BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada tahun 2010, Indonesia yang memiliki populasi 237 juta jiwa (www.bps.go.id) menjadikannya sebagai negara terbesar ke empat di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat. Selain itu, Indonesia yang terletak di garis khatulistiwa juga merupakan sebuah negara yang memiliki 17.508 pulau dan menjadikannya sebagai negara kepulauan terbesar di dunia (www.indonesia.go.id). Dengan kondisi geografis yang seperti ini, maka penduduk Indonesia membutuhkan sarana transportasi yang memadai. Beberapa dasawarsa lalu, untuk bepergian antar pulau, transportasi utama masyarakat Indonesia adalah kapal laut. Hal ini dapat dipahami, mengingat rendahnya kondisi ekonomi masyarakat Indonesia pada saat itu, sehingga tidak mampu untuk membeli tiket pesawat yang harganya jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan kapal laut. Hanyalah orang-orang yang memiliki uang berlebih atau pejabat negara yang mampu menggunakan pesawat terbang. Mahalnya menggunakan pesawat terbang dikarenakan mahalnya biaya perawatan dan biaya operasi pesawat, serta betapa kompleksnya proses sebuah pesawat untuk terbang dari suatu bandara ke bandara lainnya. Sebuah pesawat diharuskan membayar biaya airport tax yang dihitung berdasarkan lamanya pesawat 1
2 tersebut singgah di suatu bandara. Selain itu, untuk mengurus proses ticketing, tiaptiap maskapai diharuskan menyewa sebuah tempat dalam terminal bandara. Kemudian sebuah pesawat juga diharuskan melalui bermacam-macam cek mulai dari cek secara visual sampai dengan menggunakan peralatan khusus agar mendapatkan izin mengudara. Di luar biaya itupun masih ada biaya perawatan pesawat, biaya aftur, gaji karyawan, sistem ticketing, dan biaya entertainment ketika berada di dalam kabin pesawat. Sejak krisis moneter yang melanda negara Indonesia pada tahun 1998, masyarakat Indonesia semakin peduli terhadap nilai uang yang dikeluarkan. Tanpa mengeluarkan uang yang relative banyak, mereka ingin mendapatkan kualitas barang atau jasa yang baik. Konsumen yang sensitif terhadap harga, sumber kepuasan mereka adalah harga murah. Sedangkan bagi konsumen yang tidak sensitif, harga murah relative tidak penting bagi mereka asalkan bisa mendapatkan pelayanan sesuai yang diharapkan. Seiring berkembangnya zaman, satu dasawarsa belakangan, terutama saat ini, jasa penerbangan melaju pesat. Hampir seluruh lapisan masyarakat mampu bepergian dengan menggunakan pesawat terbang. Sehingga tidak heran, jumlah penumpang pesawat dalam beberapa tahun belakangan terus mengalami peningkatan baik penerbangan dalam negeri maupun penerbangan luar negeri. Peningkatan ini dapat kita lihat pada Gambar 1.1 yang menunjukkan pertumbuhan keberangkatan penumpang penerbangan dalam dan luar negeri di bandara Indonesia tahun 1999 sampai tahun 2009.
