ANALISIS POTENSI HASIL KACANG TANAH DALAM KAITAN DENGAN KAPASITAS DAN AKTIVITAS SOURCE DAN SINK HENI PURNAMAWATI

dokumen-dokumen yang mirip
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Produktivitas Tanaman Produksi Bahan Kering

Peningkatan Produktivitas Kacang. Keseimbangan Source dan Sink

SOURCE DAN SINK PADA TANAMAN KACANG TANAH

PEMBAHASAN UMUM Hubungan Karakter Morfologi dan Fisiologi dengan Hasil Padi Varietas Unggul

KARAKTERISTIK PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI LIMA VARIETAS KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) Oleh INNE RATNAPURI A

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) adalah tanaman pangan utama sebagian besar penduduk

I. PENDAHULUAN. Keinginan untuk berswasembada kedelai telah beberapa kali dicanangkan, namun

I. PENDAHULUAN. Sorgum merupakan salah satu jenis tanaman serealia yang memiliki potensi besar

Hasil dan pembahasan. A. Pertumbuhan tanaman. maupun sebagai parameter yang digunakan untuk mengukur pengaruh lingkungan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Tinggi Tanaman. antara pengaruh pemangkasan dan pemberian ZPT paklobutrazol. Pada perlakuan

3. BAHAN DAN METODE 3.1. Percobaan Kapasitas Source dan Sink Pada Beberapa Varietas Kacang Tanah Waktu dan Lokasi Penelitian

BAB VI PEMBAHASAN. lambat dalam menyediakan unsur hara bagi tanaman kacang tanah, penghanyutan

AGROVIGOR VOLUME 1 NO. 1 SEPTEMBER 2008 ISSN

Akumulasi dan Distribusi Bahan Kering pada Beberapa Kultivar Kacang Tanah. Accumulation and Distribution of Plant Dry Matter in Peanut Cultivars

I. TINJAUAN PUSTAKA. dalam, akar dapat tumbuh hingga sekitar 1 m. Dengan adanya bakteri Rhizobium, bintil

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Fisiologi Tanaman Padi

PENGAIRAN DAN PEMELIHARAAN SALURAN PENGAIRAN TANAMAN JAGUNG

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Jagung Manis. Pertumbuhan dan perkembangan merupakan proses yang dialami oleh setiap

HASIL DAN PEMBAHASAN. kompos limbah tembakau memberikan pengaruh nyata terhadap berat buah per

TINJAUAN PUSTAKA. A. Kacang Hijau

TINJAUAN PUSTAKA Ratun Tanaman Padi

TIGA PILAR UTAMA TUMBUHAN LINGKUNGAN TANAH

STAF LAB. ILMU TANAMAN

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi sebagian besar penduduk

STUDI MORFO-ANATOMI DAN PERTUMBUHAN KEDELAI (Glycine max (L) Merr.) PADA KONDISI CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH. Oleh

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merr.) merupakan tanaman pangan terpenting ketiga

PERTUMBUHAN DAN HASIL BERBAGAI VARIETAS KACANG HIJAU (Vigna radiata (L.) Wilczek) PADA KADAR AIR YANG BERBEDA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pertumbuhan Tanaman. Hasil sidik ragam 5% terhadap tinggi tanaman menunjukkan bahwa

I. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pertumbuhan Tanaman. tinggi tanaman dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 1. Rerata Tinggi Tanaman dan Jumlah Daun

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Tinggi Tanaman. Hasil penelitian menunjukan berbagai kadar lengas tanah pada stadia

I. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Pertumbuhan Vegetatif. Hasil sidik ragam variabel pertumbuhan vegetatif tanaman yang meliputi tinggi

PENGAIRAN KEDELAI PELATIHAN TEKNIS BUDIDAYA KEDELAI BAGI PENYULUH PERTANIAN DAN BABINSA PUSAT PELATIHAN PERTANIAN

UJI DAYA HASlL BEBERAPA KULTIVAR KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.)

PERAKITAN KULTIVAR KACANG TANAH TAHAN PENYAKIT KAPASITAS SOURCE-SINK SEIMBANG UNTUK

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN KEDELAI (Glycine max L. Merrill) PADA BERBAGAI KONSENTRASI PUPUK DAUN GROW MORE DAN WAKTU PEMANGKASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan pengamatan pada pemberian pupuk organik kotoran ayam

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN. Bio-slurry dan tahap aplikasi Bio-slurry pada tanaman Caisim. Pada tahap

I. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Variabel Pertumbuhan. Variabel pertumbuhan tanaman Kedelai Edamame terdiri atas tinggi tanaman, jumlah daun,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PETUNJUK LAPANGAN (PETLAP) PENGAIRAN DAN PEMELIHARAAN SALURAN PENGAIRAN

TINJAUAN PUSTAKA. Botani dan Morfologi Kacang Tanah

PENDAHULUAN. ternyata dari tahun ke tahun kemampuannya tidak sama. Rata-rata

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGUJIAN KERAGAAN KARAKTER AGRONOMI GALUR-GALUR HARAPAN PADI SAWAH TIPE BARU (Oryza sativa L) Oleh Akhmad Yudi Wibowo A

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cabe (Capsicum annum L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki nilai ekonomi penting di

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. cendawan MVA, sterilisasi tanah, penanaman tanaman kedelai varietas Detam-1.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

UJI DAYA HASIL LANJUTAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) TOLERAN NAUNGAN DI BAWAH TEGAKAN KARET RAKYAT DI PROVINSI JAMBI OLEH DEDI PRASETYO A

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pertumbuhan Tanaman. lingkungan atau perlakuan. Berdasarkan hasil sidik ragam 5% (lampiran 3A)

I. PENDAHULUAN. Jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman serealia sumber karbohidrat kedua

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetatif dan generatif. Stadia pertumbuhan vegetatif dihitung sejak tanaman

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Jagung Manis. dalam siklus kehidupan tanaman. Pertumbuhan dan perkembangan berlangsung

I. PENDAHULUAN. memiliki nilai ekonomi penting di Indonesia. Nilai ekonominya yang tinggi

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Tanaman cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu komoditas

PENDAHULUAN BAHAN DAN METODE

BAB I PENDAHULUAN. diolah menjadi makanan seperti kue, camilan, dan minyak goreng. kacang tanah dari Negara lain (BPS, 2012).

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Morfologi dan Syarat Tumbuh Tanaman Kedelai. Kedelai merupakan tanaman asli subtropis dengan sistem perakaran terdiri dari

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

TANGGAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) TERHADAP DOSIS PUPUK KALIUM DAN FREKUENSI PEMBUMBUNAN SKRIPSI OLEH :

I. PENDAHULUAN. Jagung termasuk bahan pangan penting karena merupakan sumber karbohidrat

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh

PENGARUH PENGGUNAAN PUPUK KANDANG DAN NPK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN KACANG TANAH

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. menunjukkan bahwa penggunaan jenis mulsa dan jarak

Menimbang Indeks Luas Daun Sebagai Variabel Penting Pertumbuhan Tanaman Kakao. Fakhrusy Zakariyya 1)

FOTOSINTESIS & LINGKUNGAN

tanaman pada fase perkembangan reproduktif sangat peka terhadap cekaman kekeringan. Kondisi cekaman kekeringan dapat menyebabkan gugurnya

PENDAHULUAN. Indonesia. Kebutuhan kacang tanah dari tahun ke tahun terus meningkat sejalan

Lampiran 1. Hasil Analisis Tanah di Kebun Percobaan Leuwikopo IPB

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Tinggi Tanaman Umur 35 Hari Setelah Tanam

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil dan pembahasan penelitian sampai dengan ditulisnya laporan

PENGARUH DOSIS PUPUK KANDANG AYAM TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL MENTIMUN

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Viabilitas benih diartikan sebagai kemampuan benih untuk tumbuh menjadi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Padi Varietas Way Apoburu Pupuk dan Pemupukan

PERSAINGAN TEKI (Cyperus rotundus L.) TERHADAP PRODUKSI TANAMAN KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.)

I. PENDAHULUAN. Jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman serealia yang memiliki sumber

PEMBAHASAN UMUM Penetapan Status Kecukupan Hara N, P dan K pada Bibit Duku

IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Pertumbuhan Vegetatif. menunjukan hasil pertumbuhan pada fase vegetatif. Berdasarkan hasil sidik ragam

RESPON PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BEBERAPA VARIETAS KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK ORGANIK SKRIPSI.

UJI DAYA HASIL LANJUTAN GALUR-GALUR KEDELAI (Glycine max (L ) Merr) TOLERAN NAUNGAN DI BAWAH TEGAKAN KARET RAKYAT DI DESA SEBAPO KABUPATEN MUARO JAMBI

TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Tanaman

I. PENDAHULUAN. Pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan pendapatan turut meningkatkan

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz.) merupakan tanaman yang banyak

EVALUASI KERAGAMAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max L. Merrill) MUTAN ARGOMULYO PADA GENERASI M 4 MELALUI SELEKSI CEKAMAN KEMASAMAN SKRIPSI OLEH :

Transkripsi:

ANALISIS POTENSI HASIL KACANG TANAH DALAM KAITAN DENGAN KAPASITAS DAN AKTIVITAS SOURCE DAN SINK HENI PURNAMAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam disertasi yang berjudul Analisis Potensi Hasil Kacang Tanah dalam Kaitan dengan Kapasitas dan Aktivitas Source dan Sink adalah benar-benar karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing, bukan hasil jiplakan atau tiruan serta belum pernah diajukan dalam bentuk apapun untuk memperoleh gelar program sejenis di perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dan tidak diterbitkan dari penulis lain telah dituliskan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Desember 2011 Heni Purnamawati NIM. A361040011

ABSTRACT HENI PURNAMAWATI. Potential yield analysis of groundnut in term of capacity and activity of source and sink. Under the direction of ROEDHY POERWANTO as the chairman, ISKANDAR LUBIS, YUDIWANTI WAHYU E.K, and A. GHOZI MANSHURI as the member of advisory committee. The research was conducted with the aim to get the source and sink character of groundnuts that affect yield and percentage of full pods. The study was conducted by performing two experiments. Twelve varieties released from the years 1950-2003 are used. The 12 varieties were planted on two planting seasons (2007 and 2010) in two different locations. The observations made include source and sink capacity and activities, sink strenght, harvest index and yield. In the second experiment eight varieties were used to observe the non-structural carbohydrates (TNC) (2007). Two varieties of groundnuts were used to observe the translocation of carbon by using carbon 13 ( 13 C) (2009). Characters of source and sink that positively and directly influence pod yield/plant of groundnut were number of pod/plant, weight of 100 seed and number of gynophores at 70 DAP. Characters which positively and directly affects harvest index were stem and leaf dry weight at 42 DAP, seed yield/plant and the number of pod/plant. Source and sink characters directly and positively affects the percentage of full pods were number of pod/plant, weight of 100 seed and LAI 70 DAP. There is an indication that most of assimilate for pod filling was obtained from the photosynthetic activities during the pod filling. There were no differences between varieties with different growth patterns. There is also an indication that some varieties do remobilisation of assimilate during pod filling period. There are seven patterns of source and sink relationship in groundnut varieties, based on the source and sink characters. Based on the source and sink characters that influence pod poduction and quality, an ideotype of groundnut plant with high productivity and high filling percentage was contructed. Key words: capacity and activity of source and sink, sink strength

RINGKASAN HENI PURNAMAWATI. Analisis Potensi Hasil Kacang Tanah dalam Kaitan dengan Kapasitas dan Aktivitas Source dan Sink. Komisi Pembimbing: ROEDHY POERWANTO (Ketua), ISKANDAR LUBIS, YUDIWANTI WAHYU E.K. dan A. GHOZI MANSHURI (Anggota). Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mendapatkan karakter source dan sink kacang tanah yang mempengaruhi produksi dan persentase polong penuh. Berdasarkan karakter source dan sink tadi kemudian disusun ideotype tanaman kacang tanah yang berpotensi menghasilkan bobot polong tinggi dengan kualitas polong yang baik. Penelitian dilakukan dengan melakukan dua percobaan. Percobaan pertama untuk mendapatkan informasi mengenai kapasitas dan aktivitas source dan sink dengan mengamati beberapa varietas kacang tanah. Percobaan kedua dimaksudkan untuk mengetahui pergerakan aliran karbon dalam tanaman kacang tanah yang berbeda pola pertumbuhannya. Dua belas varietas nasional yang dilepas dari tahun 1950-2003 digunakan sebagai bahan tanam dalam percobaan pertama. Keduabelas varietas ditanam pada dua musim tanam (2007 dan 2010) di dua lokasi yang berbeda. Pengamatan yang dilakukan meliputi karakter kapasitas dan aktivitas source dan sink serta kekuatan sink, indeks panen dan produksi polong dan biji. Pada percobaan kedua digunakan delapan varietas kacang tanah untuk mengamati kandungan karbohidrat non-struktural (TNC) (MT-2007). Dua varietas kacang tanah digunakan untuk mengamati translokasi karbon dengan menggunakan penjejak isotop karbon 13 ( 13 C) (MT-2009). Terdapat karakter-karakter source dan sink yang berpengaruh langsung positif meningkatkan hasil polong/tanaman kacang tanah yaitu jumlah polong/tanaman, bobot 100 biji dan jumlah ginofor 70 HST. Karakter-karakter source dan sink yang berpengaruh langsung menaikkan indeks panen yaitu bobot kering batang dan daun pada 42 HST, bobot biji/tanaman dan jumlah polong/tanaman. Karakter-karakter source dan sink yang berpengaruh langsung meningkatkan persentase polong penuh yaitu jumlah polong/tanaman, bobot 100 biji dan ILD 70HST Didapatkan bahwa asimilat untuk pengisian biji lebih banyak diperoleh dari kegiatan fotosintesis pada periode pengisian polong/biji. Tidak ditemukan adanya perbedaan antar varietas dengan pola pertumbuhan berbeda dalam memenuhi kebutuhan asimilat saat pengisian. Ada indikasi beberapa varietas melakukan remobilisasi asimilat. Berdasarkan perbandingan karakter-karakter source dan sink didapatkan ada tujuh hubungan source-sink pada varietas kacang tanah yang diuji yaitu: a. Source tinggi dan Sink tinggi dengan Indeks Panen rendah b. Source tinggi dan Sink rendah dengan Indeks Panen sedang dan rendah c. Source tinggi dan Sink tinggi dengan Indeks Panen tinggi d. Source tinggi dan Sink rendah dengan Indeks Panen tinggi e. Source tinggi dan Sink tinggi dengan Indeks Panen rendah f. Source tinggi dan Sink rendah dengan Indeks Panen rendah g. Source rendah dan Sink tinggi dengan Indeks Panen tinggi

Berdasarkan karakter source dan sink yang berpengaruh langsung terhadap produksi polong dan kualitas polong disusun ideotype tanaman kacang tanah dengan produktivitas polong tinggi dan persentase pengisian tinggi yaitu : a. Menghasilkan kapasitas dan aktifitas source tinggi sehingga mampu menghasilkan bahan kering yang besar dengan bobot 100 biji > 50 gram b. ILD pada fase awal generatif (42HST) mencapai 2, memasuki fase pengisian (56HST) mencapai 3-4, dan pada akhir fase pengisian ILD mencapai 5-6. ILD pada fase-fase selanjutnya dipertahankan 5-6 untuk pemasakan polong. c. Membentuk percabangan (maksimal 5-6 cabang) pada 42-56HST sehingga dapat menopang banyak bunga dan ginofor pada awal fase generatif. Tinggi batang utama saat panen tidak terlalu tinggi ±70cm. d. Bunga muncul serempak pada 26-28HST dan dalam waktu 2-3 hari 50% populasi berbunga tercapai. Enam puluh persen bunga dari total bunga sudah muncul sebelum 40HST. Jumlah ginofor 10 hari setelah berbunga mencapai 15-20 ginofor untuk menjamin jumlah polong/tanaman lebih dari 20 polong pada saat panen. e. Indeks panen tanaman mencapai ± 0.40-0.50 Kata Kunci: kapasitas dan aktivitas source dan sink, kekuatan sink, indeks panen, 13 C, ideotype kacang tanah.

@Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.

ANALISIS POTENSI HASIL KACANG TANAH DALAM KAITAN DENGAN KAPASITAS DAN AKTIVITAS SOURCE DAN SINK HENI PURNAMAWATI Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Agronomi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc Dr Ir Sugiyanta, MSi Penguji Luar Komisi pada Ujian Disertasi: Prof. Dr. Ir. M.A. Chozin, M.Agr Prof.(R). Dr. Sumarno, M.Sc

Judul Disertasi : Analisis Potensi Hasil Kacang Tanah dalam Kaitan dengan Kapasitas dan Aktivitas Source dan Sink Nama : Heni Purnamawati Nomor Pokok : A 361040011 Program Studi : Agronomi Disetujui, Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Roedhy Poerwanto, M.Sc. Ketua Dr. Ir. Iskandar Lubis, M.S. Anggota Dr. Ir. Yudiwanti Wahyu E.K, M.S. Anggota Dr. Drs. A.Ghozi Manshuri, M.S. Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Agronomi Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S. Dr. Ir. Dahrulsyah M.Sc.Agr. Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:

PRAKATA Peningkatan produksi kacang-kacangan di Indonesia berperan penting tidak hanya dalam mencukupi kebutuhan protein dan energi masyarakat tetapi juga dalam meningkatkan perekonomian petani dan perekonomian Indonesia. Upaya yang perlu dilakukan tidak hanya berupa perbaikan teknologi produksi dan mendapatkan genotipe-genotipe baru yang dapat berproduksi tinggi, tetapi juga perbaikan kualitas produk sehingga mampu bersaing dalam perdagangan global. Dalam upaya meningkatkan produksi dan produktivitas kacang tanah di Indonesia, maka dilakukan serangkaian penelitian berjudul: Analisis potensi hasil kacang tanah dalam kaitan dengan kapasitas dan aktivitas source dan sink. Dengan rahmat Allah SWT, penelitian dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik. Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi Program Doktor (S3) di Sekolah Pascasarjana, IPB. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Ir. Roedhy Poerwanto, M.Sc sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Dr. Ir. Iskandar Lubis, MS, Dr. Ir. Yudiwanti Wahyu E.K, MS dan Dr. Drs. A. Ghozi Manshuri, MS sebagai Anggota Komisi yang telah banyak membantu dalam membimbing dan mengarahkan penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada: 1. Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa BPPS pada tahun 2004-2007. 2. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian dan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi yang telah mendanai penelitian ini melalui program KKP3T tahun anggaran 2007-2009 dan Hibah Bersaing Dikti tahun anggaran 2008-2009. 3. Rektor Institut Pertanian Bogor, Wakil Rektor IPB Bidang Akademik, Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Pertanian IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB, Kepala Bagian Laboratorium Produksi Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB atas pemberian ijin dan dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini dengan baik.

4. Staf Pengajar Program Studi Agronomi Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan ilmu dan masukan selama penulis kuliah untuk Program Doktor di IPB. 5. Prof. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, MSc yang telah menguji penulis pada Ujian Prakualifikasi Program Doktor di IPB. 6. Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc dan Dr. Ir. Sugiyanta, MSi yang telah menguji penulis pada Ujian Tertutup Program Doktor di IPB. 7. Prof.(R.) Dr. Sumarno, M.Sc dan Prof. Dr. Ir M.A. Chozin, MAgr yang telah menguji penulis pada Ujian Terbuka Program Doktor di IPB. 8. Staf Pengajar serta Staf Kependidikan Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB yang telah banyak memberikan dukungan, bantuan dan kerjasama dalam pelaksanaan penelitian ini. 9. Uswatul Khasanah, Inne Ratnapuri, Angga Yudho, Shofiyatul Mas udah, Ambar Prasetyaningrum Oentari, V. Susirani Kusumaputri dan Seriulina N Br. S. Keloko yang telah membantu penelitian penulis. 10. Kedua orang tua penulis, Bapak Ir. Soetarwi Soerowinoto, MS (almarhum) dan Ibu Mukarti (almarhumah) yang semasa hidup beliau berdua telah mendidik, mengenalkan penulis pada tanaman dan senantiasa mendoakan penulis. 11. Suami tercinta, Dr. Ir. Ahmad Budiaman, M.Sc.F.Trop dan ananda Inas Suci Rahmawati serta Anisah Dyah Rahmawati, atas segala pengertian, dorongan dan doanya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi Program Doktor ini. Semoga Allah SWT membalas budi baik yang telah diberikan, dan semoga disertasi ini dapat memberikan manfaat dalam pengembangan pertanian, khususnya kacang tanah di Indonesia. Bogor, Desember 2011 Penulis

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 6 April 1966 di Bogor sebagai anak kedua Bapak Ir. Soetarwi Soerowinoto, MS dan Ibu Mukarti. Tahun 1973 penulis lulus dari SD Negeri Pengadilan II Bogor. Sekolah Menengah diselesaikan pada tahun 1976 di SMP Negeri I Bogor, dan pada tahun 1984 di SMA Negeri II Bogor. Sarjana Pertanian diperoleh penulis dari Institut Pertanian Bogor pada tahun 1989. Pada bulan Oktober 1992 penulis menikah dengan Ahmad Budiaman dan telah dikaruniai dua orang putri, Inas Suci Rahmawati dan Anisah Dyah Rahmawati. Penulis diterima menjadi pegawai negeri sipil pada bulan Januari tahun 1990 dan sampai saat ini bekerja sebagai staf pengajar di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada bulan Agustus 1990 penulis mendapat beasiswa dari GTZ untuk melanjutkan pendidikan Magister di Universitas Goettingen, Jerman dan memperoleh gelar Magister Science Agrariarum dari Universitas tersebut pada tahun 1993. Karya ilmiah yang merupakan bagian dari disertasi program S3 penulis yang telah diterbitkan dalam jurnal ilmiah berjudul Akumulasi dan Distribusi Bahan Kering pada Beberapa Kultivar Kacang Tanah (Jurnal Agronomi Indonesia tahun 2010, vol.38(2): 100-106, Terakreditasi B). Karya ilmiah yang merupakan bagian disertasi S3 penulis juga pernah disajikan dalam bentuk poster berjudul Karakteristik Pengisian Biji Kacang Tanah yang ditampilkan pada Seminar Nasional Inovasi Teknologi Padi dan Palawija bagi Keberlanjutan Ketahanan Pangan yang diselenggarakan oleh Puslitbangtan Bogor pada bulan Agustus 2009.

