Dari pembahasan bab-bab didepan dapat disimpulkan. hal-hal penting mengenai ketentuan pengakuan^ penyusutan

dokumen-dokumen yang mirip
Aspek Perpajakan atas Aktiva Tetap

NERACA ASSET TETAP (LEASING) ASSET TIDAK BERWUJUD

BAB I PENDAHULUAN. melalui penanaman barang modal. Dana yang diterima oleh perusahaan digunakan

Modul ke: Manajemen Perpajakan 06FEB. Samsuri, SH, MM. Fakultas. Program Studi Akuntansi

BAB II LANDASAN TEORI

DAFTAR ISI ABSTRAK.. KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL.. DAFTAR GAMBAR. DAFTAR LAMPIRAN.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat (konsumen). Untuk tujuan ini manajemen sebagai pihak yang

ANALISIS PERLAKUAN AKUNTANSI BERDASARKAN SAK ETAP DAN SAK IFRS ATAS PEROLEHAN ASET TETAP DAN KAITANNYA DENGAN ASPEK PERPAJAKAN.

Nama : Farah Fadhilah NPM : Jurusan : Akuntansi Pembimbing : Dr. Budi Prijanto, SE., MM

BAB I PENDAHULUAN. yang banyak menarik perhatian adalah book-tax differences yaitu perbedaan

ABSTRAK. Kata kunci : Leasing, kredit dari bank. Universitas Kristen Maranatha

AKUNTANSI PAJAK ATAS SEWA GUNA USAHA DAN JASA KUNSTRUKSI

BAB I PENDAHULUAN. puluh tahun yang lampau pemerintah Indonesia telah mengunakan pola Build

BAB I PENDAHULUAN. investasi jangka panjang bagi perusahaan. Mengingat bahwa tujuan dari pengadaan

BAB I PENDAHULUAN. sendiri. Agar tujuan perusahaan dapat tercapai, maka semua faktor-faktor

Bab 10 PERUSAHAAN MODAL ASING (PMA) YANG MENGGUNAKAN BAHASA ASING DAN MATA UANG SELAIN RUPIAH

AKUNTANSI PERPAJAKAN. Akuntansi Pajak atas Aktiva Tidak Berwujud

AKUNTANSI KOMERSIAL VS AKUNTANSI PAJAK

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar belakang masalah

KEPUTUSAN PEMBIAYAAN AKTIVA TETAP MELALUI LEASING DAN BANK KAITANNYA DENGAN PENGHEMATAN PAJAK

B. KEWAJIBAN PEMBUKUAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 138 TAHUN 2000 TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang

AKUNTANSI KOMERSIAL VS AKUNTANSI PAJAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SEWA GUNA USAHA. Statement of Financial Accounting Standards No. 13 mengelompokkan sewa guna usaha menjadi :

AKUNTANSI UNTUK PAJAK PENGHASILAN

1. Pengertian Penghasilan Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan. Pengertian penghasilan menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan

BAB I PENDAHULUAN. alternatif pembiayaan mana yang paling menguntungkan agar dapat

BAB IV PEMBAHASAN. Pada bab ini penulis akan membahas penerapan perencanaan pajak terhadap

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. dikeluarkan oleh perusahaan untuk mendukung kegiatan operasional agar

AKUNTANSI PROPERTY INVESTASI

PERUSAHAAN SEWAGUNAUSAHA (PerlakuanAkuntansi dan Pajak)

Kewajiban kini entitas yang timbul dari peristiwa masa lalu yang penyelesaiannya diperkirakan mengakibatkan pengeluaran sumber daya entitas

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS. administratif dan diharapkan akan digunakan lebih dari satu

BAB I PENDAHULUAN. Setiap entitas memiliki kewajiban untuk membayar pajak kepada negara sesuai

Akuntansi Pajak Atas Liabilitas (Kewajiban)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Carl (2015:3), Akuntansi (accounting) dapat diartikan sebagai

DEPRESIASI DAN AMORTISASI FISKAL

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN. Setelah pembahasan pada bab sebelumnya dimana dilakukan evaluasi

BAB II LANDASAN TEORITIS. Leasing berasal dari kata lease yang berarti sewa atau lebih umum sebagai


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi saat ini semakin memudarkan batas geografis antar negara

