BAB IV MODEL EVOLUSI STRUKTUR ILIRAN-KLUANG

dokumen-dokumen yang mirip
IV.3. Analisis Struktur Iliran-Kluang Berdasarkan Genetiknya IV.3.1. Tipe sesar ektensional

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa permasalahan yang dihadapi dan menjadi dasar bagi penelitian ini adalah sebagai berikut:

MODEL EVOLUSI STRUKTUR ILIRAN-KLUANG DAN POTENSI PLAY RESERVOIR REKAHAN BATUAN DASAR DAERAH RIMAU, SUMATRA SELATAN

Tabel hasil pengukuran geometri bidang sesar, ketebalan cekungan dan strain pada Sub-cekungan Kiri.

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB 5 REKONSTRUKSI DAN ANALISIS STRUKTUR

BAB III PEMROSESAN DAN INTERPRETASI DATA. III.1. Dasar-dasar Interpretasi Struktur Pada Penampang Seismik

Salah satu reservoir utama di beberapa lapangan minyak dan gas di. Cekungan Sumatra Selatan berasal dari batuan metamorf, metasedimen, atau beku

Bab II Tektonostrigrafi II.1 Tektonostratigrafi Regional Cekungan Sumatra Selatan

Bab III Pengolahan Data

BAB IV TEKTONOSTRATIGRAFI DAN POLA SEDIMENTASI Tektonostratigrafi Formasi Talang Akar (Oligosen-Miosen Awal)

I.2 Latar Belakang, Tujuan dan Daerah Penelitian

III.3 Interpretasi Perkembangan Cekungan Berdasarkan Peta Isokron Seperti telah disebutkan pada sub bab sebelumnya bahwa peta isokron digunakan untuk

Sekuen Stratigrafi Rift System Lambiase (1990) mengajukan pengelompokan tektonostratigrafi cekungan synrift yang terbentuk dalam satu satu siklus

Gambar Gambaran struktur pada SFZ berarah barat-timur di utara-baratlaut Kepala Burung. Sesar mendatar tersebut berkembang sebagai sesar

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL. II.1. Kerangka Tektonik Regional Cekungan Sumatra Selatan

Bab V Evolusi Teluk Cenderawasih

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

III. ANALISA DATA DAN INTERPRETASI

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

Foto IV-10 Gejala Sesar Anjak Cinambo 3 pada lokasi CS 40.

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

(a) Maximum Absolute Amplitude (b) Dominant Frequency

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

c. Peta struktur PMT5 d. Peta struktur PMT6 e. Peta struktur PMT7 f. Peta struktur PMT8

BAB II GEOLOGI REGIONAL

Gambar III.26 Atribut seismik pada horison Pematang 5 mewakili geometri sedimen mid maximum rift

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab IV Analisis Data. IV.1 Data Gaya Berat

mangkubumi, serta adanya perubahan kemiringangn lapisan satuan konglomerat batupasir dimana semakin melandai ke utara.

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB III GEOLOGI UMUM

BAB II GEOLOGI REGIONAL

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

IV.5. Interpretasi Paleogeografi Sub-Cekungan Aman Utara Menggunakan Dekomposisi Spektral dan Ekstraksi Atribut Seismik

BAB IV INTERPRETASI SEISMIK

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN. Analisis fasies dan evaluasi formasi reservoar dapat mendeskripsi

BAB II GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Zona penelitian ini meliputi Cekungan Kalimantan Timur Utara yang dikenal juga

BAB II GEOLOGI REGIONAL

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB II GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA TENGAH

Daerah penelitian adalah area Cekungan Makasar di bagian laut dalam Selat Makassar, diantara Kalimantan Timur dan Sulawesi Barat.