GLOSSARY Aktifitas sink Aktifitas source Asimilat/ fotosintat Bahan kering atau Biomassa kemampuan/laju sink tersebut dalam mengumpulkan asimilat/bahan kering laju/kecepatan tanaman menghasilkan asimilat hasil fotosintesis tanaman hasil akhir akumulasi asimilat yang telah menjadi bagian struktural suatu organ tanaman Carbon Exchange Rate Laju pertukaran (gas) CO 2 yang masuk dan keluar daun (CER) Determinate pola pertumbuhan tanaman dimana pertumbuhan tanaman diakhiri dengan munculnya bunga Feeding Meningkatkan konsentrasi suatu unsur isotop yang memasuki tubuh tanaman Ginofor Bagian tanaman kacang tanah yang merupakan perpanjangan dasar bunga, terbentuk setelah terjadinya penyerbukan Ideotype Keragaan tanaman ideal Indeterminate pola pertumbuhan tanaman dimana pertumbuhan tanaman masih terus berlangsung walaupun bunga sudah muncul. Isotop Kapasitas sink Kapasitas source Photosynthetic Active Radiation (PAR) Polong cipo atau cipo Polong penuh Polong setengah penuh Unsur-unsur yang memiliki nomor atom sama tetapi bobot massa atom berbeda banyaknya bagian tanaman yang berfungsi sebagai sink banyaknya bagian tanaman yang mampu berfotosintesis Radiasi matahari yang jatuh diatas permukaan daun, yang dapat digunakan untuk fotosintesis Polong dimana saat setelah dikeringkan biji masih sangat kecil atau bentuk polong berubah mengerut Polong dimana saat setelah dikeringkan biji mengisi penuh ruang dalam polong Polong dimana saat setelah dikeringkan biji tidak mengisi penuh ruang dalam polong

Remobilisasi asimilat Source Sink Sink vegetatif Sink reproduktif Sink produktif Pemindahan asimilat dari sink temporer ke sink produktif semua organ tanaman yang melakukan fotosintesis Semua organ tanaman yang tidak berfotosintesis (nonfotosintetik) yang mendapat suplai asimilat dari source bagian tanaman yang mendapat suplai asimilat tetapi bukan merupakan bagian yang dipanen (contoh tunas, daun muda) sink yang potensial untuk membentuk sink produktif (contoh bunga, ginofor) sink yang dipanen (misal polong, biji) Sink temporer sink penyimpan sementara asimilat, mampu mengalihkan asimilat yang disimpan ke sink lain yang membutuhkan. Asimilat ini dapat digunakan untuk pengisian biji. Contoh sink temporer adalah batang dan daun Sink terminal Semi determinate Sink yang tidak dapat mengalihkan asimilat kebagian lain karena asimilat menjadi bagian strukturalnya. pola pertumbuhan tanaman seperti indeterminate tetapi dengan laju pertumbuhan sedikit tertekan setelah bunga muncul δ 13 C Peningkatan rasio karbon 13 ( 13 C) terhadap karbon 12 ( 12 C) dalam satuan % 13 C atom excess Selisih antara kandungan 13 C dalam tanaman dengan kandungan 13 C di atmosfir

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xxiii DAFTAR GAMBAR... xxv DAFTAR LAMPIRAN... xxvii 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. 1.2. Tujuan Penelitian.. 1.3. Hipotesis... 1.4. Kerangka Pemikiran. 1 2 3 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Produktivitas Tanaman. 2.1.1. Produksi Bahan kering...... 2.1.2. Distribusi Asimilat... 2.2. Hubungan Source-Sink... 2.2.1. Kekuatan Sink... 2.2.2. Translokasi asimilat... 2.3. Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.)... 2.3.1. Botani dan Morfologi. 2.3.2. Tahapan Pertumbuhan Kacang Tanah.. 2.3.3. Variasi Hasil 7 7 12 14 14 15 17 17 19 20 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Percobaan Kapasitas Source dan Sink Pada Beberapa Varietas Kacang tanah 23 3.2. Percobaan Translokasi Karbon Pada Dua Varietas Kacang Tanah Menggunakan Penjejak Isotop 13 C 32 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Indeks Panen dan Produksi tanaman... 4.2. Source... 4.2.1. Kapasitas Source 4.2.1.1. Indeks Luas Daun (ILD) 4.2.1.2. Bobot Kering Tajuk... 35 37 37 37 39

4.2.1.3. Kandungan Klorofil dan Kerapatan Stomata.. 4.2.1.4. Tinggi Batang Utama dan Percabangan... 4.2.2. Aktivitas Source... 4.2.2.1. Laju Pertambahan Luas Daun. 4.2.2.2. Laju Asimilasi Bersih (LAB)... 4.2.2.3. Laju Akumulasi Bahan Kering... 4.3. Sink... 4.3.1. Sink Reproduktif..... 4.3.1.1. Bunga..... 4.3.1.2. Ginofor.... 4.3.2. Kapasitas Sink. 4.3.2.1. Jumlah dan Bobot Polong... 4.3.2.2. Bobot 100 butir... 4.3.3. Aktivitas Sink.. 4.3.4. Kekuatan Sink ((Sink Strength)..... 4.3.4.1. Partition Coefficient... 4.3.4.2. Persentase Pengisian Polong... 4.4. Translokasi Asimilat. 4.4.1. Kadar Total Non-structural Carbohydrate (TNC)... 4.4.2. Translokasi 13 C... 4.5. Peran Source-Sink dalam Mendukung Pertumbuhan dan Hasil Tanaman...... 4.5.1. Perbandingan Varietas Berdasarkan Bobot Polong Per Tanaman.. 4.5.2. Perbandingan Varietas Berdasarkan Indeks Panen. 4.5.3. Perbandingan Varietas Berdasarkan Persentase Polong Penuh Per Tanaman..... 4.5.4. Matrik Perbandingan Varietas... 4.6. Sidik Lintas... 4.6.1. Sidik Lintas Bobot Polong Per Tanaman. 4.6.2. Sidik Lintas Indeks Panen... 4.6.3. Sidik Lintas Persentase Polong Per Tanaman.. 42 43 45 43 46 47 49 49 49 53 55 55 60 61 62 63 64 66 65 67 72 73 77 80 82 86 87 89 91

4.7. Pembahasan Umum.. 93 5. KESIMPULAN... 101 DAFTAR PUSTAKA... 103 LAMPIRAN. 109

DAFTAR TABEL No Judul Halaman 1. Perbandingan morfologi varietas botani Arachis hypogaea... 18 2. Hasil analisis tanah sebelum penelitian....... 24 3. Rata-rata kondisi agroklimat per bulan saat penelitian... 24 4. Analisis ragam pada tiap musim tanam... 30 5. Analisis ragam gabungan dua musim tanam.. 30 6. Nilai indeks panen kacang tanah pada dua musim tanam... 35 7. Hasil polong dan biji kacang tanah berdasarkan bobot keringnya pada MT-2007 dan MT-2010... 36 8. Rata-rata Indeks Luas Daun kacang tanah tiap fase tumbuh pada MT-2007 dan MT-2010.. 38 9. Bobot kering batang dan daun kacang tanah pada beberapa periode tumbuh pada MT-2007.... 40 10. Bobot kering batang dan daun kacang tanah pada beberapa periode tumbuh pada MT-2010... 40 11 Kadar Klorofil dan kerapatan stomata kacang tanah.. 43 12. Rata-rata jumlah cabang dan tinggi batang utama kacang tanah pada MT-2010......... 44 13. Rata-rata Laju Asimilasi Bersih kacang tanah pada MT-2007 dan MT-2010... 47 14. Laju Tumbuh Tanaman pada dua periode tumbuh kacang tanah pada MT-2007 dan MT-2010... 48 15. Waktu bunga muncul, waktu 50% populasi berbunga, periode reproduktif dan persentase polong penuh kacang tanah pada MT-2010... 50 16. Rata-rata jumlah bunga tiap periode, persentase bunga yang menjadi polong dan jumlah polong per tanaman pada MT-2010... 52 17. Persentase ginofor jadi polong pada MT-2007 dan MT-2010 55

No Judul Halaman 18. Rataan jumlah ginofor, jumlah polong dan bobot polong per tanaman pada MT-2007.. 56 19 Rata-rata jumlah polong total, polong penuh, cipo dan persentase polong penuh per tanaman kacang tanah pada MT-2007... 57 20. Rataan jumlah ginofor, jumlah polong dan bobot polong per tanaman pada MT-2010.. 58 21. Rata-rata jumlah polong total, polong penuh, polong ½ penuh, cipo, persentase polong penuh dan polong setengah penuh per tanaman kacang tanah pada MT-2010.... 59 22. Bobot 100 biji kacang tanah pada dua musim tanam... 60 23. Laju Tumbuh Polong kacang tanah pada MT-2007 dan MT-2010..... 61 24. Nilai koefisien partisi (PC) kacang tanah pada MT-2007 (PC42-panen) dan MT-2010 (PC56-panen). 63 25. Persentase polong penuh kacang tanah pada 2 musim tanam... 64 26. Kadar TNC dalam daun dan batang pada 42 dan 70 HST... 65 27. Rata-rata hasil pengukuran kondisi umum tanaman kacang Tanah pada fase reproduktif.... 68 28. Nilai 13 C % atom excess dan selisih perubahannya dalam tiap bagian tanaman.... 71 29. Rata-rata nilai ILD 42 HST, jumlah polong/tanaman, bobot polong dan bobot biji per tanaman dari 2 MT...... 73 30. Rata-rata bobot kering tajuk (batang dan daun) 70 HST, ILD 70 HST dan Indeks Panen kacang tanah pada dua musim tanam.... 78 31. Rata-rata nilai bobot batang pada 42 HST, jumlah ginofor pada 70HST dan persentase polong penuh kacang tanah dari 2 musim tanam... 80 32. Matrik perbandingan karakter duabelas varietas kacang tanah... 84

DAFTAR GAMBAR No Judul Halaman 1. Alur kerangka pemikiran penelitian.... 5 2. Rak tempat feeding dengan isotop 13 C.... 33 3. Perbandingan bobot kering polong, daun dan batang pada (a) 70 dan 91 HST (MT-2007) dan (b) 70 dan 84 HST (MT-2010). 41 4. Pertambahan luas daun pada duabelas varietas kacang tanah (a dan b) pada MT-2010...... 46 5. Pertambahan jumlah bunga dubelas varietas kacang tanah pada MT- 2010.... 51 6. Pertambahan jumlah ginofor per tanaman pada MT-2007... 53 7. Pertambahan jumlah ginofor per tanaman pada MT-2010... 54 8. Hubungan meningkatnya suhu daun (T) dengan laju CER. 68 9. NIlai % 13 C atom excess dalam tanaman kacang tanah varietas Sima (a) dan Jerapah (b)... 70 10. Kandungan 13 C (g) dalam bagian tanaman kacang tanah varietas Sima (a) dan Jerapah (b)..... 72 11. Perbandingan varietas berdasarkan bobot dan jumlah polong per tanaman..... 12. Perbandingan varietas berdasarkan ILD 42HST dan jumlah polong per tanaman...... 75 74 13. 14. Perbandingan varietas berdasarkan ILD 42 HST dan bobot kering tajuk (batang dan daun) per tanaman 42 HST... 76 Perbandingan varietas berdasarkan bobot polong per tanaman dan bobot biji per tanaman... 77 15. Perbandingan varietas berdasarkan ILD 70 HST dan nilai indeks panen. 79 16. 17. Perbandingan varietas berdasarkan bobot kering batang 42 HST dan persentase polong penuh per tanaman... 81 Perbandingan varietas berdasarkan jumlah ginofor 70 HST dan persentase polong penuh per tanaman... 82

No Judul Halaman 18. 19. 20. Karakter-karakter yang bepengaruh langsung dan tidak langsung terhadap bobot polong/tanaman kacang tanah..... 88 Karakter-karakter yang berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap Indeks Panen kacang tanah... 90 Karakter-karakter yang berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap persentase polong penuh kacang tanah. 92

DAFTAR LAMPIRAN No Judul Halaman 1. Deskripsi duabelas varietas kacang tanah.... 110 2. Tiga Kategori Polong 116 3. Rataan bunga yang muncul pada MT-2010 dari duabelas varietas kacang tanah. 117 4. Hasil analisis ragam karakter pengamatan pada MT-2007 119 5. Hasil analisis ragam karakter pengamatan pada MT-2010 120 6. Hasil analisis ragam gabungan MT-2007 dan MT-2010.... 122 7. Rataan nilai karakter dari dua musimtanam.. 123 8. Korelasi antar karakter kacang tanah pada MT-2007 124 9. Korelasi antar karakter kacang tanah pada MT-2010 126 10. Korelasi antar karakter kacang tanah pada dua musim tanam.. 129 11. Korelasi nilai LTT dan LTP pada MT-2007 dengan bobot polong/tanaman, persentase polong penuh dan Indeks Panen... 131 12. Korelasi nilai LTT dan LTP pada MT-2010 dengan bobot polong/tanaman, persentase polong penuh dan Indeks Panen.. 132 13. Karakter-karakter yang mempengaruhi langsung dan tidak langsung terhadap bobot polong/tanaman kacang tanah 133 14. Karakter-karakter yang mempengaruhi langsung dan tidak langsung terhadap indeks panen kacang tanah... 134 15. Karakter-karakter yang mempengaruhi langsung dan tidak langsung terhadap persentase polong penuh kacang tanah 135

1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kacang tanah merupakan komoditas kacang-kacangan kedua yang ditanam secara luas di Indonesia setelah kedelai. Produktivitas kacang tanah di Indonesia tahun 1986 tercatat 0,7 ton/ha meningkat menjadi 1,1 ton/ha pada tahun 2000 dan 1,2 ton/ha pada tahun 2010 (Kasno 2004; BPS 2009). Permintaan akan kacang tanah di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Kenaikan permintaan ini tidak dapat dipenuhi seluruhnya oleh produksi dalam negeri. Indonesia mulai mengimpor kacang tanah sejak tahun 1978. Volume impor kacang tanah meningkat sebesar 0,95% per tahun (BPS 2009), tetapi luas lahan dan produksi sejak 2005 terus menurun. Produktivitas tanaman kacang tanah dipengaruhi oleh agroklimat, teknik produksi dan karakteristik varietas. Berbagai varietas baru berdaya hasil mencapai 2-2,5 ton/ha, bahkan lebih, telah dilepas, tetapi produktivitas petani hanya mencapai 50 60 % (Kasno 2004). Kasno (2006) juga menemukan bahwa pada MT-2004/2005 varietas lokal masih dominan ditanam petani dengan luas tanam 78,02%. Varietas Gajah, Macan dan Kelinci masing-masing luas tanamnya 10,80%, 6,54% dan 4,64%. Selain produktivitas yang rendah, masalah lain yang sering ditemui di lapangan adalah persentase polong hampa (cipo) dan polong yang terisi kurang maksimal yang cukup besar. Polong yang kurang terisi atau setengah penuh menghasilkan biji keriput dan tidak mencapai kualitas yang diharapkan pasar. Bell dan Wright (1998) menemukan bahwa walaupun populasi tanaman kacang tanah di Indonesia tergolong tinggi ternyata polong yang dihasilkan banyak yang tidak berisi atau terisi tidak maksimum, yang mengakibatkan produktivitasnya tetap dibawah 2,5 ton/ha. Hal ini dapat mengindikasikan rendahnya partisi asimilat ke bagian yang dimanfaatkan atau dipanen. Kondisi ini merugikan dipandang dari adanya pemborosan fotosintat/asimilat ke bagian yang tidak produktif. Permasalahan produktivitas dan pengisian biji/polong yang tidak optimal ini dicoba untuk dipecahkan melalui pengamatan pada hubungan source dan sink tanaman kacang tanah, khususnya yang dibudidayakan di Indonesia. Source

2 adalah organ tanaman yang melakukan fotosintesis, sedangkan sink adalah organ tanaman dimana hasil fotosintesis (asimilat) disimpan. Hubungan source dan sink pada tanaman ditentukan oleh kapasitas dan aktivitas source serta kapasitas, aktivitas dan kompetisi diantara sink. Produksi tanaman ditentukan oleh banyaknya akumulasi bahan kering dan partisi atau pembagian bahan kering tersebut ke bagian yang akan dipanen. Oleh karena itu, peningkatan hasil tanaman dapat dilakukan dengan meningkatkan akumulasi bahan kering dan/atau meningkatkan indeks panen. Varietas-varietas kacang tanah yang umum ditanam di Indonesia tergolong varietas kacang tanah subtipe Spanish dan Valencia yang bertipe pertumbuhan tegak dan umur panen berkisar 100-105 hari. Varietas-varietas kacang tanah nasional mempunyai potensi jumlah polong diatas 15 polong per tanaman, bahkan sejak tahun 2000 potensi varietas-varietas baru yang dilepas mencapai 20 polong/tanaman. Ginofor yang dihasilkan selama hidup tanaman dapat mencapai lebih dari 100 ginofor, tetapi dari beberapa penelitian didapat hanya 10 15 % saja yang berkembang menjadi polong berisi penuh (Lukitas 2005). Informasi mengenai hubungan source dan sink yang berhubungan dengan pengisian biji pada varietas-varietas kacang tanah di Indonesia masih sangat terbatas. Pengamatan terhadap kapasitas dan aktivitas source dan sink, hubungannya dengan hasil polong dan pengisian biji, distribusi asimilat serta sumber asimilat untuk pengisian biji akan dapat memudahkan pemahaman karakter-karakter penting yang berpengaruh terhadap produksi dan pengisian biji kacang tanah serta mekanisme pembagian asimilat. Pemahaman yang lebih baik akan karakter-karakter ini akan mampu mendorong pengembangan teknologi budidaya tanaman kacang tanah sehingga memberikan keuntungan ekonomis yang lebih baik, serta mendorong perbaikan genetik tanaman untuk menghasilkan varietas kacang tanah berproduksi tinggi dengan sifat-sifat unggul yang diharapkan pasar. 1.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mendapatkan karakter source dan sink kacang tanah yang mempengaruhi produksi dan persentase polong penuh.

3 Berdasarkan karakter source dan sink tadi kemudian disusun ideotype tanaman kacang tanah. 1.3. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah : 1. Terdapat perbedaan kapasitas dan aktivitas source dan sink pada kultivarkultivar kacang tanah yang mempengaruhi produksi dan pengisian polong/biji. 2. Terdapat satu atau lebih karakter source dan sink yang berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap produksi polong dan pengisian polong/biji kacang tanah. 3. Terdapat perbedaan dalam pola translokasi asimilat pada kultivar kacang tanah dengan pola pertumbuhan yang berbeda. 1.4. Kerangka Pemikiran Produksi tanaman (yield) ditentukan oleh kemampuan tanaman menghasilkan asimilat (biomassa) dan pengalokasian sebagian besar asimilat ke bagian yang bernilai ekonomi. Total produksi biomassa tanaman tergantung pada keseimbangan proses fotosintesis dan respirasi. Kemampuan genetik tanaman dan kondisi lingkungan tumbuh tanaman mengendalikan kedua proses ini. Tanaman mempunyai kemampuan berbeda dalam mengatur distribusi asimilat apabila terjadi perubahan lingkungan tumbuh. Oleh karena itu perlu diusahakan teknik budidaya maupun perbaikan genetik dengan memanfaatkan karakter yang berpengaruh terhadap produksi sehingga sebanyak mungkin biomass/bahan kering dapat dihasilkan tanaman dan sebanyak mungkin dapat ditransfer ke bagian tanaman yang bernilai ekonomis. Asimilat dihasilkan daun dan semua bagian tanaman yang berfotosintesis, bagian ini disebut source. Source menghasilkan asimilat yang disamping untuk mempertahankan metabolisme source juga untuk menyuplai kebutuhan bagian tanaman yang non-fotosintetik. Bagian tanaman yang non-fotosintetik ini disebut sink. Sink ada yang bersifat temporer dan/atau terminal. Sink temporer dapat mengalihkan asimilat yang disimpannya kebagian sink lain yang membutuhkan, sedangkan sink terminal tidak dapat karena asimilat menjadi bagian strukturalnya.

4 Distribusi asimilat atau partisi asimilat menjadi penting dalam menentukan hasil akhir tanaman. Banyaknya asimilat yang dihasilkan tanaman sulit untuk diukur langsung akan tetapi dapat diukur secara tidak langsung dengan pengukuran bobot kering yang merupakan hasil akhir akumulasi asimilat pada suatu organ tanaman. Pada kacang tanah pembentukan bunga, ginofor dan polong yang adalah tahap kritis yang menentukan produktivitas. Bunga, ginofor dan polong muda merupakan sink reproduktif yang berpotensi untuk berkembang menjadi polong yang dapat dipanen. Tiap varietas diduga mempunyai kemampuan tertentu dalam menghasilkan sink reproduktif. Sejumlah sink reproduktif kemungkinan tidak dapat berkembang menjadi sink produktif sebagai akibat dari pengaruh lingkungan. Berbeda dengan kedelai yang determinate, kacang tanah yang umumnya dibudidayakan di Indonesia mempunyai tipe pertumbuhan semi-determinate. Pada pola pertumbuhan yang semi-determinate, terjadi kompetisi antara sink reproduktif dan produktif (bunga, ginofor, biji/polong) dengan sink vegetatif (daun muda, cabang, akar, bintil akar). Kompetisi ini mempengaruhi banyaknya asimilat untuk perkembangan sink reproduktif selanjutnya, dan apabila kebutuhannya tidak tercukupi, mengakibatkan sebagian sink reproduktif berhenti berkembang atau gugur. Kompetisi juga dapat mengakibatkan sink reproduktif terlambat tumbuh dan berkembang. Biji dapat memperoleh asimilat dari fotosintesis langsung selama fase pengisian biji dan/atau dari remobilisasi asimilat dari sink temporer (yang berada di daun dan batang). Mempertahankan daun hijau selama periode pengisian biji dapat menjamin berlangsungnya fotosintesis untuk menyuplai asimilat ke biji yang sedang berkembang. Kebutuhan asimilat untuk pengisian biji dapat pula diperoleh dari hasil remobilisasi asimilat yang tersimpan dalam batang dan daun. Adanya remobilisasi asimilat ini dapat menjadi merugikan karena mengakibatkan laju fotosintesis daun terganggu dan memicu senesens (Sinclair dan dewitt 1978), yang akibat selanjutnya menurunkan laju serapan hara akar, dan pada akhirnya mempengaruhi pengisian biji. Gambar 1 menunjukkan alur kerangka pemikiran dari penelitian ini.

