BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit infeksi banyak terjadi di negara berkembang yang mempunyai kondisi sosial ekonomi rendah. Salah satu penyakit infeksi tersebut adalah penyakit kusta. Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae (M-leprae), yang dapat menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional (Depkes RI, 2006). Penyakit kusta pada umumnya terdapat di negara negara yang sedang berkembang sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara itu dalam memberikan pelayanan yang memadai dalam bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga, termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan, pengertian, dan kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang ditimbulkannya (Fitra Ariyanta, 2013). Menurut Blum dalam Notoadmojo (2007) lingkungan merupakan faktor penyumbang terbesar kejadian penyakit, kemudian perilaku, pelayanan kesehatan dan genetik. Faktor lingkungan mempengaruhi terjadinya penyakit kusta, dimana lingkungan yang kurang baik akan menimbulkan bakteri Mycobaterium leprae yang dapat menyebabkan penyakit kusta. Di Indonesia hingga saat ini merupakan salah satu negara dengan beban penyakit kusta yang tinggi. Pada tahun 2013, Indonesia menempati urutan ketiga di dunia setelah India dan Brazil. Tahun 2013, Indonesia memiliki jumlah kasus kusta baru sebanyak 16.856 kasus, angka penemuan kasus baru tersebut menjadikan Indonesia berada di peringkat ke-3 di dunia setelah India dan Brazil. Data tahun 2013 menunjukkan 83,42% dari kasus baru merupakan kasus MB (Multi Basiler), 10,05% kasus cacat tingkat 2, dan 11,88% kasus anak. Tingginya proporsi kasus MB, cacat tingkat 2 dan anak di Indonesia menunjukkan masih 1
berlangsungnya penularan dan masih tingginya penemuan kasus baru (WHO, 2013 dalam Depkses RI, 2015). Faktor terjadinya penularan penyakit kusta yang terus berlangsung merupakan penyebab masih tinggnya penderita kusta yang tidak mendapat pengobatan (Goulart et al, 2008). Sampai saat ini masih terdapat 14 provinsi di Indonesia yang endemis tinggi kusta dengan angka prevalensi lebih dari 1 kasus per 10.000 penduduk. Hampir semua Provinsi endemis tinggi kusta terkonsentrasi di Indonesia bagian timur (Depkes RI, 2015). Salah satu Provinsi di Indonesia bagian timur dengan kasus kusta cukup tinggi adalah Provinsi Papua Barat, pada tahun 2015 jumlah penderita sebanyak 929 penderita dengan Prevalensi Rate: 10,66/10.000 penduduk diantara kasus baru 717 (Case Detection Rate : 82,27/100.000). dengan kasus anak masih sangat tinggi 31% (221 kasus anak). Penyakit Kusta di Papua Barat masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, ini menunjukkan penularan kusta masih sangat tinggi di Provinsi Papua Barat. Sampai saat ini prevalensi kusta di Papua Barat di atas rata-rata nasional 2 per 10.000 penduduk. Angka itu pun melebihi prevalensi yang ditetapkan badan kesehatan dunia, 1 penderita dalam 10.000 penduduk (Dinkes Provinsi Papua Barat, 2015). Kabupaten Manokwari merupakan Kabupaten yang berada di Provinsi Papua Barat yang memiliki jumlah penduduk lebih banyak, pada tahun 2015 jumlah penduduk Kabupaten Manokwari sebanyak 154,296 jiwa, di banding Kabupaten lain yang berada di Provinsi Papua Barat. Wilayah Kabupaten Manokwari merupakan daerah dataran tinggi pegunungan yang hampir mendominasi sebagian besar wilayah di Kabupaten Manokwari, dan merupakan daerah yang rawan gempa bumi. oleh karena itu kondisi bangunan rumah di Kabupaten Manokwari yang merupakan tempat tinggal penduduk cenderung menggunakan atap yang terbuat dari bahan seng dan dinding dari bahan tembok dan papan (BPS Kabupaten Manokwari 2015). Kabupaten Manokwari memiliki angka kejadian kusta sangat tinggi dari 11 Kabupaten/Kota di Papua Barat. Berdasarkan Data Program Kusta Dinkes Kabupaten Manokwari pada tahun 2014-2015, jumlah penderita kusta di Manokwari ditemukan 130 kasus baru, jumlah kasus baru anak sebanyak 36 kasus 2