BAB I PENDAHULUAN. eksplorasi hidrokarbon, salah satunya dengan mengevaluasi sumur sumur migas

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

EVALUASI PALINSPATIK DAN MEKANISME PERANGKAP HIDROKARBON LAPANGAN NORTHEAST BETARA, JAMBI SUMATERA SELATAN TESIS MAGISTER

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

GEOLOGI DAERAH KLABANG

Mekanisme pembentukan Cekungan Makassar

BAB IV. ANALISIS KARAKETERISASI ZONA PATAHAN

Struktur Geologi Daerah Jonggol Dan Jatiluhur Jawa Barat

Bab II Tinjauan Pustaka

Kerangka Geologi Daerah Penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II KERANGKA GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA UTARA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

STRUKTUR GEOLOGI BAWAH PERMUKAAN LAPANGAN X, NORTH X, NORTH Y, Y, DAN Z, CEKUNGAN SUMATERA TENGAH BERDASARKAN ANALISIS DATA SEISMIK KARYA TULIS ILMIAH

BAB I PENDAHULUAN. sangat ekonomis yang ada di Indonesia. Luas cekungan tersebut mencapai

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB II GEOLOGI REGIONAL

Gambar IV.6. Penafsiran penampang seismik komposit yang melintasi daerah penelitan pada arah utara-selatan dan barat-timur melalui Zona Sesar

Interpretasi Stratigrafi daerah Seram. Tabel 4.1. Korelasi sumur daerah Seram

Analisis Struktur

EKSPLORASI ENDAPAN BATUBARA DI DAERAH BUNGAMAS, KABUPATEN LAHAT PROPINSI SUMATERA SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. Lapangan XVII adalah lapangan penghasil migas yang terletak di Blok

BAB II GEOLOGI REGIONAL

By : Kohyar de Sonearth 2009

BAB I PENDAHULUAN. dengan potensi penghasil minyak dan gas bumi di Papua. Cekungan ini berada

DISKRIPSI GEOLOGI STRUKTUR SESAR DAN LIPATAN

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

DISKRIPSI GEOLOGI STRUKTUR SESAR DAN LIPATAN

ANALISIS KINEMATIK SESAR ANJAK (THRUST FAULT) DAN IMPLIKASINYA TERHADAP EVOLUSI TEKTONIK ZONA KENDENG DAERAH NGRANCANG DAN SEKITARNYA

BAB I PENDAHULUAN. adalah Cekungan Kutai. Cekungan Kutai dibagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian barat

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.2. Perbandingan eksplorasi dan jumlah cadangan hidrokarbon antara Indonesia Barat dengan Indonesia Timur 1

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV UNIT RESERVOIR

Bab II Tinjauan Pustaka

SESAR MENDATAR (STRIKE SLIP) DAN SESAR MENURUN (NORMAL FAULT)

II.1.2 Evolusi Tektonik.. 8

SURVEY GEOLISTRIK DI DAERAH PANAS BUMI KAMPALA KABUPATEN SINJAI SULAWESI SELATAN

BAB I PENDAHALUAN. kondisi geologi di permukaan ataupun kondisi geologi diatas permukaan. Secara teori

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN

ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI LAPANGAN VISIONASC BERDASARKAN INTERPRETASI SEISMIK DARI INTERVAL PALEOSEN KE MIOSEN, DAERAH KEPALA BURUNG (KB), PAPUA BARAT

INVENTARISASI BITUMEN PADAT DENGAN OUTCROP DRILLING DAERAH MUARA SELAYA, PROVINSI RIAU

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II GEOLOGI REGIONAL

Bab III Geologi Daerah Penelitian

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Sejarah eksplorasi menunjukan bahwa area North Bali III merupakan bagian selatan dari Blok Kangean yang

I. PENDAHULUAN. Gambar I.1 Lokasi daerah penelitian. Daerah Penelitian

Kerangka Tektonik dan Geologi Regional

Transkripsi:

