Early Warning System. Sistem Peringatan Dini Banjir Dokumentasi Pengembangan EWS bersama Masyarakat

dokumen-dokumen yang mirip
Info Kegiatan Pengurangan Risiko Bencana FORMALISASI SATLINMAS

12/12/2013 L/O/G/O.

BANJIR JAKARTA 9-10 FEBRUARI 2015

A. PENGORGANISASIAN PBP

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN Uraian Umum

BAB I PENDAHULUAN. bencana. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan

BAB 1 PENDAHULUAN. mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Bencana alam dapat terjadi secara tiba-tiba maupun melalui proses yang

LAMPIRAN. Kuesioner Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Becana Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara letak geografis Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki 2 musim.

BAB I PENDAHULUAN. dialami masyarakat yang terkena banjir namun juga dialami oleh. pemerintah. Mengatasi serta mengurangi kerugian-kerugian banjir

BAB I PENDAHULUAN. kemudian dikenal dengan sebutan bencana. Upaya meminimalisasi resiko. atau kerugian bagi manusia diperlukan pengetahuan, pemahaman,

I. PENDAHULUAN. Jakarta merupakan ibukota Negara Indonesia dan pusat pemerintahan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2012 TENTANG TARUNA SIAGA BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KETERANGAN MENTERI NEGARA PPN/KEPALA BAPPENAS TENTANG LAPORAN AWAL PENANGANAN BENCANA BANJIR DI WILAYAH JAKARTA DAN SEKITARNYA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

SEKOLAH SIAGA BENCANA & Pendidikan Pengurangan Risiko Bencana

BAB I PENDAHULUAN. bencana yang terjadi, khususnya banjir yang terjadi dengan sendirinya

Gambar 1.1 DAS Ciliwung

BAB I PENDAHULUAN. Kota Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 7 meter di

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi DKI Jakarta terletak pada posisi Lintang Selatan dan Bujur

BAB I PENDAHULUAN. sebagai akibat akumulasi beberapa faktor yaitu: hujan, kondisi sungai, kondisi

L/O/G/O.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tahun demi tahun negeri ini tidak lepas dari bencana. Indonesia sangat

BAB I PENDAHULUAN. Suatu bencana alam adalah kombinasi dari konsekuensi suatu resiko alami

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Surakarta yang merupakan kota disalah satu Provinsi Jawa Tengah. Kota

BAB 1 PENDAHULUAN. Hujan terkadang turun dalam intensitas yang tidak normal. Jika

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dan moril. Salah satu fungsi pemerintah dalam hal ini adalah dengan

KESIAPSIAGAAN dan MITIGASI BENCANA dalam UU No. 24 Tahun 2007

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNPB. Masyarakat. Penanggulangan Bencana. Peran Serta.

BAB I PENDAHULUAN. Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah yang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

MANAJEMEN BENCANA PENGERTIAN - PENGERTIAN. Definisi Bencana (disaster) DEPARTEMEN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

BANJIR (PENGERTIAN PENYEBAB, DAMPAK DAN USAHA PENANGGULANGANNYA)

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan(PLP2K-BK) 1 Buku Panduan Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh Berbasis

Workshop Media Dalam Mata Rantai Sistem Peringatan Dini Hotel Le Meridien, Jakarta, Agustus 2009

LAPORAN SEMENTARA PENANGANAN MASALAH KESEHATAN AKIBAT BENCANA ALAM BANJIR DI KECAMATAN BALEENDAH KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2013

2016 KESIAPSIAGAAN MASYARAKAT DALAM MENGHADAPI BENCANA KEBAKARAN PADA PERMUKIMAN PADAT PENDUDUK DI KECAMATAN BOJONGLOA KALER

KATA PENGANTAR. Jakarta, Desember 2009 Kepala Pusat Penanggulangan Krisis, Dr. Rustam S. Pakaya, MPH NIP

BERITA DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 53 TAHUN 2010 PERATURAN BUPATI BANDUNG NOMOR 53 TAHUN 2010 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN WALIKOTA TEGAL

OPINI MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN SUNGAI DI DAERAH HILIR SUNGAI BERINGIN KOTA SEMARANG

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang mempunyai

BAB III LANDASAN TEORI

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 61 TAHUN 2012 TENTANG PROSEDUR TETAP SIAGA DARURAT BENCANA

BUPATI TULUNGAGUNG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TULUNGAGUNG NOMOR 81 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB V. RENCANA PROGRAM, KEGIATAN DAN INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN DAN PENDANAAN INDIKATIF

No.1119, 2014 KEMENHAN. Krisis Kesehatan. Penanganan. Penanggulangan Bencana. Pedoman.

KEMENTERIAN DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PEMBANGUNAN DESA YANG BERBASIS PENGURANGAN RISIKO BENCANA

KESIAPSIAGAAN KESIAPSIA BANJIR

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Gambaran Umum Obyek Penelitian

PERAN APARATUR KELURAHAN DAN KESIAP-SIAGAAN WARGA JOYOTAKAN DALAM MENGHADAPI BENCANA BANJIR DI KOTA SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2011 NOMOR 32 SERI E

RANCANGAN SISTEM INFORMASI PERINGATAN DINI BENCANA BANJIR

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang secara geografis, geologis,

W A L I K O T A Y O G Y A K A R T A

MITIGASI BENCANA BANJIR DI WILAYAH DKI JAKARTA BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Tris Eryando

PERATURAN BUPATI BANDUNG BARAT NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG TUGAS POKOK, FUNGSI, DAN RINCIAN TUGAS BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN

LAPORAN AKHIR PENELITIAN DASAR DAN PERSIAPAN UNTUK SUB PROYEK SISTEM PERINGATAN DINI DAN EVAKUASI DINI DI KABUPATEN JEMBER

[ PTLWB - BPP Teknologi ] 2012

PENGEMBANGAN MODEL SIG UNTUK MENENTUKAN RUTE EVAKUASI BENCANA BANJIR (Studi Kasus: Kec. Semarang Barat, Kota Semarang) TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh faktor alam, faktor non alam, maupun faktor manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. langsung maupun tidak langsung mengganggu kehidupan manusia. Dalam hal

INSTRUKSI GUBERNUR JAWA TENGAH

BAB 3 METODE PEMETAAN DAERAH BANJIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS

ARTIKEL STRATEGI PENANGANAN KEBENCANAAN DI KOTA SEMARANG (STUDI BANJIR DAN ROB) Penyusun : INNE SEPTIANA PERMATASARI D2A Dosen Pembimbing :

LEMBAR EVALUASI PELAKSANAAN RENCANA AKSI KELURAHAN SADAR BENCANA (KELURAHAN BANJAR-SERASAN KEC.PONTIANAK TIMUR)

PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK

Formalisasi SATLINMAS & STPB

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Pengalaman Respon Banjir. Dokumen Pembelajaran

PERATURAN BUPATI GUNUNGKIDUL NOMOR 77 TAHUN 2011 TENTANG URAIAN TUGAS BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. DKI Jakarta terletak di daerah dataran rendah di tepi pantai utara Pulau