3 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 41.6 34.8 36.1 32.6 29.8 27.8 19.2 13.5 7 8.6 10.3 3.9 4.7 4.6 4.7 4.2 5.3 5.7 5.6 6.5 7.2 8 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Jumlah Penumpang Keberangkata n dalam Negeri Jumlah Penumpang Keberangkata n Luar Negeri Keterangan: Jumlah penumpang dalam juta Sumber: www.bps.go.id Gambar 1.1 Pertumbuhan Keberangkatan Penumpang Penerbangan dalam dan luar Negeri di Bandara Indonesia Tahun 1999-2009 Menurut Manurung (2010), deregulasi penerbangan di Indonesia dimulai sejak tahun 1999 dengan memberikan kemudahan bagi perusahaan penerbangan baru (new entrants) untuk memperoleh izin penerbangan. Dampak dari regulasi ini adalah persaingan yang tinggi. Sebelumnya, hanya tujuh perusahaan yang mengisi lalu lintas penerbangan dalam negeri, yaitu Garuda Indonesia, Merpati, Mandala, Bouraq, Bayu, Sempati, dan Pelita. Namun sejak tahun 2000 kian bertambah dengan pesat. Dan kini di tahun 2011, menurut data dari Dirjen Perhubungan Udara Departemen Perhubungan, tercatat ada 20 maskapai penerbangan niaga berjadwal dan 33 maskapai penerbangan niaga tidak berjadwal di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh kebijakan deregulasi penerbangan yang telah membebaskan tarif batas bawah penerbangan,
4 sehingga bermunculah perusahaan maskapai penerbangan yang memasang tarif yang jauh lebih murah, yang juga memicu adanya perang tarif dalam jasa udara yang mendorong terjadinya pertumbuhan penumpang udara secara drastis. Dalam menarik dan menciptakan kepuasan konsumen, masing-masing perusahaan maskapai perbangan tersebut memiliki metode atau cara yang berbedabeda. Ada yang menonjolkan keamanan dan kenyamanannya, ada yang menonjolkan pelayanan dan keramahan pegawainya, ada juga yang menonjolkan harga tiket yang murah, dan berbagai macam cara lainnya. Dengan cara tersebut, konsumen dapat memilih maskapai penerbangan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Strategi yang digunakan untuk memenangkan persaingan, Manurung (2010) mengatakan dalam bukunya bahwa ada 3 model bisnis, yaitu model Full Service Airlines (FSA) atau yang kita kenal dengan penerbangan tradisional, model layanan Low Fare Airlines (LFA), dan model layanan campuran antar-keduanya (full service airlines dan low fare airlines). Istilah model bisnis penerbangan Low Fare Airlines merupakan istilah untuk maskapai yang mengurangi pelayanan di dalam pesawat, perjalanan dari poin ke poin, pemanfaatan pesawat yang tinggi, hanya memiliki satu tipe pesawat, meminimalisir reservasi tiket dengan teknologi IT, dan para karyawannya melakukan multi role dalam pekerjaannya (Poon & Waring, 2010). Selain itu, Doring (2009) mendefinisikan No-Frills (penerbangan tanpa embel-embel ) atau low fare airlines sebagai tindakan pengoperasian untuk biaya yang lebih rendah. Low fare airlines atau maskapai penerbangan berbiaya rendah adalah sebuah maskapai penerbangan yang umumnya menawarkan tarif rendah dengan
5 menghilangkan beberapa layanan yang dimiliki oleh penerbangan tradisional atau full service airlines. Konsep ini berasal dari Amerika Serikat, lalu menyebar ke Eropa pada awal 1990-an, dan kemudian menyebar ke seluruh dunia. Istilah dalam industry penerbangan ini sebenarnya mengacu pada maskapai penerbangan yang memiliki struktur biaya operasional yang lebih rendah daripada pesaing mereka, tetapi istilah ini sering diterapkan pula untuk semua maskapai dengan harga tiket yang rendah dan layanan terbatas, terlepas dari model operasi mereka (Miller, Vandome, & McBrewster, 2009) Low fare airlines ini pertama kali dirintis oleh maskapai Southwest Airlines pada tahun 1970-an. Perusahaan maskapai ini menampilkan model baru pada industri penerbangan. Inovasi yang dijalankan berorientasi pada low fare airlines. Bentuk pelayanan yang diberikan sangat berbeda dengan full service airlines yang berelaku