5 Permasalahan Produktivitas kacang tanah rendah Pengisian biji kurang maksimal Faktor penyebab : Pola hubungan source dan sink, Pembagian asimilat, kekuatan sink dan waktu pengisian Kapasitas Source : Bobot kering tajuk dan polong ILD Kandungan klorofil dan stomata Tinggi tan. Percabanga Aktivitas Source : Laju pertambahan luas daun LAB Laju akumulasi bahan kering Translokasi asimilat Kadar Total nonstructural carbohydrate Translokasi 13 C Kapasitas Sink : Jumlah bunga dan ginofor Jumlah dan bobot polong Bobot 100 butir Aktivitas Sink : Laju Tumbuh Polong KekuatanSink : Partition Coefficient Persentase pengisian polong Didapatkan Perbedaan antar varietas dalam kaitannya dengan kapasitas dan aktivitas source dan sink serta translokasi asimilat yang mempengaruhi produksi tanaman dan pengisian biji Dapat disusun Ideotype tanaman kacang tanah, dalam kaitan dengan kapasitas dan aktivitas source dan sink Gambar 1 Alur kerangka pemikiran penelitian. Untuk memahami hubungan source-sink kacang tanah dalam pengisian biji/polong kacang tanah, perlu diamati kapasitas dan aktivitas source dan sink serta kekuatan sink dari beberapa varietas kacang tanah. Yang dimaksud sebagai

6 kapasitas source adalah banyaknya bagian tanaman yang mampu berfotosintesis, sedangkan aktifitas source adalah laju/kecepatan tanaman menghasilkan asimilat yang kemudian disimpan atau terukur dalam bobot keringnya. Dalam Disertasi ini sink yang diamati hanya sink reproduktif dan sink produktif yaitu sink-sink yang langsung berhubungan dengan produksi tanaman. Sink reproduktif adalah sink yang kemudian dapat berkembang menjadi sink produktif, sedangkan sink produktif adalah sink yang dipanen (polong dan biji). Kapasitas sink adalah banyaknya bagian tanaman yang berfungsi sebagai sink reproduktif dan produktif, sedangkan aktifitas sink adalah kemampuan/laju sink tersebut dalam mengumpulkan asimilat/bahan kering. Persaingan untuk mendapatkan asimilat terjadi antara sink-sink reproduktif dan produktif maupun sink reproduktif dan produktif dengan sink-sink vegetatif. Makin kuat sink tersebut maka makin banyak asimilat didapatkan oleh sink tersebut bahkan, kemungkinan mampu menekan pertumbuhan dan perkembangan sink-sink lain. Pengamatan dilakukan terhadap sebanyak mungkin varietas kacang tanah lokal dan nasional untuk mendapatkan pola hubungan source dan sink yang berbeda. Kondisi lingkungan tumbuh dapat mempengaruhi distribusi asimilat yang berdampak pada produktivitas tanaman. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan di dua lokasi dan tahun/musim yang berbeda untuk mendapatkan informasi pengaruh lingkungan terhadap karakter-karakter tersebut. Asimilat yang dihasilkan tanaman harus ditranslokasikan dari source ke dalam sink. Perubahan dalam translokasi asimilat akan berakibat pada ketersediaan asimilat yang dapat diakumulasikan tanaman di dalam sink produktif. Pengamatan translokasi asimilat dilakukan terhadap translokasi karbohidrat nonstruktural pada periode pengisian biji dan penggunaan penjejak isotop karbon-13 untuk mengamati perpindahan karbon dalam varietas-varietas kacang tanah yang memiliki pola pertumbuhan yang berbeda. Dari pengamatan kapasitas dan aktivitas source-sink diharapkan dapat diperoleh keragaman antar varietas kacang tanah berdasarkan karakter kapasitas dan aktivitas source-sink serta translokasi asimilat yang mempengaruhi produksi dan pegisian biji. Setelah mendapatkan informasi karakter-karakter tadi,

7 kemudian dilanjutkan dengan penyusunan suatu ideotype tanaman kacang tanah yang berproduksi tinggi dan dengan kualitas pengisian polong yang optimal.

9 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Produktivitas Tanaman Produksi tanaman adalah puncak dari berbagai proses yang terjadi dalam suatu siklus hidup tanaman (Khanna-Chopra 2000). Setiap fase pertumbuhan dan perkembangan tanaman berpengaruh terhadap produksi. Produktivitas tanaman (yield) ditentukan oleh kemampuan tanaman berfotosintesis dan pengalokasian sebagian besar hasil fotosintesis ke bagian yang bernilai ekonomi. Yoshida (1972) mengekspresikan produktivitas tanaman sebagai : Produktivitas = Biomas x Indeks Panen. Biomas adalah total bahan kering hasil fotosintesis yang diakumulasi tanaman, sedangkan produktivitas adalah bagian biomas yang dipanen dan indeks panen melambangkan koefisien partisi. Dari persamaan tersebut, produktivitas tanaman dapat ditingkatkan dengan menghasilkan lebih banyak biomas (bahan kering) atau meningkatkan indeks panen atau meningkatkan keduanya (Kumudini et al. 2001). Peningkatan produktivitas pada varietas-varietas baru gandum, jagung dan kedelai dunia lebih banyak disumbangkan dari adanya peningkatan lebih banyak bahan kering kedalam biji atau peningkatan indeks panen (Egli 1999; Snyder dan Carlson 1983). Peningkatan indeks panen ini tidak dapat dilakukan terus menerus karena hanya dapat dilakukan hingga batas tertentu sehingga peningkatan selanjutnya dilakukan dengan meningkatkan akumulasi bahan kering (Gifford dan Evans 1981). 2.1.1 Produksi Bahan Kering Hasil fotosintesis tanaman (asimilat) diukur secara tidak langsung dengan mengukur produksi bahan keringnya. Produksi bahan kering merupakan dasar dari produksi tanaman. Yoshida (1972) menyatakan bahwa laju pertambahan bahan kering atau laju pertumbuhan tanaman ditentukan oleh indeks luas daun (ILD), tingkat fotosintesis bersih daun dan sudut daun. Dale et al., dalam Edoka (2006) menyebutkan bahwa pertumbuhan dan lamanya daun hijau suatu tanaman menentukan persentase radiasi matahari yang dapat ditangkap tajuk sehingga mempengaruhi fotosintesis, translokasi asimilat

10 dan hasil akhir tanaman. Indeks Luas Daun (ILD) merupakan rasio antara luas daun yang hijau dengan luas permukaan tanah dimana tanaman tumbuh. Kiniry et al. (2005) menggunakan nilai ILD, koefisien light extinction (k) hukum Beer dan indeks panen untuk membandingkan produksi bahan kering (biomass) dan hasil berbagai kultivar kacang tanah. Produksi bahan kering sendiri merupakan perimbangan dari proses fotosintesis dan respirasi, dimana laju pertambahan bahan kering tanaman meningkat secara asimtot dengan peningkatan ILD sehingga hampir tidak ada optimum ILD untuk produksi bahan kering (Yoshida 1972). Walaupun demikian definisi titik kritis ILD dapat diartikan sebagai suatu nilai ILD dimana peningkatan ILD tidak lagi meningkatkan laju pertumbuhan tanaman atau terjadi peningkatan tetapi kecil. Kiniry et al. (2005) menemukan ILD kacang tanah pada berbagai lokasi di Texas USA pada satu musim berkisar antara 5 6 dengan nilai koefisien extinction cahaya (k) berkisar 0,60 0,65. Untuk mendapatkan penetrasi cahaya yang lebih baik maka diharapkan daun lebih tegak dan sudut daun kecil sehingga nilai k menjadi lebih kecil, lebih banyak daun terpapar sinar matahari pada PAR yang lebih kecil sehingga laju pertukaran karbon (CER= Carbon Exchange Rate) kanopi meningkat. Banyak penelitian menunjukkan bahwa akumulasi bahan kering yang terjadi menjelang dan saat pengisian biji amat menentukan hasil. Shiraiwa et al. (2004) menemukan besarnya akumulasi bahan kering pada fase periode awal pengisian biji merupakan karakteristik yang menentukan perbedaan hasil antara genotipe-genotipe kedelai. Perbedaan hasil antara padi berdaya hasil tinggi dan padi berdaya hasil rendah terletak pada kemampuan mengakumulasi bahan kering sebelum heading dan translokasi asimilat selama pengisian biji (Miah et al. 1996). Lubis et al. (2003) menyatakan bahwa berat kering padi saat pengisian biji lebih mempengaruhi hasil daripada karbohidrat non-struktur (non structural carbohydrate = NSC) saat berbunga penuh Kemampuan fotosintesis dapat diamati dengan mengukur tingkat pertukaran karbondioksida (CER) pada tajuk. Nilai CER dihitung berdasarkan laju CO 2 yang memasuki stomata. Tanaman dengan CER tinggi diharapkan memiliki laju akumulasi bahan kering yang juga tinggi dan pada akhirnya

11 memiliki potensi produksi yang juga tinggi. Nilai CER sendiri sangat dipengaruhi oleh konduktansi stomata (KS). Konduktansi stomata diukur dengan mengamati jumlah CO 2 yang masuk melalui hambatan stomata. Tanaman dengan nilai CER tinggi umumnya didukung pula oleh KS yang juga tinggi (Santosa, 2000). Semakin kecil hambatan stomata, semakin besar nilai konduktansinya sehingga semakin banyak CO 2 yang dapat masuk melalui stomata ke dalam daun. Semakin banyak CO 2 yang masuk memungkinkan terjadinya fiksasi CO 2 untuk fotosintesis yang lebih banyak. Semakin banyak jumlah stomata, konduktansi per satuan luas daun akan semakin tinggi (Mohr dan Schopfer 1995). Watanabe et al., dalam Evans dan Fischer (1999) juga menemukan adanya peningkatan laju pertukaran karbon (carbon exchange rate, CER), peningkatan N-daun, aktivitas Rubisco, kandungan klorofil dan kapasitas transport elektron serta penurunan rasio klorofil a/b saat membandingkan hasil beberapa kultivar gandum lama dan baru. Terdapat korelasi yang erat antara laju fotosintesis dengan kandungan N- daun karena enzim Rubisco merupakan 25-30 % dari total N-daun (Evans 1989). Dalam fase pengisian terdapat dua sumber N untuk pertumbuhan biji yaitu N yang diabsorpsi akar dan N yang berasal dari remobilisasi jaringan vegetatif (Ta dan Weiland 1992). Penundaan remobilisasi N dari daun dapat mempertahankan kapasitas fotosintesis lebih lama dan kemungkinan dapat meningkatkan hasil biji. Kemampuan padi cv. Akenoshi untuk mempertahankan kandungan N- daun yang tinggi pada periode pemasakan, sehingga laju fotosintesis tetap tinggi pada fase tersebut, mengakibatkan pengisian biji menjadi optimal dan produksi biji lebih tinggi dibanding padi cv Nipponbare (Ookawa et al. 2003). Kemampuan tanaman dalam menangkap dan menggunakan radiasi cahaya matahari untuk fotosintesis dipengaruhi pula oleh faktor morfologis, anatomis dan fisiologis daun. Peningkatan luas daun, pengurangan trikoma, pengurangan ketebalan daun, dan peningkatan kandungan klorofil sehingga memungkinkan penangkapan cahaya menjadi lebih efisien (Taiz dan Zeiger 2002). Energi cahaya yang jatuh ke daun pertama kali diserap oleh pigmen klorofil. Tipe klorofil yang banyak terdapat dalam tanaman adalah tipe a dan b. Klorofil a memiliki gugus metil dalam susunannya sedangkan klorofil b memiliki

12 gugus aldehid. Fungsi kedua klorofil ini berbeda dimana klorofil b bersama dengan pigmen lain seperti karoten berperan sebagai penangkap foton cahaya. Foton ini kemudian diteruskan secara berantai ke klorofil a yang berfungsi sebagai antena pusat reaksi. Rasio antara klorofil a dan b menentukan keefisienan penangkapan cahaya. Tanaman yang tumbuh cepat dan berproduksi tinggi membutuhkan respirasi yang juga tinggi. Dengan melakukan respirasi, energi yang tersimpan dalam substrat organik akan dilepas dan diubah dalam bentuk senyawa ATP yang digunakan untuk berbagai proses metabolisme. Dari proses respirasi dapat dihasilkan banyak reduktan, berbagai substrat dan karbon skeleton serta CO2 dan panas sebagai produk sampingannya (Taiz dan Zeiger 2003). Pertukaran gas CO 2 dan O 2 dapat digunakan untuk mengukur tingkat respirasi suatu jaringan (Moss, 1986). Pada kondisi tersedia cukup cahaya untuk fotosintesis maka gas CO 2 yang terukur pada daun (kloroplas) merupakan hasil dari fiksasi karbon dan respirasi, sedangkan pada kondisi gelap atau cahaya rendah maka CO 2 yang terukur menunjukkan tingkat respirasi daun tersebut. Tingkat respirasi tanaman dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal (Mohr dan Schopfer 1995). Usia jaringan, adanya pelukaan merupakan contoh faktor internal yang mempengaruhi laju respirasi. Stress air, serangan hama penyakit sering memicu peningkatan respirasi tanaman. Kacang tanah membutuhkan energi jauh lebih besar dalam memproduksi polong daripada organ vegetatif (Duncan et al. 1978). Khanna-Chopra (2000) menyatakan bahwa dari studi-studi tentang efisiensi konversi gula menjadi karbohidrat, lipid dan protein menunjukkan bahwa untuk mensintesa lipid dan protein dibutuhkan lebih banyak heksosa daripada untuk membentuk selulosa atau pati. Konsekuensinya, efisiensi konversi gula menjadi bahan kering pada biji yang kaya kandungan karbohidrat lebih tinggi daripada biji yang banyak kandungan lipidnya. Duncan et al. (1978) dan Wright et al. (1991) menggunakan faktor koreksi energi untuk mengukur nilai biomas kacang tanah yaitu bobot biomas tajuk ditambah bobot polong x 1,65. 2.1.2. Distribusi Asimilat Egli (1999) menyatakan bahwa produktivitas (yield) tanaman dibatasi oleh aktivitas fotosintesis source atau kemampuan sink untuk menggunakan asimilat

13 yang dihasilkan source. Oleh karena itu terjadinya perubahan akumulasi bahan kering atau perubahan indeks panen (partisi asimilat) atau keduanya, yang dapat terjadi akibat perubahan faktor-faktor produksi, dapat mempengaruhi hasil biji. Pembagian karbon dalam tanaman dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain perubahan suplai dan kebutuhan karbon selama pertumbuhan dan perkembangan tanaman, adanya kontrol hormon atau nutrisi antar organ, hambatan jaringan pembuluh, efek buffer dalam organ penyimpan diberbagai lokasi dalam tanaman, laju fotosintesis (aktivitas source) dan laju penggunaan karbon (aktivitas sink) (Wardlaw 1990). Distribusi atau partisi asimilat dikendalikan berbagai proses mulai dari transpor sel ke sel, transfer antara xilem dan floem, loading dan unloading dalam jaringan pembuluh, translokasi longdistance dalam floem, hubungan jaringan pembuluh antara source dan sink (Hendrix 2000). Distribusi asimilat menjadi penting dalam menentukan hasil akhir tanaman. Kekuatan sink dalam menarik asimilat berbeda-beda, sink yang kuat akan mendapat bagian asimilat lebih cepat dan lebih banyak dibandingkan sink yang tidak terlalu kuat. Dasar bagi kekuatan sink (sink strenght) adalah kemampuan sink untuk secara efektif mengurangi konsentrasi asimilat dalam jaringan pembuluh yang berhubungan dengan sink tersebut untuk menghasilkan gradien konsentrasi yang terbaik antara source dan sink (Wardlaw 1991). Kekuatan sink ini ditentukan oleh ukuran, aktifitas, stadia pertumbuhan, jarak sink tersebut terhadap source dan hubungannya dengan jaringan pembuluh (Taiz and Zeiger 2003). Faktor yang paling menentukan aktifitas sink menurut Gifford dan Evans (1981) adalah suply asimilat pada tahap ontogenik paling awal (stadia dimana terjadi perubahan tunas vegetatif menjadi tunas generatif). Inanaga dan Yoshihara (1997) menyatakan bahwa cabang merupakan sumber karbon untuk bintil akar kacang tanah, sedangkan batang utama sebagai sumber karbon bagi polong. Sebagian besar karbon untuk polong dan biji merupakan hasil fotosintesis pada fase reproduktif. Pada saat faktor lingkungan tumbuh terbatas, seperti kekeringan dan naungan, maka pengaruh buruk kondisi ini diminimalisir oleh tanaman dengan melakukan perubahan partisi asimilat (Chartterton dan Silvius 1979). Squire

14 (1993) juga menyatakan kerapatan tanaman (populasi) dan ketersediaan hara dapat mempengaruhi partisi bahan kering (Squire 1993). Perubahan alokasi karbon (fotosintat) dalam tanaman yang mengalami stress tumbuh dapat disebabkan adanya hambatan dalam floem loading sukrosa atau rendahnya kapasitas sink (Khanna-Chopra 2000). 2.2. Hubungan Source dan Sink Menurut definisi Snyder dan Carlson (1983), daun dan semua jaringan tanaman yang berfotosintesis adalah source. Organ atau jaringan tanaman yang menjadi tempat akumulasi sementara bahan kering untuk kemudian melepaskannya kebagian yang memanfaatkan bahan kering juga termasuk source. Bahan kering hasil fotosintesis kemudian ditranslokasikan melalui floem ke bagian tanaman yang membutuhkannya (sink). Sink menggunakan asimilat untuk pertumbuhannya dan sebagian lagi untuk disimpan. Sink merupakan semua bagian tanaman yang tidak berfotosintesis atau ber fotosintesis tetapi tidak maksimum sehingga sebagian kebutuhan karbohidratnya disediakan oleh source (Taiz dan Zeiger 2003). Sink dapat berupa jaringan meristematik, jaringan yang sedang mengalami pemanjangan, respiratory sink dan jaringan penyimpanan (storage sink) (Gifford dan Evans 1981). Antara sinksink yang ada akan saling berkompetisi dalam mendapatkan asimilat yang dihasilkan source. Sink dapat dibagi menjadi sink vegetatif dan sink reproduktif. Sink vegetatif ada yang bersifat temporer dan ada yang bersifat terminal, sedangkan sink reproduktif adalah sink terminal. Sink temporer artinya asimilat yang disimpan dapat dialihkan ke bagian sink lain apabila dibutuhkan, sedangkan sink terminal berarti asimilat tidak dapat diremobilisasi dari bagian ini karena menjadi bagian struktural. 2.2.1. Kekuatan Sink Hubungan antara kapasitas source dari bagian atas daun aktif dan kapasitas sink mempengaruhi produksi bahan kering dan menentukan produksi padi (Kato et al. 2003). Adanya kebutuhan sink akan asimilat merupakan faktor yang

15 menentukan laju fotosintesis, disamping faktor lingkungan (Gifford dan Evans 1981). Setelah tajuk berkembang penuh, CER masih dapat meningkat atau menurun sejalan dengan perubahan kebutuhan sink. Apabila sink kuat menyerap asimilat mengakibatkan gradien karbohidrat antara source dan sink makin tinggi, hal ini merangsang source untuk lebih produktif. Akan tetapi apabila biji/buah yang ada tidak terlalu kuat, asimilat akan lebih banyak dialokasikan kebagian lain yang akhirnya dapat mengakibatkan aborsi (bunga, buah/polong). Apabila sink berkompetisi dengan daun/source untuk nitrogen maka hal ini akan mendorong penurunan CER dan senesens daun. Pada awal pertumbuhan vegetatif daun muda dan akar merupakan sink utama dimana pada sebagian tanaman, tajuk lebih mendominasi akar dalam memperoleh asimilat. Pada fase reproduktif pertumbuhan dan perkembangan buah dan biji mendominasi pertumbuhan tajuk (Wardlaw 1991). Hasil polong merupakan hasil akhir dari proses-proses yang berlanjut sejak pembentukan bunga, inisiasi ginofor, perubahan ginofor menjadi polong dan pengisian polong (Songsri et al. 2008). Adanya bunga pada fase pembentukan dan pengisian biji menjadi pesaing kuat bagi biji pada kondisi source terbatas. 2.2.2. Translokasi Asimilat Pada prinsipnya asimilat yang ditranslokasikan dari source ke sink adalah karbon dan nitrogen (Atkins dan Smith 2007). Hara K memang bukan pembentuk senyawa organik dalam tanaman tetapi unsur K sangat penting dalam proses pembentukan biji kacang tanah bersama hara P disamping juga penting sebagai pengatur berbagai mekanisme dalam proses metabolik seperti fotosintesis, transportasi hara dari akar ke daun, translokasi asimlat dari daun ke seluruh jaringan tanaman (Sumarno 1986). Kalium berperan penting dalam translokasi asimilat baik dalam phloem loading maupun dalam aliran asimilat dari source ke sink (Marschner 1995). Penelitian yang telah dilakukan pada castorbean menunjukkan bahwa banyaknya fotosintat yang ditranslokasikan dipengaruhi oleh suplay K + yaitu, kandungan K + yang lebih tinggi memberikan hasil fotosintesis yang lebih banyak tersalurkan dari source ke sink. Hal ini menunjukkan bahwa K +

16 mempengaruhi kapasitas source sink dengan mempengaruhi transpor floem (Mengel 1996) Pada tanaman leguminose, tanaman yang kekurangan kalium lebih peka terhadap penyakit dan menunjukkan kualitas produksi yang rendah karena biji yang dihasilkan banyak yang keriput (Leiwakabessy dan Sutandi 2004). Ispandi (2004) menyatakan bahwa pada lahan kering alfisol pemupukan 100 kg KCl/ha meningkatkan hasil kacang tanah secara nyata daripada yang dipupuk 50 kgkcl/ha. Umumnya jenis karbohidrat yang ditranslokasikan dalam jaringan pembuluh adalah jenis gula non-reduksi (nonreducing sugars) karena substrat ini tidak sereaktif gula reduksi/pereduksi (reducing sugars). Gula reduksi/pereduksi merupakan gula dengan gugus keton atau aldehid. Sukrosa adalah jenis gula nonreduksi yang umumnya ditranslokasikan dalam tanaman. Beberapa tanaman ada yang mentranslokasikan raffinosa, stachyosa, verbascosa, manitol dan sorbitol (Taiz dan Zeiger 2002). Zimmermann dan Ziegler (1975) menyatakan sukrosa adalah gula dominan pada tanaman legum tetapi Zheng et al. (2001) menemukan bahwa bentuk fotosintat yang diekspor daun kacang tanah adalah fruktosa, sukrosa mungkin disintesis di batang, akar dan polong. Translokasi fotosintat dari sumber (source) ke pengguna (sink) diatur oleh senyawa pengendali pertumbuhan tanaman yang disebut plant growth substances, jika senyawa buatan yang diberikan secara eksogen disebut plant growth regulator (Sumardi et al. 2007). Paclobutrazol secara signifikan mampu mempengaruhi karakteristik fotosintesis dan anatomi tanaman Catharanthus roseus (L.) G. Don, meningkatkan kandungan klorofil dan parameter yang berhubungan dengan fotosintesis seperti laju fotosintesis bersih dan konsentrasi CO2 internal tanaman dan mengurangi transpirasi (Jaleed et al. 2007). Paclobutrazol juga meningkatkan ketebalan daun, epidermis dan kutikula, jaringan palisade dan jaringan bunga karang tetapi mengurangi diameter xylem. Paclobutrazol cenderung meningkatkan fotosintesis daun (Gonzales et al. 2003). Senoo dan Isoda (2003) menemukan bahwa aplikasi 100 dan 200 ppm paclobutrazol pada fase awal pembentukan polong dan fase awal pengisian biji mampu meningkat produksi polong kacang tanah hingga 3,7 ton/ha.

