BAB I PENDAHULUAN. pesat di Indonesia. Sampai dengan tahun 1998, jumlah industri TPT di Indonesia

dokumen-dokumen yang mirip
Industri tekstil merupakan salah satu iudustri yang berkembang cukup pesat

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara

I. PENDAHULUAN. Industri TPT merupakan penyumbang terbesar dalam perolehan devisa

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka pengembangan ekonomi daerah yang bertujuan. meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka pengembangan ekonomi lokal

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan industri garmen semakin mengglobal. Perkembangan ini dimulai

BAB I PENDAHULUAN. perubahan sistem ekonomi dari perekonomian tertutup menjadi perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. ukuran dari peningkatan kesejahteraan tersebut adalah adanya pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. pesat sesuai dengan kemajuan teknologi. Dalam era globalisasi peran transportasi

BAB I PENDAHULUAN. Dalam mendorong pembangunan ekonomi nasional, salah satu alat dan

BAB I PENDAHULUAN. Pada awal masa pembangunan Indonesia dimulai, perdagangan luar negeri

I. PENDAHULUAN. perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dan merupakan salah

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap

I. PENDAHULUAN. keuangan setiap negara. Bank antara lain berperan sebagai tempat. penyimpanan dana, membantu pembiayaan dalam bentuk kredit, serta

HUBUNGAN KAUSALITAS ANTARA EKSPOR NON MIGAS TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TAHUN SKRIPSI

PROVINSI JAWA BARAT MARET 2016

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia memiliki

1. PENDAHULUAN. Tragedi serangan teroris ke gedung World Trade Center (WTC) Amerika

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain.

BAB I PENDAHULUAN. dalam membangun perekonomian. Pembangunan ekonomi diarahkan

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, KINERJA DAN DAYA SAING INDUSTRI ELEKTRONIKA DI INDONESIA JOHANNA SARI LUMBAN TOBING H

BAB I PENDAHULUAN. Proses globalisasi yang bergulir dengan cepat dan didukung oleh kemajuan

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan

Nilai ekspor Jawa Barat Desember 2015 mencapai US$2,15 milyar naik 5,54 persen dibanding November 2015.

BPS PROVINSI JAWA BARAT

I. PENDAHULUAN. Keputusan migrasi didasarkan pada perbandingan untung rugi yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. meningkatnya hubungan saling ketergantungan (interdependence) antara

BAB I PENDAHULUAN. angka tersebut adalah empat kali dari luas daratannya. Dengan luas daerah

BAB I PENDAHULUAN. Strategi yang pertama sering dikatakan sebagai strategi inward looking,

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. KAWASAN HUTAN/Forest Area (X Ha) APL TOTAL HUTAN TETAP PROPINSI

BPS PROVINSI JAWA BARAT

terhadap impor dalam kelompok perdagangan nonmigas yang meningkat menandakan bahwa peranan migas di dalam ekspor total nasional semakin kecil.

BAB I PENDAHULUAN. banyak kebutuhan lainnya yang menghabiskan biaya tidak sedikit. Guna. sendiri sesuai dengan keahlian masing-masing individu.

BAB 1 PENDAHULUAN. seperti buku, block note, buku hard cover, writing letter pad, dan lainnya. Industri

BAB I PENDAHULUAN. yang disebut perdagangan internasional. Hal ini dilakukan guna memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) diketahui sebagai kekuatan strategis

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAWA BARAT MEI 2016

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Globalisasi yang terjadi beberapa dasawarsa terakhir, mendorong

BPS PROVINSI JAWA BARAT

I. PENDAHULUAN. Ekonomi merupakan salah satu sektor yang memainkan peranan yang sangat

BPS PROVINSI JAWA BARAT

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR SULAWESI TENGAH

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu

I. PENDAHULUAN. Peran ekspor non migas sebagai penggerak roda perekonomian. komoditas perkebunan yang mempunyai peran cukup besar dalam

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR SULAWESI TENGAH

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pasar modal merupakan salah satu alternatif pilihan investasi yang dapat

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang melanda sejak pertengahan tahun menyebabkan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BPS PROVINSI JAWA BARAT

Herdiansyah Eka Putra B

BPS PROVINSI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. tidak ada hambatan. Hal tersebut memberi kemudahan bagi berbagai negara untuk

BAB I PENDAHULUAN. tahun 1999 dan tahun Hal ini ditandai oleh tingkat laju inflasi dan tingkat

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk

I. PENDAHULUAN. Mencermati data laporan Bank Indonesia dari berbagai seri dapat

BPS PROVINSI JAWA BARAT

DAMPAK PRODUKTIVITAS TERHADAP LABA (Studi Kasus pada Perusahaan Tekstil PT. Pismatex di Pekalongan)