pada saat itu. Mulai dari rute terbang yang pendek dari poin ke poin, memiliki pesawat dengan tipe yang sama, tidak memiliki nomor tempat duduk, tanpa adanya agen penjualan, dan tidak menyajikan makanan dan minuman yang menjadikan harga menjadi lebih murah (Carpenter dan Sanders, 2007 dalam Manurung, 2010). Maskapai bertarif rendah di Indonesia antara lain adalah Lion Air, Indonesia AirAsia, dan Citilink. PT. Indonesia AirAsia merupakan salah satu maskapai yang menggunakan konsep penerbangan berbiaya rendah (low fare airlines). Indonesia AirAsia membawa konsep penerbangan berbiaya rendah yang sebelumnya telah dikembangkan oleh maskapai penerbangan South West, Amerika atau Ryan Air, Eropa. Melihat kesuksesan mereka, induk perusahaan AirAsia yang berada di
6 Malaysia pun tertarik untuk mengembangkan konsep itu di Indonesia. AirAsia masuk pada 2004 dengan menggandeng maskapai penerbangan Awair (Air Wagon International) yang sedang bermasalah dan berhenti beroperasi. Pada 1 Desember 2005, Awair berganti nama menjadi PT. Indonesia AirAsia dan diluncurkan kembali pada tanggal 8 Desember 2005 sebagai maskapai penerbangan berbiaya rendah dan menggunakan konsep yang sama dengan Grup AirAsia (AirAsia, 2007). Di tengah maraknya maskapai penerbangan yang berlomba-lomba menggunakan harga sebagai faktor kompetitif untuk menarik konsumen, ternyata tidak ditemui pada maskapai penerbangan besar atau maskapai yang berkompetisi pada pelayanan maskapai. Menurut Manurung (2010), konsep full service lebih dikenal dengan model bisnis penerbangan tradisional (legacy carriers). Dalam konsep ini, yang ditekankan adalah layanan yang lengkap dan berkualitas juga dengan harga yang premium. Layanan yang diberikan dilakukan secara menyeluruh, frekuensi penerbangan yang fleksibel, adanya pemberian fasilitas lounge, pemberian makanan dan minuman, tempat duduk yang longgar dengan fasilitas televisi, dan sebagainya. Untuk mendukung layanan yang berkualitas, bandara yang digunakan pun adalah bandar udara utama. Untuk operasional pemasaran masih mengandalkan agen tiket sebagai mitra penjualan. Jumlah tempat duduk dan tiket yang dijual pun sudah diatur. Hal inilah yang menjadikan sistem reservasi dan rute penumpang pada full service sangat kompleks. Agar tercipta desain layanan yang berkualitas dan fleksibel, konsep ini menggunakan jenis pesawat besar atau berbadan lebar, dengan tipe pesawat yang
7 berbeda pula, sehingga utilisasi rata-rata hanya 60% dari maksimum jam penerbangan per hari (Manurung, 2010). Satu-satunya maskapai penerbangan nasional di Indonesia yang menggunakan konsep Full Service Airlines adalah maskapai Garuda Indonesia. Garuda Indonesia sudah memiliki standard internasional dan tetap dengan memberikan layanan penuh bagi para konsumennya, seperti dengan memberikan point reward konsumen, pelayanan makanan di dalam pesawat, dan juga dengan memberikan keamanan yang terbaik agar konsumen dapat terbang dengan perasaan aman dan nyaman. Persepsi masyarakatpun dapat dikatakan positif, sehingga Garuda Indonesia tetap bertahan dengan penerbangan dan harga tiket yang normal. Hal tersebut dapat dilihat dari kenaikan jumlah penumpang setiap tahunnya pada gambar 1.2. Selain itu, pendapatan perusahaan juga naik setiap tahun, walaupun sempat mengalami penurunan pada tahun 2009 yang dapat dilihat pada gambar 1.3. 14 12 10 8 6 4 2 0 12,7 11,1 9,2 9,8 10,4 2006 2007 2008 2009 2010 Jumlah Penumpang Keterangan: Jumlah penumpang dalam juta Sumber: Laporan tahunan Garuda Indonesia, 2010 Gambar 1.2 Jumlah Penumpang Maskapai Garuda Indonesia Tahun 2006-2010
