1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbagai upaya untuk mengatasi masalah malnutrisi secara global telah dilakukan oleh WHO (World Health Organization) melalui program Sustainable Development Goals tahun 2030. Salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam program SDG s yaitu mengakhiri segala bentuk malnutrisi termasuk menurunkan prevalensi balita pendek kurus dan mengatasi kebutuhan gizi remaja perempuan, wanita hamil dan menyusui serta lansia. Regional Nutrition Strategy of South East-Asia merupakan bentuk nyata upaya WHO untuk mendorong seluruh negara di wilayah Asia agar saling bekerjasama dengan multisektoral terkait untuk mengatasi masalah deficiency multiple micronutrient serta membangun sistem surveilans gizi yang efektif dan fungsional (WHO, 2012). Menurut data Riskesdas tahun 2013, rata-rata prevalensi anak malnutrisi masih tinggi yaitu 37,2% anak balita pendek (stunting), 12,1% anak balita kurus (wasting), 11,9% anak balita overweight; anemia gizi besi pada wanita usia subur 21,7%; dan balita anemia 28,1% (Sugianto et al., 2013; Kemenkes RI, 2015). Deficiency multiple micronutrient memiliki dampak tidak langsung bagi penderita dan bisa juga diderita pada anak dengan status gizi pendek, kurus, atau overweight. Kondisi deficiency multiple micronutrient sangat penting diperhatikan karena akan berdampak pada gangguan tumbuh kembang, fisik, dan psikomotorik, kelainan metabolik, penurunan kekebalan tubuh, gangguan kesehatan mental, dan 1
2 bisa berakibat kematian di usia muda (WHO, 2012; Bailey et al., 2015). Dampak lain dari deficiency multiple micronutrient yaitu penurunan kapasitas kerja saat usia produktif, penurunan potensi pendapatan masyarakat, dan kemudian akan membawa dampak masalah pertumbuhan ekonomi secara global (Bagriansky, 2010; Muthayya et al., 2013; Ghauri, 2015). Salah satu upaya mengatasi masalah gizi yang sudah dilakukan pemerintah yaitu gerakan nasional percepatan perbaikan gizi melalui Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan. Salah satu kegiatan dalam intervensi gizi sensitif yaitu suplementasi Taburia dan fortifikasi pangan (Sohaimy, 2012; WHO, 2012). Berdasarkan hasil seminar nasional tentang laporan monitoring evaluasi program suplementasi Taburia di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Sumatera Selatan, bahwa secara kualitatif suplementasi Taburia belum berjalan efektif mengatasi masalah gizi anak. Beberapa penyebab yang dilaporkan yaitu masalah distribusi Taburia dan tenaga kesehatan yang belum merata di daerah terpencil, penyalahgunaan pemberian Taburia, kekurangan koordinasi di lapangan, daya terima anak yang masih rendah karena terjadi perubahan warna, aroma, dan rasa pada makanan yang diberi Taburia serta kesulitan ibu atau pengasuh dalam persiapan penyajian Taburia (Atmarita et al., 2016). Program suplementasi Taburia di Kota Makasar juga masih belum efektif dikarenakan tingginya persentase ketidakpatuhan dalam pemberian Taburia sebesar 78,95% dan cakupan yang masih kurang dari 80% (Alim et al., 2011). Bukti lain dari program Taburia yang masih belum berhasil yaitu di daerah Sukoharjo, ibu sering lupa tidak memberikan Taburia setiap 2 hari sekali, perubahan rasa dan bau pada 2
3 makanannya, sehingga 59,65% kepatuhan inadekuat dan 42,11% tercatat tidak menghabiskan makanan yang sudah ditambahkan Taburia (Chasanah, 2014; Rauf & Faramitha, 2010). Program pemberian permen multivitamin mineral NutriCandy sudah pernah dilakukan di India. Permen NutriCandy dapat menurunkan prevalensi anemia kekurangan gizi besi pada anak pra sekolah, usia sekolah, dan wanita usia subur sebesar 50% dengan tingkat kepatuhan yang sangat tinggi (90%) (Dolan et al., 2006). Program pemerintah India tersebut dapat juga diterapkan di Indonesia, karena permintaan suplemen dalam bentuk permen jelly sudah cukup tinggi yaitu 70% dan daya terima yang baik pada anak balita. Suplemen dalam bentuk permen jelly diharapkan dengan memperhatikan penggunaan gelatin dari hewan lokal, dapat menimalkan keraguan masyarakat tentang kehalalan permen jelly. Melalui penelitian ini, Taburia akan diinovasi menjadi produk pangan permen jelly dengan tambahan FOS (fruktooligosakarida). Tujuan dari pembuatan permen jelly untuk membuat produk pangan dengan bahan dasar gelatin sapi (gelatin berbasis halal) yang mengandung multivitamin mineral dan FOS (Wijana et al., 2014). Penambahan FOS pada permen jelly bertujuan untuk meningkatkan bioavailibilitas fortifikan agar dapat diabsorpsi dengan baik di dalam tubuh (Dominguez et al., 2013). Sebagai upaya meminimalkan interaksi antar zat gizi atau interaksi zat gizi dengan bahan pangan pembawa fortifikan, dan mempertahankan kandungan mikronutrien didalamnya, maka pada permen jelly ditambahkan bubuk tabur gizi yang sudah dienkapsulasi dengan maltrodekstrin dalam bentuk serbuk atau sprinkle pada suhu 50 o C (Zlotkin et al., 2006). 3