I. PENDAHULUAN. diarahkan pada berkembangnya pertanian yang maju, efisien dan tangguh.

LAPORAN LIAISON. Triwulan I Konsumsi rumah tangga pada triwulan I-2015 diperkirakan masih tumbuh

BERITA RESMI STATISTIK

BAB I PENDAHULUAN. yang memerlukan komponen yang terbuat dari karet seperti ban kendaraan, sabuk

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EKSPOR TEKSTIL INDONESIA TAHUN

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. nasional. Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat rata-rata penyerapan tenaga

I. PENDAHULUAN. Industri tekstil bukanlah merupakan sebuah hal baru dalam sektor

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAWA BARAT OKTOBER 2015

BAB 3 KONDISI PERDAGANGAN LUAR-NEGERI INDONESIA DENGAN KAWASAN ASEAN

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012

I. PENDAHULUAN. terhadap dunia investasi di Indonesia. Di samping itu, pemerintah juga. internasional adalah Cina dan Mexico (Deperindag, 2002).

I. PENDAHULUAN. ditujukan kepada pengembangan industri yang berbasis pertanian dan

BAB I PENDAHULUAN. jenis tanaman yang banyak dimanfaatkan sebagai bumbu dapur atau juga diolah

I. PENDAHULUAN. secara umum oleh tingkat laju pertumbuhan ekonominya. Mankiw (2003)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

EKSPOR DAN IMPOR DKI JAKARTA

EKSPOR DAN IMPOR DKI JAKARTA

BPS PROVINSI JAWA BARAT A. PERKEMBANGAN EKSPOR EKSPOR MARET 2015 MENCAPAI US$ 2,23 MILYAR

BPS PROVINSI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB IV GAMBARAN UMUM PERDAGANGAN INDONESIA KE ASEAN PLUS THREE

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Sebagai negara yang menganut sistem perekonomian terbuka,

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

INDIKATOR AKTIVITAS EKONOMI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang melanda Amerika Serikat telah memberikan dampaknya ke

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR SULAWESI TENGAH

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN. (bisnis) di bidang pertanian (dalam arti luas) dan bidang-bidang yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. Pada era perdagangan bebas saat ini, batasan-batasan perdagangan menjadi

PROVINSI JAWA BARAT MARET 2017

BPS PROVINSI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang

Dalam memasuki millennium ke-tiga, bangsa lndonesia dihadapkan. pada tantangan sekaligus peluang untuk menjadi bangsa yang maju,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Industri tekstil merupakan salah satu industri yang berkembang cukup pesat di Indonesia. Sampai dengan tahun 1998, jumlah industri TPT di Indonesia mencapai 2.581 unit yang tersebar diberbagai wilayah di Pulau Jawa, Bali dan Sulawesi. Jumlah yang terbanyak berada di Jawa Barat yaitu 1.448 unit atau 56,10% dari total industri yang ada dan sisanya tersebar di DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, DI Yogyakarta, Bali dan Sulawesi. Sejalan dengan pertumbuhan jumlah industri tekstil, kapasitas produksi juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 1997 kapasitas terpasang hanya 3.730 ribu ton per tahun, sementara pada tahun 1998 meningkat menjadi 5.427 ribu ton per tahun atau terjadi kenaikan rata-rata sebesar 11,37% per tahun. Kenaikan kapasitas terpasang tersebut juga diikuti oleh kenaikan produksi. Pada tahun 1994 sebesar produksi sebesar 3.141 ribu ton dan pada tahun 1998 sebesar 4.429 ribu ton, atau hanya sebesar 10,32%. Hal ini berarti kenaikan produksi pada periode yang sama jauh lebih rendah dibanding kenaikan kapasitas produksi. Akibatnya adalah pemanfaatan kapasitas produksi mengalami penurunan dari 84,27% menjadi 81,61%.