BAB IV MODEL EVOLUSI STRUKTUR ILIRAN-KLUANG IV.1. Analisis Geometri Struktur Iliran-Kluang Berdasarkan arahnya, sesar yang ada didaerah sepanjang struktur Iliran- Kluang dapat dibedakan atas tiga kelompok, yaitu sesar yang berarah baratlaut-tenggara, sesar yang berarah timurlaut-baratdaya dan sesar yang relatif utara-selatan. Walaupun secara keseluruhan penyebaran dari sesar yang mempunyai arah berbeda ini hampir merata tetapi masih terlihat sesar-sesar yang mempunyai arah yang sama mendominasi daerah tertentu (Gambar IV.1 sampai IV.6). Sesar berarah baratlaut-tenggara ini banyak dijumpai didaerah sebelah barat dan sebelah utara dari area Tinggian Iliran. Sedangkan sesar berarah timurlaut-baratdaya tersebar didaerah utara, barat dan selatan dari area Tinggian Iliran. Sesar-sesar berarah relatif utara-selatan dapat dijumpai dibagian barat dan tengah dari area Tinggian Iliran. Sesar berarah baratlauttenggara dan timurlaut-baratdaya saling berhubungan satu sama lain didaerah sebelah utara dari struktur Iliran-Kluang. Pengamatan pada sejumlah penampang seismik memperlihatkan sesar berarah timurlaut-baratdaya merupakan sesar yang mengontrol distribusi graben berumur Paleogen. Selain mengontrol pembentukan graben, kedua sesar berarah timurlaut-baratdaya dan baratlaut-tenggara merupakan tren struktur yang mengontrol distribusi lapangan minyak dan gas disekitar blok Rimau (Gambar IV.1) Arah kemiringan (dip direction) dari sesar-sesar Iliran-Kluang secara umum terdapat dua arah kemiringan utama dari bidang sesar. Untuk bidang sesar utama Iliran-Kluang kemiringan bidang sesar berarah barat daya pada bagian selatan sedangkan pada bagian utara bidang sesar realtif tegak Sedangkan untuk sesar-sesar synthetic bidang kemiringan bervariasi kearah timur laut sedangkan sesar-sesar antithetic memiliki kemiringan kearah relatif baratdayaselatan. Besar kemiringan bervariasi antara hampir tegak sampai cukup landai. 39

Sedangkan berdasarkan kedalamannya sesar-sesar Iliran-Kluang dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu: (1) Kelompok sesar utama, merupakan sesar yang memotong seluruh unit stratigrafi yang ada di daerah Rimau. Kelompok ini diwakili oleh sesar utama Iliran-Kluang yang memiliki bidang sesar yang hampir tegak. (2) Kelompok sesar minor, yang terdiri dari sesar-sesar yang hanya memotong batuan dasar dan tidak mengalami proses reaktivasi dan sesar-sesar yang memotong sebagian unit stratigrafi berumur Neogen. Gambar IV.7. Geometri pola struktur pada sistim rift memperlihatkan beberapa jenis geometri yang juga mempengaruhi geometri cekungan rift (Hill, 2003). Berdasarkan bentuk bidangnya, sesar-sesar Iliran-Kluang dapat dibedakan menjadi dua bentuk dasar, yaitu berupa bidang datar (planar) dan bidang lengkung (curved). Sesar yang memiliki bidang datar (planar) diantaranya sesar utama Iliran-Kluang merupakan sesar yang dalam dan diduga memiliki pergerakan strike-slip selain itu dibeberapa penampang seismik sesar dengan bidang datar ini terlihat sebagai sesar minor yang aktif pada saat pembentukan cekungan lokal half-graben. Sedangkan sesar yang memiliki bidang lengkung (curved) dibeberapa penampang seismik merupakan sesar yang cukup dalam. Diantaranya adalah sesar berarah timurlaut-baratdaya yang memperlihatkan bentuk sesar normal listrik yang merupakan struktur khas pada sistim rift 43