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 6 TAHUN 2011

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara geografis, geologis, hidrologis, dan sosio-demografis, Indonesia

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 4 Tahun : 2011 Seri : D

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

-2- saling melengkapi dan saling mendukung, sedangkan peran KLHS pada perencanaan perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup bersifat menguatkan. K

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI, DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG Jl. Raya Kodam Bintaro No. 82 Tangerang Selatan Telp : (021)

BAB I LATAR BELAKANG. negara yang paling rawan bencana alam di dunia (United Nations International Stategy

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia dengan keadaan geografis dan kondisi sosialnya berpotensi rawan

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan yang secara geografis terletak di daerah

RANCANG BANGUN SISTEM PERINGATAN DINI BANJIR BERBASIS MIKROKONTROLER AT89S52 DENGAN SENSOR ULTRASONIK. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan. Polusi maupun efek rumah kaca yang meningkat yang tidak disertai. lama semakin meninggi, sehingga hal tersebut merusak

PENYELENGGARAAN FORUM KEWASPADAAN DINI MASYARAKAT (FKDM) KABUPATEN CIREBON

MITIGASI BENCANA ALAM TSUNAMI BAGI KOMUNITAS SDN 1 LENDAH KULON PROGO. Oleh: Yusman Wiyatmo ABSTRAK

MITIGASI BENCANA BANJIR DI DESA NGROMBO KECAMATAN BAKI KABUPATEN SUKOHARJO

BAB I PENDAHULUAN. Kota Palembang adalah 102,47 Km² dengan ketinggian rata-rata 8 meter dari

BAB VI RENCANA DAN GAGASAN PENGEMBANGAN KAWASAN PERMUKIMAN PRIORITAS TAMMUA

Transkripsi:

Early Warning System Sistem Peringatan Dini Banjir Dokumentasi Pengembangan EWS bersama Masyarakat

Sistem Peringatan Dini Banjir Dokumentasi Pengembangan EWS bersama Masyarakat Latar Belakang Banjir merupakan fenomena yang hampir selalu terjadi setiap tahun, bahkan saat ini kondisi Jakarta semakin identik dengan banjir, hujan deras yang mengguyur dalam hitungan menit saja mampu menciptakan genangan air di mana-mana. Seluruh aktivitas warga Jakarta pun lumpuh. Dampak sosial dan ekonomi semakin tak terkendali. Luas daerah genangan banjir setiap tahun makin bervariasi. Pada bulan Januari 2002 Jakarta mengalami banjir bandang dengan genangan yang sangat meluas hingga Jakarta lumpuh total. Banjir bandang 2007 menjadi salah satu yang terbesar sejak banjir 1621, 1654, 1918, 1942, 1976, 1996, dan 2002. Penyebab dan dampak banjir pun menjadi semakin kompleks. Kini banjir tak semata akibat faktor alam tapi juga faktor sosial ekonomi dan budaya. Mari kita ambil contoh cerita: Sungai Ciliwung meluap. Air mengalir sampai dan melalui tengah kota Jakarta. Perkampungan dan perumahan yang padat di sekitarnya menjadi korban. Akibat lebih luasnya? Jalanan macet, Prasarana dan sarana kota lumpuh hingga roda perekonomian terganggu. Jakarta merupakan daerah rawan banjir. Karenanya, Jakarta dapat digolongkan sebagai daerah rentan bencana. Untuk itulah, penting bagi masyarakat Jakarta untuk dapat untuk melakukan tindakan pencegahan atau pengurangan risiko bencana. Kebutuhan ini dapat dimulai dengan melakukan penyiapan kesiagaan masyarakat dalam menghadapi banjir. Salah satu upaya menyiapkan kesiagaan masyarakat dalam menghadapi banjir adalah dengan meningkatkan kecepatan masyarakat untuk mengidentifikasi ketinggian air pada pintu air. Upaya inilah yang disebut dengan Sistem Peringatan Dini. Semakin cepat dan akurat sistem peringatan dininya semakin cepat masyarakat mempersiapkan diri menghadapi bencana banjir. ACF menggarisbawahi pentingnya aplikasi dan pemanfaatan Sistem Peringatan Dini sebagai salah satu upaya mutlak dalam mewujudkan masyarakat yang siap, sigap dan cepat dalam menghadapi bencana.. Sejalan dengan prinsip kegiatan berbasis masyaraka, Action Contre la Faim (ACF) ACF bersama dengan masyarakat mengidentifikasi kebutuhan pentingnya sistem peringatan dini dimana hasil identifikasi latar belakang tersebut kemudian mencapai sebuah kesepakatan bersama bahwa perlu ada sebuah sistem jaringan komunikasi peringatan dini. 1

Untuk bersama-sama menelusuri apa apa saja yang dapat menunjang sistem jaringan komunikasi peringatan dini tersebut, diadakanlah sebuah workshop. Melalui kegiatan workshop ini, ACF bersama masyarakat berkesempatan mempelajari ragam cara peringatan dini yang efektif. Hasil utama adalah keputusan untuk membangun MONIKA (alat Monitoring Informasi ketinggian air), memasang sirene, memasang papan pengumuman dan sensor air. Untuk menjalankan sistem peringatan dini ini disepakati membuat Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk memudahkan sistem berjalan dan siapa yang akan bertugas dalam situasi darurat. Monika kemudian di pasang di bendungan air katulampa. Perannya adalah menginformasikan ketinggian air di katulampa secara otomatis melalui short message service (SMS) yang akan diterima para pengguna fasilitas (dalam hal ini masyarakat yang didampingi oleh ACF). Sirine dan sensor air memiliki mekanisme kerja yang hampir sama, yaitu alat sensor air yang tersentuh air akan berbunyi menandakan air yang kian meninggi. Sistem peringatan dini yang disesuaikan kebutuhan dan karakteristik masyarakat diharapkan dapat menambah kesiapsiagaan masyarakat dalammenghadapi bencana banjir. Semoga dokumen ini dapat menjadi sebuah pembelajaran bagi kita bahwa Sistem Peringatan Dini merupakan salah satu upaya penting untuk dapat mengurangi risiko bencana. Yang tak kalah penting adalah pemilihan Sistem Peringatan Dini yang mengakar darikebutuhan dan karakteristik masyarakat setempat hingga dapat memberikan kemudahan dalam penerapan dan optimalisasi dalam pemanfaatannya.. Sistem Peringatan Dini Banjir di Jakarta Early warning system (EWS) atau Sistem Peringatan Dini merupakan sebuah tatanan penyampaian informasi hasil prediksi terhadap sebuah ancaman kepada masyarakat sebelum terjadinya sebuah peristiwa yang dapat menimbulkan risiko. EWS bertujuan untuk memberikan peringatan agar penerima informasi dapat segera siap siaga dan bertindak sesuai kondisi, situasi dan waktu yang tepat. Prinsip utama dalam EWS adalah memberikan informasi cepat, akurat, tepat sasaran, mudah diterima, mudah dipahami, terpercaya dan berkelanjutan. Dalam siklus bencana terdapat tahap mitigasi atau upaya pengurangan dampak negatif kejadian bencana. Di dalamnya terdapat usaha pemetaan daerah 2