4 Berdasarkan ulasan di atas, terlihat betapa perlunya melakukan inovasi bentuk suplementasi mikronutrien dari bentuk tabur menjadi bentuk permen jelly dengan cara mengembangkan produk pangan fortifikasi yang sudah ada dan sama kandungan mikronutriennya. Inovasi bentuk suplemen berupa permen jelly bermaksud untuk memudahkan balita, ibu, dan atau pengasuhnya dalam mencapai kepatuhan konsumsi mikronutrien yang adekuat. B. Perumusan Masalah Apakah terdapat pengaruh bentuk suplemen terhadap tingkat kepatuhan konsumsi mikronutrien balita? C. Tujuan Penelitian Mengetahui pengaruh bentuk suplemen terhadap tingkat kepatuhan konsumsi mikronutrien balita. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoretis: Menambah pengetahuan tentang pengembangan produk permen jelly dengan fortifikasi Taburia dan FOS. 2. Manfaat aplikatif: Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pihak yang berkepentingan seperti industri, pemerintah, dan masyarakat terutama yang berkaitan dengan upaya percepatan perbaikan gizi balita. 4
5 E. Keaslian Penelitian 1. Adherence to multiple micronutrient powder among young children in rural Bangladesh: a cross-sectional study (Angdembe et al., 2015). Penelitian ini dilakukan di Desa Saturia, Bangladesh dengan jumlah sampel 78 anak balita usia 6-59 bulan yang mendapatkan multiple micronutrient powder selama 60 hari dengan metode penelitian crosssectional dengan teknik one cluster design sampling untuk menyeleksi ibu dari balitanya. Hasil penelitiannya yaitu rata-rata tingkat kepatuhan sampel sebesar 70%. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan konsumsi mikronutrien yaitu daya terima ibu dan status morbiditas setelah menggunakan multiple micronutrient powder, faktor usia ibu, status sosial ekonomi, dan tingkat pengetahuan ibu tentang manfaat daya terima ibu. Perbedaan dengan penelitian ini yaitu pada lama penelitian dan metode penelitiannya. Persamaannya dengan penelitian ini yaitu sampel balita, pemakaian mikronutrien, dan variabel yang diteliti (kepatuhan). 2. Enhancements to nutrition program in Indian integrated child development services increase growth and energy intake of children (Avula et al., 2011). Penelitian ini dilakukan di Rajasthan India menggunakan sampel anak usia 6-30 bulan. Metode penelitiannya kuasi eksperimen dan jenisnya longitudinal design selama 6 bulan. Intervensi yang diberikan pada kelompok pertama menggunakan makanan tambahan yang bisa langsung dikonsumsi anak sebesar 75 g setiap makan dengan 5
6 kandungan 1285 kj. Intervensi untuk kelompok dua berupa suplemen mikronutrien (12 mg Fe, 50 µg asam folat, 300 µg vitamin A, 40 mg vitamin C, 5 mg Zn, 500 mg dekstrosa) yang diberikan 5 kali tiap minggu. Multilevel linear regression digunakan untuk menganalisis perubahan antara 2 kelompok intervensi. Hasil penelitiannya yaitu terjadi peningkatan indeks z-score pada BB/U (p=0,01), TB/U (p=0,02), dan BB/TB (p=0,01) dan peningkatan asupan energi sebesar 575 kj/hari (p=0,03). Persamaan dengan penelitian ini yaitu metode penelitian, pemberian intervensi mikronutrien, data yang diteliti berupa data antropometri (BB, TB, BMI/U), dan laporan evaluasi melalui wawancara ibu atau pengasuh anak. Perbedaannya pada lama penelitian dan teknis analisis yang digunakan. 3. Pengaruh pemberian Taburia terhadap peningkatan berat badan dan asupan zat gizi pada balita gizi kurang oleh Waluyo & Fretika (2014). Metode penelitian menggunakan kuasi eksperimen dengan rancangan one group pretest-posttest dan jumlah sampel 30 anak balita usia 12-60 bulan dengan status gizi kurang di Provinsi Kalimantan Tengah. Data diperoleh dengan wawancara pada ibu atau pengasuh balita tentang recall makan 24 jam untuk mendapatkan asupan zat gizi dan pengukuran antropometri balita gizi kurang untuk mendapatkan data berat badan yang diambil sebelum dan sesudah intervensi. Teknis analisis yang digunakan yaitu uji t. Hasil penelitiannya yaitu terjadi peningkatan berat badan, asupan energi, protein, lemak, dan karbohidrat pada balita gizi kurang setelah 6
7 mengkonsumsi Taburia selama 2 bulan (p<0,05). Persamaan dengan penelitian ini yaitu pada pemakaian Taburia, antropometri, dan cara analisis datanya. Perbedaannya terletak pada sampel yang digunakan, lama penelitian intervensi, dan tidak adanya penambahan FOS pada kelompok intervensi. 7