17 Pada awal pertumbuhannya kandungan pati, fruktosa dan glukosa pada daun dan batang menurun cepat karena pertumbuhan organ-organ vegetatif dan pembentukan polong. Pada fase pembesaran polong kandungan ketiganya tetap tinggi di daun dan batang menunjukkan bahwa tidak semua karbohidrat yang ada digunakan untuk pembentukan biji (Zheng et al. 2001). Inanaga dan Yoshihara (1997) menemukan bahwa cabang merupakan sumber karbohidrat untuk akar dan bintil akar, sedangkan batang utama adalah sumber karbohidrat untuk pengisian biji. Mereka juga menemukan bahwa sebagian besar sumber karbon untuk pertumbuhan buah kacang tanah tergantung pada fotoasimilat saat fase reproduktif. Kacang tanah diduga tidak memiliki kemampuan untuk meretranslokasikan asimilat sehingga produksi bahan kering pada saat pengisian biji merupakan total source untuk pertumbuhan biji (Duncan et al. 1978). Oleh karena itu kacang tanah membutuhkan intersepsi cahaya (yang diartikan sebagai mempertahankan luasan daun) dan fotosintesis untuk mengisi biji (Chapman et al. 1993). 2.3. Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.) 2.3.1. Botani dan Morfologi Kacang tanah yang banyak dibudidayakan di dunia tergolong dalam spesies Arachis hypogaea dari famili Fabaceae. Spesies Arachis hypogaea terdiri dari dua subspesies utama yaitu ssp. hypogaea dan ssp. fastigiata. Masing-masing subspesies memiliki dua varietas botani (Singh dan Oswalt 1995). Empat tipe spesies kacang tanah budidaya tersebut adalah : 1. Arachis hypogaea hypogaea hypogaea Linn. 2. Arachis hypogaea hypogaea hirsuta Kohler. 3. Arachis hypogaea fastigiata fastigiata Waldron. 4. Arachis hypogaea fastigiata vulgaris Harz. Varietas kacang tanah yang dibudidayakan di Indonesia umumnya tergolong ataupun merupakan hasil persilangan antar ssp. hypogaea (tipe Virginia), fastigiata (tipe Valencia) dan vulgaris (tipe Spanish). A.hypogaea ssp hirsuta merupakan tipe runner dan berumur panjang. Kultivar-kultivar kacang

18 tanah berbeda dalam morfologi dan fenologi. Tipe Spanish menghasilkan polong lebih cepat dan serempak dibandingkan tipe Virginia. Pola percabangan dan keserempakan tumbuh menentukan respon varietas terhadap periode defisit air (Chapman et al. 1993). Perbandingan morfologi dari ketiga varietas botani utama dari kacang tanah dapat dilihat pada tabel berikut (Gibbons et al. 1972 ; Rao 1988): Tabel 1 Perbandingan morfologi varietas botani Arachis hypogaea Karakter hypogaea (virginia) fastigiata (valencia) vulgaris (spanish) Tipe pertumbuhan Procumbent (sedikit rebah) Erect (tegak) Erect (tegak) Percabangan dari banyak sangat sedikit sedikit batang utama (N) N+1, N+2, N+3 * N+1 N+1, N+2 Bunga pada batang utama Tidak ada ada ada Pembungaan Satu buku satu Satu buku satu Satu buku bunga bunga beberapa bunga Jumlah biji/polong 2, 2-3 2-3, 2-4, 3-5 2 Keterangan* N+1 cabang tumbuh dari batang utama (cabang primer), N+2 cabang tumbuh dari cabang primer (sekunder), N+3 cabang tumbuh dari cabang sekunder (tersier) Daun kacang tanah terdiri dari 4 hingga 5 anak daun. Frekueni stomata atas dan bawah sebanding ± 300-400 stomata per mm 2. Indeks Luas Daun kanopi kacang tanah dapat mencapai maksimum nilai 4 7 pada awal periode pengisian polong. Mc Cloud et al. (1980) menyatakan bahwa tanaman kacang tanah dapat meng-intersepsi 95% cahaya matahari pada saat ILD mencapai 3. Hal ini berarti laju pertumbuhan tanaman mungkin mencapai maksimal pada ILD 3 dan kenaikan ILD tidak dapat meningkatkan atau hanya meningkat sedikit pada ILD > 3 (Yoshida 1972). Laju pertukaran CO 2 per luasan lahan per hari (CER) pada saat kanopi berkembang penuh rata-rata mencapai 6 8 g CO 2 /m2/jam (Boote et al. 1980). CER meningkat dengan makin berkembangnya daun. Daun pada buku ketiga menghasilkan laju CER lebih tinggi daripada daun yang tumbuh pada buku-buku dibawahnya. Maksimum CER tercapai saat ukuran daun masimum yang tercapai ± 10-15 hari setelah daun membuka penuh.

19 Laju peningkatan berat kering tanaman (CGR) mencapai maksimum ± pada 60 90 HST dengan rata-rata nilai CGR 19,6 ± 4,2 g/m 2 /hari (Ketring et al. 1982). Pertambahan berat kering daun dan batang meningkat mengikuti kurva sigmoid hingga maksimum pada 90 100 HST. Berat kering akar terhadap berat kering tanaman hanya signifikan pada 2 minggu pertama pertumbuhan. Pada 80 HST berat akar hanya 2-4% dari berat kering tanaman. Bunga kacang tanah berwarna kuning dan merupakan bunga sempurna. Bunga muncul pada 25 30 HST, jumlahnya mencapai maksimum 2 4 minggu kemudian untuk kemudian menurun pada periode pengisian biji. Pada bagian pangkal bunga terdapat ovari (bakal biji). Setelah terjadi penyerbukan dari dasar bunga muncul suatu struktur yang disebut ginofor. Ginofor tumbuh memanjang secara geonasti menembus permukaan tanah. Pada kedalaman ± 3 8 cm dari permukaan tanah ginofor berhenti tumbuh, mulai menyerap air dan hara, dan mengembang membentuk polong. Pada kondisi awal bobot kering polong lebih didominasi oleh kulit polong. Biji mulai berkembang setelah polong mencapai ukuran maksimumnya. Pertambahan jumlah polong awalnya lambat untuk kemudian meningkat secara linier. Menurut Ketring et al. (1982), laju pertambahan berat kering polong (PGR) rata-rata dapat mencapai 8,3 ± 2,1 g/m 2 /hari. 2.3.2. Tahapan Pertumbuhan Kacang Tanah Kacang tanah mampu menghasilkan 100 200 bunga/tanaman (Oentari 2008), tetapi ternyata hanya ± 19 % saja yang berkembang menjadi polong. Pada saat panen sebagian besar polong berada dalam berbagai tahapan dan ukurannya terlalu kecil untuk dipasarkan. Periode pertumbuhan kacang tanah secara garis besar dapat dibagi menjadi beberapa fase pertumbuhan yang saling overlapping yaitu fase perkecambahan, fase pertumbuhan vegetatif, fase awal berbunga, fase pembentukan ginofor, fase pembentukan polong, fase pengisian biji, fase pemasakan (Maria 2000). Famili kacangan (Leguminosae) merupakan penimbun protein dan lignin dalam bijinya sehingga peningkatan hasilnya berhubungan dengan perbaikan laju fiksasi nitrogen dan karbon (Avice et al. 1996). Sinclair dan dewit (1978)

20 menyatakan legum mempunyai sifat self destruktif saat sebagian besar N harus ditranslokasikan untuk memenuhi kebutuhan perkembangan biji. Hal ini juga akan memperpendek periode pengisian biji. Kacang tanah termasuk tanaman dengan respon plastis terhadap lingkungan. Suatu genotipe plastis menguntungkan saat kondisi stress karena mampu berproduksi walaupun total bahan kering sangat sedikit, tapi saat kondisi optimum kebutuhan organ vegetatif akan bahan kering menguat (Squire 1993). Pertumbuhan kacang tanah dapat dibagi menjadi fase vegetatif dan fase reproduktif. Fase vegetatif dibagi menjadi 3 stadia yaitu perkecambahan, pembukaan kotiledon dan perkembangan daun hingga awal pembungaan (26-30HST). Fase reproduktif dibagi menjadi 9 stadia yaitu stadia pembungaan (R1), stadia pembentukan ginofor (R2), stadia pembentukan polong (R3), stadia ukuran polong penuh/maksimum (R4), stadia pembentukan biji (R5), stadia biji penuh (R6), stadia pemasakan biji (R7), stadia masak panen (R8) dan stadia polong lewat masak (R9) (Trustinah 1993). 2.3.3. Variasi Hasil Produktivitas tanaman dapat meningkat dengan memproduksi lebih banyak buah per unit area atau memperbesar ukuran buah. Pada kacang tanah jumlah polong dan ukuran polong (boot 100 biji) adalah faktor penentu hasil (Howell, 2001). Karakter jumlah polong amat dipengaruhi oleh lingkungan dan manajemen sedangkan ukuran buah dipengaruhi oleh sifat genetik (Cahaner dan Ashri 1974). Jumlah polong merupakan fungsi dari faktor lingkungan dan manajemen termasuk populasi tanaman, jarak tanam, produksi bunga dan ginofor (Howell 2001). Kondisi yang dapat meningkatkan jumlah bunga pada awal periode pembungaan dapat mempengaruhi hasil. Akan tetapi masalahnya adalah rendahnya persentase bunga yang menjadi polong dan jumlah bunga yang dihasilkan tiap-tiap hari sangat bervariasi sehingga banyaknya bunga yang dihasilkan tidak banyak mempengaruhi hasil. Jumlah ginofor tinggi juga tidak menjamin jumlah polong tinggi karena pembentukan ginofor menjadi polong dipengaruhi oleh temperatur pada siang dan

21 malam hari. Maksimum pembentukan polong terjadi pada suhu 30 33 o C sama seperti CGR. Duncan et al. (1978) menerangkan bahwa adanya variasi hasil antara empat kultivar kacang tanah di Amerika Serikat dengan tipe pertumbuhan merambat (runner) dan tegak ditentukan oleh tiga proses fisiologi yaitu pembagian asimilat antara bagian vegetatif dan reproduktif (faktor partisi), lamanya periode pengisian biji dan kecepatan pembentukan polong. Makin besar faktor partisi, makin lama periode pengisian biji, dan semakin cepat serta serempaknya pembentukan polong maka makin tinggi hasil yang ditunjukkan kultivar tersebut. Ketring et al. (1982) menyatakan bahwa karakteristik tanaman kacang tanah yang menentukan hasil adalah jumlah polong yang terbentuk, partisi asimilat selama periode pengisian polong, dan lamanya pengisian polong. Duncan et al. (1978) menyatakan bahwa karakter fisiologi yang menentukan hasil kacang tanah adalah jumlah polong, distribusi asimilat ke polong tinggi sehingga nilai PGR (Pod Growth Rate) tinggi, dan lamanya periode pengisian biji. Kultivar kacang tanah dengan peningkatan jumlah polong tertinggi memberikan hasil polong tertinggi. Dengan tidak adanya perbedaan laju peningkatan berat kering tanaman, sehingga fotosintesis potensial diasumsikan relatif sama maka pembagian asimilat yang banyak ke dalam polong dapat mempengaruhi hasil. Peningkatan berat kering polong (PGR) yang relatif sama dapat meningkatkan hasil secara nyata dengan periode pengisian yang lebih lama. Jumlah polong per unit area menentukan perbedaan hasil polong antar genotipe kacang tanah dan perbedaaan ini dipengaruhi oleh Crop Growth Rate pada fase R6 R7 (Phakamas et al. 2008). Proses produksi bahan kering bervariasi tergantung pada genotipe, kondisi lingkungan dan teknik budidaya yang dilakukan. Howell (2001) menyatakan bahwa jumlah polong merupakan faktor penentu hasil kacang tanah yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan (iklim dan manajemen) sedangkan ukuran polong lebih dipengaruhi sifat genetik. Perubahan alokasi karbon (fotosintat) dalam tanaman yang mengalami stress tumbuh dapat disebabkan adanya hambatan dalam floem loading sukrosa atau rendahnya kapasitas sink (Khanna-Chopra 2000). Pemahaman tentang perbedaan produksi bahan kering antara kultivar, kondisi lingkungan dan teknik budidaya sangat

22 penting dalam upaya mengembangkan kultivar berdaya hasil tinggi yang stabil atau teknik-teknik budidaya yang dapat dilakukan.

23 3. BAHAN DAN METODE Penelitian ini terbagi atas dua percobaan. Percobaan pertama dimaksudkan untuk mendapatkan informasi mengenai kapasitas dan aktivitas source dan sink dengan mengamati beberapa varietas kacang tanah, baik lokal, hasil persilangan maupun hasil introduksi. Percobaan kedua dimaksudkan untuk mengetahui pergerakan aliran karbon dalam tanaman kacang tanah yang berbeda kapasitas dan aktivitas source-sinknya. 3.1. Percobaan Kapasitas Source dan Sink Pada Beberapa Varietas Kacang Tanah Percobaan ini dilaksanakan dengan tujuan untuk : 1. Membandingkan kapasitas dan aktivitas source-sink pada beberapa varietas kacang tanah lokal, hasil persilangan dan introduksi. 2. Mendapatkan karakter kapasitas dan aktivitas source dan sink yang mempengaruhi produksi dan pengisian biji 3. Mendapatkan sumber asimilat untuk pengisian biji 3.1.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada dua musim tanam, yaitu pada bulan Juni hingga September 2007 (Musim Tanam (MT) 2007) dan bulan Februari hingga Juni 2010 (MT-2010). Pada MT-2007, penelitian dilakukan di Kebun Percobaan (KP) Cikarawang, sedangkan penelitian pada MT-2010 dilakukan di KP Leuwikopo. Kedua lokasi penelitian terletak pada ketinggian ± 250 m di atas permukaan laut (dpl) dengan tipe tanah Latosol. Penelitian dilakukan di dua lokasi dan dua MT, karena produktivitas tanaman dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tumbuh. Kondisi agroklimat selama penelitian berlangsung dan status hara tanah sebelum tanam dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2. Lahan penelitian bertekstur liat dan analisis tanah yang dilakukan sebelum percobaan menunjukkan bahwa kondisi kesuburan hara tanah di KP Leuwikopo lebih baik daripada Cikarawang (Tabel 1). Selama penelitian kondisi cuaca ditempat tanam sesuai dengan syarat tumbuh kacang tanah seperti yang tercantum dalam Van der Mesen dan Somaatmadja, 1992. Pertanaman MT-2010 mendapatkan kondisi curah hujan yang lebih tinggi daripada 2007 (Tabel 3).

24 Tabel 2 Hasil analisis tanah sebelum penelitian Analisis Cikarawang (MT-2007) Leuwikopo (MT-2010) Nilai Kriteria Nilai Kriteria ph (H2O) 5,90 Agak masam 6,40 Agak masam C-organik (%) 1,44 Rendah 3,19 Tinggi N-total (%) 0,15 Rendah 0,28 Sedang Ca (me/100g) 7,73 Sedang 5,25 Rendah P (ppm) 1,70 Sangat rendah 18,80 Sangat tinggi K (me/100g) 0,26 Rendah 0,38 Sedang Keterangan : Kriteria berdasarkan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1983 Pengamatan-pengamatan lanjutan dilakukan di Laboratorium Pasca Panen, Laboratorium Teknik Mikro dan Laboratorium Biologi Molekuler di Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB. Analisis kandungan karbohidrat non-structural dilakukan di Laboratorium Jasa Analisis Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB. Tabel 3 Rata-rata kondisi agroklimat per bulan pada saat penelitian Bulan MT2007 Juni Juli Agustus September MT2010 Februari Maret April Mei Juni Curah Hujan (mm/bulan) 274 134 248 206 461 673 527 331 303 Hari Hujan (hari) 21 12 15 12 23 26 21 18 18 Lama Penyinaran dalam 8 jam (%) 76 86 89 90 68 54 54 54 50 Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika, Stasiun Klimatologi Dramaga Bogor Suhu Ratarata ( o C) 25,6 25,6 25,4 26,0 25,9 25,1 25,8 26,7 25,9 3.1.2. Bahan dan Alat Untuk mendapatkan keragaman pola pertumbuhan digunakan 12 varietas nasional yang telah dilepas dalam kurun waktu 1950 hingga 2003 sebagai bahan tanam. Deskripsi varietas-varietas yang digunakan disajikan dalam Lampiran 1. Untuk menyediakan tambahan hara digunakan 100kg/ha Urea, 200 kg/ha SP18, 100 kg/ha KCL dan 500 kg/ha Dolomit. Pestisida berbahan aktif

25 karbofuran, deltametrin dan mankozeb digunakan untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Peralatan yang digunakan selain peralatan budidaya adalah mistar, timbangan analitik dan oven pengering. Untuk pengamatan klorofil digunakan gunting dan kotak pendingin untuk membawa daun segar, sedangkan pengamatan stomata menggunakan kaca preparat, pewarna kuku transparan, selotip dan mikroskop. 3.1.3. Pelaksanaan Sehari sebelum penanaman lahan ditaburi Dolomit. Benih ditanam dengan jarak tanam 40cm x 20cm (MT-2007) dan 40cm x 10cm (MT-2010). Seluruh dosis pupuk Urea, SP36 dan KCl diberikan saat tanam. Serangan hama dan penyakit diupayakan serendah mungkin dengan penggunaan pestisida pada awal tanam serta penyemprotan 2 minggu sekali mulai dari 5 Minggu Setelah Tanam (MST) hingga 10 MST. Pertanaman juga diupayakan bersih dari gulma selama 5 minggu pertama dengan melakukan penyiangan secara manual. Setelah 5 minggu, pertanaman tidak disiang lagi karena dikhawatirkan ginofor yang telah masuk ke dalam tanah akan terganggu dengan kegiatan penyiangan ini. Pada umur tanaman 4 MST dilakukan pembumbunan dalam upaya agar ginofor yang terbentuk dapat dengan mudah menembus tanah dan membengkak membentuk polong. Panen dilakukan serempak pada umur 100 MST. Tanaman dipanen dalam ubinan berukuran 1m 2 yang diambil 2 kali pada tiap unit petak percobaan. 3.1.4. Pengamatan Pengamatan yang dilakukan meliputi pengamatan pada karakter kapasitas dan aktivitas source serta kapasitas, aktivitas dan kekuatan sink. Enam varietas dengan kapasitas dan aktivitas source-sink berbeda kemudian digunakan untuk pengamatan kandungan karbohidrat non-struktural (Total Non-struktural Carbohydrate = TNC) dalam batang dan daun untuk mengukur pengaruh kadar TNC pada pengisian biji.