rawan dan pengembangan EWS. Pada tahap ini, sistem komunikasi melibatkan pemantauan kondisi awal, pembawa berita/informasi dan penerima (pengguna) informasi. Pemantau awal dalam EWS banjir lebih didominasi oleh petugas pemantau tinggi muka air di pintu air sungai yang berada di hulu. Petugas tersebut merupakan bagian pekerjaan dari Dinas Pekerjaan Umum. Selain memantau tinggi muka air, mereka juga memantau kondisi curah hujan di sekitar daerah tersebut. Pembawa berita atau informasi adalah orang atau institusi yang menyambungkan informasi dari pemantau ke penerima/pengguna berita, yaitu masyarakat yang rawan banjir. Pembawa informasi tersebut antara lain terdiri : Crisis Center (Satkorlak PBP), Petugas Posko Bencana (Satlak, Satgas), Lurah, Satlinmas Kelurahan, Ketua RW/RT, dan Tokoh Masyarakat. Media penyampaian informasi tersebut dapat menggunakan alat antara lain berupa Handphone (SMS), HT, Telepon, Fax, Internet dan Video Conference. EWS dapat dibedakan dalam dua jenis yakni: 1. Otomatis: Sirine, HT, kamera (CCTV). Pemberian EWS yang berteknologi kepada masyarakat ini harus disertai edukasi dan pemeliharaan. 2. Kemasyarakatan ; yakni bersifat dirancang sendiri oleh masyarakat. Komponen dalam EWS adalah: 1. Prediksi : harus dilakukan dengan ketepatan dan diperlukan pengalaman 2. Interpretasi : menerjemahkan hasil pengamatan 3. Respon dan pengambilan keputusan: siapa yang akan bertanggungjawab untuk mengambil keputusan karena keputusan tersebut akan mempengaruhi dampak. Pemprov DKI turut berupaya mempersiapkan masyarakata dalam menghadapi bencana banjir pada musim hujan ini. Mereka telah mempersiapkan teknologi dan metode penanganan banjir yang lebih canggih di Crisis Center Satuan Koordinasi Pelaksana Penanganan Banjir dan Pengungsi (CC Satkorlak PBP), yakni dengan pemasangan EWS, yang merupakan sistem peringatan dini terhadap bencana banjir melalui short message service (SMS) hingga ke tingkat RT atau RW, yang terintegrasi dengan CC Satkorlak PB. CC Satkorlak PB inilah yang memegang peranan dalam penanganan banjir di Jakarta. Petugasnya diberikan kemampuan merespons informasi dan meneruskan laporan itu ke petugas Satuan Koordinasi (Satlak) Kotamadya serta kabupaten. EWS dilakukan dengan pencatatan data curah hujan dan pengukuran ketinggian air sungai yang dilakukan secara manual maupun otomatis. Data radar telah dimanfaatkan untuk peringatan dini banjir, dengan melihat sebaran awan, volume awan, jumlah potensi uap air dari awan, prediksi intensitas dan tebal hujan, kecepatan angin, arah angin dan sebagainya. 3

Pemerintah melalui Satkorlak PBP Propinsi DKI Jakarta telah memanfaatkan informasi pintu air sebagai salah satu informasi peringatan dini banjir selain prakiraan cuaca dari BMG. Informasi ketinggian pintu air dan prakiraan cuaca menjadi EWS yang ada di Satkorlak. Gambar : Sistem Peringatan Dini Banjir di Propinsi DKI Jakara. Namun pada penerapannya sistem ini perlu pembenahan terutama pada aliran informasi. EWS mempunyai prinsip kecepatan dan keakuratan informasi. Jika oleh suatu sebab kelambatan penyampaian informasi ini tidak sampai ke pengguna atau penerima terakhir yaitu masyarakat, maka masyarakat tidak siap siaga mengantisipasi datangnya ancaman banjir. Jika hal ini terjadi maka korban tidak terelakkan. Oleh karena itu pentingnya kecepatan aliran informasi penting untuk dibenahi. Keakuratan informasi terletak pada hasil pengukuran oleh stasiun pengamatan di pintu air. Telah tersedia klasifikasi tingkat siaga yang ditetapkan oleh SATKORLAK berdasarkan ketinggian muka air pada pintu air. Namun ada beberapa klasifikasi yang perlu dirubah setelah dicek di lapangan. Seperti pintu air Cipinang Hulu yang Peil (Papan Ukurnya) tidak lebih dari 200 cm, padahal pada tingkat Siaga 1 ketinggian air dapat mencapai 250 cm. Juga perbedaan versi ketinggian status normal (Siaga IV) dari SATKORLAK dan status Normal versi PU. Berdasarkan data Pengendalian Banjir Dinas PU DKI Jakarta, informasi dari petugas pemantau ketinggian air di hulu menempati poisisi yang sangat penting. 4

Saat ini ada tujuh lokasi pengamatan muka air (peil schall) yang turut membantu pemberitahuan bila terjadi luapan air besar di daerah hulu yaitu, Peil Schall Ciledug di daerah aliran sungai (DAS) Kali Angke, Peil Schall Sawangan di DAS Kali Pesanggrahan, Peil Schall Ciganjur di DAS Kali Krukut, Peil Schall Katulampa dan Peil Schall Depok di DAS Kali Ciliwung, Peil Schall Cimanggis di DAS Kali Cipinang dan Peil Schall Pondok Rangon di DAS Kali Sunter. Tujuh lokasi pengamatan muka air atau Peil Schall terhubung langsung dengan satu pompa, satu saringan sampah, dan 10 pintu air. Informasi ketinggian air yang dikirimkan dari peil schall ke seluruh pintu air, akan menghidupkan alat peringatan dini ke-24 daerah berpotensi banjir. Sehingga masyarakat yang tinggal di lokasi tersebut dapat segera mengungsi sebelum banjir tiba. EWS dapat dilakukan secara efektif oleh penduduk, bila sistem itu mudah dimengerti dan dipahami. Manfaatnya pun bisa lebih optimal jika masyarakat memiliki pengetahuan tentang kebencanaan dengan baik. Di wilayah yang rawan bencana banjir, seperti Jakarta, EWS merupakan bagian terpenting dalam proses penanganan bencana. Dengan penerapan yang baik dan benar akan dapat melindungi dan menyelamatkan warga dari ancaman bencana. Masyarakat dapat melakukan berbagai upaya penyelamatan jiwa dan harta bendanya. EWS adalah kunci menuju pengurangan risiko yang efektif. Akan menjadi efektif jika melibatkan secara aktif masyarakat, dapat dipahami serta menjangkau seluruh lapisan masyarakat, serta harus diikuti dengan sistem penanganan penyelamatan yang sistematis. Tim siaga bencana, kesiapan sarana evakuasi, tempat hunian sementara, penyediaan kebutuhan-kebutuhan dasar maupun pengelolaan pengungsian yang melibatkan masyarakat. Empat Kunci EWS 1. Pengetahuan tentang risiko: Pengumpulan data yang sistematis dan assessment risiko. 2. Pemantauan dan Layanan Peringatan: Membangun pemantauan bahaya dan layanan peringatan dini 3. Penyebarluasan dan komunikasi: Mengkomunikasikan informasi risiko dan peringatan dini 4. Kemampuan Merespon: Membangun kemampuan respon nasional dan masyarakat Bagaimana warga menghadapi banjir selama ini? 5

