BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Buruh adalah salah satu bagian sosial dari bangsa yang seharusnya dianggap penting dan strategis dalam pembangunan serta berjalannya perekonomian bangsa. Opini masyarakat yang mengatakan bahwa buruh belum siap untuk pembangunan perekonomian negara, dikarenakan buruh tidak mendapatkan kesejahteraan dan kehidupan kerja yang layak di lingkungan kerja. Pihak perusahaan selalu mengutamakan kepentingan pribadi, dari pada kepentingan buruh yang telah bekerja untuk perusahaan. Pada saat ini, di lingkungan kerja, terdapat pemerasan terhadap buruh yang terus berlangsung yaitu upah yang tidak sesuai, dan pemerasan jam kerja, maka sadar atau tidaknya hak-hak buruh belum sepenuhnya diperhatikan (http://www.koranburuh.org diakses pada tanggal 18 Februari 2011, pukul 13.15 WIB). Aksi ratusan massa memperingati Hari Buruh 1 Mei 2011 di halaman gedung DPRD Sumut dan Kantor Gubsu, berlangsung tertib. Buruh dari berbagai organisasi yang mengatasnamakan Front Persatuan Pembebasan Buruh meminta agar pemerintah menghapuskan sistem buruh kontrak (outsourcing), buruh harian lepas dan buruh borongan. Selain itu, bubarkan pengadilan hubungan industrial karena tidak memberi keberpihakan dan solusi bagi penyelesaian kasus buruh serta mereka menuntut dihentikannya kekerasan dan diskriminasi bagi buruh anak dan buruh
perempuan (Harian Analisa:2011). Fenomena yang menarik tema gerakan buruh selama ini yaitu mengenai buruh kontrak, upah yang tidak setimpal antara tenaga dan waktunya yang digunakan dan ternyata buruh tidak mendapatkan timbal balik atau balasan yang setimpal. Pengusaha dan pemodal memberikan bentuk penindasan seperti pemberian upah buruh yang tidak layak atau tidak sesuai dengan standar hidup, pemotongan-pemotongan gaji, dan beberapa beban beban lain yang ditindihkan kepada para buruh (Harian Kompas:2007). Secara konteks di Indonesia, kenyataannya bahwa buruh mempunyai posisi kelas dua dibawah para majikan dan kondisi buruh pada saat ini semakin buruk dengan bergantinya pemerintahan. Sebagaimana yang dialami buruh dari PT. Dirgantara Indonesia mengatakan bahwa selama 17 tahun menjadi buruh, kondisi buruh tidak semakin membaik. Pada zaman kepemimpinan presiden Soeharto, terdapat adanya pertimbangan terlebih dahulu jika pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi dan hal tersebut yang dapat mensejahterakan kehidupan buruh. Namun pada saat sekarang ini dengan mudahnya pihak pengusaha memberhentikan pekerja karena kurangnya kontrol dari pemerintah untuk perusahaan (http//tempointeraktif.com diakses pada tanggal 20 Februari 2011, pukul 10.10 WIB). Adanya kesepakatan atau perjanjian kerja bersama antara buruh dengan pihak perusahaan yang harus diikuti dan dilakukan buruh dalam lingkungan kerja perusahaaan dan hak-hak buruh dijamin oleh konstitusi negara dan juga terkait pada pasal 27 ayat (2) UUD tahun 1945 menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Dilihat di Indonesia pada saat ini jumlah angkatan kerja di Indonesia adalah sebesar 35.479.000 orang dan 87 persen dari angkatan kerja tersebut didominasi oleh kaum perempuan (Sakernas:Survei Angkatan Kerja Nasional 2003). Dominasi perempuan yang belum menikah terserap dan bekerja dibeberapa industri padat karya seperti dipabrik, dan menjadi pekerja di toko-toko. Perempuan bekerja sebagai buruh dalam lingkungan kerja yang mengalami marginalisasi, subordinasi, stereotype, dan diskriminasi bagi pihak perusahaan. Salah satu bentuk diskriminasi di pasar kerja yang banyak mendapat sorotan adalah diskriminasi upah menurut jenis kelamin. Perusahaan