BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peran strategis Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah sebagai lembaga perwakilan yang mempunyai kewenangan merancang, merumuskan dan mengesahkan Undang-undang. Pada prinsipnya ditetapkannya kekuasaan membentuk Undang-Undang dari DPR merupakan wewenang atribusi yang diberikan oleh Pasal 21 UUD 1945 1, yang sebelumnya dipegang oleh Presiden (Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 lama) 2. Akibatnya beban untuk membentuk Undang- Undang yang diwujudkan dalam fungsi legislasi DPR menjadi tanggung jawab sepenuhnya DPR. Dengan kata lain perubahan UUD 1945 telah mendudukkan posisi DPR sebagai lembaga utama pembentuk Undang-Undang. DPR merupakan salah satu manifestasi dari prinsip kedaulatan rakyat. Rakyat melalui wakilwakilnya di lembaga ini membuat hukum dan kebijakan yang akan dilaksanakan oleh pemerintah sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif. DPRD berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD adalah mitra sejajar dengan pemerintah daerah. DPRD dalam melaksanakan tugasnya, dibekali dengan` tiga fungsi, yaitu fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Fungsi legislasi adalah suatu proses untuk mengakomodasi berbagai kepentingan para pihak pemangku kepentingan (stakeholders), untuk menetapkan bagaimana pembangunan di daerah akan 1 UUD 1945 Pasal 21 Anggota DPR berhak mengajukan usul rancangan UU. 2 UUD 1945 Pasal 5 ayat (1) Presiden berhak mengajukan rancangan UU kepada DPR. 1
dilaksanakan. Fungsi legislasi mempunyai arti yang sangat penting untuk menciptakan keadaan masyarakat yang diinginkan maupun sebagai pencipta keadilan sosial bagi masyarakat. Fungsi penganggaran DPRD merupakan penyusunan dan penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bersama-sama pemerintah daerah. Fungsi penganggaran mempunyai peranan yang sangat penting dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat dan meningkatkan daya saing. Fungsi pengawasan DPRD adalah pengawasan politik dan kebijakan yang bertujuan untuk memelihara akuntabilitas publik, terutama lembaga-lembaga yang berkaitan langsung dengan pelaksanaan kebijakan dan program pemerintahan serta pembangunan di daerah. (Wasistiono dan Wiyoso, 2009). Penempatan fungsi Legislasi yang pertama memang sangat memberi arti bahwa fungsi Legislasi merupakan fungsi yang sangat penting karena fungsi Legislasi merupakan fungsi yang dibuat untuk mengoperasionalkan fungsi-fungsi lainnya yaitu fungsi penganggaran dan fungsi pengawasan. Fungsi Legislasi sangat berpengaruh terhadap keseluruhan kinerja DPRD. Dewan Perwakilan Rakyat sangat diperbincangkan selama ini. Banyak fenomena yang terjadi di lembaga legislatif sehingga kinerja belum maksimal baik di DPR Pusat maupun di DPR tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Hampir setiap hari media massa menyajikan perihal tentang buruknya kinerja, perilaku bahkan aturan-aturan yang dijalankan oleh anggota DPR. Banyak prilaku-prilaku yang menyimpang dilakukan oleh DPR sehingga citra buruk melekat pada lembaga tersebut. Kondisi lembaga Legislatif baik di pusat maupun di daerah saat ini sedang menghadapi 2