diantara kasus baru sebanyak 28 % kasus anak pada tahun 2014 dan kemudian pada tahun 2015 ditemukan 262 kasus baru, jumlah kasus baru anak sebanyak 104 (40 % diantara kasus baru anak). Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Manokwari tahun 2015. Diwilayah Kabupaten Manokwari dengan angka penderita kusta anak yang cukup tinggi yaitu di Daerah Distrik Pasir Putih, khususnya di wilayah kerja Puskesmas Pasir Putih. Distrik Pasir Putih terletak sekitar 5 km dari pusat kota Manokwari dan merupakan wilayah terkecil dengan luas wilayah adalah 154.84 km², mempunyai 6 desa/kelurahan yang merupakan wilayah kerja puskesmas pasir putih dengan jumlah penduduk yaitu 9.804 jiwa. Secara umum areal di sekitar lokasi rumah penduduk merupakan kawasan pantai yang banyak digunakan sebagai tempat tinggal penduduk (daerah pemukiman) dan jalan umum, sehingga kondisi tanah di lokasi merupakan tanah berpasir dan rata, tetapi 100 meter dari pantai sudah merupakan areal perbukitan (tanah) dan kondisi bangunan rumah di daerah Distrik pasir putih masih bersifat semi permanen dan permanen (BPS Kabupaten Manokwari, 2014). Distrik pasir putih merupakan wilayah kerja puskesmas pasir putih yang mempunyai kasus kusta anak yang cukup tinggi dengan jumlah kasus baru kusta pada anak tertinggi pada tahun 2015 sebanyak 48 kasus (55% ) yaitu kusta anak PB sebanyak 23 kasus dan kusta anak MB sebanyak 25 kasus (Dinkes Manokwari, 2015). Tingginya Proporsi penderita kusta anak diantara kasus baru kusta yang di temukan menunjukkan tingginya penularan kusta di masyarakat tersebut (Agusni, 2001) Kusta telah diketahui sebagai masalah kesehatan yang penting pada kelompok usia anak-anak (Wardhana et al, 1990). Anak-anak adalah kelompok berisiko tinggi dalam keluarga dan masyarakat dimana terdapat penderita kusta yang masih menular, karena kesempatan yang lebih besar untuk melakukan kontak dengan penderita yang banyak mengandung Mycobacterium leprae (Virendra et al, 1993). Tingginya proporsi penderita kusta anak berumur dibawah 15 tahun diantara kasus baru kusta yang ditemukan menunjukkan tingginya penularan kusta 3
di masyarakat. Sehingga beban akibat penyakit kusta bukan hanya karena masih tingginya jumlah kasus yang ditemukan tetapi juga kecacatan yang diakibatkannya (Depkes RI, 2015). Penelitian epidemiologi kusta pada anak dapat menyumbang wacana tentang aspek transmisi penyakit ini. Anak-anak merupakan kelompok berisiko tinggi tertular kusta dalam keluarga dan masyarakat karena imunitas, pengetahuan, dan status gizi yang masih kurang (Agusni, 2001). Penelitian Iswahyudi (2012), menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penularan kusta pada anak yaitu imunitas, usia, jenis kelamin, status ekonomi keluarga, pengetahuan orangtua, status gizi, sanitasi rumah, kepadatan penduduk, kontak lama dengan penderita kusta, kebersihan diri serta penggunaan air. Penelitian tersebut mengindikasikan bahwa salah satu faktor yang berhubungan dengan kejadian kusta pada anak adalah faktor risiko lingkungan serta perilaku anak. Penelitian yang dilakukan oleh Setiani (2014) membuktikan bahwa faktor risiko lingkungan seperti kepadatan hunian berhubungan dengan penyakit kusta. Selain itu, perilaku penderita kusta seperti kebersihan individu juga berhubungan dengan penyakit kusta. Penelitian sejenis yang dilakukan oleh Awaludin (2004) menunjukkan bahwa faktor risiko lingkungan yakni lama tinggal di daerah endemik kusta selama lebih dari lima tahun serta kontak dengan penderita kusta multibasiler berperpengaruh terhadap kejadian kusta pada anak. Peneltian Patmawati dan Nurjazuliand Onny Setiani (2015) menunjukkan bahwa kondisi lingkungan, yakni luas ventilasi, intensitas pencahayaan, kelembaban, kepadatan hunian dan frekuensi mengganti alas tidur merupakan faktor risiko terjadinya penyakit kusta. Angka prevalensi kusta pada anak dapat digunakan sebagai tolak ukur derajat endemisitas kusta di suatu daerah. Jika ditemukan anak sebagai penderita kusta, maka orangtua dapat dimintai keterangan, seperti onset dan perjalanan penyakit serta kemungkinan paparan lingkungan (Agusni, 2010). Blum (dalam Norlatifah et al. 2010) mengatakan bahwa lingkungan merupakan faktor penyumbang terbesar kejadian penyakit, kemudian perilaku, pelayanan kesehatan dan genetik. Lingkungan dapat menjadi tempat berkembangbiaknya berbagai bakteri, termasuk bakteri kusta (Mycobacterium). 4
Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan fisik rumah merupakan bagian dari lingkungan fisik yang dapat mempengaruhi kesehatan individu dan masyarakat. Rumah yang menjadi tempat tinggal harus memenuhi syarat kesehatan seperti ventilasi dan kelembaban rumah yang baik,kepadatan hunian sesuai dengan luas rumah yang di tempati dan lantai rumah yang terbuat bukan dari tanah (Norlatifah et al. 2010). Kepadatan penghuni dalam satu tempat tinggal akan memberikan pengaruh bagi para penghuninya. Bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, terutama kusta maka penderita akan banyak kontak dengan non penderita dan dapat menularkan penyakit kusta ke anggota keluarga yang lain. seorang penderita rata-rata dapat menularkan dua sampai tiga orang di dalam rumahnya (Adwan et al. 2014). Selain kepadatan hunian, kebersihan perorangan yang buruk juga dapat memberikan kontribusi yang berarti pada kejadian penyakit kusta. Tingkat pengetahuan seseorang tentang penyakit kusta akan sejalan dengan perilaku Hygiene dalam kehidupan sehari-harinya. Perilaku Hygiene memiliki hubungan yang bermakna pada penularan penyakit kusta (Manyullei & Syamsuar 2012). Mengingat kejadian kusta pada anak masih tinggi di Distrik Pasir Putih Kabupaten Manokwari, serta belum pernah dilakukan penelitian tentang faktor lingkungan dan kejadian kusta pada anak diwilayah kerja Puskesmas Pasir Putih, maka berdasarkan hal tersebut diatas penulis tertarik untuk mengambil judul tentang Hubungan faktor risiko lingkungan dengan kejadian kusta pada anak diwilayah Puskesmas Pasir Putih Kabupaten Manokwari. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan terdahulu, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Apakah ada hubungan faktor risiko lingkungan (riwayat kontak, kepadatan hunian, kelembaban, ventilasi rumah, jenis lantai dan dinding rumah) dengan kejadian kusta anak di wilayah Puskesmas Pasir Putih Kabupaten Manokwari. 5
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan dan yang dominan berhubungan faktor risiko lingkungan dengan kejadian kusta pada anak di wilayah kerja Puskesmas Pasir Putih Kabupaten Manokwari. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui hubungan riwayat kontak anak (kontak serumah, kontak tetangga dan kontak sosial) dengan kejadian kusta pada anak di wilayah Puskemas Pasir Putih b. Mengetahui hubungan kepadatan hunian (rumah dan kamar) dengan kejadian kusta pada anak di wilayah Puskesmas Pasir Putih. c. Mengetahui hubungan kelembaban rumah dengan kejadian kusta pada anak di wilayah Puskesmas Pasir Putih. d. Mengetahui hubungan Jenis lantai rumah dengan kejadian kusta pada anak di wilayah Puskesmas Pasir Putih e. Mengetahui hubungan ventilasi rumah dengan kejadian kusta pada anak di wilayah Puskesmas Pasir Putih. f. Mengetahui hubungan Jenis dinding rumah dengan kejadian kusta pada anak di wilayah Puskesmas Pasir Putih. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan wawasan tentang upaya mengurangi kejadian kusta pada anak terutama pada faktor risiko lingkungan fisik rumah yang dapat memicu kejadian kusta pada anak. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Peneliti Manfaat penelitian ini bagi peneliti antara lain untuk menambah pengetahuan dan wawasan dalam bidang pencegahan kusta pada anak dengan menjaga sanitasi lingkungan. 6