seperti pada Gambar IV.7 (Hill, 2003). Selain itu bentukan sesar dengan bidang lengkung juga teramati pada sesar-sesar minor yang berhenti pada sesar yang lebih besar pada sistem sesar flower. IV.2. Analisis Kinematik Struktur Iliran-Kluang Analisis struktur secara kinematik dilakukan dengan restorasi atau merekonstruksi kembali keadaan awal dari lapisan batuan untuk mengetahui terjadinya perpendekan (shortening) atau perpanjangan (extensional) pada lapisan batuan dan juga untuk melihat distribusi strain yang berguna untuk menafsirkan pergerakan relatif yang terjadi saat pembentukan struktur tersebut. Selain itu juga dilakukan korelasi sumur pada bagian hanging wall dan footwall dari struktur Iliran-Kluang dan juga pemetaan ketebalan dan distribusi sedimen dalam unit stratigrafi sikuen. Korelasi dan pemetaan isopah ini bertujuan melihat hubungan pengendapan batuan sedimen dalam cekungan saat pembentukan struktur. Sehingga dari hasil korelasi dan pemetaan isopah untuk horison sikuen stratigrafi tertentu dapat ditafsirkan pergerakan relatif dari sesar-sesar yang ada untuk setiap tipe deformasi yang terjadi. IV.2.1. Rekonstruksi Penampang Seimbang Struktur Iliran-Kluang Untuk lebih memahami sejarah deformasi dari cekungan dan evolusi dari elemen struktur yang menyertainya maka dibutuhkan metoda restorasi penampang struktur. Oleh karena itu rekonstruksi ini dilakukan pada beberapa lintasan seismik terpilih. Tiga penampang seismik berarah timurlaut-baratdaya dipilih agar mewakili bagian utara, tengah dan selatan dari struktur Iliran- Kluang. Penampang ini secara umum memotong arah strike dari perkembangan cekungan di daerah blok Rimau. Satu penampang berarah baratlaut-tenggara dengan posisi hampir sejajar dan dekat dengan sesar utama Iliran-Kluang untuk mewakili arah dip dari perkembangan cekungan. Hasil dari rekonstruksi penampang seimbang pada seluruh lintasan memperlihatkan urutan deformasi yang sama dan konsisten. Urutan deformasi yang terjadi dimulai dari deformasi ekstensional kemudian proses sagging dan pada akhirnya berlaku deformasi shortening. Setiap penampang terutama 44

penampang berarah timurlaut-baratdaya memperlihatkan perbedaan akumulasi nilai strain baik pada deformasi ekstensional maupun kontraksional, seperti yang terangkum pada Tabel IV.1 sampai Tabel IV.5. Nilai strain ini mencerminkan distribusi strain pada daerah Rimau terutama disepanjang daerah struktur Iliran-Kluang. Gambaran yang merangkum distribusi strain pada saat kedua deformasi terjadi diperlihatkan dalam histogram (Gambar IV.16). Nilai akumulasi strain yang tinggi pada deformasi extensional diperlihatkan oleh keempat penampang. Pada penampang berarah timurlaut-baratdaya yang mewakili arah strike dari cekungan, nilai akumulasi strain tertinggi sebesar 4.73 % dihasilkan oleh penampang A-A yang terletak pada bagian baratlaut daerah Rimau. Sedangkan nilai akumulasi strain tertinggi untuk seluruh penampang sebesar 6.18 % dihasilkan oleh penampang D-D yang berarah baratlaut-tenggara yang mewakili arah dip cekungan. Deformasi ekstensional ini dihasilkan oleh aktifnya sesar normal berarah timurlaut-baratdaya yang mengontrol pengendapan sediment berumur Paleogen dibagian barat struktur Iliran- Kluang. Sedangkan dibagian tengah dan selatan struktur Iliran-Kluang terutama disekitar daerah Tinggian Iliran, nilai akumulasi ektensional yang cukup tinggi diwakili oleh penampang C-C. Rekonstruksi penampang A-A menggambarkan nilai strain pada deformasi ektensional dibagian barat daerah Tinggian Iliran, penampang ini juga melewati lapangan minyak Kase. Nilai strain ekstensional saat proses Syn-Rift untuk sikuen SB-7 sebesar 0.4% yang kemudian nilai strain ini bertambah besar dengan nilai 0.8% pada sikuen SB-10 yang terjadi pada akhir proses Syn-Rift. Sesar berarah timurlaut-baratdaya mengontrol proses Syn-Rift yang berlangsung dibagian barat ini. Pada saat pengendapan sikuen MFS-10 sampai SB-11 yang terjadi pada proses Post- Rift masih berlangsung proses ekstensional. Hal ini diduga sebagai respon dari cekungan untuk mengakomodosi sedimentasi melalui proses sagging. Pada penampang B-B yang menggambarkan nilai strain didaerah tengah 49

