BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Tahu merupakan makanan yang biasa dikonsumsi bukan hanya oleh masyarakat Indonesia tetapi juga masyarakat Asia lainnya. Masyarakat Indonesia sudah sangat lama mengkonsumsi jenis makanan tahu sebagai pemenuhan zat gizi untuk tubuh. Menurut data publikasi statistik Indonesia yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2015, tingkat konsumsi tahu masyarakat Indonesia mencapai 0,14 kg per kapita perminggu. Nilai konsumsi tahu tersebut lebih besar bila dibandingkan dengan konsumsi makanan sumber protein nabati lainnya seperti tempe yang mencapai 0,138 kg per kapita perminggu. Apabila dibandingkan dengan konsumsi makanan sumber protein hewani seperti susu, daging ayam maupun daging sapi, tingkat konsumsi tahu lebih tinggi dibandingkan dengan sumber makanan hewani tersebut. Konsumsi susu, daging ayam, dan daging sapi berturut-turut yaitu 0,028 kg, 0,078 kg, dan 0,07 kg per kapita perminggu. Hal ini menunjukkan bahwa tahu merupakan alternatif jenis makanan sumber protein yang dipilih masyarakat Indonesia untuk memenuhi kebutuhan gizi seharihari. Menurut Dokumen Standar Nasional Indonesia 01-3142-1998 tahu adalah suatu produk makanan berupa padatan lunak yang dibuat melalui proses pengolahan kedelai ( Glycine species) dengan cara pengendapan 1
proteinnya, dengan atau tanpa penambahan bahan lain yang diijinkan. Sedangkan menurut Radiyati, et al. (1992) tahu merupakan zat protein yang berasal dari kedelai dan dilarutkan dengan menggunakan pelarut air serta diendapkan kembali dengan penambahan bahan-bahan pengendap sampai terbentuk gumpalan-gumpalan protein yang akan menjadi tahu. Beberapa komponen nutrisi dalam tahu yaitu air, protein, abu, serat kasar, dan lemak. Kandungan air dalam tahu bisa mencapai 80% - 85%, diikuti dengan kandungan protein sebasar 9%, sedangkan sisanya merupakan komponen penyusun tahu lainnya. Komponen-komponen seperti inilah yang menyebabkan tahu memiliki masa simpan yang relatif pendek, sehingga perlu penangan pengolahan yang cepat sebelum tahu mengalami kerusakan. Kandungan nutrisi pada tahu bisa dijadikan sebagai sumber atau media pertumbuhan mikrobia baik yang bersifat pembusuk (spoilage) maupun patogen. Pengrajin atau produsen tahu di Indonesia rata-rata masih dalam skala Usaha Kecil dan Menengah (UKM), dimana dalam kegiatan operasionalnya masih memiliki beberapa kendala antara lain yaitu masih kurangnya modal sehingga berimbas pada ketersediaan sarana dan prasarana yang belum memadahi apabila dilihat dari aspek sanitasi. Peralatan yang digunakan dalam proses produksi masih menggunakan peralatan manual dalam proses penyeringan seperti penggunaan kain untuk memisahkan sari kedelai dengan ampas tahu. Proses penyaringan manual seperti ini mempunyai peluang kontaminasi yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan proses penyaringan 2
secara modern dengan menggunakan teknologi filtrasi dan sentrifugasi karena dapat meminimalkan kontak dengan manusia atau pekerja. Selain itu pekerja atau perajin tahu kurang atau bahkan tidak memiliki pengetahuan tentang higiene dan sanitasi dalam proses pembuatan atau pengolahan produk makanan. Hal ini pulalah yang dapat mempercepat terjadinya kontaminasi pada produk tahu yang dihasilkan sehingga akan lebih mudah mengalami kebusukan. Pekerja atau food handler mempunyai andil besar dalam menciptakan produk makanan yang bersih dan minim kontaminasi mikrobia, sehingga apabila pekerja minim dalam usaha menjaga kebersihan personalnya maka produk yang ditangani akan semakin banyak terjadi kontaminasi. Tahu dengan karakteristik tinggi kadar air, protein maupun ph yang netral pada suhu kamar sangat mudah sekali ditumbuhi mikrobia pembusuk. Mikrobia pembusuk ini akan merusak kualitas tahu terutama akan mengubah aroma. Tahu yang mengalami penurunan kualitas secara mikrobiologis ditandai dengan tingginya kandungan mikrobia. Bahkan secara fisik tahu yang rusak dapat dikenali dengan adanya lendir. Menurut Joo et al. (1998) terdapat bermacam -macam jenis mikrobia pembusuk atau patogen yang dapat merusak kualitas tahu. Jenis mikrobia yang sering merusak tahu yaitu Acinotobacter calcoaceticus, Bacillus cereus, Klebsiella pneumonia dan Xenorhabdus luminescens. Beberapa jenis mikrobia spoilage lain yang mengkontaminasi tahu antara lain: Listeria monocytogenes, E. coli, Salmonella spp., Pseudomonas spp., Staphylococcus spp., dan Enterococcus spp. 3