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB 1 AKUNTANSI untuk SEWA GUNA USAA (LEASING)

Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT.36985/PP/M.XIII/15/2012. : Pajak Penghasilan Badan. Tahun Pajak : 2007

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ABSTRAK UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

PENERAPAN PSAK 16 (REVISI 2007) TENTANG ASET TETAP DAN DAMPAKNYA TERHADAP PERPAJAKAN

Abstrak ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan aktiva tetap seperti peralatan, mesin, tanah, gedung, kendaraan dan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV PEMBAHASAN. 4.1 Kewajiban Perpajakan PT.Klinik Sejahtera PT.Klinik Sejahtera adalah salah satu klien dari KKP Adiyanto Consultant

ADLN_PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu cara perolehan aktiva operasi adalah dengan Sewa Guna Usaha (SGU) atau

PAJAK PERUSAHAAN Pajak penghasilan perusahaan Pajak pihak ketiga PPN dan PPnBM Pajak Lain-lain 2

BAB I PENDAHULUAN. suatu pengeluaran adalah beban atau aktiva dapat berpengaruh sangat besar pada

BAB IV PEMBAHASAN. IV.1. Analisis Pengakuan, Pengukuran, dan Penyajian Pajak Tangguhan. beserta Akun-akun Lainnya pada Laporan Keuangan PT UG

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 4 ANALISIS DAN BAHASAN. Perbandingan Perlakuan Akuntansi PT Aman Investama dengan

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN

LAMPIRAN KHUSUS SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN

BAB I PENDAHULUAN. pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia pada zaman orde baru mengandalkan penerimaan negara pada sektor

ABSTRAK. Kata kunci : pajak tangguhan dan laba bersih. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaannya diatur dalam undang-undang dan peraturan-peraturan. untuk tujuan kesejahteraan bangsa dan negara.

ANALISIS PERENCANAAN PAJAK ATAS PEROLEHAN ALAT BERAT SERTA PENGARUHNYA TERHADAP LABA KENA PAJAK DAN PPh TERUTANG (STUDI KASUS PADA PT APMS)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

SATUAN ACARA PERKULIAHAN (SAP) PROGRAM STUDI AKUNTANSI

LEMBAR ISIAN HASIL PEMERIKSAAN PROGRAM PENGKAJIAN PENGISIAN SPT WAJIB PAJAK BADAN. 6. Status Badan : (a) Pusat (b) Pusat (c) BUT

PENGHASILAN. Oleh Iwan Sidharta, MM.

BAB II LANDASAN TEORI

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 533/KMK.04/2000 TENTANG

GRAHA ILMU Ruko Jambusari No. 7A Yogyakarta Telp. : ; Fax. :

BAB IV EVALUASI PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 PADA PT TGS

RENCANA PEMBELAJARANSEMESTER (RPS) MATA KULIAH P E R P A J A K A N II

BAB II LANDASAN TEORI

ABSTRAK. Kata Kunci: Perencanaan Pajak (Tax Planning), Penghematan PPh Terutang. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. negeri. Penerimaan yang diperoleh dapat berasal dari sektor minyak bumi, gas

Indonesian Institute Of Certified Public Accountants TECHNICAL newsflash

LEBIH JAUH MENGENAI PSAK No. 16 (REVISI 2007) TENTANG ASET TETAP

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1169/KMK.01/1991 TENTANG KEGIATAN SEWA GUNA USAHA (LEASING) MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. perlengkapan dan sarana pendukung lainnya untuk memperlancar pekerjaan dalam rangka

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. Dalam rangka mempertahankan kelangsungan dan tujuan perusahaan

BAB 1 PENDAHULUAN. pasca krisis tahun 1997, dengan kebijakan tersebut pemerintah berusaha

Rekonsiliasi LK Komersial ke LK Fiskal

kini dan pajak tangguhan yang sajikan telah benar sesuai dengan

BAB III METODE PENELITIAN. menggumpulkan sejumlah data untuk mendapatkan gambaran fakta fakta yang

BAB I PENDAHULUAN. Bagi perusahaan, pajak merupakan beban yang akan mengurangi laba

BAB IV ANALISIS DATA DAN HASIL PENELITIAN. perusahaan perlu mendapat perhatian khusus dalam penetapan kebijakan baik

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pembelian aset tetap, perusahaan harus mempertimbangkan alternatif

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

AKUNTANSI PERPAJAKAN KELOMPOK : IV APRIDA DEWI DEVI JUNIANTY ( ) TASLIM GOTAMI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. ISAK 8 merupakan panduan untuk menentukan apakah suatu perjanjian

Rekonsiliasi Fiskal Terhadap Laporan Keuangan Komersial Dan Laporan Keuangan Fiskal Dalam Menghitung Pajak Penghasilan Badan Pada Pt Cipta KARYA

BAB 1 PENDAHULUAN. itu dibutuhkan suatu penyusunan rekonsiliasi laporan keuangan fiskal.

