BAB II TINJAUAN PUSTAKA. basah dan mi kering. Mi kering merupakan mi yang berbentuk kering dengan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam dipelihara terutama untuk digunakan daging dan telurnya dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebagai salah satu sumber protein hewani disamping sumber protein nabati. Ikan

TUGAS II REGULER C AKADEMI ANALIS KESEHATAN NASIONAL SURAKARTA TAHUN AKADEMIK 2011/2012

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Spektrum Derivatif Metil Paraben dan Propil Paraben

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam buku British pharmacopoeia (The Departemen of Health, 2006) dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Ditjen BKAK (2014), uraian mengenai teofilin adalah sebagai. Gambar 2.1 Struktur Teofilin

STABILITAS FORMALIN TERHADAP PENGARUH SUHU DAN LAMA PEMANASAN

METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Penelitian Fakultas Farmasi USU

PERCOBAAN 1 PENENTUAN PANJANG GELOMBANG MAKSIMUM SENYAWA BAHAN PEWARNA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang meliputi sumber hewan dan tumbuhan. Pada umumnya bahan pangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kegiatan di dalam kehidupannya (Effendi, 2012). Berdasakan definisi dari WHO

BAB III METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI PERCOBAAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2015 sampai Juni 2015 di

BAB II METODE PENELITIAN. Universitas Sumatera Utara pada bulan Januari-April 2015

VALIDASI METODE PENETAPAN KADAR ASAM ASETILSALISILAT DALAM SEDIAAN OBAT MEMANFAATKAN SINAR REFLEKTAN TERUKUR DARI BERCAK YANG DIHASILKAN SKRIPSI

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Farmasi Kualitatif

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Minuman energi adalah minuman ringan non-alkohol yang dirancang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Hukum Dasar dalam Spektrofotometri UV-Vis Instrumen Spektrofotometri Uv Vis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yaitu dapat menginaktivasi enzim tirosinase melalui penghambatan reaksi oksidasi

VALIDASI PENETAPAN KADAR ASAM ASETIL SALISILAT (ASETOSAL) DALAM SEDIAAN TABLET BERBAGAI MEREK MENGGUNAKAN METODE KOLORIMETRI SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau mencegah tumbuhnya mikroorganisme, sehingga tidak terjadi proses

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. makanan dan biasanya bukan merupakan ingredient khas makanan, mempunyai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Moffat, dkk., (2004), uraian tentang tramadol adalah sebagai

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Pembuatan larutan induk standar fenobarbital dan diazepam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 2. Perbedaan Sampel Brokoli (A. Brokoli yang disimpan selama 2 hari pada suhu kamar; B. Brokoli Segar).

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Ekstraksi Zat Warna Rhodamin B dalam Sampel

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi kandungan rhodamin

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data penetapan kadar larutan baku formaldehid dapat dilihat pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA H N. :-asam benzeneasetat, 2-[(2,6-diklorofenil)amino]- monosodium. -sodium [o-(dikloroanilino)fenil]asetat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mirip dengan cairan tubuh (darah), sekitar 280 mosm/kg H 2 O. Minuman isotonik

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Merck, kemudian larutan DHA (oil) yang termetilasi dengan kadar akhir

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tahan asam (BTA, Mikobakterium tuberkulosa) yang ditularkan melalui udara.

Spektrofotometri uv & vis

PHARMACY, Vol.08 No. 03 Desember 2011 ISSN

BAB II. pengembang, zat pengikat, zat pelicin, zat pembasah.

BAB II : CH 2 O. Berat molekul : 30,03. Kelarutan. : mudah. pelarut polar. air dengan. berwarna. ini tidak. terutama. tajam. Jika.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN. Gambar 1 Ilustrasi hukum Lambert Beer (Sabrina 2012) Absorbsi sinar oleh larutan mengikuti hukum lambert Beer, yaitu:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Ditjen BKAK., (2014) uraian tentang parasetamol sebagai berikut:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Fase gerak : dapar fosfat ph 3,5 : asetonitril (80:20) : panjang gelombang 195 nm

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada Laboratorium Penelitian Fakultas Farmasi

BAB I TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Spektrofotometer UV /VIS

PENENTUAN KADAR PROTEIN SECARA SPEKTROFOTOMETRI

Laporan Praktikum Analisis Sediaan Farmasi Penentuan kadar Asam salisilat dalam sediaan Bedak salicyl

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. konsistensinya baik serta awet. Untuk mendapatkan makanan seperti yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