26 3.1.4.1. Kapasitas dan Aktivitas Source Kapasitas source adalah banyaknya bagian tanaman yang mampu berfotosintesis sebelum dan selama periode pengisian biji, sedangkan aktivitas source adalah laju/kecepatan tanaman menghasilkan asimilat yang kemudian disimpan atau terukur dalam bobot keringnya. Yang dimaksud dengan periode pengisian biji dalam percobaan ini mengacu pada fase pertumbuhan kacang tanah R2 hingga R8 (Trustinah 1993). R7 dan R8 dimasukkan kedalam periode pengisian biji dikarenakan pola pertumbuhan kacang tanah yang semi determinate sehingga diduga ada pengisian biji setelah fase R6 (fase biji penuh). Pengamatan kapasitas source dilakukan dengan melakukan pengukuran bobot kering batang, daun, kandungan klorofil, kerapatan stomata, Indeks Luas Daun (ILD), percabangan dan tinggi batang utama. Pengamatan aktivitas source dilakukan dengan menghitung laju pertambahan luas daun, Laju Akumulasi Bersih (LAB) dan laju pertambahan bahan kering atau Laju Tumbuh Tanaman. Pengukuran kandungan klorofil dilakukan pada MT-2007. Satu contoh daun yang terletak pada buku ketiga dari tunas batang utama (daun ketiga), yang terbuka dan tidak terserang hama dan penyakit dipetik pada 42 dan 70 HST. Pengambilan dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 8.00 9.00. Kandungan klorofil total diukur dengan metode Mass-Spektrofotometri. Pengukuran kerapatan stomata pada permukaan bagian atas dan bawah daun dilakukan pada MT-2010. Pengamatan karakter ini dilakukan pada umur tanaman 70HST pada 5 tanaman contoh per petak percobaan. Untuk pengamatan stomata ini, dipilih satu anak daun dari daun ketiga yang tidak terserang penyakit. Permukaan daun atas dan bawah diolesi cairan aseton kemudian ditempeli selotip. Selotip kemudian dilepas dengan cepat dan dilekatkan pada gelas preparat. Stomata yang tercetak pada selotip dihitung dengan menggunakan mikroskop cahaya. Jumlah stomata/mm 2 diperoleh dengan menkonversi jumlah stomata dalam luasan bidang pandang ke milimeter persegi. Pengukuran bobot kering batang, daun, akar, ginofor, polong, Indeks Luas Daun (ILD) dilakukan dengan melakukan destruksi dua hingga tiga tanaman contoh dari bagian tengah petak. Destruksi pada MT-2007 dilakukan pada 26 HST (R1, periode sebelum berbunga), 42 HST (R3, periode pembentukan

27 polong), 70 HST (R6, periode akhir pengisian biji) dan 91 HST (R8, periode pemasakan jelang panen). Pada MT-2010 destruksi dilakukan pada waktu 50% tanaman berbunga, 42, 56 (R5, periode awal pengisian), 70 dan 84 HST (R7, periode awal pemasakan). Setelah destruksi tanaman kemudian dibersihkan dan dipisahkan menjadi daun, batang, ginofor dan polong. Sebelum dikeringkan, daun diukur dahulu luas daunnya dengan menggunakan metode Gravimetri. Pada MT-2007, untuk pengukuran ILD hanya menggunakan luasan 10 daun/tanaman sebagai contoh, sedangkan pada MT-2010, pengukuran ILD menggunakan seluruh daun yang dihasilkan tanaman pada saat pengamatan dilakukan. Daun, batang, ginofor dan polong kemudian dikeringkan dalam oven selama dua hingga tiga hari pada suhu 70 o C untuk kemudian ditimbang bobot kering setiap bagiannya. Nilai ILD, Laju Akumulasi Bersih dan Laju Tumbuh Tanaman dihitung dengan menggunakan rumus seperti yang tercantum dalam Brown (1984) yaitu: ILD = Luas daun/tanaman Jarak tanam LAB = ln LDt2-ln LDt1 x (W2-W1),dimana LD = Luas daun (t2 t1) LDt2-LDt1 W = bobot kering tanaman t1 dant2 = waktu pengamatan LTT = (W2 W1) x 1 (t2 - t1) jarak tanam Pengamatan jumlah cabang dan tinggi batang utama dilakukan pada MT- 2010. Pengamatan jumlah percabangan dilakukan pada 42, 56, 70 dan 84 HST sedangkan tinggi batang utama dilakukan pada semua tanaman contoh yang dipanen dalam ubinan seluas 1m 2. 3.1.4.2. Kapasitas, Aktivitas dan Kekuatan Sink Kapasitas sink diartikan sebagai ukuran besarnya sink yang dapat diisi oleh asimilat, aktivitas sink diartikan sebagai laju pengisian polong/biji. Pengamatan kapasitas sink terdiri dari jumlah bunga, jumlah ginofor, jumlah dan bobot polong serta bobot 100 biji, sedangkan aktivitas sink diukur dari Laju Tumbuh Polong. Kekuatan sink menggambarkan dominansi sink untuk

28 mendapatkan asimilat, dan diukur dari nilai koefisien partisi (partition coefficient) dan persentase polong penuh. Jumlah bunga dihitung setiap dua hari sekali sejak tanaman berumur 42 HST hingga 70 HST pada 5 tanaman contoh/petak percobaan. Jumlah ginofor dan polong muda dihitung dari tiap tanaman yang didestruksi. Jumlah dan bobot polong diamati pada saat panen. Pengamatan meliputi jumlah dan bobot polong per tanaman saat panen jumlah dan bobot polong yang terisi penuh biji, jumlah dan bobot polong yang tidak terisi penuh biji (polong ½ penuh) serta jumlah dan bobot polong cipo. Polong penuh adalah polong yang setelah dikeringkan dan dikupas, biji mengisi penuh ruang bagian dalam polong. Polong ½ penuh adalah polong yang setelah dikeringkan dan dikupas maka biji hanya mengisi kira-kira separuh ruang dalam polong atau kurang. Polong cipo adalah polong yang setelah dikeringkan berubah mengerut dan hampir tidak berbiji. Kriteria polong penuh, polong ½ penuh dan cipo dapat dilihat pada Lampiran 2. Bobot 100 biji didapatkan setelah polong dalam satu ubinan dikeringkan dan dibijikan. Laju Tumbuh Polong dihitung sebagai selisih bobot kering polong pada saat panen dengan bobot polong muda pada periode pengisian biji (42 HST pada MT-2007 dan 56 HST pada MT-2010). Rumus yang digunakan untuk menghitung Laju Tumbuh Polong sama dengan rumus untuk menghitung Laju Tumbuh Tanaman tetapi dengan mengganti bobot kering tanaman dengan bobot kering polong. Koefisien partisi merupakan rasio dari nilai LTP dan LTT pada 42 HST (MT-2007) atau 56 HST (MT-2010) (Duncan et al. 1978). Persentase polong penuh merupakan perbandingan jumlah polong yang terisi penuh biji dengan total jumlah polong/tanaman pada saat panen. Persentase polong penuh disamping untuk mengamati kekuatan sink juga untuk mengamati kemampuan pengisian varietas. 3.1.4.3. Translokasi Asimilat Translokasi asimilat diamati dengan mengukur kandungan total karbohidrat non-struktural (Total Non-structural Carbohydrate = TNC) pada

29 batang dan daun. Pengamatan hanya dilakukan pada tanaman dari KP Cikarawang (MT-2007). Pengukuran dilakukan dengan mengambil dua tanaman contoh dari setiap petak percobaan pada 42 dan 70HST. Kedua tanaman contoh tersebut dipisahkan menjadi batang, daun, akar, ginofor dan polong, dikeringkan 70 o C selama 48 jam dan digiling halus. Kandungan karbohidrat total dan karbohidrat terlarut (TNC) diukur dengan menggunakan metode pengukuran karbohidrat by-difference. 3.1.4.4. Indeks Panen dan Produktivitas Panen pada MT-2007 dilakukan pada umur tanaman 100 HST, sedangkan pada MT-2010 dilakukan pada umur 105 HST. Panen dilakukan dalam ubinan 1m 2 yang dilakukan dua kali pada tiap unit percobaan. Tanaman dipisahkan menjadi brangkasan dan polong. Masing-masing ditimbang dan dikeringkan selama 3-5 hari. Pengamatan yang dilakukan meliputi Indeks panen dan produktivitas polong dan biji per tanaman dan per hektar. Indeks Panen merupakan rasio antara bobot kering polong dengan keseluruhan bobot kering tanaman (tajuk dan polong). Produktivitas polong dan biji per tanaman merupakan hasil rata-rata bobot kering polong dan biji sejumlah tanaman dalam ubinan. Produktivitas polong dan biji per hektar diperoleh dari konversi bobot kering polong dan biji ubinan ke dalam hektar. 3.1.5. Rancangan Percobaan dan Analisis Data Perlakuan varietas dalam masing-masing musim tanam disusun menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dengan 3 ulangan. Data yang terkumpul dianalisis dengan tujuan untuk dapat mengelompokkan varietas-varietas yang digunakan berdasarkan karakter-karakter terpilih. Data dari masing-masing musim tanam diolah ragamnya dan apabila hasilnya menyatakan adanya perbedaan antara perlakuan/varietas maka dilakukan uji lanjut DMRT dengan taraf 5%. Untuk menentukan kecenderungan pengaruh genetik atau pengaruh lingkungan terhadap masing-masing karakter yang diamati dilakukan analisis untuk menduga besaran ragam genetik dan ragam lingkungan pada masingmasing musim tanam, kemudian dilakukan pula analisis ragam gabungan dengan

30 ulangan tersarang dalam lokasi/musim tanam. Analisis ragam gabungan dilakukan untuk memilih karakter-karakter yang dapat diperbandingkan antar varietas. Model analisis ragam pada masing-masing musim tanam dan analisis ragam gabungan menurut Gomez dan Gomez (2007) dapat dilihat pada Tabel 4 dan 5. Tabel 4 Analisis ragam pada tiap musim tanam Sumber Derajat Bebas Kuadrat Tengah E(KT) Keragaman Ulangan Varietas Galat r-1 g-1 (r-1)(g-1) M3 M2 M1 σ 2 e + r σ 2 g σ 2 e Keterangan : Ragam lingkungan (σ 2 e) = M1 Ragam genetik (σ 2 g) = (M2 M1)/r Tabel 5 Analisis ragam gabungan dua musim tanam Sumber Keragaman Lokasi Ulangan/lokasi Varietas Lokasi * Varietas Galat gabungan Derajat Bebas Kuadrat Tengah E(KT) l-1 l(r-1) g-1 (l-1)(g-1) l(r-1)(g-1) M3 M2 M1 σ 2 e + r. σ 2 g l +r. l σ 2 g σ 2 e + r. σ 2 g l σ 2 e Keterangan : Ragam Lingkungan = M1 Ragam interaksi genetik dan lingkungan = (M2-M1)/r Ragam genetik = (M3-M2)/r. l Untuk mengetahui pengaruh suatu karakter terhadap karakter lainnya dilakukan analisis korelasi metode Pearson dan analisis lintas. Analisis korelasi akan menunjukkan tingkat keeratan karakter yang digambarkan dari nilai koefisien korelasinya. Nilai koefisien semakin mendekati -1 atau +1 maka tingkat keeratan antara dua karakter semakin kuat, sedangkan semakin mendekati nol maka tingkat keeratan semakin rendah. Model umum persamaan penduganya adalah Y = α + βx (Gomez dan Gomez 2007). Nilai koefisien korelasi Pearson dihitung menggunakan rumus sebagai berikut :

31 r = xy ( x 2 ) ( y 2 ) Keterangan : x dan y adalah karakter-karakter yang diduga memiliki hubungan Apakah suatu karakter memiliki pengaruh langsung atau tidak langsung terhadap karakter lainnya didapatkan dengan melakukan analisis lintas (Rohaeni 2010). Analisis lintas akan menjelaskan seberapa besar pengaruh langsung atau tidak langsung suatu karakter source dan sink terhadap hasil atau bobot polong/tanaman, Indeks Panen dan persentase polong penuh. Adanya informasi tentang hubungan suatu karakter dengan karakter hasil polong dan persentase polong penuh dapat dimanfaatkan untuk melakukan metode seleksi yang lebih efisien dan perbaikan teknologi produksi tanaman. Model analisis lintas adalah sebagai berikut : Y = β 0 + β 1 X 1 + β 2 X 2 +. + βpxp Pendugaan pengaruh langsung dan tidak langsung suatu karakter dengan hasil dihitung menggunakan koefisien analisis lintas seperti dalam Dewey dan Lu (1959). Koefisien korelasi antara berbagai karakter source dan sink dengan karakter produksi (bobot polong/tanaman, Indeks Panen atau persentase polong penuh) diuraikan menjadi pengaruh langsung dan tidak langsung menggunakan rumus : Keterangan, P01 + P02r12 + P0pr1p = r01 P01r12 + P02 r2p+. + P0pr2p = r02 P01 r1p + P02 r2p +. + P0p = r0p P01, P02 Pop = koefisien variabel langsung 1, 2 p pada variabel tidak bebas 0. r12, r13..r1p rp(p-1) = koefisien korelasi yang mungkin antara berbagai variabel bebas r01, r02...r0p = korelasi antara variabel tidak bebas dengan variabel bebas Pengaruh langsung variabel i th melalui variabel j th ditunjukkan sebagai (poj x rij). Koefisien korelasi adalah jumlah total pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap variabel tidak bebas. Pengaruh sisa (P20x) dihitung dengan menggunakan rumus : P20x = 1 (P201 + 2P01P02r12 + 2P01P03r13 2P02P03r23 + P2op)

32 3.2. Percobaan Translokasi Karbon Pada Dua Varietas Kacang Tanah Menggunakan Penjejak Isotop 13C Percobaan ini dilakukan dengan tujuan untuk membuktikan adanya perbedaan translokasi karbon pada varietas kacang tanah dengan kapasitas dan aktivitas source dan sink yang berbeda. Percobaan ini termasuk percobaan untuk mengamati translokasi asimilat pada kacang tanah. Kadar karbon tanaman diamati dengan menggunakan penjejak isotop karbon 13 ( 13 C). 3.2.1. Waktu dan Lokasi Percobaan Tanaman dikecambahkan pada 19 Juni 2009 dan feeding dilakukan 30-31 Agustus 2009 di kebun percobaan Cikabayan, Institut Pertanian Bogor. Pengukuran kandungan isotop 13 C dilakukan pada bulan Nopember 2009 di Laboratorium Pengujian Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi BATAN, Jakarta. Kandungan kadar karbon dalam bagian tanaman di lakukan di Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Faperta IPB. 3.2.2. Bahan dan Alat Sebagai sumber isotop 13 C digunakan Barium karbonat (Ba 13 CO3) mengandung 98% isotop 13 C. Sebagai tempat feeding digunakan kotak bersungkup plastik berukuran 120cm x 60 cm x 80 cm (Gambar 2) yang kemudian direndam dalam kolam berisi air untuk mencegah bocornya 13 CO 2. Bahan tanaman menggunakan varietas Sima dan Jerapah. Peralatan tanam yang digunakan mencakup bak semai dan pot plastik. Ke dalam pot plastik diisikan campuran tanah dan kompos dengan perbandingan berat 1:1 sebanyak ± 4 kg. Dolomit sebanyak 20 gram/pot dan 5 gram pupuk majemuk NPK ditambahkan pula ke dalam pot sebagai tambahan hara. Untuk mengukur suhu udara dan kelembaban digunakan termometer bola basah dan bola kering yang digantungkan di dalam rak plastic (Gambar 2). Kipas plastik, yang digantungkan ditengah kotak feeding, digunakan untuk menyebarkan 13 C pada saat feeding. Photosynthetic Active Radiation (PAR) dan Carbon Exchange Rate (CER) diukur menggunakan LICOR-6400XT pada beberapa tanaman contoh.

33 Gambar 2 Rak tempat feeding dengan isotop 13 C. 3.2.3. Pelaksanaan Benih kacang tanah sebelumnya direndam dalam larutan fungisida kemudian disemai terlebih dahulu dalam kotak semai berisi kompos. Metode ini digunakan untuk menyeragamkan umur tanaman yang akan diberi label 13 C. Setelah berumur 5 hari dipilih tanaman-tanaman dari kedua varietas yang berkecambah pada hari yang sama dan pertumbuhannya relatif seragam. Didapat 12 tanaman dari masing-masing varietas yang pertumbuhannya relatif seragam. Bibit kemudian dipindahkan ke pot dengan dua bibit per pot yang kemudian dijarangkan menjadi satu bibit pada minggu berikutnya. Didapat 12 tanaman dari masing-masing varietas yang pertumbuhannya relatif seragam. Ke dalam setiap pot dicampurkan kapur Dolomit sebanyak 20 gram/pot dan 5 gram pupuk majemuk NPK. Pot-pot berisi bibit kemudian diletakkan di tempat terbuka dan dijaga pertumbuhannya hingga siap diberi label isotop 13 C. Sebanyak 6 tanaman dari masing-masing varietas akan digunakan dalam penelitian sedangkan sisanya sebagai cadangan. Tanaman dipelihara dalam pot hingga berumur 10 MST, yaitu fase pengisian biji. Pada umur 10 minggu setelah transplanting, masing-masing 3 pot dari tiap varietas dipindahkan ke dalam rak plastik. Rak kemudian ditutup dengan sungkup plastik (Gambar 2). Di dalam sungkup plastik itu 10 gram Ba 13 CO 3 dicampur dengan H 2 SO 4 pekat sehingga menghasilkan gas 13 CO 2. Feeding atau pelabelan dengan isotop 13 C berjalan selama 90 menit. Agar gas 13 CO 2 menyebar merata

34 digunakan kipas angin kecil yang digantungkan diatas sungkup plastik. Setelah 90 menit pot dikeluarkan dari sungkup dan dipindahkan ketempat semula. Pengukuran Photosynthetic Active Radiation (PAR) dan CER dilakukan pada tanaman contoh yang tidak di feeding. Pengukuran dilakukan di laboratorium fisiologi tanaman Biotrop Bogor. Tanaman dari tiap varietas didestruksi pada 1, 2 dan 4 hari setelah feeding. Tanaman dibongkar dari dalam pot, dicuci dan dikeringanginkan selama ± 24jam. Tanaman dipisahkan menjadi batang, daun, akar dan polong. Masing-masing bagian kemudian dimasukkan dalam kantong kertas dan dikeringkan dalam oven bersuhu 70 o C selama tiga hari dan dihaluskan. Sebagian contoh kemudian diukur kandungan karbon dalam tiap bagian tanaman. Sebagian contoh lagi (10 mg) dibawa ke laboratorium Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) untuk dilakukan analisis kandungan isotop 13 C dengan menggunakan metode mass spektrofotometri. Pengukuran kandungan isotop adalah dengan mengukur pengayaan 13 C ( 13 C- enrichment = δ 13 C) pada tanaman. Pengukuran δ 13 C menggunakan rumus yang tercantum dalam Zhang et al. (2009) yaitu : δ 13 C = R sample 1 X 1000 Rstandard Keterangan: R sample = rasio 13 C/ 12 C pada sample ; R standar = rasio 13 C/ 12 C standar batu kapur PDB South Carolina Persentase 13 C atom excess diukur dengan menggunakan formula dari Inanagi dan Yoshihara (1997) yaitu : % 13 C atom excesss = % 13 C atom - 13 C dalam atmosfir (1,106 %) Kadar 13 C dalam bagian tanaman diukur dengan formula : Kadar 13 C bagian tanaman (g) = (% 13 C atom x kadar karbon bagian tanaman, g) ( 1 + % 13 C atom)

35 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Indeks Panen dan Produksi Tanaman Indeks panen menunjukkan distribusi bahan kering dalam tanaman yang menunjukkan perimbangan bobot bahan kering yang bernilai ekonomis dengan total bobot bahan kering tanaman pada saat panen. Nilai indeks panen tinggi menunjukkan varietas mampu mendistribusikan asimilat lebih banyak ke dalam polong. Nilai indeks panen berbeda nyata antar varietas yang diteliti pada MT- 2007 (Tabel 6). Varietas Garuda 3, Gajah dan Jerapah tampak mempunyai nilai indeks panen lebih tinggi dibandingkan Pelanduk, Sima, Turangga dan Kidang. Nilai indeks panen rendah yang ditunjukkan Pelanduk, Sima, Turangga dan Kidang menunjukkan bahwa varietas-varietas ini lebih banyak mengakumulasikan bahan keringnya dalam tajuk dibandingkan dalam polong. Tabel 6. Nilai indeks panen kacang tanah pada dua musim tanam Varietas MT-2007 MT-2010 Badak 0.50 bc 0.34 Gajah 0.53 ab 0.32 Garuda3 0.61 a 0.31 Jerapah 0.54 ab 0.25 Kancil 0.47 bc 0.32 Kelinci 0.50 bc 0.24 Kidang 0.37 d 0.23 Mahesa 0.49 bc 0.25 Panter 0.49 bc 0.32 Pelanduk 0.41 cd 0.24 Sima 0.40 cd 0.25 Turangga 0.40 cd 0.25 KK 11.90 26.89 Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5% Pada MT-2010, nilai indeks panen tidak berbeda antar varietas dan nilainya juga lebih rendah daripada MT-2007. Pada MT-2010, kondisi cuaca lebih basah dan lama penyinaran lebih sedikit (Tabel 3), populasi dan jarak tanam yang digunakan lebih rapat (250 000 tanaman/ha) dibandingkan pada MT-2007 (125 000 tanaman/ha). Populasi yang lebih rapat ditambah kondisi cuaca yang basah ini tampaknya mendorong persaingan tajuk antar tanaman untuk

36 mendapatkan cahaya sehingga asimilat lebih banyak diakumulasikan ke tajuk. Hasil uji ragam gabungan dua lokasi pada karakter Indeks Panen menunjukkan pengaruh genetik (varietas) lebih kuat daripada pengaruh lingkungan (Lampiran 6). Walaupun terdapat perbedaan dalam pendistribusian bahan kering tetapi berdasarkan hasil sidik ragam tidak ditemukan adanya perbedaan produktivitas polong dan biji antar varietas-varietas kacang tanah yang diuji baik pada MT-2007 dan 2010 (Tabel 7). Perbedaan tidak ditemukan, baik pada hasil polong dan biji per tanaman maupun dugaan produktivitasnya, yang merupakan konversi hasil ubinan ke dalam hasil per hektar. Tabel 7. Hasil polong dan biji kacang tanah berdasarkan bobot keringnya pada MT-2007 dan MT-2010 Varietas MT-2007 MT-2010 Polong Biji Polong Biji Polong Biji Polong Biji t/ha..per tanaman.. t/ha..per tanaman.. Badak 2.33 1.35 14.96 10.08 3.82 1.57 20.52 8.41 Gajah 2.25 1.43 17.39 11.07 2.56 1.71 13.06 8.43 Garuda3 1.69 1.16 13.51 9.25 2.44 1.66 13.02 9.17 Jerapah 2.20 1.49 16.77 11.39 2.23 1.48 11.01 7.25 Kancil 2.35 1.63 18.82 13.02 3.15 2.05 14.69 9.58 Kelinci 2.03 1.41 16.24 11.23 2.58 1.61 12.66 7.95 Kidang 2.18 1.20 17.47 9.63 1.86 1.21 10.39 6.74 Mahesa 2.05 1.27 16.44 10.15 2.22 1.34 11.17 6.77 Panter 1.92 1.20 14.94 9.29 3.06 2.07 17.65 11.86 Pelanduk 2.22 1.42 17.72 11.34 2.30 1.40 17.75 10.80 Sima 2.10 1.32 16.82 10.58 3.19 1.94 17.08 10.37 Turangga 1.87 1.27 14.96 10.14 2.31 1.52 12.32 8.16 KK 31.2 36.9 30.8 36.2 35.2 18.6 15.7 16.9 Produktivitas tanaman merupakan puncak dari berbagai proses yang terjadi dalam siklus hidup tanaman (Khanna-Chopra 2000). Setiap fase pertumbuhan dan perkembangan tanaman berpengaruh terhadap produksi. Berikut ini disajikan kapasitas dan aktivitas source dan sink tanaman untuk mendapatkan gambaran mengenai karakter-karakter yang mempengaruhi hasil polong dan pengisian biji kacang tanah.