banyak masalah. Mulai dari tiga fungsi lembaga yakni legislasi yang tidak tepat sesuai kebutuhan masyarakat, pengawasan, penganggaran yang kurang maksimal. Eksistensi lembaga DPRD di era otonomi daerah berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 diharapkan dapat menyeimbangkan kekuatan terhadap pihak eksekutif daerah dengan cara menjalankan tiga fungsinya secara optimal, yakni fungsi perwakilan, fungsi legislasi dan fungsi pengawasan. Dalam tataran empirik ketiga fungsi tersebut belum berjalan secara maksimal karena terkendala oleh berbagai faktor misalnya kemampuan Sumber Daya Manusia dan maupun pengatutan kelembagaan secara internal DPRD. Menurut Pasal 1 butir keempat UU Nomor 32 Tahun 2004 bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Pasal tersebut menunjukkan bahwa DPRD mempunyai kedudukan yakni sebagai wakil rakyat dan sebagai unsur penyelanggara pemerintahan daerah. Kedua kedudukan tersebut dalam prakteknya mempersulit posisi anggota DPRD. (Wasistiono, Wiyoso, 2009:43). Selain itu, DPRD hampir selalu dijadikan obyek atau bahkan dapat dikatakan diproyekkan karena kapasitas dan kapabilitas anggota-anggota DPRD untuk melaksanakan fungsi-fungi dan tugas-tugasnya belum menjadi dasar dalam evaluasi kelembagaan dan pengembangan program. (Agung Susanta 2004:13) Menurut Sudi Prayitno, salah satu persoalan serius yang menjadi catatan khusus Departemen Dalam Negeri terhadap kinerja pemerintah daerah dewasa ini adalah masih banyaknya produk-produk hukum daerah berupa peraturan daerah (perda) yang bermasalah. Sejak tahun 2008, Depdagri setidaknya telah 3
membatalkan 973 dari 3.000 perda bermasalah, sedangkan 250 lainnya dalam proses pembatalan (Kompas, 16/07/2008). Pada tahun yang sama, Depdagri sempat menyatakan bahwa separoh dari perda yang ada di Indonesia bermasalah (Media Indonesia, 16/07/2008). Bahkan, pada saat ini, tepat setahun usia pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono, masih terdapat ribuan perda yang tumpang tindih (Kompas, 20/10/2010). Sebagai produk daerah, perda yang bermasalah tentu bukan hanya menjadi tanggung jawab eksekutif (kepala daerah) untuk merevisi dan/atau menggantinya, tetapi juga legislatif (anggota DPRD). Persoalan menjadi makin rumit bila tanggung jawab tersebut hanya dibebankan ke pundak kepala daerah saja, sementara para legislator seolah hanya sebagai tukang ketok palu tanda menyetujui rancangan perda yang diajukan kepala daerah. Padahal, sebagai legislator yang berfungsi legislasi, anggota DPRD juga memiliki tanggung jawab lain yang jauh lebih strategis, yaitu sebagai pemrakarsa pembuatan perda. Kendala-kendala dalam fungsi legislasi itu sendiri dapat juga terlihat dari instrumen untuk menghasilkan produk Legislasi yaitu yang dirancang dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang ada di Pemerintah Pusat yaitu DPR- RI dan Presiden. Permasalahannya yaitu masih lemahnya tingkat kordinasi lintas atau antarkelembagaan terkait; lemahnya parameter yang digunakan untuk menentukan Rancangan Undang Undang (RUU) yang akan dimasukkan dalam Prolegnas. Tidak ada persyaratan yang ketat terutama menyangkut identifikasi permasalahan yang akan diatur baik dari aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis; masih lemahnya komitmen terhadap Prolegnas sebagai satu-satunya instrumen 4