Selama ini warga menghadapi datangnya banjir dengan persiapan sekadarnya seperti membuat tanggul kecil di depan rumah masing-masing, meninggikan rumah atau melakukan program kerja bakti membersihkan kampung. Namun persiapan skala sederhana harus juga didukung dengan kesiap siagaan tinggi. Hal ini yang masih menjadi kekurangan yang harus kita penuhi bersama. Diharapkan agar tidak perlu ada lagi keterlambatan penyampaian dan penerimaan informasi mengenai ketinggian air dari pintu air hingga banjir tak bisa lagi seenaknya datang menyelonong. EWS memiliki aplikasi dan permasalahan yang berbeda-beda. Sebagai contoh: EWS Kelurahan Kampung Melayu di dapat dari Pintu Air Katulampa. Kelurahan CBU melalui Cipinang Hulu dan Kelurahan Penjaringan melalui pintu air pasar ikan dan muara baru serta informasi dari BMG. Salah satu permasalahan EWS yang harus dihadapi kelurahan CBU tetapi tidak dihadapi oleh Kelurahan Kampung melayu adalah sebagai berikut: 1.Sarana dan prasarana Pintu air Cipinang Hulu tidak memadai Hal ini disebabkan oleh alat pengukur ketinggian air terbuat dari papan, menjadikannya tidak kokoh, dibuat dengan karya tangan menjadikan keterbacaannya tidak selalu maksimal serta mekanisme kerja tutup buka pintu air tidak lagi berfungsi maksimal dikarenakan faktor karat dan kurangnya perawatan. Akibatnya, Pintu Air tak berfungsi maksimal, kerentanan warga terhadap banjir menjadi sangat tinggi. 2. Masalah ini kemudian dilengkapi pula oleh sampah yang kerapkali mempengaruhi ketinggian dan percepatan tingkat ketinggian air. 3. Adanya kerancuan mekanisme penyampaian informasi. Petugas pintu air hanya bertugas memperhatikan ketinggian air dari meterannya saja dan melaporkannya ke Dinas PU Propinsi Jakarta. Kemudian Dinas terkait akan menyampaikan pada masyarakat. Hanya saja, yang terjadi adalah adanya aliran informasi yang tumpang tindih dari dan ke masyarakat yang kemudian menimbulkan persepsi yang berbeda. Kerancuan mekanisme ini disebabkan para pihak tidak mengerti mekanisme yang berlaku. Akibatnya, persiapan dan kesiapsiagaan terhadap bencana di masyarakat menjadi ricuh. Pengembangan Sistem Peringatan Dini Banjir dalam program DRR ACF MONIKA Mulai tahun 2007, Action Contre la Faim (ACF) telah mengembangkan Sistem peringatan dini banjir bersama masyarakat di tiga kelurahan yakni di Kampung Melayu, Cipinang Besar Utara dan Penjaringan. Peralatan EWS yang dibangun di antaranya adalah sirine, signboard, alarm/sensor air dan Monika. 6

Monika adalah Alat Monitor Informasi Ketinggian Air. Alat ini dipasang di Bendungan Katulampa pada April 2008 untuk mengetahui seberapa tinggi air di bendungan Katulampa sehingga warga bisa lebih cepat mengantisipasi banjir. Dibuat oleh Bapak Witjaksono dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Monika ini system kerjanya melibatkan pemasangan sensor air di bendungan. Sensor ini berwarna biru, untuk mengetahui level siaga (siaga empat hingga siaga satu). Informasi akan masuk ke komputer yang akan mengirimkan signal ke kelurahan, satlinmas dan media massa. Pihak Kelurahan dan media massa dapat mengirimkan nomor HP yang akan disimpan pada data base Monika. Mereka selanjutnya akan mendapatkan informasi mengenai ketinggian air secara otomatis. Monika dapat mendeteksi ketinggian permukaan air secara otomatis. Pada saat permukaan air mencapai ketinggian 100 cm maka alat Monika akan mengirim SMS secara otomatis ke nomor telepon seluler petugas kelurahan di Jakarta yang disimpan di database mesin penjawab. Ketika SMS masuk diharapkan petugas kelurahan di Jakarta, akan memberikan informasi kepada warganya untuk senantiasa waspada akan datangnya banjir. Di Kelurahan Kampung Melayu, lurah, ketua RW dan RT, ketua Karang Taruna, Ketua PKK dan beberapa tokoh masyarakat adalah mereka yang telah terdaftar menerima SMS dari Monika. Alat ini dapat dipasang di semua pintu air yang sungai-sungai yang mengalir ke Jakarta, dan dapat memberikan informasi kepada seluruh penduduk Jakarta karena SMS (baik yang otomatis maupun yang dengan permintaan) akan terkirim ke pemancar radio, pemancar televisi, Kecamatan, Kelurahan dan bisa diakses oleh seluruh warga Jakarta melalui telepon seluler. Penggunaan alat ini dapat membantu menyelamatkan nyawa, harta benda dan mengurangi risiko yang diakibatkan oleh banjir. Dengan cepatnya informasi mengenai ketinggian air, waktu bersiap siaga menjadi lebih besar. Hal ini juga memberikan kesempatan bagi pemerintah daerah untuk dapat mempersiapkan alat-alat penyelamatan, seperti perahu karet, makanan, air bersih, pelampung, jas hujan dan lain-lain. Sayangnya, pemasangan I MONIKA tidak berfungsi lama. Penyebab utama adalah karena peralatan yang mendukung server di pintu air Katulampa mengalami kerusakan akibat tersambar petir. Kejadian ini mengkorfirmasikan bahwa penggunaan alat ini memerlukan biaya operasional, pengawasan dan perawatan. Ketika itu, pihak-pihak yang terkait dengan pemanfaatan Monika belum siap untuk menjalankan sistem ini. ACF sendiri telah berupaya menghubungkan dengan pihak pemerintah melalui instansi terkait untuk mendukung keberlanjutan sistem Monika, namun belum ada kesepahaman tentang peran dan fungsi yang harus dijalankan 7