Dari berbagai jenis mikrobia yang mengkontaminasi tahu, Bacillus cereus merupakan salah satu jenis mikrobia yang bersifat patogen. Bacillus cereus dapat menyebabkan keracunan makanan sehingga manusia yang mengkonsumsi makanan yang mengandung Bacillus cereus akan mengalami foodborne illness. Penyakit ini muncul dengan gejala seperti diare maupun muntah yang muncul mulai terjadi setelah 6-15 jam setelah mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi. Menurut Kumari (2016) secara alami Bacillus cereus mudah ditemukan pada materi organik yang sudah mengalami pembusukan, air laut, usus hewan, tanah dan produk makanan berbahan susu. Bakteri ini juga mudah segera menyebar dan berkembang biak pada berbagai jenis makanan antara lain: susu, sayuran, beras, daging maupun bumbubumbuan. Kontaminasi Bacillus cereus bisa diduga melalui perantara air, tanah yang melekat pada kedelai ataupun melalui pekerja yang tidak memelihara kebersihan diri. Proses pembuatan tahu melibatkan proses panas yaitu pada saat pemasakan bubur kedelai atau kedelai yang sudah digiling. Bubur kedelai yang sudah dipanaskan kemudian dilakukan pemisahan antara sari kedelai dengan ampas kedelai. Sari kedelai digumpalkan dengan menambahkan kecutan untuk menggumpalkan protein kedelai. Kecutan merupakan whey yang dihasilkan pada saat proses pembuatan tahu sebelumnya. Namun hal biasa yang dilakukan oleh pengrajin tahu, tahu yang sudah dicetak pada saat pengangkutan maupun pemasaran dibiarkan terbuka tanpa adanya proses 4
pengemasan dan direndam di dalam bak air. Apabila sumber air yang digunakan tidak bersih tentu akan terjadi kontaminasi dari air ke tahu. Proses termal merupakan prosedur pengawetan makanan yang lazim digunakan. Proses termal dengan memanfaatkan panas yang dikenakan pada bahan pangan dapat membunuh mikrobia, sehingga dengan adanya proses tersebut diharapkan akan meningkatkan masa simpan. Proses termal akan menginaktivasi enzim, sehingga proses degradasi zat makanan oleh enzim akan dapat dicegah. Hal ini juga membantu dalam proses pengawetan makanan. Proses termal yang tepat akan memperbaiki kualitas makanan yang diharapkan, terutama yang berkaitan dengan perubahan warna, tekstur, flavor dan daya cerna makanan. Proses termal yang dikenakan pada makanan bisa berupa proses blanching, frying, evaporasi, ekstrusi, sterilisasi, dan pasteurisasi Secara keseluruhan kualitas tahu dapat dilihat dari 3 aspek yaitu aspek fisik; aspek kimia; dan aspek mikrobiologis. Kualitas tahu dari aspek fisik dapat dilihat dari penampakan tekstur, warna, bau maupun rasa. Sedangkan kualitas tahu ditinjau dari aspek kimia dilihat dari kandungan protein, lemak, kadar air maupun serat kasar. Kualitas tahu dari aspek mikrobiologis dapat dilihat kandungan mikrobia yang mengkontaminasi tahu. Menurut SNI 01-3142-1998 tahu dikatakan memiliki kualitas yang baik apabila dari segi penampakan terlihat normal tidak berlendir maupun berjamur. Tahu yang baik memiliki warna putih maupun kuning yang normal. Kandungan abu, lemak dan protein tahu yang baik menurut SNI 01-3142-1998 berturut-turut 5
yaitu 1, 0,5 dan 9 %(b/b). Sedangkan kualitas tahu dari aspek mikrobiologis menurut SNI 01-3142-1998, tahu yang baik yaitu bebas dari Salmonella dan cemaran E. coli maksimal dengan nilai MPN 10/gr. 1.2 Identifikasi masalah masalah yaitu: Berdasarkan uraian latar belakang di atas dapat diidentifikasi beberapa 1. Permintaan tahu semakin meningkat, maka dibutuhkan produk tahu dengan kualitas mikrobiologis, fisik maupun kimiawi yang terjamin. 2. Banyak produsen tahu yang belum menerapkan prinsip hygien dan sanitasi dalam memproduksi tahu sehingga kualitas mikrobiologis tahu belum terpenuhi. 3. Penggunaan kecutan pada tahu dapat berpengaruh terhadap kualitas tahu terutama tingkat keasaman tahu. 4. Tahu merupakan produk makanan yang mempunyai masa simpan yang pendek karena sangat baik untuk media pertumbuhan mikrobia. 5. Produsen tahu belum menggunakan proses pasteurisasi sebagai usaha untuk memperbaiki kualitas tahu. 1.3 Perumusan masalah Dari beberapa masalah yang sudah diidentifikasi maka bisa dirumuskan masalah yaitu apakah proses pasteurisasi pada produk tahu dapat memperbaiki kualitas tahu dan memperpanjang masa simpan? 6
1.4 Tujuan penelitian Tujuan dari penelitian dibagi menjadi dua tujuan yaitu tujuan khusus dan tujuan umum. 1.4.1 Tujuan umum Tujuan umum dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui efektifitas penerapan proses termal dengan metode pasteurisasi terhadap kualitas mikrobilogis dan kimiawi produk tahu Gama Tahu selama penyimpanan 1.4.2 Tujuan khusus Tujuan khusus dari penelitian ini yaitu: 1. untuk mengetahui pengaruh proses pasteurisasi dalam menurunkan jumlah total mikrobia dan Bacillus cereus pada tahu pasteurisasi selama penyimpanan. 2. untuk mengetahui pengaruh proses pasteurisasi terhadap kadar air, protein dan abu pada tahu pasteurisasi selama penyimpanan. 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diharapkan dari penelitian ini yaitu memberikan pengetahuan tentang efektifitas proses pasteurisasi pada produk tahu sebagai usaha peningkatan kualitas produk tahu dan untuk memperpanjang masa simpan tahu. 7