VALIDASI METODE ANALISIS FORMALIN DALAM DAGING PAHA AYAM DI KOTA MANADO

BAB II DASAR TEORI 2.1 Singkong 2.2 Sianida

BAB I PENDAHULUAN. Hidrokortison asetat adalah kortikosteroid yang banyak digunakan sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

JURNAL PRAKTIKUM ANALITIK III SPEKTROSKOPI UV-VIS

BAB IV ANALISIS DENGAN SPEKTROFOTOMETER

BAB II LANDASAN TEORI. mempunyai aroma serta rasa yang merangsang. Saus yang umum

UJI KUANTITATIF DNA. Oleh : Nur Fatimah, S.TP PBT Ahli Pertama

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

TUGAS ANALISIS FARMASI ANALISIS OBAT DENGAN METODE SPEKTROFOTOMETRI UV-VIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

VALIDASI DAN PENGEMBANGAN PENETAPAN KADAR TABLET BESI (II) SULFAT DENGAN SPEKTROFOTOMETRI VISIBEL DAN SERIMETRI SEBAGAI PEMBANDING SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINAJAUN PUSTAKA. buah-buahan. Bermacam buah-buahan dengan berbagai varietas, bentuk, rasa, bau

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. kedelai yang tinggi protein, sedikit karbohidrat, mempunyai nilai gizi dan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengembangan metode dapat dilakukan dalam semua tahapan ataupun

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. kembali pada awal tahun 1920-an. Pada tahun 1995-an, metode kromatografi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. USU, Lembaga Penelitian Fakultas MIPA USU, dan PT. AIRA Chemical Laboratories.

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

Lampiran 1. Perhitungan Pembuatan Larutan Natrium Tetraboraks 500 ppm. Untuk pembuatan larutan natrium tetraboraks 500 ppm (LIB I)

BAB I PENDAHULUAN. tanpa bahan tambahanmakanan yang diizinkan (Badan Standarisasi Nasional,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Mie merupakan salah satu bahan pangan yang bernilai ekonomis tinggi. Mie

DAFTAR ISI II METODOLOGI PENELITIAN III BAHAN DAN ALAT Bahan Alat... 24

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bahan baku gula dan vetsin. Tanaman ini hanya dapat tumbuh di daerah beriklim

ANALISIS BAHAN KIMIA OBAT ASAM MEFENAMAT DALAM JAMU PEGAL LINU DAN JAMU REMATIK YANG BEREDAR DI KOTA MANADO

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juli 2012 sampai dengan bulan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB III METODE PENELITIAN. A. Metodologi Penelitian. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metodologi

UNIVERSITAS PANCASILA FAKULTAS FARMASI LAPORAN PENELITIAN DAN PUBLIKASI ILMIAH

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mi Basah Mi merupakan makanan yang digemari oleh masyarakat, karena rasanya yang enak dan praktis. Mi yang beredar di pasaran dikenal beberapa jenis yaitu mi basah dan mi kering. Mi kering merupakan mi yang berbentuk kering dengan kadar air yang rendah sehingga lebih awet dibandingkan dengan mi mentah dan mi basah. Sedangkan mi basah adalah jenis mi yang mengalami proses perebusan, dimana kadar airnya tinggi dapat mencapai 52% sehingga memiliki daya tahan yang singkat. Salah satu jenis mi yang termasuk dalam mi basah adalah mi tiaw (Widyaningsih & Murtini, 2006). 2.1.1 Fungsi Mi Basah Mi merupakan bahan makanan yang digunakan sebagai sumber karbohidrat pengganti nasi. Mi basah banyak digunakan sebagai bahan baku dalam berbagai masakan, antara lain seperti soto mi, mi kocok, mi ayam, mi bakso, mi goreng maupun bahan cemilan lainnya (Widyaningsih & Murtini,2006). 2.1.2 Pengawetan Mi Basah Pada umumnya dalam pengolahan makanan selalu diusahakan untuk menghasilkan produk makanan yang disukai dan berkualitas baik. Untuk menghasilkan makanan yang berkualitas baik para produsen sering menambahkan bahan tambahan makanan. Salah satu bahan tambahan yang sering dipakai adalah bahan pengawet.