8 20,000,000 18,062,740 18,385,509 15,000,000 13,052,664 16,691,008 10,000,000 11,340,808 5,000,000 Jumlah Pendapatan Usaha Total 0 2006 2007 2008 2009 2010 Keterangan: Jumlah pendapatan dalam juta rupiah Sumber: Laporan tahunan Garuda Indonesia, 2010 Gambar 1.3 Jumlah Pendapatan Usaha Total PT. Garuda Indonesia Tahun 2006-2010 Sampai akhir 2010 lalu, Garuda Indonesia mengoperasikan 89 pesawat yang terdiri dari 3 pesawat jenis Boeing 747-400, 6 pesawat jenis Airbus 330-300, 5 pesawat jenis Airbus 330-200, dan 33 pesawat jenis Boeing 737 Classic (seri 300, 400, 500) dan 42 pesawat Boeing 737-800 NG. Armada pesawat ini terbang ke 36 rute penerbangan domestic dengan rata-rata1.434 kali penerbangan per minggu dan 25 rute internasional dengan 338 kali penerbangan per minggu dengan 12,5 juta penumpang. Perusahaan memiliki 6.273 karyawan, termasuk 537 orang siswa yang tersebar di kantor pusat maupun kantor cabang (Garuda Indonesia, 2010). Pada tahun 2010 lalu, Indonesia AirAsia dan Garuda Indonesia bersaing ketat dalam penerbangan rute internasional. Indonesia AirAsia menguasai hingga 39% dengan penumpang 2.228.029 orang, disusul Garuda Indonesia hingga 38% dengan
9 penumpang 2215.815 orang. Padahal, pada tahun sebelumnya di tahun 2009 Garuda Indonesia berada di tingkat pertama dengan menguasai 44,74% atau 2.210.000 orang (bisniskeuangan.kompas.com, 2011). Dalam hal keselamatan penerbangan, Indonesia masih sangat mengkhawatirkan. Sejak tahun 2005 sampai 2010, tercatat ada 33 kecelakaan penerbangan di Indonesia, dan 1 kecelakaan di tahun 2011. Indonesia mencatat lebih dari 4% kecelakaan penerbangan dunia. Padahal, 1,4% penumpang pada lalu lintas global adalah penumpang Indonesia (bisniskeuangan.kompas.com, 2011). Bahkan, nasional.vivanews.com (2009) menuliskan bahwa pada 26 September 1997, pesawat Garuda Indonesia A-330 yang mengalami kecelakaan di dekat Bandara Polonia Medan tercatat dalam daftar kecelakaan udara terburuk di dunia yang menewaskan 234 penumpang dan awak kabin. Tidak hanya kecelakaan seperti yang disebutkan sebelumnya, Garuda Indonesia juga telah mencatat beberapa kecelakaan lain, sedangkan Indonesia AirAsia sejak masuk ke Indonesia pada tahun 2005 hingga saat ini, belum pernah mencatat adanya kecelakaan penerbangan sekalipun. Padahal, Indonesia AirAsia menggunakan konsep low fare airlines yang cenderung memiliki tingkat keselamatan yang lebih rendah, seperti kompetitor langsungnya, Lion Air yang disebutkan oleh www.kabarbisnis.com (2009), telah mencatat 16 kali kecelakaan dalam kurun waktu 8 tahun (2002-2009). Beberapa penelitian menyebutkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi konsumen dalam mengambil keputusan pembelian tiket pada maskapai dengan model bisnis FSA dan LFA. Hasil survey dan test statistik menunjukkan bahwa
10 harga bukanlah satu-satunya faktor penting dalam menentukan pembelian tiket FSA maupun LFA, tetapi juga kualitas pelayanan dan keamanan. Berdasarkan berbagai keinginan konsumen tersebut dan ketatnya persaingan di industri penerbangan ini, maka perusahaan penerbangan harus dapat memenuhi kebutuhan konsumen untuk memenangkan persaingan dengan kompetitornya. Untuk itu, perusahaan harus dapat mempelajari perilaku kosumen, terutama faktor-faktor yang berhubungan dalam keputusan pembelian tiket. Dalam penelitian ini, peneliti tertarik untuk meneliti faktor-faktor penting yang mempengaruhi pembelian tiket maskapai FSA dan LFA di Indonesia untuk rute penerbangan internasional dengan mengembangkan variabelvariabel yang sudah ada untuk mengevaluasi jumlah penumpang dengan melakukan perubahan pada faktor-faktor yang signifikan. Studi kasus menggunakan maskapai Garuda Indonesia sebagai satu-satunya maskapai dengan konsep FSA di Indonesia dan maskapai Indonesia AirAsia sebagai maskapai yang menggunakan konsep low fare airlines, yang juga telah mampu menyaingi Garuda Indonesia dalam penerbangan rute internasional. Atas dasar latar belakang tersebut, maka dalam penelitian ini peneliti mengambil judul, Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Pembelian Tiket Rute Internasional di Indonesia (Studi kasus: Indonesia AirAsia dan Garuda Indonesia).
