BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepustakaan yang Relevan Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku yang relevan dengan kajian penulisan. Hal ini dikarenakan hasil dari suatu karya ilmiah haruslah dapat dipertanggung jawabkan dan harus disertai data-data yang kuat serta ada hubungannya dengan yang diteliti. Wirman Valkinz (2013) dalam skripsinya yang berjudul Realisasi Kesantunan Berbahasa Di Lingkungan Terminal: Kajian Sosiopragmatik mengatakan bahwa santun merupakan suatu yang lazim dapat diterima oleh umum. Santun tidak santun bukan makna absolut sebuah bentuk bahasa, karena itu tidak ada kalimat yang secara inheren santun atau tidak santun, yang menentukan kesantunan bentuk bahasa ditambah konteks ujaran hubungan antara penutur dan petutur. Oleh karena itu, situasi variabel penting dalam kesantunan. Skripsi di atas walaupun menulis tentang kesantunan bahasa, namun berbeda dengan yang akan dikaji oleh penulis. Penulis mengkaji tentang Kesantunan Bahasa Pada Pantun Merisik Pada Upacara Perkawinan Masyarakat Melayu : Suatu Kajian Pragmatik. Walaupun demikian kajian di atas banyak memberi masukan atau kontribusi untuk skripsi ini. 9
2.2 Teori yang Digunakan Teori merupakan suatu prinsip dasar yang terwujud di dalam bentuk yang secara umum akan mempermudah seorang penulis dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Teori diperlukan untuk mengarahkan penulis dalam mengerjakan skripsi sehingga menjadi penuntun bagi kerja penulis. Teori merupakan landasan fundamental ilmiah sebagai argumentasi dasar untuk menjelaskan atau memberikan jawaban rasional terhadap masalah yang digarap (Admadilaga dalam Gurning, 2004:9). Oleh karena itu ada beberapa pengertian pragmatik dan pantun yang mendukung tulisan ini di antaranya adalah: Kunjana (2005:47) mengatakan istilah pragmatik, sebenarnya, sudah dikenal sejak masa hidupnya seorang filsuf terkenal bernama Charles Morris tahun 1938, dalam memunculkan istilah pragmatika, Morris (1938) mendasarkan pemikirannya pada gagasan filsuf-filsuf pendahulunya, seperti Charles Sanders Pierce dan John Locke yang banyak menggeluti ilmu tanda dan ilmu lambang semasa hidupnya. Ilmu tanda dan ilmu lambang yang mereka pelajari itu dinamakan semiotika (semiotics). Dengan mendasarkan pada gagasan filsuf itu, Charles Morris membagi ilmu tanda dan ilmu lambang itu ke dalam tiga cabang ilmu, yakni (1) sintaktika (syntactic) studi relasi formal tanda-tanda, (2) semantika (semantics) studi relasi tanda-tanda dengan objeknya, dan (3) pragmatika (pragmatics) studi relasi antara tanda-tanda dengan penafsirannya. Berawal dari gagasan filsuf ternama inilah kemudian sosok pragmatik dapat dikatakan terlahir dan mulai bertengger di atas bumi linguistik. Kunjana,dkk (2005 : 47) mengatakan, bahwa pragmatik mempelajari apa saja yang termasuk struktur bahasa sebagai alat komunikasi antara penutur dan mitra tutur serta 10
sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa yang sifatnya ekstralinguistik. Levinson (1983) mendefinisikan pragmatik sebagai studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya. Konteks yang dimaksud tergramatisasi dan terkodifikasi sehingga tidak dapat dilepaskan dari struktur bahasanya Di dalam bertutur sedikitnya terdapat tiga macam skala pengukur peringkat kesantunan yang sampai dengan saat ini banyak digunakan sebagai dasar acuan dalam penelitian kesantunan. Ketiga macam skala itu adalah (1) skala kesantunan menurut Leech, (2) skala kesantunan menurut Brown and Lavinson, dan (3) skala kesantunan menurut Robin Lakoff. a. Skala Kesantunan Leech Setiap maksim interpersonal itu dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan sebuah tuturan. Berikut skala kesantunan yang disampaikan Leech (1983) (1) Cost-benefit scale: Representing the cost or benefit of an act to speaker and hearer. Penjelasan: Cost-benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan (2) Optionality scale: Indicating the degree of choice permitted to speaker and/or hearer by a specific linguistic act. Penjelasan: Optionality scale atau skala ketidak langsungan menunjuk kepada banyak atau sdikitnya pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. (3) Indirectness scale: indicating the amount of inferencing required of the hearer in order to establish the intended speaker meaning. Penjelasan: Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. 11
(4) Authority scale: Representing the status relationship between speaker and hearer. Penjelasan: Authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. (5) Social distance scale: indicating the degree of familiarity between speaker and hearer. (Leech, 1983). Penjelasan: social distance scale atau skala jarak sosial menunjuk kepada peringkat hubungan social antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. b. Skala Kesantunan Brown and Lavinson Terdapat tiga skala penentu tinggi rendahnya peringkat kesantunan sebuah tuturan. Ketiga skala tersebut ditentukan secara kontekstual, sosial, dan cultural yang selengkapnya mencakup skala-skala berikut: (1) skala peringkat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur (Social distance between speaker and hearer) banyak ditentukan oleh parameter perbedaan umur, jenis kelamin dan latar belakang sosiokultural. (2) Skala peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur (the speaker and hearer relative power) atau seringkali disebut dengan peringkat kekuasaan (power ratting) didasarkan pada kedudukan asimetrik antara penutur dan mitra tutur. (3) Skala pringkat tindak tutur atau sering pula disebut dengan rank ratting atau lengkapnya adalah the degree of imposition associated with the required expenditure of goods or service didasarkan atas kedudukan relative tindak tutur yang satu dengan tindak tutur lainnya. 12
c. Skala Kesantunan Robin Lakoff Robin Lakoff (1972) menyatakan tiga ketentuan untuk dapat dipenuhinya kesantunan di dalam kegiatan bertutur. Ketiga ketentuan itu adalah sebagai berikut: (1) Di dalam skala kesantunan pertama, yakni skala formalitas (formality scale) dinyatakan bahwa agar para peserta tutur dapat merasa nyaman dan kerasan dalam kegiatan bertutur, tuturan yang digunakan tidak boleh bernada memaksa dan tidak bolek berkesan angkuh. (2) Skala yang kedua, yakni skala ketidaktegasan (hesitancy scale) atau seringkali disebut skala pilihan (optionality scale) menunjukkan bahwa agar penutur dan mitra tutur dapat saling merasa nyaman dan kerasan dalam bertutur, pilihan-pilihan dalam bertutur harus diberikan oleh kedua belah pihak. (3) Skala kesantunan ketiga, yakni peringkat kesekawanan atau kesamaan menunjukkan bahwa agar dapat bersifat santun, orang haruslah bersikap ramah dan selalu mempertahankan antara pihak yang satu dengan pihak yang lain. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan teori yang dikemukakan oleh Leech (Kunjana,,2005:66) mengatakan setiap maksim interpersonal itu dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan sebuah tuturan. Alasan penulis menggunakan teori ini, karena teori ini bisa di jadikan panduan bagi si penulis untuk mengkaitkan maksim-maksim skala kesantunan Leech dengan pantun merisik pada perkawinan masyarakat Melayu. Kanena makna maupun kesantunan bahasa pada pantun merisik, penulis akan mencoba menjelaskan dengan menggunakan kelima maksim yang terdapat di dalam skala kesantunan Leech. 13