Mi basah memiliki daya tahan yang singkat, karena mengandung kadar air yang cukup tinggi. Dimana pada suhu kamar mi basah hanya bertahan selama 10-12 jam, sehingga perlu ditambahkan bahan pengawet untuk meningkatkan daya simpannya (Widyaningsih & Murtini, 2006). Menurut Widyaningsih & Murtini (2006), proses pengolahan mi basah dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti: 1. Pemilihan tepung terigu sebaiknya yang mengandung gluten 8-12%. Gluten adalah protein yang terdapat pada terigu,gluten bersifat elastis sehingga akan mempengaruhi sifat elastisitas dan tekstur mi yang dihasilkan. 2. Soda Abu Soda abu adalah bahan tambahan yang harus ditambahkan pada proses pembuatan mi. Soda abu merupakan campuran dari garam natrium karbonat dan kalium karbonat (9 : 1). Berfungsi untuk mempercepat pengikatan gluten, meningkatkan kehalusan tekstur dan sifat kenyal dari mi basah. 3. Garam Dapur Selain untuk memberi rasa, garam dapur ini juga dapat memperkuat tekstur mi serta mengikat air. 4. Sodium Tri Poly Phospat (STPP) Fungsi STPP adalah untuk mempengaruhi tekstur mi menjadi lebih kenyal, selain itu juga dapat mengikat aktivitas air sehingga kerusakan mikrobiologis dapat dicegah. Penggunaan STPP yang diizinkan adalah 3 g per kilogram berat adonan atau 0,3%.

5. Gliserin Gliserin berfungsi sebagai emulsifier karena kemampuannya untuk mengikat air dan lemak. Sifat gliserin sebagai pengemulsi dapat mempercepat penyerapan air pada tepung dan mengembangkan adonan. Selain itu juga berfungsi agar mi tidak mudah putus. Gliserin yang digunakan sekitar 1%. 6. Carboxy Methyl Cellulose (CMC) Fungsi CMC adalah sebagai pengembang, Jumlah CMC yang ditambahkan untuk pembuatan mi antara 0,5-1% dari berat tepung terigu. Penggunaan yang berlebihan akan menyebabkan tekstur mi yang terlalu keras. 2.2 Zat Pengawet Secara garis besar zat pengawet dibedakan menjadi 3 jenis. Pertama, GRAS ( Generally Recognized as Safe) yang umumnya bersifat alami, sehingga aman dan tidak berefek racun sama sekali. Kedua, ADI (Acceptable Daily Intake), yang selalu ditetapkan batas penggunaan hariannya (daily intake) guna melindungi kesehatan konsumen. Ketiga, zat pengawet yang memang tidak layak dikonsumsi karena bukan untuk makanan alias berbahaya seperti formalin (Widyaningsih & Murtini, 2006). 2.3 Formalin Formalin merupakan larutan formaldehid di dalam air, yang mengandung 37% gas formaldehid dalam air dengan rumus molekul CH 2 O. Biasanya ditambahkan 10-15% metanol sebagai stabilisator. Larutan formaldehid mempunyai nama dagang formalin, formol, atau mikrobisida (Cahyadi, 2009).

Kadar formaldehid tidak kurang dari 34% dan tidak lebih dari 38 % (Moffat,1986). 2.3.1 Rumus Bangun 2.3.2 Sifat Fisika dan Kimia Formalin merupakan cairan jernih tidak berwarna dengan bau yang menusuk, uap dapat merangsang selaput lendir hidung dan tenggorokan dan mempunyai rasa yang membakar. Bobot tiap milliliter adalah 1,08 gram. Dapat bercampur dengan air dan alkohol, tetapi tidak bercampur dengan kloroform dan eter. Titik didih formalin adalah 96 o C (Merck Index, 1976). 2.3.3 Penggunaan Formalin Formalin merupakan larutan yang digunakan sebagai desinfektan. Selain itu juga digunakan pada industri tekstil untuk mencegah bahan menjadi kusut dan meningkatkan ketahanan bahan tenunan. Dalam bidang farmasi formalin digunakan sebagai obat penyakit kutil karena kemampuan formalin yang dapat merusak protein (Cahyadi, 2009). Dalam dunia fotografi digunakan sebagai pengeras lapisan gelatin dan kertas. Dalam industri perikanan, formalin digunakan untuk menghilangkan bakteri yang hidup di sisik ikan dan untuk mengobati kulit berlendir. Di dunia kedokteran digunakan dalam pengawetan mayat. Untuk pengawetan biasanya digunakan formalin dengan konsentrasi 10% (Yuliarti, 2007).