perencanaan peraturan perundang-undangan. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya RUU yang masuk diluar Prolegnas. Komitmen terhadap Prolegnas sebagai satu-satunya instrumen perencanaan peraturan perundang-undangan, belum sepenuhnya ditaati baik oleh pemerintah maupun DPR, sehingga masih sering terjadi masuknya RUU yang sebelumnya tidak tercantum dalam daftar, menjadi RUU yang diagendakan untuk dibahas di DPR; lemahnya rasionalisasi pen-target-an RUU yang masuk dalam Prolegnas dengan penyesuaian pembahasan RUU (pengesahan UU). Hal ini dapat dilihat dari tahun ke tahun, DPR tidak memenuhi target penyelesaian UU sebagaiman yang diamanatkan dalam Prolegnas; masih kurang/lemahnya inventarisasi, sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang berlaku mengakibatkan terjadinya overlapping pengaturan bahkan dimungkinkan terjadinya pertentangan diametral antar peraturan perundang-undangan yang berlaku; masih lemahnya diseminasi peraturan perundang-undangan untuk membuka akses dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang; kurangnya sosialisasi produk perundang-undangan yang terbentuk dan yang telah diundangkan; mekanisme pembahasan RUU di lingkungan DPR membutuhkan waktu yang panjang, karena keharusan adanya Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) lebih dulu yang menjadi landasan pembahasan RUU. Kondisi kinerja DPRD dalam fungsi legislasi dapat dilihat dari inisiatif menghasilkan PerDa yang sangat terbatas. Hal ini terjadi karena beberapa sebab. Pertama, perhatian yang jauh lebih besar terhadap isu-isu politis dan ekonomi telah menjadikan alat kelengkapan DPRD memprioritaskan PerDa tentang APDB 5
dan pengawasan terhadap program-program pembangunan. Kedua, para anggota mempunyai pengalaman dan kemampuan relatif terbatas dalam menyususn rancangan PerDa. Ketiga, PemDa mempunyai kemampuan dan kebutuhan untuk merumuskan PerDa yang dapat endukung pelaksanaan pemerintahan, terutama yang berkaitan dengan peningkatan pendapatan daerah dan pelaksanaan program pembangunan. Keempat, input dari aspirasi masyarakat pada umumnya bersifat protes terhadap kebijakan teknis, sehingga tidak dapat menjadi masukan perumusan rancangan PerDa. Kelima, karena banyaknya PerDa yang telah dirumuskan sebelumnya, anggota DPRD tidak dapat mengidentifikasi kebutuhan baru. Keenam, banyak PerDa yang telah dihasilkan ternyata dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang diatasnya. Akibatnya, DPRD menunggu sampai PerDa yang dinilai tidak sesuai dengan kebijakan nasional tersebut diselesaikan. Ketujuh, penguasaan terhadap sistem hukum dan perundang-undangan pun diakui relatif terbatas. (Agung Susanta, 2004:117) Fenomena-fenomena tersebut terjadi di DPR Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Peneliti melihat terjadinya hal yang sama di DPRK (Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten) Bireuen yang saat ini lemah dalam menjalankan fungsi legislasinya. Fungsi legislasi yang dilakukan oleh DPRK Bireuen belum mencapai target sesuai yang direncanakan atau dituangkan dalam Program Legislasi Daerah (PROLEGDA). Adanya pengesahan Rancangan Qanun 3 3 Qanun adalah Peraturan Perundang-undangan sejenis Peraturan Daerah yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat di Provinsi Aceh. Qanun terdiri atas: Qanun Aceh, yang berlaku di seluruh wilayah Provinsi Aceh. Qanun Aceh disahkan oleh Gubernur setelah mendapat persetujuan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.Qanun Kabupaten/Kota, yang berlaku di kabupaten/kota tersebut. Qanun kabupaten/kota disahkan oleh bupati/wali kota 6