Tinggian Iliran juga memperlihatkan pola yang sama dengan penampang A-A. Pada daerah ini nilai strain pada sikuen SB-7 dan SB-10 sebesar 0.49% dan 0.81% sedangkan untuk penampang C-C yang melintasi bagian timur daerah Tinggian Iliran nilai strain yang terjadi dicerminkan pada sikuen SB-10 sebesar 1.55%, endapan sikuen SB-7 pada bagian timur ini absen (Tabel IV.3). Pada penampang D-D yang searah dip dari cekungan nilai strain ekstensional yang dihasilkan sebesar 2.01% pada sikuen SB-7 dan 1.97% saat sikuen SB-10. Pada penampang ini menghasilkan nilai akumulasi strain ekstensional yang paling besar. Hal ini menunjukan perkembangan cekungan yang semakin memanjang pada arah relatif baratlaut-tenggara dibandingkan pada arah timurlaut-baratdaya. Berdasarkan data distribusi strain pada deformasi ekstensional mengindikasikan distribusi strain yang tidak seragam diberbagai bagian daerah Rimau selama proses Syn-Rift. Nilai akumulasi strain ekstensional yang ditunjukan oleh keempat penampang merupakan indikasi terjadinya pembentukan cekungan rift yang asimetris yang terbentuk oleh mekanisme arah ekstensional bersudut (oblique extension). Pada banyak analog (Christie-Blick dan Biddle, 1985; Aydin dan Nur. 1985) gaya ekstensional seperti ini sangat erat kaitannya dengan mekanisme sesar strike-slip khususnya transtension. Selain itu struktur yang telah ada terlebih dahulu pada batuan dasar Pra-Tersier memiliki kontribusi besar selama proses deformasi yang dihasilkan oleh sistem strike-slip dan struktur tua ini menjadi pengontrol dari arah-arah rifting di Cekungan Sumatra Selatan (Sapiie dan Hadiana, 2006), begitu pula didaerah Rimau. 50

Nilai akumulasi strain shortening yang besar ditunjukan oleh penampang A-A sebesar -19.17% dan penampang B-B sebesar -17.84% sedangkan penampang C-C dan penampang D-D memiliki nilai yang lebih rendah yaitu sebesar -10.78% dan -8.33% (Tabel IV.5). Dari rekonstruksi diatas nilai akumulasi strain shortening terbesar terjadi pada penampang A-A yang terjadi setelah sikuen SB-11 sampai masa kini sebesar -19.17%. Sehingga formasi yang terdapat pada Kelompok Palembang yaitu Air Benakat, Muara Enim dan Kasai mengalami strain shortening yang tinggi. Shortening merupakan indikasi dari proses deformasi kontraksional di blok Rimau. Perbandingan nilai akumulasi strain shortening dari seluruh penampang yang telah direkonstruksi memperlihatkan nilai strain yang bervariasi. Tiga penampang berarah timurlaut-baratdaya memperlihatkan nilai strain shortening yang berbeda pada bagian barat, tengah dan timur daerah Tinggian Iliran dengan nilai sebesar -19.17%, -17.84% dan -10.78%. Bagian barat daerah Tinggian Iliran menjadi daerah yang mengalami strain shortening paling tinggi yang kemudian diikuti oleh bagian tengah dengan perbedaan strain yang tidak banyak berbeda. Hal ini mengindikasikan pada bagian barat dan tengah daerah Tinggian Iliran mengalami deformasi yang kuat dan juga dapat menjelaskan pergesaran relatif dari sesar utama Iliran- Kluang lebih besar pada bagian barat dan tengah dibandingkan bagian timur. Sedangkan untuk penampang berarah baratlaut-tenggara yang mencerminkan arah dip cekungan, nilai akumulasi strain shortening yang dihasilkan sebesar -8.33%. Nilai tersebut merupakan nilai terkecil diantara penampang yang lain. Hal ini mengindikasikan pada saat deformasi kontraksional, shortening lebih besar terjadi pada arah sumbu timurlautbaratdaya. Arah shortening ini menjadikan sesar-sesar berarah timurlautbaratdaya dan baratlaut-tenggara mengalami inversi. 55