dianggap melakukan pembedaan upah tanpa kriteria obyektif atau terkait dengan kinerja buruh. Buruh perempuan di Indonesia menerima upah lebih rendah dari pada buruh laki-laki. Secara rata-rata keseluruhan buruh perempuan hanya menerima 74 persen dari upah yang diterima buruh laki-laki. Perbedaan upah buruh itu konsisten di setiap provinsi, dengan rasio upah perempuan dibandingkan dengan laki-laki yang bervariasi (Kompas:2007). Berdasarkan kasus-kasus tindak diskriminasi ini dapat dilihat tidak berjalannya undang-undang tentang ketenagakerjaan di perusahaan-perusahaan, yaitu dapat dilihat dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.7 Tahun 1984 Tanggal 24 JULI 1984 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. Masalah diskriminasi pekerjaan tidak mengenal pembedaan upah antara laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan sama, tetapi membatasi akses perempuan pada pekerjaan tertentu. Lebih spesifik lagi, perempuan hanya diberi akses untuk pekerjaan "marjinal" yang upahnya lebih rendah dari laki-laki. Adanya aksi yang dilakukan puluhan perempuan yang para demonstran memprotes Undang Undang
Ketenagakerjaan yang dinilai mendiskriminasikan perempuan. Satu di antaranya upah perempuan lebih rendah ketimbang laki-laki. Menurut demonstran, kesejahteraan perempuan tak lepas dari kemakmuran rakyat. Undang-undang ketenagakerjaan no 13 tahun 2003 menyatakan bahwa buruh perempuan adalah buruh yang memiliki hak-hak dan kewajiban, serta kesamaan kesempatan pekerjaan yang berdasarkan undang-undang yang telah ditetapkan. Buruh perempuan juga merupakan buruh yang memperoleh dampak dari sistem dominasi di dalam lingkungan kerja yang menjadi fenomena dari produk kapitalisme modern yang artinya buruh perempuan mengalami kondisi yang selalu di tempatkan di bagian terbawah dari buruh laki-laki dan dianggap sebagai tulang punggung dari proses produksi di lingkungan kerja. Pada satu sisi masuknya perempuan kedalam sektor industri ini dilihat sebagai proses pembebasan berupa emansipasi perempuan memasuki dunia kerja, sehingga bisa lepas dari belenggu pekerjaan domestik yang cukup membebani perempuan dari sektor beban kerja. Kondisi buruh masih memprihatinkan yaitu masih pada persoalan yang bersifat klasik seputar masalah kondisi upah yang masih sangat rendah dan belum lagi ditambah dengan persoalanpersoalan lain seperti kesehatan reproduksi, diskriminasi, pelecehan seksual dan lainlain. Pembicaraan mengenai kondisi buruh perempuan di lingkungan kerja selama ini memang diarahkan kepada kondisi upah mereka yang cukup rendah dibandingkan buruh laki-laki ataupun buruh perempuan di negara lain. Buruh laki-laki dianggap lebih rasional, kuat dan lebih bebas berkarir yang berpengaruh pada industri. Banyak bagian pekerjaan yang mampu buruh laki-laki kerjakan, bahkan buruh laki-laki
disediakan fasilitas kerja yaitu tersedianya kamar kecil yang sanitasinya terjaga untuk kesehatan reproduksi mereka. Buruh laki-laki lebih mendapatkan upah yang lebih tinggi dikarenakan pengaruh budaya patriarki yang selalu berjalan di masyarakat dan buruh laki-laki lebih berpeluang meniti jenjang karir hingga posisi tertinggi di lingkungan kerja (Harmona Daulay:2007). Buruh perempuan dalam dunia kerja 80 persen mengalami diskriminasi. Disini terlihat pada kondisi buruh perkebunan di Sumatera Utara yang 70 persen membedakan pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan, yaitu buruh laki-laki dipekerjakan sebagai buruh syarat kerja umum (SKU) yang selalu memperoleh upah pokok dan jaminan sosial yang diatur sesuai dengan perjanjian kerja bersama yang disepakati