(RaQan) diluar target yang ditentukan dan masih banyak terdapat RaQan yang disahkan diluar PROLEGDA itu sendiri serta RaQan yang diajukan atau dirancang oleh DPRK Bireuen juga masih minim, masih didominasi oleh pihak Eksekutif. Adapun perihal tersebut dapat dilihat pada tabel sebagai berikut : Tabel. 1 Jumlah Rancangan Qanun sesuai PROLEGDA dan Jumlah Qanun Yang Disahkan Tahun 2010-2013 Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 Total Rancangan Qanun Usulan Pihak Eksekutif 30 23 16 8 10 85 Rancangan Qanun Inisiatif DPRK Bireuen 0 2 5 2 0 9 Jumlah Qanun Yang Disahkan 24 14 11 17 0 66 Sumber : Sekretariat DPRK Bireuen (diolah peneliti) Berdasarkan tabel 1 tersebut, dapat dilihat bahwa DPR Kabupaten Bireuen bersama dengan Pihak Eksekutif baru mensahkan Rancangan Qanun sebanyak 66 Qanun atau 70,21% (sudah tergabung jumlah Rancangan Qanun yang disahkan diluar PROLEGDA yaitu 15 qanun (15,95%) sedangkan berdasarkan PROLEGDA yaitu 54,26% hanya 51 Qanun sesuai PROLEGDA 2010-2013). Dapat dilihat juga kecepatan rata-rata empat tahun pertama untuk pengesahan Rancangan Qanun yaitu 16 Qanun per tahun. Namun dari target 94 Rancangan Qanun yang tertuang dalam PROLEGDA 2010-2014 seharusnya pengesahan Qanun per tahun adalah 18 atau 19 Rancangan Qanun. Hal ini menunjukkan kecepatan yang fluktuatif. Kecepatan sangat penting dalam proses legislasi untuk melihat proses pembahasan atau waktu yang digunakan dari awal usulan setelah mendapat persetujuan bersama dengan DPRK (Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten atau Dewan Perwakilan Rakyat Kota). 7
perancangan Qanun sampai dengan pengesahan Rancangan Qanun. Selain dari produktivitas dan kecepatan, kualitas dari Qanun yang disahkan DPR dapat dilihat dari muatan isi Qanun-qanun tersebut yang semestinya lebih banyak berpihak kepada kepentingan masyarakat luas. Peneliti hanya meneliti fungsi Legislasi di DPR Kabupaten Bireuen karena menurut peneliti fungsi Legislasi merupakan fungsi utama untuk dapat menjalankan dan mengoperasionalkan fungsi-fungsi lainnya yaitu penganggaran dan pengawasan. Dalam hal ini peneliti juga tertarik meneliti fungsi Legislasi di DPR Kabupaten Bireuen karena sekian banyak Rancangan Qanun yang dirumuskan yaitu berjumlah 94 Rancangan Qanun sesuai Tabel 1, hanya terdapat 9 Rancangan Qanun yang diusulkan oleh DPRK Bireuen, selebihnya 85 Rancangan Qanun adalah usulah pihak Eksekutif Pemda Bireuen. Jadi jelas terlihat bahwa DPR Kabupaten Bireuen merupakan lembaga stempel yang hanya mengesahkan produk Legislasi yang diusulkan oleh Eksekutif. 1.2 Perumusan Masalah Belum maksimalnya produktivitas Qanun yang dihasilkan oleh DPRK Bireuen, secara umum akan memberikan dampak bagi masyarakat, dan secara khusus memberikan efek yang buruk terhadap kinerja DPRK Bireuen dalam menjalankan fungsi Legislasi. Permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah : Mengapa kinerja DPR Kabupaten Bireuen rendah dalam pelaksanaan fungsi Legislasi?. 8
1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui, mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya kinerja DPR Kabupaten Bireuen dalam pelaksanaan fungsi Legislasi. 1.4 Manfaat Penelitian 1. Melalui penelitian ini, diharapkan adanya gambaran mengenai kinerja dan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja DPRK Bireuen dalam menjalankan fungsi Legislasi. 2. Memberikan masukan bagi DPRK Bireuen dalam upaya peningkatan fungsi Legislasi untuk merancang dan merumuskan kebijakan atau Rancangan-rancangan Qanun Kabupaten Bireuen. 3. Bagi peneliti, akan memperoleh pemahaman yang mendalam mengenai pelaksanaan fungsi Legislasi yang dilaksanakan oleh DPRK Bireuen. 4. Hasil yang diperoleh dari penelitian dapat dikembangkan dan disempurnakan kembali supaya menjadi sumber ilmu dan pengetahuan baru oleh para mahasiswa pada umumnya, dan mahasiswa MAP pada khususnya. 9