37 4.2. Source Source merupakan bagian tanaman yang berkontribusi dalam menyediakan asimilat untuk pengisian biji. Varietas-varietas kacang tanah yang diuji dibandingkan kapasitas dan aktivitas sourcenya selama fase pengisian biji. Secara umum, data menunjukkan adanya perbedaan antara varietas kacang tanah dalam kapasitas source tetapi tidak dalam aktivitasnya. 4.2.1. Kapasitas Source Pengamatan kapasitas source meliputi nilai Indeks Luas Daun, bobot kering tajuk, yang terdiri dari bobot batang dan daun, kandungan klorofil, kerapatan stomata serta tinggi batang utama dan percabangan. Tinggi batang utama dan percabangan termasuk kedalam kapasitas source karena selain batang dan cabang dapat berfungsi sebagai sink temporal pada pengisian biji juga dapat mempengaruhi pertambahan luas daun dan efektifitas fotosintesis kanopi. 4.2.1.1. Indeks Luas Daun (ILD) Daun merupakan source utama tanaman penghasil asimilat. Luasan daun dapat menggambarkan besarnya kapasitas source tanaman. Luas daun merefleksikan kapasitas fotosintesis dan produksi bahan kering (El Hafid et al. 1998; Anyia and Herzog 2004). Luas daun per unit luas area dimana tanaman tumbuh dikenal dengan istilah Indeks Luas Daun (ILD). ILD, laju fotosintesis kanopi dan sudut daun merupakan penentu produksi bahan kering (Yoshida 1972). Tabel 8 menyajikan data rata-rata Indeks Luas Daun kacang tanah tiap fase tumbuh pada MT-2007 dan MT-2010. Hasil uji ragam MT-2007 menunjukkan adanya perbedaan antar varietas pada luasan daun per unit area tumbuh hanya pada periode lanjut menjelang panen (91 HST), sedangkan pada MT-2010 perbedaan antar varietas ditemukan pada periode awal pembentukan ginofor (42 HST). Kondisi ini diduga karena pertanaman hanya diberi pestisida hingga 70 HST sehingga setelah 70 HST nilai ILD bertumpu pada ketahanan varietas terhadap serangan hama penyakit. Kondisi agroklimat pada MT-2011 lebih basah daripada MT-2007 dengan tingkat keawanan tinggi dan lama penyinaran yang lebih rendah diduga mempengaruhi pertumbuhan tajuk. Nilai ILD pada MT-2007

38 lebih kecil daripada MT-2010, hal ini diduga karena perbedaan dalam metode pengukuran luas daun. Pada MT-2007, pengukuran ILD menggunakan 20 daun contoh, sedangkan pada MT-2010 pengukuran menggunakan seluruh daun yang ada dalam tanaman. Dugaan nilai ILD yang diperoleh pada MT-2007 diduga lebih kecil dari nilai ILD sesungguhnya, sedangkan nilai ILD pada MT-2010 diduga lebih mendekati nilai sesungguhnya. Tabel 8. Rata-rata Indeks Luas Daun kacang tanah tiap fase tumbuh pada MT-2007 dan MT-2010 Varietas MT-2007 MT-2010 ILD 42 HST ILD 70 HST ILD 91 HST ILD 42 HST ILD 56 HST ILD 70 HST ILD 84 HST Badak 0.59 1.70 1.74 bcd 1.45 bc 4.69 5.60 5.79 Gajah 0.78 2.55 1.07 bcd 3.27 ab 5.18 5.79 4.08 Garuda3 0.78 1.58 0.43 d 3.79 a 4.96 4.83 3.49 Jerapah 0.80 1.95 0.99 cd 3.10 ab 6.77 9.39 5.88 Kancil 0.87 2.12 1.14 cd 2.96 abc 5.73 5.50 6.61 Kelinci 0.76 2.81 1.74 bcd 1.27 c 4.09 5.86 6.49 Kidang 1.08 2.61 2.42 abc 2.83 abc 6.49 8.07 7.74 Mahesa 0.84 1.67 1.52 bcd 2.72 abc 5.81 8.22 7.76 Panter 0.86 2.96 2.16 a-d 1.88 bc 4.30 4.98 6.19 Pelanduk 0.65 2.03 1.71 bcd 2.94 abc 6.03 10.61 9.23 Sima 1.08 3.44 3.62 a 2.11 abc 5.76 7.67 10.92 Turangga 1.08 3.10 3.07 ab 1.88 bc 4.82 7.49 7.12 KK 29.7 32.6 18.8 37.0 31.7 39.6 17.4 Keterangan:angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5% Tanaman kacang tanah akan dapat menerima 95% sinar matahari apabila tanaman mempunyai ILD melebihi nilai kritisnya yang berkisar 3 4 (McCloud et al. 1980). Kiniry et al. (2005) menemukan bahwa nilai ILD antara 5-6 dan nilai k 0,60-0,65 merupakan nilai yang lebih tepat untuk kacang tanah. Dari Tabel 8, pada MT-2010 tampak bahwa nilai ILD Badak, Kelinci, Panter dan Turangga pada periode awal pembentukan polong (42 HST) belum mencapai atau baru mendekati nilai 3. Kelinci dan Panter pada awal pengisian polong (56 HST) rataan indeks luas daunnya juga belum mencapai nilai 5. Dari hasil uji korelasi Pearson pada MT-2010 (Lampiran 9) didapatkan bahwa ILD tidak berkorelasi dengan hasil/bobot polong, akan tetapi ILD pada 42

39 dan 56 HST nyata berkorelasi positif dengan kualitas polong (persentase polong penuh) dengan nilai r masing-masing 0,66 dan 0.62. Pada 70, 84 dan 91 HST, ILD nyata berkorelasi negatif dengan persentase polong penuh dan Indeks Panen (Lampiran 8 dan 9). Adanya korelasi ini mengindikasikan bahwa luas daun pada fase awal pertumbuhan merupakan hal penting yang menentukan pengisian dan kualitas polong kacang tanah, sedangkan luasan daun hijau yang tinggi pada periode setelah puncak pengisian polong cenderung mengurangi kualitas polong. 4.2.1.2. Bobot Kering Tajuk Tabel 9 dan 10 menyajikan bobot kering batang dan daun pada MT-2007 dan 2010. Berdasarkan hasil uji ragam didapatkan adanya perbedaan kemampuan akumulasi bahan kering dan pembagiannya antar varietas-varietas kacang tanah. Pada MT-2007, beberapa varietas secara statistik menunjukkan perbedaan kemampuan akumulasi bahan kering dalam batang dan daun pada periode pembentukan polong (42 HST), pengisian polong (70 HST) dan pemasakan biji (91 HST). Setelah fase pengisian biji (70 91 HST), rata-rata bobot kering daun pada sebagian besar varietas menurun, sedangkan bobot kering batang konstan dan bobot kering polong terus meningkat. Pada Sima, Turangga dan Kidang, ratarata bobot kering daun setelah periode pengisian biji hingga menjelang panen masih lebih baik daripada varietas lain. Hal ini menunjukkan masih banyak daun hijau pada saat menjelang panen. Pada MT-2010, perbedaan akumulasi bahan kering dalam batang didapatkan berbeda antar varietas hanya pada 84 HST, yang merupakan akhir periode pengisian biji dan awal periode pemasakan biji. Perbedaan akumulasi bahan kering dalam daun berbeda antar varietas pada 42 HST, 70 HST dan 84 HST. Akumulasi bahan kering dalam polong pada 70 HST nyata berbeda antar varietas pada MT-2007, akan tetapi menjelang panen (91 HST) bahan kering dalam polong tidak berbeda antar varietas. Pada MT-2010, akumulasi bahan kering dalam polong tidak ditemukan berbeda antar varietas pada semua periode tumbuh (Tabel 9 dan 10).

40 Tabel 9. Bobot kering batang dan daun kacang tanah pada beberapa periode tumbuh pada MT-2007 BATANG DAUN....gram.... Varietas 42 HST 70 HST 91 HST 42 HST 70 HST 91 HST Badak 2,36 c 8,91 f 13.39 cd 2,00 5,50 c 6.18 c-f Gajah 3,88 bc 14,27 b-e 14.30 cd 2,85 7,49 bc 5.99 c-f Garuda3 3,89 bc 11,58 def 12.05 d 2,82 5,11 c 1.52 g Jerapah 3,99 bc 12,12 def 15.79 a-d 2,91 6,32 bc 3.83 f Kancil 4,46 ab 15,79 bcd 18.63 a-d 2,73 6,51 bc 4.42 ef Kelinci 3,53 bc 10,13 ef 15.12 bcd 2,55 7,67 bc 6.85 cde Kidang 6,06 a 20,83 a 25.41 a 3,63 8,66 abc 10.30 abc Mahesa 4,51 ab 12,44 b-f 15.82 a-d 2,66 5,96 c 4.70 def Panter 3,70 bc 13,29 b-f 18.84 abc 2,95 10,37 ab 8.31 bcd Pelanduk 3,03 bc 12,45 b-f 20.47 abc 2,12 6,11 c 7.13 cde Sima 4,82 ab 18,30 ab 25.23 ab 4,10 12,29 a 15.77 a Turangga 4,56 ab 16,80 abc 20.20 abc 3,63 12,20 a 14.48 ab KK 25.8 17.1 12.0 27.7 27.8 15.9 Keterangan : Angka-angka dalam satu kolom yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak beda nyata menurut uji DMRT pada taraf 0,05. Tabel 10. Bobot kering batang dan daun kacang tanah pada beberapa periode tumbuh pada MT-2010 Varietas BATANG DAUN..gram.. 42HST 56HST 70HST 84HST 42HST 56HST 70HST 84HST Badak 2,8 6,5 11,4 9,9 c 3,1 b 5,3 9,0 bc 6,2 de Gajah 6,6 11,5 12,5 13,7 bc 9,1 a 7,4 8,4 c 6,4 cde Garuda3 4,7 10,2 11,0 8,9 c 5,3 b 7,5 7,9 c 5,0 e Jerapah 4,9 11,9 13,3 12,7 bc 6,1 ab 8,8 8,6 c 6,5 cde Kancil 4,5 10,0 17,0 14,0 bc 6,1 ab 6,8 10,2 bc 6,8 b-e Kelinci 2,6 7,2 11,5 10,1 c 4,7 b 5,8 10,6 bc 5,6 e Kidang 5,3 13,6 16,0 16,5 b 5,6 b 8,7 11,6 ab 8,9 a-d Mahesa 5,0 11,4 16,4 17,2 b 5,9 ab 9,0 12,1 abc 9,2 abc Panter 3,4 9,0 10,6 10,6 c 3,8 b 6,6 10,3 bc 6,2 de Pelanduk 5,5 12,0 22,2 22,4 a 5,9 ab 8,6 16,3 a 11,3 a Sima 2,8 12,2 16,7 16,3 b 3,5 b 9,8 14,2 ab 9,4 ab Turangga 3,8 10,2 13,5 13,9 bc 4,3 b 8,0 10,9 bc 7,3 b-e KK 34.4 23.4 13.9 21.3 32.8 23.6 25.2 20.3 Keterangan : Angka-angka dalam satu kolom yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak beda nyata menurut uji DMRT pada taraf 0,05.

41 39 41 70.0 60.0 50.0 40.0 bpol91 30.0 daun91 20.0 bat91 10.0 bpol70 daun70 Bat70 0.0 70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0 Turangga Sima Pelanduk Panter Mahesa Kidang Kelinci Kancil Jerapah Garuda3 Gajah Badak Turangga Sima Pelanduk Panter Mahesa Kidang Kelinci Kancil Jerapah Garuda3 Gajah Badak (a) 60.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0 50.0 40.0 bpol84 bpol70 30.0 daun70 20.0 daun84 bat70 10.0 bat84 0.0 (b) Gambar 3 Perbandingan bobot kering polong, daun dan batang pada (a) 70 dan 91 HST (MT-2007) dan (b) 70 dan 84 HST (MT-2010). Turangga Sima Pelanduk Panther Mahesa Kidang Kelinci Kancil Jerapah Garuda3 Gajah Badak Turangga Sima Pelanduk Panther Mahesa Kidang Kelinci Kancil Jerapah Garuda3 Gajah Badak

42 Beberapa varietas setelah fase puncak pengisian polong/biji (70 HST) masih terus mengakumulasikan bahan kering dalam tajuk sambil terus mengisi bahan kering untuk polong (Gambar 3a). Varietas tersebut contohnya adalah Badak, Kidang, Panter, Pelanduk, Sima dan Turangga. Varietas yang lain seperti Gajah, Garuda3, Jerapah, Kancil, Kelinci dan Mahesa cenderung menambah bobot polong setelah 70 HST dengan bobot tajuk yang hampir tetap, bahkan ada yang menurun. Hal ini menunjukkan kemungkinan adanya proses remobilisasi asimilat untuk pengisian polong/biji. Gambar 3b menunjukkan adanya kecenderungan yang sama pada MT-2010, tetapi karena pengukuran hanya sampai 84 HST perbedaan bahan keringnya belum terlalu tampak. Namun demikian, berdasarkan uji korelasi Pearson (Lampiran 7 dan 8) tidak ditemukan adanya korelasi antara bobot kering daun dan batang dengan bobot/hasil polong tanaman sehingga penurunan bobot kering tajuk pada periode ini tidak berpengaruh terhadap pengisian polong. 4.2.1.3. Kandungan Klorofil Dan Kerapatan Stomata Aktivitas fotosintesis juga dapat diukur secara tidak langsung dengan mengukur kandungan klorofil pada MT-2007 dan kerapatan stomata pada MT- 2010, dimana keduanya merupakan apparatus fotosintesis. Tabel 11 menyajikan data kadar klorofil dan kerapatan stomata dari 12 varietas kacang tanah yang diuji. Varietas tidak menunjukkan perbedaan pada kadar klorofil, baik pada fase pembentukan polong (42 HST) maupun pada akhir pengisian biji (70 HST). Kandungan klorofil (mg) per gram berat basah daun dan per satuan luas daun pada 70 HST berkorelasi negatif dengan persentase polong penuh yang ditunjukkan dengan nilai r berturut-turut sebesar -0,58 dan -0.45 dan berkorelasi positif dengan jumlah polong cipo (r = 0.45). Hasil ini mengindikasikan bahwa varietas yang daunnya tetap hijau hingga akhir fase pengisian biji menghasilkan lebih banyak polong yang kurang terisi penuh (keriput) dan cipo. Stomata penting bagi keluar masuknya CO 2 dan air yang dibutuhkan tanaman dalam proses fotosintesis. Pada kacang tanah, stomata terdapat di permukaan atas dan bawah daun. Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya perbedaan antar varietas pada kerapatan stomata permukaan atas dan bawah daun.

43 Rata-rata kerapatan stomata dari varietas-varietas yang diuji berkisar dari 200-288 stomata/mm 2. Jumlah ini masih dibawah rata-rata jumlah stomata kacang tanah hasil menurut Bhagsari dan Brown (1976) yang mencapai 300-400/mm 2. Kerapatan stomata bawah berkorelasi positif dengan jumlah polong/tanaman, jumlah polong penuh/tanaman dan jumlah polong cipo/tanaman yang ditunjukkan oleh nilai r berturut turut sebesar 0,55; 0,53 dan 0,54. Tabel 11. Kadar klorofil dan kerapatan stomata kacang tanah Kadar klorofil (mg/g bobot basah daun) Kerapatan stomata Varietas 42HST 70HST (mm 2 ) Badak 3.352 2.633 266.67 Gajah 4.210 2.727 200.00 Garuda3 3.738 2.492 200.00 Jerapah 3.785 2.955 266.67 Kancil 3.602 2.432 244.45 kelinci 3.712 3.304 266.67 Kidang 3.424 2.546 222.22 Mahesa 3.663 2.639 200.00 Panter 4.152 3.147 222.22 Pelanduk 3.181 2.626 288.89 Sima 4.105 3.268 266.67 Turangga 3.432 2.818 222.22 KK 11.2 15.6 12.7 4.2.1.4. Tinggi Batang Utama Dan Percabangan Jumlah cabang dan tinggi batang utama hanya diamati pada MT- 2010. Jumlah cabang dihitung pada beberapa periode tumbuh, sedangkan tinggi batang utama hanya diukur pada saat panen. Tabel 12 menyajikan data rata-rata jumlah cabang dan tinggi batang utama kacang tanah pada MT-2010. Pada tabel ini terlihat bahwa perbedaan percabangan antara varietas ditemukan pada periode lanjut (70 dan 84 HST). Hal ini menunjukkan beberapa varietas masih mengalami pertumbuhan bagian vegetatif yang tinggi pada periode pengisian biji. Beberapa varietas ada yang membentuk maksimal 5 cabang, beberapa varietas lain ada yang memiliki hingga 8 cabang. Percabangan yang muncul pada periode lanjut ini merupakan cabang-cabang yang tidak produktif.

44 Tabel 12. Rata-rata jumlah cabang dan tinggi batang utama kacang tanah pada MT-2010 Jumlah Percabangan Tinggi Varietas 42HST 56HST 70HST 84HST (cm) Badak 5.0 5.2 5.0 d 5.3 cde 75.6 ab Gajah 6.8 7.3 6.5 a-d 6.7 abc 65.6 bc Garuda3 6.5 7.3 7.3 ab 6.3 a-d 55.1 c Jerapah 4.7 6.8 7.2 abc 7.2 a 66.1 bc Kancil 6.0 5.3 8.2 a 7.0 a 65.1 bc Kelinci 5.0 5.7 4.8 d 5.5 b-e 72.4 ab Kidang 6.0 6.5 5.8 bcd 6.8 ab 68.1 bc Mahesa 6.0 7.3 6.0 bcd 7.3 a 61.0 bc Panter 4.3 4.8 5.0 d 4.8 e 77.1 ab Pelanduk 6.5 6.3 8.2 a 7.5 a 75.9 ab Sima 5.2 6.3 5.5 bcd 5.2 de 87.9 a Turangga 5.0 5.0 5.2 cd 5.0 de 75.2 ab KK 17.1 17.8 17.8 12.6 6.4 Keterangan:angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5% Berdasarkan uji F diperoleh bahwa tinggi batang utama berbeda nyata antar varietas. Sima merupakan varietas dengan tinggi batang utama tertinggi dan Garuda3 adalah yang terendah. Umumnya varietas yang tinggi menghasilkan jumlah cabang yang rendah. Dengan menggunakan uji korelasi Pearson didapatkan bahwa jumlah cabang menunjukkan kecenderungan berkorelasi negatif dengan tinggi batang utama. Varietas dengan jumlah cabang banyak juga nyata berkorelasi positif dengan ILD 42 dan 56 HST. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan tanaman yang bercabang menghasilkan lebih banyak daun pada fase awal pengisian biji. Banyaknya cabang pada awal fase pembentukan ginofor dan pengisian memungkinkan pembentukan lebih banyak ginofor pada 42 dan 56 HST, ini ditunjukkan dengan adanya korelasi positif antara jumlah cabang dengan jumlah ginofor (Lampiran 9). Hal ini diduga adanya cabang memungkinkan lebih banyak ginofor terbentuk pada buku-buku yang dekat dengan permukaan tanah. Tinggi batang utama berkorelasi positif dengan jumlah bunga, jumlah ginofor pada 70 dan 84 HST. Hal ini dapat menyebabkan distribusi asimilat untuk pengisian polong menjadi terganggu. Alasan ini dikuatkan dengan hasil korelasi antara tinggi batang utama dengan persentase polong penuh yang negatif dan

45 dengan jumlah cipo dan persentase polong setengah penuh yang positif. Walaupun demikian, tinggi batang utama berkorelasi nyata dengan hasil polong (jumlah dan bobot polong/tanaman) dengan nilai r sebesar 0,56 dan 0,60. 4.2.2. Aktivitas Source Biomassa atau bahan kering tanaman merupakan produk laju fotosintesis bersih per unit luas daun dan total area yang aktif berfotosintesis (Khanna-Chopra 2000). Kemampuan tanaman menghasilkan asimilat diamati melalui laju pertambahan luas daun, laju asimilasi bersih dan laju pertambahan bahan kering. 4.2.2.1. Laju Pertambahan Luas Daun Untuk mengamati pertambahan luas daun digunakan data luas daun pada MT-2010 karena hasilnya diduga lebih mendekati rata-rata luas daun sesungguhnya. Gambar 4 menyajikan pertambahan luas daun dari varietasvarietas yang diuji. Pertambahan luas daun disajikan dalam dua gambar, yaitu Gambar 4a dan Gambar 4b, untuk memudahkan pengamatan. Pada MT-2010, rata-rata luas daun tanaman pada tiap varietas terus meningkat hingga 70 HST, kemudian kecepatan pertambahannya menurun setelah periode tersebut. Varietas seperti Gajah, Kancil, Badak (Gambar 4a) dan Kidang, Mahesa, Turangga (Gambar 4b) relatif tidak menunjukkan pertambahan luas daun hijau setelah 70 HST, tetapi Kelinci (Gambar 4a) dan Sima, Panter (Gambar 4b) masih menunjukkan pertambahan. Pertanaman kacang tanah mendapat penyemprotan pestisida hingga 70 HST, sehingga kemampuan varietas menghadapi serangan OPT setelah 70 HST tergantung pada ketahananan varietas tersebut. Jerapah, Garuda3 (Gambar 4a) dan Pelanduk (Gambar 4b) setelah 70 HST luasan daun hijau cenderung menurun. Hal ini diduga karena varietas tidak mampu menahan serangan penyakit bercak daun. Rata-rata nilai ILD Sima pada MT-2007 dan 2010 masih bertambah setelah 70 HST (Tabel 8 dan Gambar 4b). Hal ini menunjukkan varietas ini masih banyak mendistribusikan asimilat untuk pembentukan daun baru hingga menjelang panen.