oleh pihak perusahaan dengan perwakilan serikat buruh setempa, sedangkan buruh perempuan hanya dipekerjakan sebagai buruh harian lepas (BHL) yang memperoleh upah harian, kerja sesuai dengan target sistem kerja yang sama dengan SKU buruh harian tetap tanpa mendapatkan hak atas jaminan sosial buruh, dan juga tidak diberikan kejelasan atas spesialisasi kerja dan peraturan kerja BHL hanya tergantung kepada asisten kebun dan mandor (Kelompok Pelita Sejahtera:2008). Sistem kekerabatan masyarakat Indonesia umumnya adalah masyarakat patriakat. Patriakat adalah kekuasaan berada di tangan ayah atau pihak laki-laki. Ideologi Patriarki berkembang dalam masyarakat yang menganut sistem patrilinieal, dimana laki-laki pada sistem ini sangat dominan, dan menjadi tokoh penting dalam lingkungan kerja, juga dalam berbagai bidang, baik dalam masyarakat adat, kekuasaan, maupun akses terhadap bidang ekonomi. Nilai patriaki yang ada dalam
masyarakat masih menjadi referensi masalah relasi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan. Dalam nilai patriaki, kedudukan laki-laki ditempatkan lebih tinggi dari perempuan dalam aspek kehidupan. Perempuan dianggap sebagai sub-ordinat lakilaki dan masih dimarginalkan. Kedudukan seperti ini menyebabkan otoritas mengambil keputusan hak dan kewajiban berada di tangan laki-laki. Peraturan hak dan kewajiban yang dapat dibedakan dalam dua bentuk kelompok yaitu hak dan kewajiban yang sifatnya makro minimal yang artinya peraturan yang ditetapkan dalam perundang-undangan ketenagakerjaan. Artinya adalah hal-hal yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan berlaku menyeluruh bagi semua perusahaan dengan standar minimal, meskipun perusahaan dapat menerapkan standar yang lebih tinggi dari pada yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan. Peraturan hak dan kewajiban yang sifatnya mikro kondisional dalam pengertian bahwa standar yang hanya diberlakukan bagi perusahaan secara individual telah sesuai dengan kondisi perusahaan bersangkutan. Peraturan ini berlaku bagi pekerja atau buruh secara perorangan dalam bentuk perjanjian kerja perorangan, dan berlaku secara kolektif dalam bentuk peraturan perusahaan (PP) atau perjanjian kerja bersama (PKB) (Adrian Sutedi, 2009: 29). Hasil observasi sementara, CV. Madani Anugrah Semesta tidak memberlakukan peraturan pemberian cuti haid, cuti hamil, dilarang menikah dan tidak diberikan peningkatan karir selama masa kerja di CV. Madani Anugrah Semesta. Pada dasarnya CV. Madani Anugrah Semesta memiliki lebih banyak buruh perempuan sebagai sales alat alat elektronik. Buruh perempuan dan pihak perusahaan
telah melakukan perjanjian kerja dalam hubungan kerja yang disepakati bersama. CV.Madani Anugrah Semesta memberikan jam kerja dari pukul 08.00 pagi-16.00 sore untuk kerja lapangan dalam menawarkan dan menjual barang-barang elektronik yang akan mereka jual setiap harinya. Disini buruh dan pihak perusahaan melakukan perjanjian kerja atas dasar kesepakatan bersama, dan hal-hal yang dilakukan buruhburuh di lingkungan tempat kerjanya harus sesuai dengan perjanjian kerja yang telah dilakukan. Hubungan kerja yang disepakati antara para buruh dengan atasannya melalui perjanjian kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan tenaga kerja, tetapi masih banyak buruh perempuan yang mau bekerja di CV. Madani Anugrah Semesta. Hal ini yang menjadi alasan peneliti tertarik meneliti masalah mengenai analisis posisi buruh perempuan dalam lingkungan kerja. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi perumusan masalah adalah : 1. Bagaimana sebenarnya posisi buruh perempuan pada CV. Madani Anugrah Sejahtera? 2. Bagaimana respon buruh perempuan terhadap posisi tersebut? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah diatas maka yang menjadi tujuan yang diharapkan dan dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah untuk mengetahui