untuk menjaga keberlanjutannya. Hal ini seharusnya memacu semua pihak untuk berkolaborasi bersama untuk mencari solusinya. Sampai saat ini, peralatan EWS banjir telah dipasang dan dioperasikan oleh Satlinmas di Kelurahan Kampung Melayu, CBU dan Penjaringan dengan rincian sebagai berikut: 1. Kampung Melayu : 5 signboard, 2 sirine, 2 alarm/sensor air 2. Kelurahan CBU : 7 signboard, 3 sirine, 3 alarm/sensor air 3. Kelurahan Penjaringan : 5 signboard dan 3 sirine SARANA PENDUKUNG Pengeras Suara Selain EWS, sarana pengeras suara juga dioperasikan sebagai penunjang sistem untuk menyampaikan himbauan dan pengumuman kepada warga. Melalui pengeras suara di masjid, warga akan diberi tahu bahwa air sudah makin meninggi. Karang taruna juga akan door to door untuk mengajak warga mengungsi. Jadi kita bisa siap-siapnya lebih lama," kata Pak Achmad Payumi, tokoh masyarakat Kampung Melayu Workshop Dalam rangka optimalisasi penerapan sistem peringatan dini banjir, ACF memfasilitasi beberapa kegiatan bersama masyarakat di antaranya: 1. Workshop Penyusunan Prosedur Tetap EWS Kelurahan Cipinang Besar diselenggarakan pada tanggal 12 13 Desember 2007, bertempat di BUPERTA Cibubur. Pembuatan Modelling EWS yang merupakan kajian yang dibuat berdasarkan data-data pengukuran baik itu dari ketinggian muka air, curah hujan harian, maupun ketinggian pasang-surut. Dari sistem modelling diperoleh beberapa kesimpulan yang dapat dijadikan masukan untuk penentuan tingkat siaga dan wilayah yang terpengaruh oleh tingkat siaga. Workshop ini bertujuan: Meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bahaya banjir dengan membenahi sistem peringatan dini yang ada. Membuat suatu pedoman atau langkah-langkah sistematis dalam mengantisipasi datangnya bahaya banjir. Menentukan srategi dalam pengambilan keputusan kegiatan peringatan dini banjir. 2. Workshop EWS Kelurahan Kampung Melayu diselenggarakan pada 4 Februari 2008, dihadiri oleh 33 orang, bertempat di Hotel Alia Matraman. Sebagai fasilitator adalah bapak Heru Joko Santoso dari Satkorlak PBP DKI Jakarta, yang menghasilkan modul prosedur tetap (Protap) EWS Kampung Melayu. Dengan 8

workshop tersebut masyarakat di kelurahan tersebut berhasil menyusun Protap dan mencoba mengimplementasikannya dalam simulasi banjir. 3. Workshop EWS di Kelurahan Penjaringan diselenggarakan pada 5-6 Februari 2008 bertempat di bumi perkemahan Wiladatika, Cibubur. Diikuti oleh 20 orang, dalam workshop ini dihasilkan Prosedur Tetap Modul EWS Penjaringan. Sosialisasi SOP/Prosedur Tetap Sistem Peringatan Dini Banjir di 3 Kelurahan 1. Sosialisasi SOP atau prosedur tetap EWS di Kelurahan Cipinang Besar Utara diselenggarakan pada tanggal 5 Maret 2008 bertempat di kantor Kelurahan Cipinang Besar Utara dan dihadiri oleh 76 orang dari unsur Satlinmas, staf Kelurahan, Dewan Kelurahan, RW, RT, Karang Taruna, PKK, Kali Arus dan para tokoh masyarakat di Cipinang Besar Utara. Sosialisasi berlangsung dengan baik sesuai dengan rencana dan materi penjelasan mengenai isi prosedur tetap EWS dapat diterima semua stakeholder di kelurahan. 2. Sosialisasi Prosedur Tetap EWS di Kelurahan Penjaringan diselenggarakan pada 6 Maret 2008, dengan dihadiri oleh 40 orang dari unsur Kelurahan, Dewan Kelurahan, PKK, Karang Taruna, RW, RT, Tim Marlina dan para tokoh masyarakat di Penjaringan. Acara yang terselenggara atas kerjasama Satlinmas Penjaringan dan ACF tersebut bertempat di kantor Kelurahan Penjaringan. Dalam workshop tersebut dijelaskan mengenai prosedur tetap EWS, aktor, peran yang harus dilakukan serta tanggungjawabnya. 3. Sosialisasi Prosedur Tetap EWS Kelurahan Kampung Melayu dilakukan pada 6 Maret 2008, bertempat di kantor kelurahan dengan dihadiri oleh 26 orang yang terdiri dari ketua RW, Ketua RT, Karang Taruna, PKK, Dewan Kelurahan, Satlinmas dan FKP Pubers. Metode sosialisasi yang dilakukan adalah dengan cara diskusi. Selama berlangsungnya sosialisasi, para perwakilan dari masyarakat menyepakati isi dari prosedur tetap tersebut. Dari kegiatan-kegiatan di atas akhirnya dihasilkan Panduan berupa Prosedur Tetap yang dapat dipakai untuk kegiatan antisipasi datangnya bahaya banjir (Protap EWS). Protap ini merupakan dokumen resmi berisikan suatu tindakan-tindakan atau langkahlangkah sistematis yang disepakati bersama antara instansi atau kelompokkelompok terkait mengenai tanggung jawab masing-masing dalam suatu kegiatan yang terpadu. ProTap EWS berisikan tentang langkah-langkah dalam hal penyebaran informasi EWS dan juga respon setelah informasi tersebut diperoleh. Pengembangan kapasitas anggota Satlinmas dalam penerapan EWS 9

Sejak terbentuk pada akhir 2008 di kelurahan Kampung Melayu dan Penjaringan serta STPB di Cipinang Besar Utara pada akhir tahun 2008, SATLINMAS PBP sebagai organisasi berbasis masyarakat yang berperan dalam penanggulangan bencana di tingkat kelurahan telah menjadikan pengelolaan sistem peringatan dini banjir ini sebagai bagian penting dari tanggung jawabnya. Dalam rangka memperkuat kapasitas anggota Satlinmas dalam penerapan EWS yang efektif, ACF juga memfasilitasi diskusi kelompok terarah/fgd yang diselenggarakan pada 4 Juni 2009. Melibatkan para anggota Satlinmas dari 3 kelurahan. Beberapa rekomendasi yang dihasilkan dalam FGD tersebut adalah: 1. Penambahan alat atau daya jangkau sirine di wilayah RW yang rentan. 2. Tindak lanjut sosialisasi EWS kepada masyarakat di tingkat RT-RW 3. Peningkatan kapasitas SDM di tim EWS 4. Perlunya dilakukan simulasi secara reguler. Pengembangan Sistem Peringatan Dini Banjir di CBU EWS diterapkan di CBU pada 2008, tepatnya setelah terjadi banjir besar pada 2007 yang menenggelamkan sebagian besar wilayah CBU. Hingga saat ini Kelurahan CBU sudah memiliki: sirine, megaphone, toa mushola/masjid, HT, kentongan. Dari peralatan tersebut yang aktif dipergunakan adalah megaphone, toa mushola dan masjid sedang yang belum efektif adalah sirine, kentongan dan HT. Sebelumnya, dalam rangka sosialisasi EWS, diadakan lokakarya EWS yang diikuti oleh lima puluh tiga orang perwakilan masyarakat Cipinang Besar Utara, yang diselenggarakan pada tanggal 21-22 September 2007. Para peserta berasal dari perwakilan RT, RW, Karang Taruna, Dewan Kelurahan, PKK, Satlinmas, dan Ormas. Dari lokakarya ini berhasil diidentifikasikan elemen dan rantai EWS, serta dilakukan simulasi EWS. Yang dilakukan adalah pemberian Informasi Peringatan Dini kepada RW tentang ketinggian air dan kondisi cuaca yang kemudian informasi tersebut dilanjutkan kepada warga. Di Kelurahan CBU sudah disusun Protap Penanggulangan Banjir yang merupakan dokumen resmi berisikan suatu tindakan-tindakan atau langkah-langkah sistematis yang disepakati bersama antara instansi atau kelompok-kelompok terkait mengenai tanggung jawab masing-masing dalam suatu kegiatan yang terpadu. Jadi 10