11 1.2 Rumusan Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan masalah: - Seberapa besar faktor harga, kualitas pelayanan, dan keamanan dapat mempengaruhi konsumen dalam melakukan keputusan pembelian tiket rute internasional maskapai penerbangan di Indonesia dan faktor apakah yang paling dominan? 1.3 Tujuan dan Manfaat Tujuan dari penelitian ini adalah: - Untuk memperoleh data dan informasi mengenai pengaruh dan hubungan faktor harga, kualitas pelayanan, dan keamanan terhadap keputusan pembelian tiket rute internasional pada maskapai penerbangan Indonesia AirAsia dan Garuda Indonesia. - Untuk mengetahui variabel yang paling dominan di antara harga, kualitas pelayanan, dan jadwal penerbangan terhadap keputusan pembelian tiket rute internasional pada maskapai Indonesia AirAsia dan Garuda Indonesia. Adapun manfaat yang diharapkan peneliti dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: - Bagi peneliti untuk memperoleh pengalaman yang bermanfaat dalam menilai perusahaan diakitkan dengan teori yang didapat.
12 - Bagi akademis untuk menambah referensi, terutama referensi di bidang manajemen pemasaran, khususnya perilaku konsumen. Bagi perusahaan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh faktor harga, pelayanan, dan keamanan dapat mempengaruhi keputusan pemilihan jasa transportasi pada maskapai yang menggunakan konsep low fare airlines dan full service airlines di Indonesia (Studi kasus: Indonesia AirAsia dan Garuda Indonesia), sehingga dapat dijadikan bahan evaluasi untuk mengadakan perubahan pada faktor yang signifikan guna menaikkan jumlah penumpang. 1.4 Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian ini adalah bidang manajemen pemasaran, khususnya faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pembelian tiket maskapai yang berkonsep low fare airlines dan full service airline dari sisi konsumen, khususnya faktor harga, kualitas pelayanan, dan keamanan, dimana subjeknya adalah penumpang maskapai Indonesia AirAsia dan Garuda Indonesia yang pernah membeli tiket rute internasional pada periode tahun 2011, dan tidak akan membahas secara strategi dari sisi dalam perusahaan. Peneliti tertarik membahas penerbangan dengan rute internasional karena maskapai Indonesia AirAsia yang merupakan pendatang baru, pada tahun 2010 dapat mengalahkan Garuda Indonesia dalam mengusai penumpang penerbangan rute internasional.
13 Rute internasional yang dimaksud dalam penelitian ini adalah rute penerbangan yang dimiliki oleh kedua maskapai, yaitu Melbourne, Perth, Guangzhou, Osaka, Tokyo, Kuala Lumpur, Singapore, Seoul, dan Bangkok. Istilah low fare airlines dapat disampaikan dengan banyak istilah lain, seperti low-cost airlines atau no-frills airlines. Agar tidak membingungkan dengan menggunakan istilah yang berbeda-beda, maka thesis ini akan menggunakan istilah low fare airlines karena istilah low fare airlines telah disepakati oleh sebuah asosiasi yang disebut The Europian Low Fares Airline Association atau ELFAA (www.elfaa.com).