posisi buruh perempuan dan mengetahui respon buruh perempuan terhadap posisi kerja di CV. Madani Anugrah Semesta. 1.4 Manfaat Penelitian Setelah mengadakan penelitian ini, diharapkan manfaat penelitian ini berupa : 1.4.1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada peneliti dan juga kepada pembaca mengenai posisi dan respon buruh perempuan dalam perusahaan dan bermanfaat dalam mengembangkan teori ilmu ilmu sosial khususnya ilmu sosiologi perburuhan, sosiologi gender dan sosiologi industri. Selain itu diharapkan juga dapat memberikan kontribusi kepada pihak yang memerlukannya. 1.4.2. Manfaat Praktis Hasil penelitian diharapkan dapat meninggalkan kemampuan penulis melalui penelitian ini, menambah referensi dari hasil penelitian dan juga di jadikan rujukan bagi penelitian berikutnya yang ingin mengetahui lebih dalam lagi terkait dengan penelitian sebelumnya, dan juga dapat menghasilkan informasi yang berisikan tentang adanya diskriminasi buruh perempuan. 1.5 Definisi Konsep 1. Diskriminasi adalah suatu pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, dimana layanan ini di buat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Dalam penelitian ini mengkaji analisis posisi buruh perempuan di tempat kerja yang tidak sesuai dengan aturan bekerja individu berdasarkan hubungan
industri dan perjanjian kerja, seperti, tidak adanya peningkatan karir bagi buruh perempuan. 2. Buruh perempuan adalah salah satu pekerja perempuan yang bekerja pada sektor industri dan kondisinya adalah mempromosikan barang-barang produksi pada masyarakat di Medan. 3. Perempuan adalah jenis kelamin pada individu yang selalu dianggap lemah dan berada di bawah status laki-laki. 4. Hubungan Industrial adalah hubungan kerja antara buruh dengan atasan yang berdasarkan atas kesepakatan hubungan kerja melalui perjanjian kerja. 5. Lingkungan Kerja adalah perusahaan atau tempat bekerjanya para buruh. Di dalam CV. Madani Anugrah Semesta buruh perempuan tidak mendapatkan peningkatan karir selama massa buruh perempuan tersebut bekerja, sedangkan lakilaki lebih diutamakan untuk mendapatkan peningkatan karir dari pihak perusahaan. 6. Ketimpangan gender adalah perbedaan peran dan hak perempuan dan laki-laki di masyarakat yang menempatkan perempuan dalam status lebih rendah dari laki-laki. kondisi ketidakadilan yang lahir dari pembedaan sosial antara laki-laki dan perempuan. Pada umumnya dari perempuan menjadi korban dari ketimpangan gender. 7. Subordinasi adalah suatu penilaian atau anggapan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya. CV. Madani Anugrah Semesta lebih mengutamakan laki-laki dalam peningkatan karir di perusahaannya. 8. Stereotipe adalah pelabelan yang ada pada perempuan yang sering kali bersifat negatif, secara umum selalu melahirkan ketidakadilan pada salah satu jenis
kelamin tertentu. Pada kenyataannya stereotipe selalu merugikan dan menimbulkan diskriminasi. 9. Marginalisasi adalah pembatasan yang dilakukan pihak perusahaan yang meminggirkan buruh perempuan dan mengakibatkan kemiskinan bagi kehidupan buruh sebagai perempuan dalam lingkungan kerja di CV. Madani Anugrah Semesta. 10. Patriarkhi adalah sebuah sistem sosial dimana dalam lingkungan kerja kekuasaan berada pada pihak perusahaan (laki-laki) dan buruh laki-laki atau sistem sosial yang lebih mengutamakan laki-laki.