro Samadikoen (Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia) dalam Rendemen Gula 10 Agar Indonesia Swasembada. www.antarajawabarat.com. Diakses: 14 Agustus 2011.

11 dengan kebutuhan. Salah satu contoh adalah dengan pemberian kredit tebang muat dan angkut yang besarnya jauh dibawah kebutuhan para petani akibat mahalnya biaya tenaga kerja dalam proses tebang muat dan angkut yang hampir mencakup 50 persen dari biaya usahatani tebu. Kurang maksimalnya penggunaan input sebagai akibat dari berbagai masalah diatas, akan sangat berpengaruh terhadap tingkat efisiensi usahatani tebu rakyat khususnya tebu rakyat kredit karena budidaya yang dilakukan pada gilirannya juga tidak maksimal. Selain para petani tebu rakyat yang tergabung dalam TRK, berkembang pula pola kemitraan bebas atau Tebu Rakyat Bebas (TRB) dimana kemitraan terjalin antara perusahaan dan petani tanpa sarana kredit. Rata-rata tingkat rendemen untuk TRB tahu 2001-2009 sebesar 7.31, lebih tinggi dibandingkan dengan TRK yang hanya sekitar 6.80 sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 12. Tabel 12. Perkembangan Rendemen Tebu Rakyat Kredit (TRK) dan Tebu Rakyat Bebas (TRB) Periode 2001-2009 Tahun Tebu Rakyat Kredit Tebu Rakyat Bebas 2001 5.17 6.43 2002 6.06 7.09 2003 6.73 7.66 2004 7.21 7.76 2005 7.17 7.55 2006 7.46 7.59 2007 7.01 7.35 2008 7.01 7.52 2009 7.46 7.49 Rata-rata 6.80 7.31 Sumber: PTPN VII, 2010 Tinggi rendahnya tingkat rendemen salah satunya tergantung dari proses produksi (on farm) yang dilakukan oleh petani. Peningkatan rendemen dari tingkat usahatani dapat dilakukan dengan: (1) penataan varietas, (2) pengunaan bibit unggul, (3) pengaturan kebutuhan air, (4) pemupukan berimbang, dan (5) pengendalian organisme pengganggu (P3GI, 2008). Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan perumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana sistem usahatani tebu rakyat (non-keprasan dan keprasan) pada pola kemitraan TRK dan TRB di wilayah kerja PTPN VII Unit Usaha

12 Bungamayang? Bagaimana pengaruh kemitraan terhadap tingkat pendapatan para petani tebu rakyat? 2. Bagaiamana tingkat efisiensi dan faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi inefisiensi tebu rakyat di wilayah kerja PTPN VII Unit Usaha Bungamayang? Bagaimana pengaruh kemitraan terhadap tingkat efisiensi tebu rakyat di wilayah kerja PTPN VII Unit Usaha Bungamayang? 1.3. Tujuan Penelitian Dengan memperhatikan berbagai permasalahan sebagaimana yang diuraikan sebelumnya, penelitian ini bertujuan: 1. Menganalisis sistem usahatani tebu rakyat (non-keprasan dan keprasan) pada pola kemitraan TRK dan TRB dan pengaruh kemitraan (TRK dan TRB) terhadap tingkat pendapatan para petani tebu rakyat di wilayah kerja PTPN VII Unit Usaha Bungamayang. 2. Menganalisis tingkat efisiensi dan faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi produksi usahatani tebu rakyat dan pengaruh pola kemitraan terhadap tingkat efisiensi tebu rakyat di wilayah kerja PTPN VII Unit Usaha Bungamayang. 1.4. Ruang Lingkup Penelitian 1. Penelitian ini menganalisis pendapatan dan efisiensi produksi dari usahatani tebu rakyat baik pada pola tanam keprasan dan non-keprasan yang tergabung dalam pola kemitraan Tebu Rakyat Kredit (TRK) dan Tebu Rakyat Bebas (TRB). 2. Tingkat efisiensi yang dianalisis pada penelitian ini adalah tingkat usahatani. 1.5. Manfaat Penelitian 1. Bagi pengambil kebijakan di tingkat nasional, hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi bahan pertimbangan untuk menetapkan kebijakan pada tingkat usahatani khususnya untuk mendukung tercapainya swasembada gula. 2. Bagi akademisi, hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi salah satu referensi dalam penelitian dengan topik terkait.