6,000.000 5,000.000 Volume (ton'000) 4,000.000 3,000.000 2,000.000 1,000.000 3,730.046 3,140.640 4,170.268 3,353.609 4,695.285 3,767.275 5,010.484 3,926.993 5,426.656 4,428.644 5,527.396 4,665.949 5,726.843 4,765.325 Kapasitas Produksi 0.000 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 Periode (Th) Keterangan : Kapasitas produksi tekstil Sumber : Biro Pusat Statistik, tahun 2002 Gambar 1. Grafik pertumbuhan kapasitas produksi industri tekstil nasional. Kontribusi industri tekstil dalam perekonomian nasional dan pendapatan devisa nasional cukup besar. Dalam 10 tahun terakhir bahkan setelah terjadinya krisis ekonomi tahun 1997, komoditas tekstil dan industri tekstil merupakan salah satu penyumbang devisa terbesar dari ekspor non migas. Ketika beberapa sektor industri di Indonesia menderita akibat menurunnya nilai tukar rupiah pada tahun 1998 dan 1999, industri tekstil ternyata mengalami pertumbuhan produk tekstil untuk pasar ekspor serta pertumbuhan impor bahan baku kapas. Pada tahun 1999 misalnya total devisa yang dihasilkan komoditas ini mencapai US$ 7,28 milyar atau 18,4% dari total ekspor non migas nasional. Sementara pada tahun 2000 meningkat menjadi US$ 8,38 milyar atau 16,7% dari total ekspor non migas Selanjutnya perkembangan kontribusi nilai ekspor tekstil dan produk tekstil Indonesia selama terjadinya krisis ekonomi dapat dilihat pada grafik berikut : 2

Nilai (US$ milyar) 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 8.38 7.31 7.43 7.28 7.68 6.6 6.96 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 Periode Tahun Keterangan : Nilai ekspor tekstil (dalam milyar US Dollar) Sumber : Biro Pusat Statistik, tahun 2002 Gambar 2. Grafik perkembangan ekspor tekstil sejak tahun 1997 sampai tahun 2002. Meskipun produk tekstil Indonesia tergolong sarat dengan kandungan impor, namun jumlah devisa bersih yang diraihnya tergolong tinggi. Surplus perdagangan luar negeri produk tekstil melebihi nilai ekspor produk plywood yang tergolong resources based industry. Hal ini menunjukkan bahwa industri tekstil berperan penting dalam pergerakan roda perekonomian nasional. Surplus perdagangan luar negeri Indonesia dari produk tekstil menunjukkan perkembangan dari tahun ke tahun, yaitu US$ 5,07 milyar pada tahun 1997; US$ 5,40 milyar pada tahun 1998; US$ 5,54 milyar pada tahun 1999; dan pada tahun 2000 diperkirakan sebesar US$ 6,3 milyar. Grafik perkembangan surplus perdagangan luar negeri dari komditas tekstil dan produk tesktil dapat dilihat pada gambar 3 berikut. 3

7.000 Nilai (US$ milyar) 6.000 5.000 4.000 3.000 2.000 1.000 0.000 5.070 5.400 5.540 6.300 1997 1998 1999 2000 Periode (Tahun) Keterangan : Surplus perdagangan luar negeri dari produk tekstil (dalam US dollar) Sumber : Kompas edisi tanggal 10-01-2001 Gambar 3. Grafik perkembangan surplus perdagangan luar negeri Memasuki tahun 2001 industri tekstil Indonesia mulai memasuki masamasa yang sulit. Penjualan menunjukkan kecenderungan penurunan termasuk penjualan ekspor sebagaimana tampak pada gambar 2 di atas. Terdapat sejumlah tantangan dan kendala harus dihadapi baik dari luar negeri maupun dari dalam negeri. Tantangan dari luar negeri yaitu semakin ketatnya persaiangan di pasar tekstil dunia yang ditandai dengan munculnya pesaing-pesaing baru dari Bangladesh, Vietnam, Cina, Srilanka dan Mexico. Tantangan lainnya adalah lesunya perekonomian dunia khususnya negara-negara maju yang selama ini merupakan pasar dominan seperti Amrika Serikat dan Jepang yang mengakibatkan turunya permintaan tekstil di pasar internasional yang juga berdampak pada penurunan harga. Sementara hambatan didalam negeri adalah adanya sejumlah persoalan yang tidak kunjung selesai seperti instabilitas politik dan keamanan, biaya produksi yang meningkat sehubungan dengan naiknya Bahan Bakar Minyak, Tarif Dasar Listrik dan Upah Minimum Propisi yang berdampak pada kenaikan harga jual serta kondisi mesin-mesin produksi yang 4