asimetris dengan adanya nilai akumulasi strain yang beragam (2% - 14%) pada seluruh penampang (Tabel IV.5 dan Gambar IV.16). Deformasi ekstensional pada sistem rift terjadi pada pengendapan sikuen periode Pre-Rift sampai SB-10 (ekuivalen Formasi Baturaja). Kemudian ekstension masih terjadi setelah SB-10 sampai SB-A yang berkaitan dengan adanya proses sagging. Deformasi kontraksional terjadi pada periode SB-11 sampai Masa Kini. Berhubung permukaan lapisan yang dapat mencerminkan deformasi kontraksional di daerah penelitian telah tererosi sehingga merujuk pada tatanan tektonik regional awal deformasi kontraksional sebenarnya terjadi setelah pengendapan formasi Muara Enim (gambar IV.12 IV.15). Beberapa daerah mengalami ekspos pada permukaan pada saat pengendapan SB-7 (ekuivalen Formasi Lemat) diantaranya sebagian daerah Tinggian Iliran mulai dari daerah SH-2 sampai ke sebelah tenggara namun segera setelah akhir Syn-Rift daerah tersebut tergenang dan tertutup oleh sedimen sikuen SB-8 dan seterusnya (gambar IV.13 IV.15). Daerah yang dilalui oleh penampang A-A dan penampang B-B merupakan daerah yang mengalami shortening dengan nilai akumulasi strain yang paling tinggi. Setiap daerah tersebut memiliki respon yang berbeda. Untuk daerah penampang A-A yaitu daerah bagian utara Tinggian Iliran, deformasi ini menghasilkan pola sesar hasil reaktivasi yang lebih intensif dikarenakan pada saat deformasi ekstension, daerah ini merupakan daerah cekungan dengan endapan sedimen yang tebal. Sedangkan pada daerah penampang B-B yaitu daerah sekitar Tinggian Iliran terjadinya pengangkatan yang signifikan dengan melibatkan batuan dasar. 59

IV.2.2. Peta Isopah Daerah Rimau Agar dapat mengamati perkembangan cekungan dan arah sedimentasi berikut jejak struktur pengontrol serta gambaran paleotopografi regional pada setiap periode deformasi ekstensional dan kontraksional maka dibuatlah peta isopah. Terdapat tiga peta isopah yang dapat mewakili masa Syn-Rift, Post-Rift (proses sagging) serta Late Post-Rift (awal proses kontraksional), ketiga peta tersebut yaitu (1) Peta isopah SB-7 - SB-1 (batuan dasar), (2) Peta isopah SB-10 MFS-10 dan (3) Peta isopah SB- 11 SB-1 (Gambar IV.17 IV.19). Peta isopah SB-7 SB-1 (Gambar IV.17) memperlihatkan perkembangan cekungan sedimentasi terbentuk pada arah baratlaut-tenggara dengan geometri yang asimetris. Perkembangan ini terutama dipengaruhi oleh aktifnya sesar-sesar ekstensional berarah timurlaut-baratdaya. Selain itu sesar berarah baratlaut tenggara juga berkontribusi pada pembentukan cekungan. Dari bentuk geometri cekungan yang asimetris maka sesar-sesar ekstensional ini erat kaitannya dengan sistim strike-slip. Pada peta isopah SB-10 MFS-10 (Gambar IV.18) dapat terlihat penyebaran sedimentasi pada saat proses sagging. Pada daerah paleotopografi yang lebih tinggi, misalnya disekitar Tinggian Iliran maka ketebalan sedimen akan tipis dan umumnya membentuk drapes dengan dip lapisan yang relatif landai. Sedangkan pada daerah paleotopografi yang dalam seperti didaerah Graben Jemakur maka didapatkan endapan sedimen yang cukup tebal. 60