b. Bagi Instansi Pemerintah Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada instansi terkait, seperti : 1. Dinas Kesehatan, khususnya Dinas Kesehatan Kabupaten Manokwari dalam menetapkan dan menentukan program kebijakan upaya pencegahan dan pengobatan penyakit kusta guna mencegah kejadian kusta pada anak. 2. Dinas Pekerjaan umum dan kalangan pengembangan perumahan dalam mengupayakan/perbaikan rumah masyarakat agar menjadi perumahan yang sehat dan terjangkau oleh masyarakat. E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang hubungan faktor risiko lingkungan dengan kejadian kusta pada anak belum pernah dilakukan di Kelurahan Pasir Putih Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat. Mengingat keterbatasan penulis dalam kepustakaan, tidak menutup kemungkinan bahwa variabel dan teknik pengukuran yang diteliti sama dengan peneliti lain. Penelitian yang serupa dan hampir sama yang pernah dilakukan adalah : 1. Awaludin (2004) melakukan penelitian dengan judul beberapa faktor risiko kontak dengan penderita kusta dan lingkungan yang berpengaruh terhadap kejadian kusta pada anak di puskesmas wilayah kabupaten brebes. Jenis penelitian ini menggunakan rancangan case control. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor risiko yang pengaruh terhadap kejadian kusta pada anak adalah lama tinggal di daerah endemik kusta > = 5 tahun OR 32,1 (95%CI:3,9-266,3), kontak dengan penderita kusta OR 30,3 (95%CI:3,9-233,9) dan kelompok umur 10-14 tahun OR 7,1 (95%CI:1,1-45,2). Perbedaan pada penelitian ini dengan yang akan dilakukan oleh peneliti saat ini adalah pada penelitian yang dilakukan awaludin adalah meneliti tentang beberapa faktor risiko kontak dengan penderita kusta, tipe kusta, lama tinggal di daerah endimk kusta, umur, riwayat vaksinasi BCG, kepadatan penghuni dan karakteristik orang tua (variabel bebas) yang berpengaruh pada kejadian kusta 7
pada anak dan mengambil lokasi penelitian di wilayah puskesmas kabupaten brebes, sementara pada penelitian ini meneliti hanya ke faktor risiko lingkungan (variabel bebas) yaitu riwayat kontak (serumah, tetangga dan sosial) dan kondisi fisik rumah dengan kejadian kusta pada anak dan mengambil lokasi di wilayah puskesmas pasir putih Kabupaten Manokwari. 2. Santos et al (2016) melakukan penelitian dengan judul Leprosy in children and adolescents under 15 years old in an urban centre in Brazil. Jenis penelitian ini menggambarkan distribusi intra-urban kasus kusta pada penduduk berusia di bawah 15 tahun di Salvador, Bahia, Brazil dan mengidentifikasi lingkungan yang menjadi penyebab timbul kuman Mycobacterium leprae.variabel yang diteliti yaitu jenis kelamin, kelompok umur (0-14 tahun), tipe kusta, bentuk klinis kusta, jenis kontak (serumah dan tetangga) dan lingkungan (lama tinggal di endemis kusta) lingkungan (kontak dengan teman-teman dekat), dengan rancangan penelitian yaitu case control. Hasil penelitian menunjukkkan bahwa dari 157 lingkungan dari Salvador, 44 (28,6%) diberitahu penyebab kasus kusta, Bentuk klinis kusta menular ditemukan pada 40% kasus. 52,6% terinfeksi kusta melalui kontak serumah dan 25% dalam lingkungan social, danlebih dari 90% dari kasus kusta yaitu lama tinggal di Salvador (daerah endemis kusta) selama lebih dari lima tahun. 3. Setiani (2014) melakukan penelitian dengan judul Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Kusta di Wilayah Kerja Puskesmas Kabunan Kabupaten Pemalang. Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan metode survey yang menggunakan rancangan case control. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara kepadatan hunian (p=0,000, OR=7,22), lama kontak (p=0,000, OR=6,3), dan kebersihan individu (p=0,001, OR=6,44) dengan penyakit kusta. Perbedaan penelitian ini dengan yang akan dilakukan oleh peneliti saat ini adalah pada penelitian Lia Setiani meneliti tentang faktor-faktor yang berhubungan (kepadatan hunian, lama kontak dan perilaku) dengan kajadian kusta dan mengambil lokasi penelitian di wilayah kerja puskesmas kabunan Kabupaten Pemalang, sementara pada penelitian ini meneliti hanya ke faktor risiko lingkungan yaitu riwayat kontak (serumah, 8
tetangga dan sosial) dan kondisi fisik rumah dengan kejadian kusta pada anak dan mengambil lokasi di wilayah puskesmas pasir putih Kabupaten Manokwari. 9