sudah tua yang berdampak pada kwalitas produk dan tingkat efisiensi yang rendah. Permasalahan-permasalahan yang ada tampak menjadi cukup lazim didengar, namun tidak dapat dibiarkan begitu saja. Manajemen harus berupaya untuk mengatasinya jika tidak ingin perusahaannya berlarut-larut dalam permasalahan tersebut, khususnya dalam harapan membaiknya perekonomian dunia dan adanya gambaran prospek industri tekstil yang masih cukup cerah. Peluang yang ada diantaranya adalah rencana AFTA tahun 2003, rencana penghapusan sistem kuota dan non kuota tekstil dan produk tekstil tahun 2005, serta peningkatan kontribusi tekstil dan produk tekstil Indonesia dari kuota pasar tekstil dunia yang mencapai US$ 350 milyar per tahun. Persiapan yang harus dilakukan untuk meraih peluang tersebut diantaranya adalah peningkatan kualitas melalui inovasi produk, serta penerapan harga jual yang kompetitif. Peluang yang masih cukup potensial bagi produk tekstil di Indonesia adalah pasar non kuota di kawasan Timur Tengah, Afrika, serta Asia Timur (Jepang dan Hongkong). Hingga Oktober 2000, utilisasi kuota TPT Indonesia baru mencapai 65% dan nilai ekspor tekstil Indonesia hanya 2,39% dari nilai kuota dunia yang sebesar US$ 350 milyar per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kuota yang belum dimanfaatkan masih cukup besar. Selama ini ekspor tekstil dan produk tekstil Indonesia didominasi dengan memanfaatkan ekspor non kuota. Jika dibagi ke dalam kuota dan nonkuota, perkembangan ekspor tekstil dan produk tekstil Indonesia dapat dilihat pada tabel 1 berikut : 5

Tabel 1. Perkembangan ekspor Tekstil dan Produk Tekstil atas dasar kuota dan non Kuota Tahun Kuota TPT (US$ Milyar) Non Kuota TPT (US$ Milyar) Total (US$ Milyar) 1997 3,39 3,88 7,27 1998 2,59 4,81 7,40 1999 3,10 4,20 7,30 2000) 3,58 4,37 7,95 Sumber : Biro Pusat Statistik, tahun 2002 Hambatan yang dihadapi oleh produsen tekstil dan produk tekstil di Indonesia terdiri dari hambatan internal dan eksternal. Dari sisi internal yaitu (1) situasi politik dan sosial ekonomi yang sangat fluktuatif (labil) di Indonesia menyebabkan melemahnya sejumlah indikator-indikator makro ekonomi seperti melemahnya nilai Rupiah, (2) kenaikan tarif dasar listrik pada tahun 2000 yang mencapai 10% untuk industri, serta kenaikan upah minimum regional (UMR) yang terjadi sebanyak 3 kali pada tahun 2000 sesuai dekrit Menteri Tenaga Kerja No. 150/MEN/2000 dan (3) kekhawatiran dari pelaku bisnis terhadap pelaksanaan dan interpretasi otonomi daerah, dimana daerah akan dipacu untuk meningkatkan pendapatan asli/murni daerah dengan mengorbankan pelaku bisnis. Sedangkan kelemahan eksternal adalah turunnya harga kuota tekstil dan produk tekstil Indonesia sejak triwulan-3 tahun 2000. Jika menurunnya harga kuota tekstil dan produk tekstil Indonesia terus berkelanjutan, maka dikhawatirkan dapat menyebabkan penerimaan negara dari ekspor tekstil dan produk tekstil akan menurun pada tahun-tahun berikutnya. Permasalahan lain yang dihadapi dalam pengembangan industri tekstil Indonesia saat ini adalah tersendatnya peremajaan mesin akibat keterbatasan modal. Sebagian besar mesin produksi pada pabrik tekstil di Indonesia memiliki 6

mesin yang tergolong tua dengan tingkat efisiensi yang rendah. Permasalahan ini bertambah berat dengan melemahnya nilai Rupiah, yang tidak saja memperlemah kemampuan keuangan perusahaan, tetapi juga mengganggu cash flow perusahaan. PT. KLM merupakan salah satu perusahaan yang bergerak dibidang industri tekstil penghasil grey dan kain jadi dengan orientasi ekspor yang berlokasi di Jawa Barat dimana porsi ekspor mencapai 40%. Kondisi yang dihadapi oleh PT. KLM tidak jauh berbeda dengan gambaran industri tekstil pada umumnya dengan sejumlah permasalahan-permasalahan sebagaimana disebutkan di atas. PT. KLM juga mengalami penurunan omzet penjualan sejak tahun 2000 hingga data terakhir tahun 2002. Perkembangan omzet penjualan, biaya dan laba operasional sejak tahun 1998 sampai tahun 2002 sesuai dengan laporan keuangannya dan perkembangan jumlah produksi dalam unit (meter) dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 2. Perkembangan penjualan dan laba usaha PT. KLM, Tahun 1998 s/d 2002 Th 1998 (Rp juta) Th 1999 (Rp juta) Th 2000 (Rp juta) Th 2001 (Rp juta) Th 2002 (Rp juta) Penjualan 710.247 544.888 442.560 405.321 316.992 HPP 463.071 388.045 362.959 294.730 229.860 By Penjualan,Umum&Adm 73.299 58.270 45.585 47.008 45.323 Laba Operasional 196.422 119.156 55.541 86.073 63.480 Sumber : PT. KLM, tahun 2002 Tabel 3. Perkembangan produksi Grey dan Kain Jadi PT. KLM. Tahun 2000 s/d 2002 Th 2000 (meter) Th 2001 (meter) Th 2002 (meter) Grey 69.483.778 67.078.541 56.474.530 Kain Jadi 23.386.962 14.270.887 39.023.426 7