46 12.0 10.0 (a) Indeks Luas Daun 8.0 6.0 4.0 2.0 0.0 42HST 56HST 70HST 84HST Badak Gajah Garuda3 Jerapah Kancil Kelinci 12.0 (b) Indeks Luas Daun 10.0 8.0 6.0 4.0 2.0 0.0 42HST 56HST 70HST 84HST Kidang Mahesa Panther Pelanduk Sima Turangga Gambar 4 Pertambahan luas daun pada duabelas varietas kacang tanah (a dan b) pada MT-2010. 4.2.2.2. Laju Asimilasi Bersih (LAB) Akumulasi bahan kering merupakan Laju Asimilasi Bersih (LAB) menggambarkan efisiensi fotosintesis daun/tajuk dalam menghasilkan bahan kering (Gardner et al. 1991). Nilai LAB tinggi terjadi pada saat tanaman masih muda dan sebagian besar tajuknya mendapatkan sinar matahari langsung. Nilai LAB menurun seiring dengan pertambahan jumlah/luasan daun yang mengakibatkan makin banyak daun saling menaungi. Daun-daun yang ternaungi tidak dapat berfotosintesis dengan baik, apabila hal ini terjadi pada saat tanaman memasuki periode pengisian biji, maka suplai asimilat untuk pengisian biji dapat terganggu.

47 Tabel 13. Rata-rata Laju Asimilasi Bersih kacang tanah pada MT-2007 dan MT- 2010 Varietas MT2007 MT2010 LAB 26-42 HST LAB 42-70 HST LAB 70-91 HST LAB 42-56 HST LAB 56-70 HST LAB 70-84 HST Badak 22.86 12.95 8.45 5.55 6.65 0.12 Gajah 14.74 18.30 2.56 3.85 2.61-0.13 Garuda3 29.16 14.89 2.10 5.38 3.15-2.29 Jerapah 15.37 13.18 4.45 6.17 1.34 0.36 Kancil 14.21 14.74 2.69 4.68 6.70-0.34 Kelinci 20.32 15.26 4.24 7.05 7.87-2.53 Kidang 15.33 13.58 3.28 7.10 3.02 1.17 Mahesa 19.93 9.64 5.89 7.93 5.93-1.53 Panter 28.60 17.75 3.51 8.35 4.98 1.61 Pelanduk 21.77 16.25 6.93 6.36 7.22-0.31 Sima 26.37 13.27 5.00 10.05 5.52-0.72 Turangga 30.68 14.71 4.26 9.00 5.48-0.80 KK 23.7 20.1 70.4 51.8 49.3 48.6 Pada Tabel 13 terlihat bahwa tidak ditemukan perbedaan antar varietas dalam nilai LAB. Hal ini menunjukkan adanya efisiensi tajuk (kanopi) dalam menghasilkan bahan kering tidak berbeda antar varietas. Luasan daun yang makin meningkat dan tidak ditunjang dengan tata letak daun yang memungkinkan penetrasi cahaya yang lebih baik menyebabkan efisiensi tajuk dalam menghasilkan bahan kering tidak meningkat. 4.2.2.3. Laju Akumulasi Bahan Kering Laju akumulasi/pertambahan bahan kering tanaman per unit luas area per unit waktu atau Laju Tumbuh Tanaman (LTT g/m 2 /hari) diukur dari selisih bobot bahan kering yang dikumpulkan tanaman pada saat panen dengan bobot bahan kering pada fase pengisian biji (42 dan 70 HST). Nilai LTT pada MT-2007 dan MT-2010 disajikan pada Tabel 14. Pada MT-2007 terdapat perbedaan antar varietas dalam kecepatan mengumpulkan bahan kering, tetapi pada MT-2010 perbedaan tersebut tidak tampak secara signifikan. Varietas Sima pada periode 42 HST hingga panen menunjukkan akumulasi bahan kering yang lebih cepat daripada Garuda3, Badak, Gajah, Jerapah, Kelinci dan Mahesa. Nilai LTT pada periode 70 HST hingga

48 panen tampak lebih kecil daripada LTT periode 42 HST hingga panen. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman tidak banyak menambah bahan kering setelah 70 HST hingga panen. Pada MT-2010, nilai LTT pada periode 70 HST hingga panen lebih tinggi daripada LTT periode 42 HST hingga panen yang menunjukkan semua varietas setelah 70 HST masih terus menambah bahan kering dalam jumlah yang cukup besar. Tabel 14. Laju Tumbuh Tanaman pada dua periode tumbuh kacang tanah pada MT-2007 dan MT-2010 Varietas MT-2007 MT-2010.(g/m 2 /hari) LTT 42-panen LTT 70-panen LTT 42-panen LTT 70-panen Badak 6.45 bc 6.14 48.92 71.85 Gajah 6.65 bc 0.80 31.67 46.92 Garuda3 4.32 c 1.71 31.13 41.83 Jerapah 6.30 bc 2.84 34.74 49.79 Kancil 7.42 abc 2.54 38.53 49.46 Kelinci 6.84 bc 3.07 36.82 46.51 Kidang 9.32 ab 4.80 37.00 47.00 Mahesa 6.38 bc 5.02 33.18 33.77 Panter 7.51 abc 1.93 45.72 67.40 Pelanduk 8.62 ab 7.41 50.41 58.68 Sima 10.50 a 6.81 55.29 73.71 Turangga 8.85 ab 5.55 37.46 46.04 KK 23.6 82.3 28.6 35.3 Rata-rata 7.4±1.7 3.8±2.7 40.1±8.0 52.8±12.5 Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5% Nilai rata-rata LTT pada MT-2007 yang diperoleh dari periode 42 HST hingga panen hanya mencapai 7,4±1,66 g/m 2 /hari. Nilai LTT ini lebih rendah daripada nilai rata-rata LTT kacang tanah menurut Ketring et al. (1982), yaitu sebesar 19,8±4,2 g/m 2 /hari. Hal ini menunjukkan rendahnya bahan kering yang mampu diakumulasikan oleh tanaman. Pada MT-2010, laju pertambahan bahan keringnya sangat tinggi (40.1 ± 8.0 g/m 2 /hari dan 52.8±12.5). Populasi tanaman yang lebih banyak dan kondisi agroklimat tampaknya mengakibatkan tanaman mampu menghasilkan bahan kering yang lebih banyak.

49 Walaupun nilai LAB, kandungan klorofil dan kerapatan stomata tidak menunjukkan adanya perbedaan antar varietas, akan tetapi nilai LTT berbeda nyata antar varietas. Hal ini diduga karena LAB, kandungan klorofil dan kerapatan stomata hanya mengukur kemampuan fotosintesis daun tunggal, sedangkan LTT menunjukkan kemampuan kanopi menghasilkan bahan kering. Nilai LTT pada periode 42 HST dan periode 70 HST hingga panen berkorelasi negatif dengan indeks panen yang ditunjukkan dengan nilai r sebesar -0.94 dan -0.79. Hal ini mengindikasikan adanya kecenderungan bahwa makin cepat laju akumulasi bahan kering, makin banyak asimilat untuk pertumbuhan tajuk dan semakin sedikit bahan kering yang didistribusikan ke dalam polong/biji. 4.3. Sink Dalam penelitian ini sink produktif yang diamati adalah bobot polong dan biji/tanaman. Untuk memahami dan membandingkan kemampuan varietasvarietas kacang tanah dalam menghasilkan sink tersebut dilakukan dengan mengamati kemampuan menghasilkan sink reproduktif, kapasitas sink, aktivitas sink dan kekuatan sink. Kapasitas sink diartikan sebagai ukuran sink yang dapat diisi oleh asimilat. Aktivitas sink diartikan sebagai laju pengisian polong/biji atau Laju Tumbuh Polong (LTP). Kekuatan sink menggambarkan dominansi sink untuk mendapatkan asimilat. 4.3.1. Sink Reproduktif Sink reproduktif merupakan sink yang berpotensi untuk menjadi sink produktif. Bagian tanaman yang masuk dalam kategori sink reproduktif adalah bunga dan ginofor. Pengamatan yang dilakukan meliputi jumlah bunga dan ginofor, waktu berbunga, lamanya periode reproduktif dan laju pertambahan ginofor. Pada MT-2007 pengamatan bunga tidak dilakukan. 4.3.1.1. Bunga Tabel 15 menyajikan data waktu bunga muncul dan saat 50% populasi berbunga. Banyaknya bunga yang muncul dihitung setiap hari mulai 26 HST hingga 70 HST. Waktu bunga muncul tidak berbeda nyata antar varietas. Rata-

50 rata bunga muncul adalah pada 27,8 HST. Masing-masing varietas membutuhkan waktu yang berbeda untuk mencapai 50% populasi berbunga, dimana Mahesa paling lama mencapai 50% populasi berbunga, yaitu pada hari ke-33 setelah tanam. Selisih waktu antara periode bunga dengan waktu panen menggambarkan waktu pengisian polong/biji. Waktu pengisian yang pendek dapat mengakibatkan polong-polong menjadi kurang terisi. Waktu bunga muncul berkorelasi negatif dengan persentase polong penuh (r = -0,65) dan berkorelasi positif dengan persentase polong kurang terisi penuh (r = 0,59), tetapi tidak ditemukan adanya korelasi antara waktu 50% populasi berbunga dengan hasil dan kualitas polong per tanaman. Hal ini dapat diartikan bahwa varietas yang lambat memunculkan bunga cenderung menghasilkan persentase polong penuhnya lebih rendah daripada varietas yang lebih cepat memunculkan bunga. Tabel 15. Waktu bunga muncul, waktu 50% populasi berbunga, periode reproduktif dan persentase polong penuh kacang tanah pada MT-2010 Varietas Bunga muncul (HST) 50% populasi berbunga (HST) Periode Reproduktif (a) % polong penuh Badak 28.3 31.0 abc 69.0 abc 66.7 Gajah 27.0 29.0 c 71.0 ab 72.8 Garuda3 27.0 29.3 bc 70.7 ab 71.3 Jerapah 27.0 29.0 c 72.0 a 79.2 Kancil 27.0 28.3 c 72.0 a 73.7 Kelinci 30.3 32.0 ab 68.0 bc 65.7 Kidang 26.7 28.3 c 72.0 a 75.7 Mahesa 28.3 33.0 a 67.0 c 72.3 Panter 27.7 29.3 bc 71.3 a 64.1 Pelanduk 27.7 28.3 c 71.0 ab 68.3 Sima 28.7 31.0 abc 69.0 abc 60.1 Turangga 28.0 31.0 abc 69.0 abc 67.7 KK 8.3 10.1 1.2 6.21 Keterangan:angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5% (a) dihitung dari selisih waktupanen 100HST dengan waktu 50% populasi berbunga Periode reproduktif dimulai dari saat populasi mencapai 50% berbunga hingga panen (Jogloy et al. 2011). Berdasarkan hasil uji F diperoleh bahwa lamanya periode reproduktif berbeda nyata antar varietas. Mahesa merupakan

51 varietas dengan periode reproduktif paling pendek dibandingkan varietas lain, meskipun perbedaannya hanya terpaut 5 hari. Berdasarkan rataan jumlah bunga yang muncul pada setiap varietas yang dihitung dari 26 HST hingga 68 HST diperoleh bahwa periode terbanyak menghasilkan jumlah bunga/tanaman adalah pada kisaran 29 45 HST, seperti yang terjadi pada Badak, Garuda3, Jerapah, Kancil, Pelanduk, Gajah, Kidang dan Panter (Lampiran 2). Pada varietas Kelinci, Mahesa, Turangga dan Sima bungabunga awal terbentuk lebih lambat dan periode pembentukan pembungaan sedikit lebih panjang (pada kisaran 31-58 HST) dibandingkan dengan varietas lain. Pembentukan bunga terus berjalan walaupun tanaman memasuki periode pengisian biji. Pertambahan jumlah bunga meningkat cepat pada kisaran 26-42 HST, kemudian laju pertambahannya mulai berkurang pada saat memasuki periode pembentukan dan pengisian polong. Pada varietas Gajah, Jerapah, Kancil, Kidang, Mahesa, Pelanduk dan terutama Garuda3, hampir tidak terjadi penambahan laju jumlah bunga selama periode pembentukan polong dan pengisian biji (42-70 HST) (Gambar 5a). Laju pertambahan bunga pada Badak, Kelinci, Panter, Sima dan Turangga baru mulai terjadi pada awal periode pengisian polong (56 HST), walaupun mulai melambat, pertambahan jumlah bunganya masih cukup besar (Gambar 5b). Jumlah bunga 80.0 70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0 26 42 56 68 Gajah Garuda3 Jerapah Kancil Kidang Mahesa Pelanduk HST Jumlah bunga 80.0 70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0 26 42 56 68 HST Badak Kelinci Panter Sima Turangga (a) (b) Gambar 5 Pertambahan jumlah bunga duabelas varietas kacang tanah pada MT-2010.

52 Berdasarkan hasil uji ragam (Lampiran 5), diperoleh bahwa jumlah bunga yang dihasilkan kacang tanah di pengaruhi oleh sifat genetiknya. Pelanduk menghasilkan rata-rata jumlah bunga/tanaman yang lebih tinggi daripada sebagian besar varietas lain, sementara Mahesa menghasilkan rata-rata bunga total per tanaman paling sedikit. Pelanduk menghasilkan bunga paling banyak, tetapi persentase bunga yang tumbuh menjadi polong hanya 26,3%, sedangkan pada Mahesa sejumlah 34,6% dari total bunga yang dihasilkan tumbuh menjadi polong. Persentase bunga yang menjadi polong untuk semua varietas rata-rata hanya sebesar 25,4 %. Efisiensi pembungaan kacang tanah memang rendah, yaitu hanya 10-20% (Cahaner dan Ashri 1974). Tabel 16 menyajikan data rata-rata jumlah bunga tiap periode, persentase bunga yang menjadi polong dan jumlah polong/tanaman pada MT-2010. Jumlah bunga berkorelasi positif dengan tinggi batang utama (r = 0.74), yang berarti bahwa tanaman yang habitusnya tinggi akan cenderung menghasilkan lebih banyak bunga daripada yang rendah. Lebih banyak bunga berarti ada kemungkinan menghasilkan lebih banyak ginofor. Tidak semua bunga menjadi ginofor dan tidak semua ginofor menjadi polong. Tabel 16. Rata-rata jumlah bunga tiap periode, persentase bunga yang menjadi polong dan jumlah polong per tanaman pada MT-2010 Varietas Jumlah bunga %bunga Jumlah 42 HST 56 HST 68 HST jadi polong polong /tanaman Badak 32.0 b-e 54.1 63.9 a-e 30.7 19.54 Gajah 38.3 b-e 47.7 50.5 de 26.3 13.38 Garuda3 44.3 a-d 48.1 49.4 de 25.7 11.90 Jerapah 39.1 b-e 50.1 55.5 b-e 22.2 12.51 Kancil 48.3 abc 60.6 67.0 a-d 25.5 16.24 Kelinci 22.0 e 44.5 52.5 cde 26.5 14.36 Kidang 49.3 ab 62.8 66.3 a-d 15.6 10.38 Mahesa 27.9 de 37.6 42.6 e 34.6 14.41 Panter 35.5 b-e 65.1 73.9 abc 26.2 18.22 Pelanduk 57.9 a 74.6 81.6 a 26.3 19.86 Sima 30.9 cde 59.7 76.0 ab 22.3 17.18 Turangga 30.0 de 51.9 61.4 a-e 20.1 11.87 KK 23.8 21.9 19.8 29.5 14.0 Keterangan:angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%

53 Ginofor yang berkembang menjadi polong kebanyakan adalah yang terbentuk dari bunga-bunga awal (Cahaner dan Ashri 1974) atau pada awal pembentukan ginofor, yaitu pada 42 HST (Trustinah 1993). Waktu yang dibutuhkan untuk pembungaan hingga polong masak adalah sekitar 2 bulan (Trustinah 1993; Maria 2000). Berdasarkan peubah bunga yang muncul setiap hari, persentase bunga jadi polong dan jumlah polong/tanaman, maka diduga polong-polong yang dihasilkan berasal dari bunga yang mekar dari awal berbunga hingga 30-40 HST. Bunga dan ginofor yang muncul setelah periode tersebut kemungkinan tidak berkembang menjadi polong sempurna. 4.3.1.2. Ginofor Pada MT-2007 terdapat perbedaan yang nyata antar varietas pada peubah jumlah ginofor dan polong yang terbentuk, akan tetapi berat kering yang diakumulasi dalam ginofor dan polong tidak berbeda nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa varietas mampu menggantikan jumlah polong yang sedikit dengan ukuran yang lebih besar. 60 50 40 30 20 10 0 42 70 91 Hari Sesudah Tanam Badak Gajah Garuda3 Jerapah Kancil Kelinci Kidang Mahesa Panter Pelanduk Sima Turangga Gambar 6 Pertambahan jumlah ginofor per tanaman pada MT-2007. Gambar 6 menyajikan data pertambahan jumlah ginofor/tanaman kacang tanah pada MT-2007. Dari gambar ini terlihat bahwa varietas Panter dan Kelinci memiliki keunggulan dalam pembentukan sink reproduktif yaitu lebih banyak

54 ginofor dibandingkan varietas lainnya. Beberapa varietas tampak masih menambah jumlah ginofornya pada periode akhir pengisian biji (70-91 HST) seperti Panter, Kelinci, Sima, Badak dan Gajah. Penambahan jumlah ginofor pada periode ini berdampak pada berkurangnya asimilat untuk pengisian biji, bahkan walaupun polong terbentuk, pengisian biji tidak maksimal karena waktu pengisian yang tidak mencukupi. Pada MT-2010 tidak ditemukan adanya perbedaan antar varietas dalam menghasilkan ginofor. Varietas Mahesa, yang menghasilkan total bunga paling sedikit, menghasilkan rataan jumlah ginofor yang lebih banyak dibandingkan varietas lain. Gambar 7 memperlihatkan data persentase bunga yang menjadi ginofor. Banyaknya ginofor yang dihasilkan ternyata tidak selalu menghasilkan polong yang banyak, karena rataan jumlah polong/tanaman Mahesa tidak lebih baik daripada varietas lain (lihat juga Tabel 16). 120 100 80 60 40 20 Badak Gajah Garuda3 Jerapah Kancil Kelinci Kidang Mahesa Panter 0 42 56 70 84 Hari Sesudah Tanam Pelanduk Sima Turangga Gambar 7 Pertambahan jumlah ginofor per tanaman pada MT-2010. Jumlah ginofor yang dihasilkan pada MT-2010 cenderung lebih banyak daripada MT-2007, akan tetapi persentase ginofor yang menjadi polong pada MT- 2010 lebih kecil (Tabel 17). Apabila jumlah polong/tanaman dibandingkan dengan total jumlah ginofor pada 42 HST, maka rata-rata ginofor yang kemudian menjadi polong pada MT-2007 sebesar 46,2%, sedangkan pada MT-2010 hanya sebesar 22,8%. Rata-rata persentase bunga yang menjadi ginofor pada MT-2010 sekitar 88,2 %.

55 Tabel 17. Persentase ginofor jadi polong pada MT-2007 dan MT-2010 Varietas MT-2007 MT-2010 Badak 35.46 a-d 25.51 Gajah 54.27 a 32.93 Garuda 42.21 a-d 29.71 Jerapah 56.90 a 22.57 Kancil 40.76 a-d 27.96 Kelinci 28.88 bcd 25.85 Kidang 46.94 a-d 15.74 Mahesa 49.72 abc 19.82 Panter 26.47 cd 23.88 Pelanduk 52.40 ab 22.01 Sima 38.98 a-d 25.25 Turangga 24.07 d 16.93 KK 30.4 36.8 Keterangan:angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5% Untuk mendapatkan produksi polong dan biji yang maksimal, maka bunga dan ginofor kacang tanah harus banyak terbentuk pada periode awal periode generatif sehingga ada cukup waktu untuk melakukan pengisian biji. Akan tetapi, seperti juga tanaman kacang-kacang lainnya, tidak semua bunga yang terbentuk menjadi ginofor dan tidak semua ginofor menjadi polong. Sehingga peubah jumlah bunga dan ginofor sulit digunakan sebagai indikator keberhasilan produksi kacang tanah. 4.3.2. Kapasitas Sink Kapasitas sink menggambarkan jumlah dan ukuran sink yang harus diisi. Pengamatan kapasitas sink meliputi jumlah polong, bobot polong dan bobot 100 biji. 4.3.2.1. Jumlah dan Bobot Polong Jumlah bunga yang muncul menunjukkan adanya perbedaan antar varietas. tetapi jumlah ginofor yang dihasilkan pada fase awal pembentukan ginofor (42 HST) tidak ditemukan adanya perbedaan antar varietas. Perbedaan jumlah ginofor muncul pada fase pengisian biji (70 HST) dan menjelang panen (91 HST). Walaupun terdapat perbedaan dalam ginofor yang dihasilkan, akan tetapi jumlah

56 polong yang dihasilkan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (Tabel 18). Sementara itu, bobot polong antara varietas berbeda hanya pada 70 HST, namun perbedaan ini tidak ditemukan lagi pada saat menjelang panen (91 HST) dan saat panen. Hal ini mengindikasikan adanya perbedaan antar varietas dalam kecepatan pengisian biji dan waktu panen. Varietas yang cepat mengisi polong atau biji diduga akan memiliki waktu panen yang juga lebih cepat. Pada MT-2007, komponen hasil tanaman yang berupa jumlah polong total, polong penuh, cipo dan persentase polong penuh per tanaman tidak menunjukkan perbedaan antar varietas (Tabel 19). Pada Tabel 19 terlihat bahwa tidak semua varietas mampu menghasilkan rata-rata 15 polong/tanaman. Rata-rata jumlah polong/tanaman hanya mencapai 14.50 polong, kecuali Badak yang dapat menghasilkan rata-rata jumlah polong/tanaman sebesar 17.45 polong. Rata-rata jumlah polong/tanaman yang kurang dari 15 ditemukan pada varietas Sima, yaitu sebesar 10.75 polong/tanaman. Rata-rata persentase polong cipo adalah 3.5% dari jumlah polong total per tanaman. Tabel 18. Rataan jumlah ginofor, jumlah polong dan bobot polong per tanaman pada MT-2007 Varietas Jumlah ginofor Jumlah polong Bobot polong (g) 42 HST 70 HST 91 HST 70 HST 91 HST 70 HST 91 HST Badak 10.67 1.35 abc 34.00 a 9.00 18.67 5.38 d 20.11 Gajah 11.00 1.35 abc 9.67 cd 15.67 19.83 14.02 ab 24.52 Garuda3 13.67 1.14 bcd 14.33 a-d 15.83 17.17 14.50 a 21.60 Jerapah 14.00 1.04 cd 6.17 d 15.67 23.17 11.13 a-d 24.74 Kancil 13.33 1.06 cd 22.83 a-d 19.33 20.50 13.47 abc 21.89 Kelinci 20.67 1.50 ab 30.33 ab 16.33 22.83 13.02 abc 23.32 Kidang 15.50 1.07 cd 17.67 a-d 16.00 18.00 12.17 a-d 21.45 Mahesa 12.00 1.02 cd 10.50 bcd 8.33 17.83 6.50 cd 20.45 Panter 18.17 1.59 a 27.17 abc 20.17 21.17 13.81 ab 27.65 Pelanduk 11.17 0.89 d 11.33 bcd 12.33 18.67 8.97 a-d 20.33 Sima 14.67 1.40 abc 20.17 a-d 14.17 21.83 10.89 a-d 29.51 Turangga 13.67 1.22 a-d 30.33 ab 11.33 15.67 7.29 bcd 23.23 KK 32.8 20.5 27.2 31.9 20.3 33.4 24.3 Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5% Kecepatan pengisian polong/biji mengindikasikan adanya perbedaan antar varietas. Varietas yang cepat mengisi polong/biji akan menghasilkan lebih

