BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia menyelenggarakan pemerintahan negara dan pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat adil, makmur, dan merata berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, Negara Keatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada (Yani, 2008). Tujian pelaksanaan otonomi daerah adalah demi terwujudnya kemandirian daerah, pemerintah daerah yang semakin responsif terhadap masyarakat, meningkatnya partisipasi publik dalam pembangunan, meningkatnya efisiensi dan efektivitas pengelolaan keuangan dan pelayanan publik sehingga pada akhirnya kesejahteraan rakyat dapat tercapai. Dengan otonomi, pemerintah daerah diberi kewenangan untuk menentukan program pembangunan sesuai dengan kebutuhan daerah. Selain itu, APBD cukup disahkan oleh DPRD, tidak harus disahkan oleh presiden melalui menteri dalam negeri seperti sebelum pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Menurut Yani (2008) Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan agar hubungan keuangan,
pelayanan umum, serta pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang. Kebijakan pengelolaan keuangan berfokus pada optimalisasi fungsi dan manfaat pendapatan, belanja, dan pembiayaan demi tercapainya masyarakat yang sejahtera dan mandiri. Perwujudan otonomi daerah adalah kemampuan daerah untuk mengurus pemerintahan maupun pembangunan secara mandiri. Oleh karena itu, pemerintah daerah diberi kewenangan untuk memanfaatkan sumber-sumber keuangan sendiri berupa Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sumber utamanya adalah pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang disahkan. Pendapatan Asli Daerah (PAD) ini bertujuan untuk memberikan keleluasaan bagi daerah untuk menggali pendanaan, dalam hal ini belanja daerah, dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi. Setiap daerah di Indonesia memiliki perbedaan potensi dan kebutuhan daerah dan sumber daya serta beban fungsi antar tingkat pemerintahan. Keadaan ini menimbulkan kemampuan keuangan (revenue capacity) yang berbeda-beda antar daerah. Untuk menyeimbangkan ketimpangan sumber pendanaan antara pusat dan daerah serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan antar daerah, maka ditetapkan transfer dana perimbangan yang terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAU). Ada dua faktor utama yang menentukan besarnya transfer (DAU) dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah. Faktor pertama adalah kebutuhan daerah (needs). Faktor kedua adalah faktor kemampuan finansial daerah yang adalah kemampuan dasar dalam membiayai belanja daerah yang berasal dari PAD dan DBH. Untuk melihat kesiapan pemerintah daerah dalam menghadapi otonmi daerah khususnya di bidang keuangan, diukur dari seberapa jauh kemampuan pembiayaan urusan bila didanai sepenuhnya oleh pendapatan asli daerah (PAD) dan dana bagi hasil (DBH). Oleh sebab itu, jika pemerintah daerah dapat mengoptimalkan penerimaan dari pajak dan sumber daya alam yang dimiliki. Apabila pendapatan yang diperoleh semakin tinggi, maka transfer DBH yang diterima pun cenderung akan semakin besar (LPEM UI, 2002). Salah satu fenomena yang paling mencolok dari otonomi daerah di Indonesia adalah ketergantungan pemerintah daerah yang tinggi terhadap pemerintah pusat. Ketergantungan ini terlihat jelas dari aspek keuangan. Alokasi transfer (DAU) yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah kurang memperhatikan kemampuan daerah dalam mengoptimalkan sumber-sumber pendanaannya. Akibatnya, pemerintah daerah akan selalu menuntut transfer yang besar dari pemerintah pusat, bukannya memaksimalkan kapasitas fiskal daerah (potensi fiskal). Ketergantungan ini akan menimbulkan rendahnya peran daerah itu sendiri dalam mendanai belanja daerah serta semakin dominannya peran transfer dari pusat, dalam hal ini adalah Dana Alokasi Umum (DAU). Fenomena tersebut di dalam banyak literatur disebut sebagai flypaper effect. Setiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Riau selama ini dikenal memiliki keunggulan karena letaknya yang strategis. Pertama, Riau dekat
dengan negara-negara ASEAN, terutama singapura, Malaysia dan Thailand. Kedua, Riau terletak di rute perdagangan dan pelayaran internasional di Asia- Pasifik. Ketiga, lokasi Riau dekat dengan Singapura yang merupakan salah satu pusat perdagangan dunia. Keempat, Riau terletak di tengah Pulau Sumatera, dilewati lintas Barat dan lintas Timur (Rachman, 2003). Selain letaknya yang strategis, Riau selama ini dikenal sebagai provinsi yang kaya dengan sumber daya alam seperti minyak dan gas bumi, mineral, kehutanan, perikanan, pertanian perkebunan (kelapa sawit, kelapa, karet, sagu), pertanian tanaman pangan, dan kepariwisataan. Provinsi Riau menghasilkan lebih kurang 60 persen minyak Indonesia, memiliki cadangan gas alam yang besar di Natuna, penghasil minyak kelapa sawit terbesar di Indonesia (Rachman, 2003). Berbagai kondisi tersebut merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan daerah untuk mendanai Belanja Daerah. Dengan pengelolaan yang baik atas potensi keuangan daerah tersebut, seharusnya Riau dapat menjadi daerah yang mandiri tanpa perlu meminta dana dari pusat dalam jumlah besar untuk membiayai Belanja Daerah. Oleh karena itu peneliti ingin meneliti apakah terjadi flypaper effect pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Riau dengan melihat seberapa besar pengaruh kapasitas fiskal dan DAU terhadap Belanja Daerah. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : FENOMENAFLYPAPER EFFECT PADA BELANJA DAERAH PEMERINTAHAN KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI RIAU
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Apakah DAU dan kapasitas fiskal berpengaruh positif terhadap Belanja Pemerintahan Kabupaten/Kota di Propinsi Riau? 2. Apakah terjadi Flypaper Effect pada Belanja Pemerintahan Kabupaten/Kota di Propinsi Riau? 3. Apakah Pemerintah Kabupaten/Kota Bertumpu pada DAU dalam menyusun Belanja Daerah periode ke depan? C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan pokok permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Membuktikan secara empiris adanya pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan kapasitas fiskal terhadap Belanja Pemerintahan Kabupaten/Kota di Propinsi Riau. b. Membuktikan secara empiris kemungkinan terjadinya flypaper effect pada Belanja Pemerintahan Kabupaten/Kota di Propinsi Riau. c. Membuktikan secara empiris pengaruh DAU terhadap Belanja Daerah Periode ke depan.
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain sebagai berikut : 1. Bagi Peneliti, sebagai wadah untuk mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan teori yang telah dipelajari selama kuliah, serta untuk menambah wawasan tentang fenomena flypaper effect pada Belanja Daerah di Kabupaten/Kota di Propinsi Riau. 2. Bagi Pemerintah, memberikan masukan baik bagi Pemerintahan Pusat maupun daerah dalam hal pengelolaan keuangan daerah. 3. Bagi Akademisi, sebagai bahan referensi dan sumber informasi dalam melakukan penelitian sejenis.