Sumber : PT. KLM, tahun 2002 Dari data keuangan pada tabel 2 diatas dapat dilihat bahwa terjadi kenaikan biaya produksi sejak tahun 1998 hingga tahun 2000 rata-rata 8.40%. Kemudian pada tahun 2001 terdapat sedikit penurunan namun kemudian pada tahun 2002 kembali naik sebesar 2,5% dibanding dengan tahun 2001. Jika dilihat dari kondisi dan prospek pasar industri tekstil sebagaimana diuraikan diatas maka perusahaan masih dapat tumbuh dan berkembang karena masih cukup besar peluang dan pangsa pasar yang dapat diraih. Namun dalam kondisi yang tingkat persaingan yang semakin kompetitif serta untuk lebih antisipatif dalam mencapai sasaran utama perusahaan yaitu perolehan laba maka PT KLM harus mampu melakukan analisis terhadap biaya dan pengendalian biaya produksi. Tujuannya adalah untuk dapat menghitung jumlah penjualan yang harus dicapai sehingga dapat dilakukan perkiraan laba pada tingkat produksi dan penjualan tertentu dimasa mendatang dan perusahaan dapat memperoleh laba yang optimal. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan analisis biaya volume laba atau Cost Volume Profit Analysis. Dengan cara ini dapat dianalisa perilaku dari biaya total, pendapatan total dan laba operasi sebagai akibat perubahan yang terjadi dalam tingkat keluaran, biaya variabel atau biaya tetap. Volume mengacu kepada pemacu berkaitan dengan keluaran seperti unit yang diproduksi atau unit yang dijual. Analisis biaya kapasitas laba akan dapat memberikan gambaran mengenai skala usaha dari suatu jenis usaha. Selain itu analisis tersebut juga dapat membantu dalam proses pengambilan keputusan dan 8

dapat dimanfaatkan sebagai dasar untuk memahami hubungan yang lebih kompleks. 1.2. Identifikasi Masalah Adanya kecenderungan penurunan penjualan selama beberapa periode terakhir yang disebabkan oleh berbagai faktor menyebabkan manajemen perlu mengetahui jumlah penjualan minimal yang harus dicapai agar tidak terjadi kerugian dan bagaimana pengaruh jumlah unit yang dijual terhadap perolehan laba serta bagaimana prospek penjualan dimasa mendatang. 1..3. Perumusan Masalah Dengan memperhatikan latar belakang yang mendasari penulisan ini, maka untuk mengetahui hubungan antara biaya baik biaya tetap maupun biaya variabel, volume penualan dan laba yang diperoleh perusahaan maka digunakanlah alat analisis biaya kapasitas laba atau Cost Volume Profit Analysis. Lebih jauh lagi dengan analisis CVP yang menjadi pokok masalah adalah : a. Bagaimana perilaku biaya produksi dan operasi perusahaan. b. Berapa volume penjualan yang harus dicapai baik dalam unit maupun dalam rupiah agar perusahaan dapat mencapai titik impas atau agar perusahaan dapat mencapai suatu target laba tertentu. c. Seberapa besar tingkat sensivitas perubahan pendapatan penjualan terhadap laba operasi pada tingkat penjualan tertentu dan seberapa besar toleransi penurunan pendapatan penjualan agar perusahaan masih dalam kondisi dalam titik impas. 9

d. Apakah kapasitas produksi yang ada masih memadai dibandingkan dengan kondisi break even yang harus dicapai. 1.4. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Mengetahui model perilaku biaya untuk setiap kegiatan sehingga dapat digunakan manajemen disetiap unit produksi. b. Menganalisis titik impas perusahaan dan perubahan titik impas akibat kenaikan biaya. c. Menganalisis batas batas aman penurunan penjualan dan pengaruh peningkatan penjualan terhadap laba. d. Menganalisis ekses kapasitas produksi. 10

UNTUK SELENGKAPNYA TERSEDIA DI PERPUSTAKAAN MB IPB 11