DAFTAR PENYUSUTAN DAN AMORTISASI FISKAL TAHUN PAJAK 2 0 NPWP : NAMA WAJIB PAJAK : BULAN / TAHUN PEROLEHAN HARGA PEROLEHAN (US$)

Transkripsi:

BAB IV SIHPULAH DAN SARAN 4.1. Sinpulan Dari pembahasan bab-bab didepan dapat disimpulkan hal-hal penting mengenai ketentuan pengakuan^ penyusutan dan laba rugi penarikan harta berwujud dan tak berwujud, yang merupakan perbedaan antara akuntansi dan perpajakan, yang menurut penyusun perlu diperhatikan. Harta yang dapat dan tidak dapat disusutkan, khusus menyangkut tanah, hak atas tanah diperoleh dari penetapan pemerintah, baik HGU, HGB, dan hak pakai tidak disusutkan atau diamortisasi, kecuali hak atas tanah tersebut mengalami penurunan ekonomis karena pemakaiannya. Pengeluaran- pengeluaran setelah perolehan awal untuk mempertahankan (atau untuk memperpanjang atau untuk memperbaharui) hak atas tanah, karena mempunyai keterbatasan waktu. biayabiaya ini seharusnya dapat diamortisasi. Sedang hak at&s tanah yang diperoleh dari perjanjian dengan pemegang HM apakah KGB, hak pakai, ataupun hak sewa, pada dasarnya hak-hak tersebut sama dengan sewa-menyewa biasa, karenan- ya diamortisasi sesuai dengan harta tak berwujud dan dibebankan sebagai unsur pengurang laba bruto. Mengenai tanah terutama HGU, HGB, dan hak pakai, akuntansi justru belum memberikan pernyataan atau interprestasi apakah 151

dapat disusutkan/diamortisasi atau tidak. Kemudian mengenai dasar penyusutan, menurut akuntansi dasar penyusutan berkaitan dengan jumlah yang akan dibebankan selama kurun waktu pemakaian, sedang menurut PPh 1994 hal ini hanya berkaitan dengan jumlah yang akan dibebankan pada tahun yang bersangkutan. Akan tetapi, keduanya sama-sama dipengaruhi oleh penentuan harga perolehan awal, penambahan, dan pengurangan. Sedang PPh 1984 nilai sisa selalu dianggap nihil. Ketentuan penetapan harga perolehan awal, (dan termasuk penambahan) yang telah diatur oleh PPh 1994 masih banyak mengandung ketidak jelasan sehingga dapat digunakan untuk mengatur besar keoilnya laba kena pajak, tneskipun dalam hal ini hanya merupakan perbedaan waktu pengakuan. Ketidakjelasan tersebut menyangkut hal-hal sebagai berikut : 1. Penetapan komponen dalam harga perolehan, apakah termasuk biaya-biaya diluar harga beli harta seperti halnya akuntansi ataukah hanya harga beli harta dan tidak termasuk misalnya biaya pengangkutan, biaya pemasangan, biaya masuk, PPn, BM, PPN yang tidak dapat dikreditkan. 2. Biaya bunga atas pinjaman yang digunakan untuk membangun harta yang dipakai sendiri apakah harus dibebankan pada tahun terjadinya seperti biaya bunga yang lain. 3. Penetapan harga perolehan harta yang dibeli secara