ruang lingkup Protap EWS berisi tentang langkah-langkah dalam hal penyebaran informasi peringatan dini dan juga respon setelah informasi tersebut diperoleh. Kendala yang dialami adalah kekurangan peralatan misalnya HT, juga kendala SDM dalam mengoperasionalkan peralatan. Sosialisasi kepada masyarakat mengenai EWS juga dirasa masih kurang, misalnya arti beberapa bunyi yang belum jelas. Selama ini pelatihan baru diberikan pada RW dan RT saja. Beberapa pembenahan yang telah dan akan dilakukan meliputi : 1. Membuat system yang paralel, sirine ada di Kantor RW namun toanya ada di tempat-tempat yang strategis. 2. Pelatihan bagi orang-orang yang berfungsi sebagai operator serta adanya sosialisasi prosedur tetap kepada masyarakat luas 3. Penambahan daya amplifier agar menghasilkan suara yang kuat dan dapat menjangkau seluruh RW yang rentan banjir. 4. Sosialisasi dan simulasi EWS kepada warga sebelum terjadinya banjir Kendati penerapan EWS relatif belum lama dan juga belum optimal, warga sangat merasakan manfaatnya, seperti yang dituturkan oleh salah seorang warga CBU: Memang semenjak adanya alat-alat EWS, belum pernah terjadi banjir besar yang melanda CBU. Hanya banjir-banjir kecil yang cukup bisa dijangkau dengan memberitahu warga secara langsung. Namun setidaknya kita sudah ada alat yang bisa memberi informasi sewaktu-waktu air naik dan juga sudah ada simulasi sehingga kita paham apa yang harus dilakukan jika banjir terjadi, kata Pak Darusman, warga CBU Pengembangan Sistem Peringatan Dini Banjir di Kampung Melayu EWS di Kampung Melayu mulai diterapkan pada 2008 sebagai bentuk pembelajaran dari banjir besar 2007 yang nyaris menenggelamkan sebagian besar wilayah Kampung Melayu. Sirine tanda banjir yang dikomunikasi melalui loud speaker mushola dipasang. Sejauh ini, sistem peringatan dini di wilayah Kampung Melayu sudah baik. Beberapa alur penyampaian informasi dari berbagai pihak sehingga informasi diterima oleh masyarakat secara cepat diterapkan melalui HT. Alat ini dipergunakan secara aktif melaporkan perkembangan ketinggian air per jamnya. Namun saat ini, HT yang aktif bekerja hanya ada di beberapa RW saja. Warga sudah tahu bagaimana berkoordinasi dengan pintu air, juga mewaspadai gejala-gejala alam akan datangnya bencana. Jika banjir datang, maka mereka akan melakukan kontak telepon ke pintu air dan menulis di signboard. Sekarang di 11

Kampung Melayu sudah ada jejaring komunikasi peringatan dini banjir. Juga sudah ada Protap, sehingga alat menjadi lebih efektif, kata Agus Mustofa, warga Kampung Melayu Dahulu EWS ini dilakukan perkelompok saja, namun sekarang tidak. Operasional EWS telah terstruktur dengan lebih baik. Hasilnya pun lebih maksimal dengan adanya peralatan yang lebih canggih serta memfungsikan peran organisasi SATLINMAS PBP yang sudah terbentuk. Berdasarkan simulasi yang pernah dilakukan di kelurahan Kampung Melayu, pemakaian sirine tersebut dirasa cukup efektif. Ketika banjir pada 2008, perawatan EWS telah difungsikan dengan baik. Informasi kenaikan muka air di hulu dan prediksi tinggi muka air di pintu-pintu air.lebih awal sehingga evakuasi warga yang tinggal di bantaran kali bisa dilakukan secepatnya. Hasilnya, kerugian akibat banjir dapat diminimalisir. Menurut Agus Mustofa, aktivis pemuda dari Kampung Melayu, program EWS di kelurahannya melibatkan partisipasi warga secara penuh. Perawatan peralatannya pun menjadi tanggungjawab warga. Tinggi rendah sensor juga disepakati bersama oleh masyarakat misalnya apakah masuk dalam kategori berbahaya atau belum berbahaya. Beberapa kendala yang dihadapi adalah jumlah sirine yang tersedia masih terbatas dibandingkan dengan jangkauan wilayah yang luas, juga daya jangka dari sirine tersebut pun perlu ditingkatkan. Kampung Melayu memiliki 2 sirine dan 2 alarm sensor air. Saat ini daya jangkau sirine tersebut sudah ditingkatkan dengan memasang amplifier dan penambahan jumlah loud speaker, dengan penambahan alat ini diharapkan sudah bisa menjangkau RW-RW yang paling rentan. Sirine dipasang di unit pemetaan wilayah yang memiliki risiko tinggi dibandingkan dengan daerah lain. Sedangkan alarm sensor air dirasakan oleh warga sangat membantu, misalnya jika air naik pada malam hari.keterbatasan jangkauan ini memerlukan perhatian dari pihak pemerintah. Diharapkan agar pemerintah membantu warga untuk meningkatkan sarana dan parasarana dalam penerapan sistem peringatan dini banjir. Selain itu personil yang kurang memahami sistem kerja peralatan EWS dan kurang memahami Prosedur Tetap juga merupakan beberapa kendala yang dialami dalam penerapan EWS di Kampung Melayu dan hal ini telah menjadi bagian dari tugas Satlinmas untuk terus meningktkan kapasitas anggotanya. Pengembangan Sistem Peringatan Dini Banjir di Penjaringan 12