2.3.4 Bahaya Penggunaan Formalin Pada Makanan Besarnya manfaat formalin di bidang industri ternyata disalahgunakan untuk penggunaan pengawetan industri makanan. Biasanya hal ini sering ditemukan dalam industri rumahan karena mereka tidak terdaftar dan tidak terpantau oleh Depkes dan Balai POM. Salah satu bahan makanan yang ditambahkan formalin adalah mi basah (Yuliarti, 2007). Orang yang mengkonsumsi makanan yang berformalin beberapa kali saja belum begitu merasakan akibatnya. Efek dari makanan berformalin ini baru akan terasa beberapa tahun kemudian (Cahyadi, 2009). Formalin sangat berbahaya jika terakumulasi di dalam tubuh, tidak hanya dikonsumsi melainkan kontak terhadap formalin. Gangguan kesehatan yang terjadi akibat kontak dengan formalin tergantung pada cara masuk zat tersebut dalam tubuh. Kontak dengan formalin dapat menyebabkan luka bakar jika mengenai kulit, iritasi pada saluran pernafasan bila terhirup uapnya dalam konsentrasi yang tinggi, maupun reaksi alergi dan bahaya kanker (Yuliarti, 2007). Formalin dalam saluran pencernaan dapat menyebabkan rasa sakit disertai radang. Hal ini karena sifatnya yang merupakan iritan kuat. Dapat juga menyebabkan muntah dan diare (Cahyadi, 2009). 2.3.5 Pemeriksaan Kualitatif Formalin Formalin dengan penambahan asam kromatropat dan asam sulfat pekat dengan pemanasan selama 15 menit akan menimbulkan warna violet (Herlich,1990). 2.4 Pemeriksaan Kuantitatif Formalin dengan Metode Spektrofotometri

Analisis kuantitatif formalin dilakukan dengan menggunakan spektrofotometri. Metode ini dapat dilakukan dengan penambahan pereaksi Nash (ammonium asetat dan asetil aseton) disertai pemanasan selama 30 menit akan membentuk kompleks berwarna kuning yang mantap, sehingga dapat diukur serapannya pada panjang gelombang maksimum 415 nm (Herlich, 1990). 2.4.1 Spektrofotometri Spektrofotometri adalah pengukuran absorbsi energi cahaya oleh suatu atom atau molekul pada panjang gelombang tertentu (Day, 2002). Sinar ultraviolet mempunyai panjang gelombang antara 200-400 nm, sedangkan sinar tampak mempunyai panjang gelombang 400-750 nm (Rohman, 2007). Menurut Day (2002) dan Rohman (2007), hukum Lambert-Beer menyatakan bahwa intensitas yang diteruskan oleh larutan zat penyerap berbanding lurus dengan tebal dan konsentrasi larutan dan berbanding terbalik dengan transmitan. Hukum tersebut dituliskan dengan rumus: A = abc = log 1/T Keterangan : A = absorbansi a = absorbtivitas b = tebal sel (cm) c = konsentrasi Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam analisis dengan spektrofotometri ultraviolet dan cahaya tampak terutama untuk senyawa yang tidak berwarna yang akan dianalisis yaitu : 1. Pembentukan molekul yang dapat menyerap sinar UV-Vis

Cara yang digunakan adalah dengan merubahnya menjadi senyawa lain atau direaksikan dengan pereaksi tertentu sehingga dapat menyerap sinar UV-Vis. 2. Waktu kerja (operating time) Tujuannya ialah untuk mengetahui waktu pengukuran yang stabil. Waktu kerja ditentukan dengan mengukur hubungan antara waktu pengukuran dengan absorbansi larutan. 3. Pemilihan panjang gelombang Panjang gelombang yang digunakan untuk analisis kuantitatif adalah panjang gelombang yang mempunyai absorbansi maksimal. 4. Pembuatan kurva kalibrasi Dilakukan dengan membuat seri larutan baku dalam berbagai konsentrasi kemudian absorbansi tiap konsentrasi diukur lalu dibuat kurva yang merupakan hubungan antara absorbansi dengan konsentrasi. 5. Pembacaan absorbansi sampel Asorbansi yang terbaca pada spektrofotometer hendaknya antara 0,2 sampai 0,6. Instrumentasi untuk Spektrofotometer (Khopkar, 1990; Day, 2002)