gabungan jika harta-harta tersebut berlainan golongan, apakah ditentukan seperti halnya dalam akuntansi ataukah boleh ditentukan sesuai kebijakan wajib pajak sendiri. Mengenai biaya bunga atas pinjaman untuk pembangunan harta yang dipakai sendiri, PSAK No. 26 tidak tegas. Pernyataan IAI No, 26 tersebut menyebutkan, setelah syarat-syarat dipenuhi, biaya bunga dapat (tidak harus) dikapitalisasi. Jadi hal ini seakan-akan merupakan pilihan. Sedang mengenai pengurangan dasar penyusutan karena penarikan harta, satu hal yang berbeda antara akuntansi adalah dalam PPh 1994, ada pengurangan yang menggunakan penerimaan neto yaitu dalam penarikan karena sebab biasa harta berwujud golongan bukan bangunan, hal ini mengaki- batkan metode penyusutan PPh 1894 tidak sistematis, pada umumnya metode penyusutan, bila terjadi penarikan dan aktiva yang bersangkutan disusutkan dengan dasar penyusutan berupa harga buku, maka dasar penyusutan aktiva juga dikurangi dengan sisa harga buku. Sejalan dengan perkembangan dalam dunia usaha, maka berkembang pula cara-cara baru dalam perolehan harta, misalnya ruislag, BOT, dan BOO. Untuk ruilslag dapat diterapkan ketentuan pertukaran/penarikan karena sebab biasa. Dan untuk BOO dapat diterapkan ketentuan yang dapat dijadikan dasar pencatatan transaksi pada waktu

154 penyerahan atau pengalihan khususnya bagi perpajakan. Seandainya di kemudian hari dikeluarkan ketentuan perpajakan tentang BOT, satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak pembangun diperkenankan membebankan seluruh pengeluaran untuk membangun harta BOT selama masa pengelolaan (sebelum diserahkan). Artinya jika ada sisa harga pada waktu penyerahan, jumlah tersebut boleh dibebankan sebagai kerugian seperti halnya penarikan harta tak berwujud. Berikutnya masalah pengelompokan harta yang digunakan dalam operasi perusahaan, menurut PPh 1994, telah ditentukan harus dimasukkan dalam golongan tertentu. Jangka waktu masa manfaat harta golongan 1 mencakup harta dengan masa manfaat 2 sampai 4 tahun, golongan 2 mencakup harta dengan masa manfaat 5 sampai 8 tahun, golongan 3 mencakup harta dengan masa manfaat diatas 8 tahun sampai 16 tahun, sedang golongan 4 mencakup harta dengan masa manfaat diatas 16 tahun sampai 20 tahun. Untuk harta golongan bangunan dibagi menjadi kelompok permanen dan tidak permanen dengan masing-masing masa manfaat adalah 20 tahun untuk permanen dan 10 tahun tidak permanen. Meskipun harta telah digolongkan atas dasar jangka waktu masa manfaat, tetapi pembebanan penyusutan menurut PPh 1994 tidak sesuai dengan masa manfaat menurut golongan. Dengan asumsi dengan masa manfaat menurut PPh 1994 tidak sesuai dengan masa manfaat menurut golongan 2

155 setelah 16 tahun harga perolehan yang telah dibebankan baru 98,99% dan harta berwujud golongan 3 setelah 40 tahun harga perolehan yang telah dibebankan baru 98,52%. Saat dimulainya penyusutan PPh 1994, adalah tahun terjadinya pengeluaran atau setelah harta selesai penger- jaannya atau setelah disewa-guna-usahakan. Namun dengan izin sutkan Direktorat Jendral Pajak, wajib pajak dapat menyu- harta sejak digunakan. Dan penyusutan dilakukan dalam tahunan harta sejak digunakan. Dan penyusutan dilakukan dalam tahunan penuh, tidak ada.penyusutan dalam pecahan tahun, misal 3 bulan, 4 bulan atau 6 bulan. Khusus untuk harta ini tidak diamortisasi oleh lessee dan tidak disusutkan oleh lessor. Akan tetapi untuk harta ini, lesse diperkenankan membebankan seluruh pembayaran berkala kecuali untuk pembebanan atas tanah. Selanjutnya mengenai pengakuan laba rugi penarikan, pada waktu terjadi transaksi penarikan karena sebab biasa harta berwujud golongan bukan bangunan, PPh 1994 tidak pernah mengakui adanya laba dan rugi. Laba atau rugi ini diakui melalui proses mekanisme penyusutan, yaitu dengan membebankan penyusutan yang lebih besar atau lebih kecil daripada yang seharusnya. Cara pengakuan laba atau rugi penarikan menurut PPh 1994 ini mengakibatkan kesulitan dalam penelusuran pengakuan atas penarikan harta yang mana dan kapan penarikan dilakukan, serta kesulitan dalam menelusuri jumlah yang