Masyarakat Penjaringan tinggal dikelilingi tanggul. Mereka rentan terhadap ancaman banjir. Mereka jelas memerlukan EWS. Sampai kini mereka memiliki EWS berupa sirine, HT, toa, kentongan, HP, person to person. Dari semua itu yang efektif adalah toa, kentongan dan person to person. Sirine diletakkan di wilayah paling rawan terkena dampak banjir rob, seperti RW 17 dan RW 04. Tingkat efektivitas penggunaan sirine bertahap bersamaan dengan pertambahan jumlahnya. 2 pemasangan Sirine pada awal belum efektif menjangkau wilayah yang rentan banjir. 1 Sirine kemudian ditambah dan berhasil menjangkau RW 17 yang merupakan wilayah rentan banjir rob. Jangkauan suara sirine juga telah ditingkatkan dengan trik pemasangan di dekat tanggul yang mengelilingi wilayah pemukiman. Diharapkan agar fungsi dari keberadaan sirine tersebut bisa lebih efektif. Selama ini jaringan informasi yang dipergunakan adalah pintu air lurah (terdapat informasi ketinggian air) Satlinmas PBP RT/RW PKK Karang Taruna (Melakukan diseminasi informasi melalui masjid) Ormas. Selain peralatan yang terbatas, kurangnya kesadaran warga untuk ikut serta dalam penanggulangan banjir, termasuk dalam perawatan alat-alat EWS juga menjadi kendala dalam pengembangan sistem peringatan dini banjir di Kelurahan Penjaringan. Berangkat dari proses pengembangan sistem peringatan dini banjir yang sudah ada di tiga kelurahan, maka EWS merupakan salah satu solusi wajib dalam mengurangi risiko bencana. Dengan adanya penerapan EWS di 3 kelurahan, warga menjadi lebih siap berhadapan dengan bencana. Risiko kehilangan harta benda dan jiwa bisa diminimalisir. Membangun Jaringan Komunitas Bantaran Sungai Ciliwung dan Cipinang Pada dasarnya sistem peringatan dini banjir dalam kerangka pengurangan risiko bencana di Kampung Melayu dan CBU akan dapat berjalan lebih optimal dengan melibatkan warga di kelurahan lain yang termasuk dalam satu kawasan bantaran sungai. Kebutuhan sistem peringatan dini yang menyeluruh dan efektif perlu dibangun melalui sebuah kerjasama antar masyarakat, pemerintah dengan masyarakat, pemerintah pusat dengan daerah, para ilmuwan dengan pengambil kebijakan, serta pihak-pihak lain yang berkepentingan. Berangkat dari pemikiran tersebut, ACF bersama dengan SATLINMAS dan STPB menyelenggarakan pertemuan jaringan antar warga masyarakat yang berdomisili di bantaran Sungai Ciliwung dan Cipinang pada tanggal 10 September 2009. Kegiatan 13

ini dirasakan penting untuk membangun dasar pemikiran tentang pentingnya sebuah jaringan komunitas di bantaran sungai untuk meminimalkan risiko banjir dengan meningkatkan kapasitas masyarakat. Pertemuan jaringan ini mengundang perwakilan warga dari 9 Kelurahan di bantaran Sungai Ciliwung yang meliputi Kelurahan Cililitan, Balekambang, Rawajati, Cawang, Kebon Baru, Bidara Cina, Bukit Duri, Kampung Melayu dan Kebon Manggis, 6 kelurahan dari bantaran Sungai Cipinang, yaitu Kelurahan Pinang Ranti, Cipinang Besar Utara, Cipinang Besar Selatan, Cipinang Muara, Kebon Pala dan Makasar, serta para petugas pintu air Cipinang hulu, Pulogadung, Katulampa, Depok dan Manggarai. Hasil pertemuan ini adalah sebagai berikut: 1. Terbangunnya jejaring komunikasi antar warga kelurahan di bantaran sungai Cipinang dan antara warga kelurahan di bantaran sungai Ciliwung yang mencakup kesepahaman dalam mengoptimalkan sistem peringatan dini banjir. 2. Terbukanya kesempatan mengakses informasi langsung dari petugas pintu air mengenai mekanisme penyampaian informasi ketinggian air sebagai upaya memberikan peringatan dini kepada masyarakat. 3. Pertukaran pikiran dalam upaya identifikasi permasalahan ancaman banjir, seperti kurangnya perhatian pemerintah propinsi DKI Jakarta dalam pengelolaan sungai yang terpadu dari hulu ke hilir secara langsung dapat meningkatkan risiko banjir di Jakarta. Oleh karena itu diharapkan dengan adanya jaringan komunitas bantaran sungai dapat berperan positif dalam mendorong kebijakan pemerintah terkait dengan pengelolaan sungai dan pengurangan risiko banjir. Pertemuan I melahirkan pertemuan kedua dimana perwakilan warga dari beberapa kelurahan di bantaran sungai Ciliwung bersepakat membentuk Forum Masyarakat Bantaran Kali Ciliwung. Forum ini akan dikoordinir oleh Satlinmas PBP Kampung Melayu. Hal yang sama juga terjadi pada warga bantaran Sungai Cipinang yang bersepakat membentuk Forum Komunikasi Masyarakat Bantaran Kali Cipinang yang akan dikoordinir oleh STPB. Membangun Kesepahaman Skema Peringatan Dini Banjir bersama Masyarakat Peringatan dini merupakan sebuah elemen dasar dari kegiatan pengurangan risiko banjir. Peringatan dini banjir mencakup tindakan memberikan informasi dengan bahasa yang mudah dicerna dan dipahami oleh masyarakat awam. Penguatan dan penyebarluasan skema atau jejaring peringatan dini banjir kepada semua unsur masyarakat di tingkat kelurahan menjadi suatu kebutuhan penting, hal inilah yang melatarbelakangi rangkaian kegiatan pertemuan dan sosialisasi yang menyepakati skema peringatan dini ancaman banjir dilakukan di tiga kelurahan (Cipinang Besar 14