Gambar 1. Diagram Blok Spektrofotometer UV-VIS a. Sumber cahaya Sumber energi radiasi yang biasa untuk daerah ultraviolet dan daerah cahaya tampak adalah sebuah lampu wolfram ataupun lampu tabung discas hidrogen (atau deutrium). b. Monokromator Monokromator berfungsi mengubah cahaya polikromatis menjadi cahaya yang monokromatis. Alatnya dapat berupa prisma atau kisi difraksi. c. Sel Sel yang digunakan untuk daerah tampak terbuat dari kaca sedang untuk daerah ultraviolet digunakan sel kuarsa atau kaca silika. Sel tampak dan ultraviolet yang khas mempunyai panjang lintasan 1 cm, namun tersedia juga sel dengan ketebalan kurang dari 1 milimeter, sampai 10 cm bahkan lebih d. Detektor Peranan detektor adalah memberikan respon terhadap cahaya pada berbagai panjang gelombang. Detektor yang paling sederhana digunakan ialah tabung foto. e. Recorder Recorder digunakan sebagai perekam absorbansi yang dihasilkan dari pengukuran. 2.5 Validasi Metode Analisis

Validasi metode dilakukan untuk menjamin bahwa metode analisis yang dilakukan akurat, spesifik, reprodusibel dan tahan pada kisaran analit yang akan dianalisis. Menurut Rohman (2007), suatu metode analisis harus divalidasi ketika: 1. Metode baru dikembangkan 2. Metode yang sudah baku direvisi untuk menyesuaikan perkembangan 3. Penjaminan mutu yang mengindikasikan bahwa metode baku telah berubah seiring dengan berjalannya waktu 4. Metode baku digunakan di laboratorium yang berbeda, dikerjakan oleh analis yang berbeda atau dikerjakan dengan alat yang berbeda 2.5.1 Kecermatan (Akurasi) Akurasi merupakan ketelitian metode analisis atau kedekatan antara nilai terukur dengan nilai yang diterima. Akurasi diukur sebagai banyaknya analit yang diperoleh kembali pada suatu pengukuran (Rohman, 2007). Kecermatan ditentukan dengan dua cara yaitu metode simulasi (spiked placebo recovery) dan metode penambahan baku (standard addition method). Dalam metode simulasi, sejumlah analit bahan murni pembanding kimia ditambahkan ke dalam campuran bahan pembawa sediaan farmasi (plasebo) lalu campuran tersebut dianalisis dan hasilnya dibandingkan dengan kadar analit yang ditambahkan. Metode adisi dapat dilakukan dengan menambahkan sejumlah analit dengan konsentrasi tertentu pada sampel yang diperiksa lalu dianalisis lagi dengan metode tersebut (Harmita, 2004). % Perolehan kembali = CF C C * A A x 100%

Keterangan : C F = konsentrasi sampel yang diperoleh setelah penambahan larutan baku C A = konsentrasi sampel awal sebelum penambahan baku 2.5.2 Ketelitian (Presisi) C A = konsentrasi larutan baku yang ditambahkan Presisi merupakan ukuran keterulangan metode analisis dan biasanya diekspresikan sebagai simpangan baku relatif dari sejumlah sampel yang berbeda signifikan secara statistik. Presisi mencakup simpangan baku, simpangan baku relatif (RSD). Untuk senyawa-senyawa aktif dalam jumlah yang banyak nilai RSD antara 1-2% (Rohman, 2007). ( X X ) SD = n 1 2 Keterangan : X = nilai dari masing-masing pengukuran = rata-rata dari pengukuran X n = frekuensi penetapan n-1 = derajat kebebasan RSD = SD x100% X Keterangan : RSD = Relative Standard Deviation SD X = Standard Deviation = Kadar Rata-rata Formalin dalam Sampel 2.5.3 Batas Deteksi (LOD) Batas deteksi (limit of detection) didefenisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel yang masih dapat dideteksi oleh alat, dimana hasil yang

diperoleh belum tepat karena tidak memenuhi akurasi dan presisi (Rohman, 2007). ( Y Yi) SD = n 2 Keterangan : SD 2 LOD = 3 x SB Slope = Standard Deviation LOD = Limit of Detection (Batas Deteksi) 2.6.3 Batas Kuantifikasi (LOQ) Batas kuantifikasi (limit of quantitation) didefenisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel yang dapat ditentukan dengan akurasi dan presisi yang dapat diterima pada kondisi operasional metode yang digunakan (Rohman,2007). 10 x SB LOQ = Slope Keterangan : SD = Standard Deviation LOQ = Limit of Quantitation (Batas Kuantitasi)