156 telah diakui dan jumlah yang belum diakui. Kesulitan ini dapat diatasi dengan cara membuat catatan atas laba atau rugi ditangguhkan. Tentunya pengurangan pada waktu penarikan harta berwujud golongan bukan bangunan ini tidak menggunakan penerimaan neto tetapi menggunakan sisa harga buku fiskal. Dengan oara ini total penyusutan dan laba atau rugi yang diakui pada suatu tahun tidak berbeda dengan oara yang lama. 4.2. Saran Pada sub bab sebelumnya telah dikemukakan hal-hal yang perlu mendapat perhatian khusus. Menurut penyusun hal-hal yang perlu mendapat perhatian khusus tersebut diantaranya membutuhkan perbaikan agar menjadi jelas dan tegas sehingga suatu ketentuan tidak ditafsirkan berbedabeda. 1. PPh 1994 perlu mengatur ketentuan-ketentuan tentang harga perolehan, khususnya berkaitan dengan komponen yang termasuk harga perolehan yang harus dikapitalisa- si, apakah termasuk biaya-biaya diluar harga harta dan biaya bunga atas pinjaman yang digunakan untuk memban- gun harta yang dipakai sendiri, dan ketentuan tentang penetapan harga perolehan harta yang dibeli secara gabungan. 2. Khusus untuk tanah, hak atas tanah yang diperoleh dari penetapan pemerintah dan tidak mengalami penurunan

157 ekonomi karena pemakaian, perpajakan perlu menegaskan bahwa hak tersebut merupakan hak yang tidak diamorti- % sasi, sedang hak atas tanah diperoleh dari perjanjian dengan pemegang HM diamortisasi, seperti halnya sewa.. 3. PPh 1994 perlu mengubah metode penyusutan, dengan membebankan harga perolehan dalam jangka panjang waktu yang terbatas, dan perlakuan laba rugi penarikan harta berwujud golongan bukan bangunan karena sebab biasa, dengan mengakui laba rugi pada tahun terjadinya penarikan. Bila metode penyusutan dan pengakuan laba rugi menurut PPh 1894 tetap dipertahankan, perlu dibuat catatan atas laba atau rugi ditangguhkan pada waktu penarikan, perbedaan antara sisa harga buku dengan penerimaan neto diakui sebagai laba atau rugi ditangguhkan. Selanjutnya setiap akhir tahun (dimulai terjadinya penarikan) diakui adanya laba atau rugi penarikan sebesar tarif penyusutan golongan harta yang ditarik dikalikan laba atau rugi yang ditangguhkan ini sebaiknya dibatasi, sehingga pada saat tertentu laba atau rugi yang ditangguhkan atas penarikan harta tertentu dapat dibebankan sekaligus, misal setelah laba atau rugi yang ditangguhkan belum diakui tinggal 10 X dari laba atau rugi yang ditangguhkan semula pada waktu penarikan. 4. Seandainya pengakuan kerugian harta berwujud golongan bukan bangunan masih seperti ketentuan yang ada, PPh

1 5 8 1994 perlu mengatur perlakuan atas sisa harga buku harta BOT, yaitu diperbolehkan mengakui sisa harga buku yang ada pada waktu penyerahan sebagai kerugian. Sedang untuk akuntansi hal-hal yang perlu diperbaiki adalah sebagai berikut. 1. IAI perlu mengambil keputusan untuk menentukan perlakukan pengeluaran atas HGU, HGB, dan Hak Pakai melalui pernyataan atau interprestasi, yang mana pengeluaran tersebut tidak disusutkan atau diamortisasi. Sedang untuk hak atas tanah yang diperoleh dari perjanjian dengan pemegang HH, hak atas tanah tersebut dapat diamortisasi seperti halnya harta tak berwujud. 2. IAI perlu mengambil keputusan untuk menentukan perlakuan pengeluaran atas transaksi dengan oara BOT, melalui pernyataan atau interpretasi, yang mana pengeluaran tersebut disusutkan atau diamortisasi apa tidak (aktiva berwujud atau aktiva tak berwujud).