Utara, Kampung Melayu dan Penjaringan). Kegiatan ini merupakan sebuah kebutuhan hasil rekomendasi FGD anggota SATLINMAS/STPB pada tanggal 4 Juni 2009 untuk meningkatkan efektifitas sistem peringatan dini banjir. Sosialiasi jejaring informasi peringatan dini dilakukan oleh relawan dari SATLINMAS/STPB di masing-masing kelurahan. Dalam proses pelaksanaannya relawan dituntut mampu memfasilitasi masyarakat dan menjaring ide-ide serta merumuskannya dalam satu kesepakatan bersama. Sebelum terjun ke masyarakat, sebuah pelatihan sehari pada tanggal 20 Oktober 2009 telah diberikan kepada relawan untuk meningkatkan kemampuan dalam hal teknik fasilitasi, pengetahuan EWS dan pengorganisasian masyarakat. Para relawan bertanggungjawab di wilayah kelurahannya masing-masing yang meliputi Kelurahan CBU, Kampung Melayu dan Penjaringan. Sementara pelaksanaan kegiatan telah dilakukan dimulai pada tanggal 25 Oktober 9 November 2009 dibagi menjadi tiga tahap, tahap I pertemuan besar di tingkat kelurahan, tahap II dilakukan diskusi kelompok terarah di RW-RW yang rentan banjir, dan tahap III pertemuan besar untuk menghasilkan kesepakatan akhir skema peringatan dini banjir. Tahapan ini pada kenyataannya disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi di masing-masing kelurahan. Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun dari para relawan di tiga kelurahan bahwa secara umum pelaksanaan kegiatan sosialisasi sistem peringatan dini di tiga Kelurahan mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Warga menjadi tahu bagaimana alur peringatan dini banjir bekerja yang menjangkau semua lapisan masyarakat. Di samping itu ruang lingkup ancaman banjir di masing-masing kelurahan yang karakteristiknya berbeda juga menjadi poin penting yang didiskusikan bersama warga masyarakat. Peran dan fungsi SATLINMAS/STPB di masing-masing kelurahan juga tak luput dari pertanyaan kritis warga, hal ini tentu akan menegaskan eksistensi, komitmen dan keberlanjutan organisasi tersebut di tingkat kelurahan. Sedangkan bagi para relawan sendiri proses kegiatan ini telah banyak memberikan pembelajaran baik itu bagi individu maupun bagi organisasi SATLINMAS/STPB. Bekal teknik fasililitasi dan pengorganisasian kegiatan dalam pelatihan relawan sangat membantu kami dalam kegiatan sosialisasi EWS kepada masyarakat, ungkap Darwis di Penjaringan, salah seorang relawan dari Kelurahan Penjaringan. Selain itu dengan dilakukannya sosialisasi EWS ini, peran SATLINMAS PBP dalam penanggulangan bencana di Penjaringan semakin dikenal oleh masyarakat. Selanjutnya, Pak Idris, relawan dari CBU, menyampaikan bahwa pada awalnya susah sekali memberikan pemahaman kepada warga tentang cara-cara penanggulangan bencana yang mencakup EWS, namun dengan kesabaran menggunakan berbagai cara dan ilustrasi, sedikit demi 15

sedikit masyarakat bisa mengerti apa yang harus diperbuat sebelum, saat dan sesudah banjir terjadi. Hal penting lain mengemuka dalam forum diskusi yang disampaikan warga Kampung Melayu tentang perlunya komitmen dari individu yang masuk dalam skema peringatan dini agar bergerak cepat dalam menyebarluaskan informasi yang menjangkau seluas-luasnya warga masyarakat di sekitarnya. Hasil akhir dari proses kegiatan ini merupakan skema/jejaring peringatan dini banjir yang disepakati warga dan seluruh stakeholder di tingkat kelurahan. Skema ini kemudian akan dicetak dan disebarluaskan kepada warga agar pemahaman masyarakat terhadap hal ini semakin meningkat dan dapat menjangkau warga lebih banyak lagi. Pembelajaran dari proses pengembangan EWS Banjir bersama masyarakat EWS yang efektif harus bisa dipahami oleh masyarakat hingga kemudian dapat tertanam kesadaran yang kuat untuk menjadikannya sebagai kebutuhan bersama. EWS yang dibuat bersama masyarakat merupakan hal yang realistis dan dapat dipercaya, karena masyarakatlah yang lebih mengetahui karateristik wilayah serta kebutuhannya. Oleh karenanya, masyarakat perlu didorong untuk terus terlibat aktif dan bertanggungjawab dalam penerapan EWS termasuk dalam pemeliharaanya. Sosialisasi EWS kepada masyarakat dan pihak-pihak yang terkait juga sangat penting, agar warga dapat memahami informasi bencana yang datang dan segera bisa mengantisipasi dampak yang ditimbulkan. Dengan sosialisasi tersebut, warga tidak akan merasa ditakut-takuti, melainkan ditekankan kewaspadaannya. Pemahaman masyarakat bahwa wilayahnya rawan banjir, sehingga menjadi penting pengetahuan tentang kesiapsiagaan bencana juga harus terus ditingkatkan. Masyarakat harus disiapkan menghadapi banjir dan meminimalisasi risiko dan dampaknya. Dengan adanya EWS sangat membantu warga untuk lebih cepat mengantisipasi ancaman banjir. Di wilayah yang rentan banjir seperti DKI Jakarta, EWS merupakan salah satu solusi wajib dalam mengurangi dampak banjir. EWS yang telah diajarkan, harus terus diterapkan dan selalu mengakomodasikan informasi yang diberikan. Dari proses pengembangan EWS banjir di atas, pada akhirnya yang diperlukan adalah kemauan dan keseriusan masyarakat dan pemerintah dalam meminimalisasi risiko banjir dalam setiap kebijakan dan praktek pengelolaan sumberdaya. Hal tersebut baru bisa diwujudkan apabila masyarakat dan pemerintah memahami 16

prinsip dan tujuan penerapan sistem peringatan dini. Oleh karena itu, upaya strategis penguatan kapasitas masyarakat serta membangun kerjasama antar semua pihak dalam meminimalkan dampak/risiko banjir masih perlu dilakukan secara berkesinambungan. Keberhasilan dan Kegagalan keberhasilan perencanaan program EWS terletak pada perencanaan yang di lakukan bersama masyarakat. Sudah semustinya kebutuhan akan EWS juga berdasarkan kebutuhan dari masyarakat sehingga program menjadi efektif memenuhi kebutuhan bukan menciptakan pemenuhan dari penciptaan kebutuhan. Pelaksanaan program pun dapat akan menjadi sangat efektif. Alat-alat yang diusulkan untuk sistem peringatan dini juga berdasarkan kebutuhan dan partisipasi masyarakat sehingga mereka bisa menggunakan dengan mudah dan tidak terlalu menelan biaya. Pembelajaran pada kekurangan pekaan pada kebutuhan masyarakat terjadi pada instalasi monika I. Akibatnya, sistem MONIKA sulit dimengerti dan masyarakat tidak memiliki kapasitas dalam mengoperasikannya. Pelajaran yang bisa diambil dari kegiatan ini adalah jangan pernah meninggalkan masyarakat didalam perencanaan kegiatan apapun karena mereka yang tahu kebutuhan mereka dan mereka yang tahu lokasi mereka. Arifan lokal harus menjadi pertimbangan dalam pengurangan risiko bencana. Saran Penjajakan program penting dilakukan sebelum pengimplementasian Tujuan utama adalah untuk mengerti ragam konteks permasalahan mulai dari kebutuhan, kondisi sampai pengharapan komunitas yang didampingi. Keterlibatan masyarakat dalam perencanaan kegiatan menjadi sangat penting karena dari merekalah kebutuhan sebenarnya dapat teridentifikasikan. Perlu juga dicatat bahwa kearifan lokal sangatlah penting untuk tidak diabaikan. Identifikasi bersama terhadap sistem peringatan dini seringkali menghasilkan pemilihan alat yang sesuai tidak harus selalu canggih. Melainkan, alat sederhana yang mudah dioperasikan dan terjangkau biaya operasionalnya akan menjadi sangat efektif. 17