57 banyak jumlah polong yang terisi penuh daripada varietas yang lebih lambat dalam pengisian polong/biji. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase polong penuh hanya cenderung berbeda (Pr>F 0.06) antar varietas. Jerapah, Mahesa, Kancil dan Pelanduk hanya cenderung berbeda persentase polong penuhnya dengan Kelinci dan Sima (Tabel 19). Pada MT-2010, varietas yang diuji menunjukkan perbedaan dalam menghasilkan ginofor pada awal fase pembentukan ginofor (42 HST) dan fase pengisian (70 HST), akan tetapi jumlah polong yang terbentuk tidak berbeda antar varietas (Tabel 20). Varietas hanya menunjukkan kecenderungan perbedaan jumlah polong pada 56 dan 70 HST (Pr>F 0.08 dan 0.06), akan tetapi pada fase lanjut/fase akhir pengisian (84 HST) ditemukan perbedaan antar varietas. Pada 84 HST, varietas Pelanduk dan Mahesa menghasilkan lebih banyak jumlah polong/tanaman daripada Badak, Kelinci, Sima dan Garuda3. Walaupun jumlah polong/tanaman berbeda antar varietas, tetapi bobot polong pada tiap fase tidak menunjukkan perbedaan antar varietas. Hal ini diduga bahwa varietas dengan jumlah polong lebih sedikit mengisi sink dengan ukuran yang lebih besar. Tabel 19. Rata-rata jumlah polong total, polong penuh, cipo dan persentase polong penuh per tanaman kacang tanah pada MT-2007 Varietas Jumlah polong total Jumlah polong penuh Jumlah polong cipo Persentase polong Penuh Badak 17.45 12.44 5.01 70.43 Gajah 15.53 11.17 4.36 71.44 Garuda3 12.38 9.67 2.71 78.41 Jerapah 16.19 14.04 2.15 87.21 Kancil 16.17 13.75 2.42 84.83 Kelinci 15.42 9.59 5.84 63.85 Kidang 14.29 10.75 3.54 73.52 Mahesa 13.71 11.67 2.04 85.10 Panter 12.60 9.21 3.39 71.90 Pelanduk 15.63 12.63 3.00 81.33 Sima 13.88 8.67 5.21 62.01 Turangga 10.75 8.09 2.67 73.16 KK 23.2 25.6 18.6 12.8 Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%

58 58 Tabel 20. Rataan jumlah ginofor, jumlah polong dan bobot polong per tanaman pada MT-2010 Varietas Jumlah Ginofor Jumlah Polong Bobot polong (g) 42HST 56HST 70HST 84HST 56HST 70HST 84HST 56HST 70HST 84HST Badak 11.50 bc 39.33 58.17 abc 64.83 6.83 13.67 14.00 cd 2.18 10.60 14.47 Gajah 32.83 a 35.33 39.00 bc 33.00 14.50 14.50 15.33 bcd 5.90 11.77 13.98 Garuda3 24.50 ab 29.17 33.50 c 27.50 10.33 14.33 12.67 d 4.75 12.52 12.73 Jerapah 24.33 ab 39.00 34.00 c 37.33 13.50 12.50 17.00 bcd 4.88 9.28 13.53 Kancil 17.50 bc 28.67 49.83 bc 42.00 11.50 20.33 18.50 a-d 4.42 12.27 15.97 Kelinci 16.17 bc 28.33 58.50 abc 42.67 7.83 15.33 13.50 cd 2.30 13.17 11.88 Kidang 19.33 abc 41.33 49.00 bc 46.33 11.33 14.33 19.67 a-d 4.15 11.28 18.45 Mahesa 19.00 abc 29.67 48.67 bc 51.00 11.50 11.50 22.50 ab 5.33 18.02 15.40 Panther 11.83 bc 32.83 60.17 ab 61.33 12.17 14.17 21.83 abc 3.98 9.78 19.23 Pelanduk 19.67 abc 38.33 82.00 a 63.00 13.50 23.67 25.83 a 4.73 16.78 19.15 Sima 6.83 c 34.50 59.50 abc 59.50 4.28 12.93 13.30 cd 4.28 12.93 13.30 Turangga 13.50 bc 35.00 63.17 ab 55.17 9.00 15.17 18.17 a-d 3.12 13.72 14.02 KK 28.2 29.5 25.2 30.8 18.5 26.5 24.8 20.7 32.9 27.8 Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%

59 Pada MT-2007 ditemukan bahwa tidak semua polong terisi penuh biji. Untuk mengetahui proses pengisian, maka pada MT-2010 dilakukan pengamatan polong yang terisi biji tetapi tidak penuh, yang disebut dengan polong setengah penuh. Kriteria polong penuh, setengah penuh dan cipo dapat dilihat pada Lampiran 2. Polong cipo merupakan polong yang pada saat kering berkerut tidak berisi, sedangkan polong setengah penuh adalah polong yang saat kering bentuk polongnya sempurna, tetapi pada saat dibuka biji tidak mengisi polong dengan penuh. Adanya polong setengah penuh menggambarkan proses pengisian biji yang belum selesai. Tabel 21. Rata-rata jumlah polong total, polong penuh, ½ penuh, cipo, persentase polong penuh dan polong setengah penuh per tanaman kacang tanah pada MT2010 Varietas Jumlah polong total Jumlah polong penuh Jumlah polong ½ penuh Jumlah polong cipo Persentase polong penuh Persentase polong ½ penuh Badak 19.5 12.9 2.4 a 3.3 a-d 66.7 bc 12.9 ab Gajah 13.4 9.8 1.0 cd 2.2 bcd 72.8 ab 6.9 bcd Garuda3 11.9 8.4 1.1 bcd 1.7 d 71.3 abc 9.4 a-d Jerapah 12.5 10.0 0.4 d 1.7 d 79.2 a 3.5 d Kancil 16.2 12.0 0.8 d 2.4 bcd 73.7 ab 4.8 cd Kelinci 14.4 9.5 1.4 a-d 2.9 a-d 65.8 bc 9.7 a-d Kidang 10.4 7.9 0.4 d 1.9 cd 75.7 ab 4.3 cd Mahesa 14.4 10.4 1.1 bcd 2.4 bcd 72.3 ab 7.3 a-d Panter 18.2 11.6 2.0 abc 3.4 abc 64.1 bc 10.8 abc Pelanduk 19.9 13.8 1.6 a-d 4.2 a 68.3 abc 7.7 a-d Sima 17.2 10.7 2.2 ab 3.5 ab 60.1 c 13.8 a Turangga 11.9 8.0 1.2 bcd 2.2 bcd 67.7 abc 9.9 a-d KK 14.0 15.2 15.9 31.4 6.2 17.9 Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5% Pada MT-2010, rata-rata jumlah polong total per tanaman pada saat panen mencapai 14.99 polong/tanaman. Beberapa varietas dapat mencapai rataan lebih dari 19 polong/tanaman, dan beberapa varietas lainnya tidak mencapai rataan 15 polong/tanaman (Tabel 21). Walaupun jumlah polong/tanaman pada 84bHST nyata berbeda antar varietas, tetapi jumlah polong/tanaman saat panen tidak berbeda antar varietas. Kondisi yang sama terjadi pula pada MT-2007, sehingga

60 dapat disimpulkan bahwa tidak ditemukan adanya perbedaan antar varietas dalam menghasilkan banyaknya polong/tanaman. Berdasarkan hasil uji ragam gabungan dua musim tanam diperoleh bahwa jumlah polong/tanaman merupakan karakteristik genetik (Lampiran 6). Jumlah polong yang mampu dihasilkan tanaman merupakan kapasitas sink, sehingga perlu diupayakan agar potensi genetik ini dapat dimaksimalkan pada periode pembentukan polong. Jumlah polong/tanaman pada semua varietas relatif sama, tetapi banyaknya polong yang terisi penuh biji berbeda antar varietas. Keadaan ini dapat dijadikan indikator perbedaan varietas dalam mendistribusikan asimilat ke dalam sink. Selain itu, persentase polong penuh per tanaman sebagian besar dipengaruhi oleh faktor genetik. 4.3.2.2. Bobot 100 Butir Ukuran biji menentukan banyaknya asimilat yang didistribusikan untuk pengisian polong. Bobot 100 butir biji dapat digunakan untuk menentukan besar kecilnya ukuran biji. Semakin tinggi bobot 100 butir biji, semakin besar kapasitas yang harus diisi untuk setiap sink. Tabel 22. Bobot 100 biji kacang tanah pada dua musim tanam Varietas MT-2007 MT-2010 gram. Badak 37.2 d 40,0 Gajah 60.0 a 41,6 Garuda3 41.8 cd 45,6 Jerapah 54.8 ab 41,7 Kancil 54.5 ab 49,6 Kelinci 41.0 cd 38,0 Kidang 53.1 abc 52,0 Mahesa 53.4 abc 40,5 Panter 38.5 d 38,2 Pelanduk 56.0 ab 43,2 Sima 43.9 bcd 35,1 Turangga 42.0 cd 35,1 KK 7.1 16.1 Keterangan:angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%

61 Tabel 22 menyajikan data bobot 100 butir biji pada dua musim tanam. Pada tabel ini dapat dilihat bahwa bobot 100 butir biji nyata berbeda antar varietas pada MT-2007, sedangkan pada MT-2010 tidak ditemukan perbedaan antar varietas. Pada MT-2007, varietas Gajah, Jerapah, Kancil dan Pelanduk mempunyai bobot 100 biji yang lebih tinggi daripada Panter, Badak, Kelinci dan Garuda3, sedangkan pada MT-2010 ukuran biji semua varietas relatif hamper sama. Kondisi ukuran biji pada MT-2010 diduga dapat mempengaruhi banyaknya asimilat yang dapat disimpan dalam biji, sehingga mempengaruhi ukuran biji yang dihasilkan. 4.3.3. Aktivitas Sink Laju akumulasi bahan kering dalam polong per unit area per unit waktu atau Laju Tumbuh Polong diukur dari selisih bobot polong pada saat panen dengan bobot ginofor dan polong pada 42 HST (MT-2007) atau pada 56 HST (MT-2010). Pada MT-2010, LTP dihitung dari awal pembentukan polong (56 HST) hingga panen. Perhitungan ini dilakukan karena pada 42 HST sebagian besar tanaman belum membentuk polong sehingga LTP belum dapat dihitung. Tabel 23 menyajikan nilai LTP dari pertanaman pada MT-2007 dan MT-2010. Tabel 23. Laju Tumbuh Polong kacang tanah pada MT-2007 dan MT-2010 Varietas LTP42-panen (MT-2007) LTP 56-panen (MT-2010)..g/m2/hari.. Badak 3.17 10.42 a Gajah 3.73 4.05 bc Garuda3 2.84 4.72 bc Jerapah 3.56 3.48 c Kancil 4.00 5.84 bc Kelinci 3.42 5.88 bc Kidang 3.71 3.54 c Mahesa 3.50 3.31 c Panter 3.10 7.76 ab Pelanduk 3.78 7.40 abc Sima 3.58 7.27 abc Turangga 3.14 5.23 bc Rataan 3.5±0.3 5.7±2.2 KK 31.2 37.1 Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%

62 Pada MT-2007, laju akumulasi bahan kering dalam polong tidak berbeda antar varietas, sedangkan pada MT-2010 laju akumulasi bahan kering dalam polong berbeda antar varietas. Pada MT-2010, varietas Badak dan Panter menunjukkan laju akumulasi bahan kering dalam polong lebih baik daripada varietas-varietas lain, kecuali dengan Pelanduk dan Sima (Tabel 23). Nilai Laju Tumbuh Tanaman merupakan penjumlahan laju akumulasi bahan kering tajuk dan laju akumulasi bahan kering dalam polong. Perbandingan rata-rata LTP dengan rataan LTT pada periode yang sama (Tabel 14) menunjukkan bahwa akumulasi bahan kering dalam tajuk pada MT2007 tidak mendominasi akumulasi bahan kering dalam polong (LTT=7.4±1.7; LTP=3.5±0.3), sedangkan pada MT-2010 laju akumulasi bahan kering dalam tajuk jauh lebih besar daripada nilai LTP (LTT=40.1±8.0; LTP=5.7±2.2). Hubungan LTP pada periode 42 dan 56 HST hingga panen dengan bobot polong dan bobot biji/tanaman memiliki korelasi positif. Kekuatan hubungan antara LTP dengan bobot polong sebesar 0.99 dan 0.96, sedangkan dengan bobot biji/tanaman sebesar 0.77 dan 0.60 (Lampiran 11 dan 12). Nilai LTP periode 56 HST hingga panen berkorelasi negatif dengan persentase polong penuh (r = - 0.71), tetapi pada MT-2007, LTP periode 42 HST hingga panen tidak berkorelasi dengan persentase polong penuh. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak tanaman mengakumulasi bahan kering dalam polong, maka hasil polong dan biji cenderung meningkat, akan tetapi terdapat pula kecenderungan jumlah polong penuhnya menurun. Penurunan jumlah polong penuh ini diduga karena asimilat ditempatkan dalam banyak sink (polong/biji). 4.3.4. Kekuatan Sink (Sink Strength) Kekuatan sink menunjukkan kemampuan sink untuk mendapatkan asimilat. Dalam penelitian ini kekuatan sink diamati melalui perbandingan laju akumulasi bahan kering dalam polong atau LTP dengan LTT, serta dari persentase polong penuh yang dihasilkan pertanaman.

63 4.3.4.1. Partition Coefficient Duncan et al. (1978) memperkenalkan koefisien partisi (PC = Partitioning Coefficient) yang merupakan rasio antara Pod Growth Rate (LTP) dan Crop Growth Rate (LTT). Apabila nilai koefisien partisi 1 berarti laju pertambahan berat kering polong lebih besar atau sama dengan laju pertambahan berat kering tanaman. Semakin tinggi nilai koefisien partisi menunjukkan semakin banyak asimilat didistribusikan ke bagian ekonomis. Tabel 24 menyajikan data nilai koefisien pembagian asimilat (PC) antara polong dan total bahan kering tanaman saat panen pada tiap varietas. Pada tabel ini ditunjukkan bahwa nilai koefisien partisi, baik pada MT-2007 (PC periode 42 HST-panen) maupun MT-2010 (PC periode 56-panen), tidak berbeda antar varietas. Hal ini menguatkan dugaan bahwa tidak ada perbedaan antar varietas kacang tanah dalam mendistribusikan bagian asimilat yang diperuntukkan untuk mengisi polong/biji. Nilai PC pada MT-2007 lebih besar daripada MT-2010, akan tetapi bahan kering yang dihasilkan pada MT-2010 lebih besar daripada MT-2007. Tabel 24 Nilai koefisien partisi (PC) kacang tanah pada MT-2007 (PC42-panen) dan MT-2010 (PC56-panen) Varietas PC 42-panen PC 56-panen Badak 0.48 0.17 Gajah 0.57 0.10 Garuda3 0.66 0.14 Jerapah 0.58 0.09 Kancil 0.54 0.13 Kelinci 0.49 0.13 Kidang 0.41 0.09 Mahesa 0.55 0.09 Panter 0.41 0.15 Pelanduk 0.44 0.12 Sima 0.35 0.12 Turangga 0.37 0.13 KK 22.9 25.7 Besarnya bagian asimilat yang didistribusikan untuk polong sejak periode 42 HST dan 56 HST hingga panen (PC 42-panen dan PC 56-panen) nyata berkorelasi positif dengan Indeks Panen (r = 0.86 dan 0.61). Pada MT-2010, PC

64 56-panen juga berkorelasi positif dengan bobot polong/tanaman (r = 0.76), artinya semakin tinggi laju akumulasi bahan kering dalam polong semakin besar kemungkinan tanaman menghasilkan bobot polong/tanaman yang tinggi. 4.3.4.2. Persentase pengisian polong Trustinah (1993) menyatakan bahwa pada saat panen tidak semua polong yang dihasilkan tanaman terisi biji, tanaman akan menghasilkan polong mature, polong immature, polong cipo dan ginofor. Keserempakan pembentukan dan pengisian polong akan menghasilkan lebih banyak polong yang terisi penuh biji, sehingga diharapkan dapat meningkatkan hasil dan kualitas polong. Tabel 25 Persentase polong penuh kacang tanah pada dua musim tanam Varietas MT-2007 MT-2010 Jumlah ginofor 42 HST Jumlah polong /tanaman Polong penuh (%) Jumlah ginofor 42 HST Jumlah polong /tanaman Polong penuh (%) Badak 10.67 17.45 a 70.43 11.50 bc 19.54 66.66 bc Gajah 11.00 15.53 ab 71.44 32.83 a 13.38 72.76 ab Garuda3 13.67 12.38 ab 78.41 24.50 ab 11.90 71.28 abc Jerapah 14.00 16.19 ab 87.21 24.33 ab 12.51 79.20 a Kancil 13.33 16.17 ab 84.83 17.50 bc 16.24 73.74 ab Kelinci 20.67 15.42 ab 63.85 16.17 bc 14.36 65.75 bc Kidang 15.50 14.29 ab 73.52 19.33 abc 10.38 75.72 ab Mahesa 12.00 13.71 ab 85.10 19.00 abc 14.41 72.30 ab Panter 18.17 12.60 ab 71.90 11.83 bc 18.23 64.08 bc Pelanduk 11.17 15.63 ab 81.33 19.67 abc 19.86 68.28 abc Sima 14.67 13.88 ab 62.01 6.83 c 17.18 60.12 c Turangga 13.67 10.75 b 73.16 13.50 bc 11.87 67.74 abc KK 32.8 23.2 12.8 28.2 14.0 6.21 Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5% Rata-rata persentase polong yang terisi penuh pada MT-2007 lebih besar dibandingkan pada MT-2010. Persentase polong penuh pada MT-2007 tidak berbeda antar varietas, sedangkan pada MT-2010 terdapat perbedaan antar varietas. Varietas Jerapah, Kidang, Kancil, Gajah dan Mahesa memiliki persentase polong penuh lebih baik daripada varietas Badak, Kelinci, Panter dan Sima (Tabel 25).

65 Pada MT-2010, polong yang dihasilkan tanaman diduga banyak yang berasal dari ginofor yang terbentuk hingga 42-HST, kecuali pada Badak, Kelinci, Panter dan Sima. Ketiga varietas ini masih perlu menambah polong lagi, yang berakibat waktu pengisian berkurang sehingga polong cenderung banyak yang kurang terisi. Rata-rata persentase polong penuh dari Badak, Kelinci, Panter dan Sima tampak lebih rendah daripada beberapa varietas lainnya. Peningkatan populasi tanaman pada MT-2010 tampaknya meningkatkan pembentukan lebih banyak sink potensial (bunga dan ginofor) per tanaman, tetapi jumlah polong yang dapat diisi lebih sedikit. Kondisi ini sesuai dengan yang dilaporkan Cahaner dan Ashri (1974), dimana pada kerapatan tanaman yang lebih tinggi, bunga dan ginofor lebih banyak dihasilkan tetapi hasil polong tidak meningkat, bahkan ditemukan lebih banyak immature pod atau polong setengah penuh. Hal ini dikarenakan bahan kering yang dihasilkan harus didistribusikan ke lebih banyak polong sehingga tidak cukup untuk pengisian maksimal. Keadaan ini mengindikasikan sink-sink yang ada tidak cukup kuat untuk mendapatkan lebih banyak asimilat (sink limited). Pada MT-2007, banyak varietas yang masih perlu menambah polong setelah 42 HST, tetapi pertanaman menghasilkan lebih sedikit asimilat/bahan kering. Sedikitnya bahan kering ini mengakibatkan perkembangan tajuk, bunga, dan ginofor terhambat, sehingga polong-polong yang sudah terbentuk dapat menjadi sink yang kuat dalam mendapatkan asimilat. Persentase pengisian polong pada sebagian besar varietas pada MT-2007 lebih baik daripada MT-2010. Persentase polong penuh tinggi dapat diperoleh dari jumlah polong total yang relatif lebih sedikit atau karena jumlah polong penuh relatif lebih banyak. Kidang merupakan varietas dengan persentase polong penuh tinggi, tetapi dicapai dengan rata-rata jumlah polong total/tanaman yang rendah. Keadaan ini mengindikasikan adanya kekurangan asimilat untuk pengisian biji pada Kidang. Sementara pada Kancil, persentase polong penuhnya relatif tinggi, hal ini dikarenakan rataan jumlah polong penuh/tanaman relatif banyak dan polong cipo serta ½ penuhnya yang sedikit (Tabel 21 dan 25).

66 4.4. Translokasi asimilat Pengamatan translokasi asimilat dilakukan hanya pada MT-2007 dengan mengukur kandungan TNC dalam daun dan batang pada periode pembentukan polong (42 HST) dan akhir pengisian polong (70 HST). 4.4.1. Kadar Total Non-structural Carbohydrate (TNC) Asimilat yang ditranslokasikan dari source ke sink pada prinsipnya adalah karbon dan nitrogen (Atkins dan Smith 2007). Zheng et al (2001) menyatakan bahwa bentuk asimilat yang diekspor daun kacang tanah dan ditranslokasikan antara source dan sink kemungkinan besar adalah fruktosa. Sukrosa diduga disintesa di batang, akar dan polong. Karbohidrat non-struktural adalah bentuk karbohidrat yang mampu menyediakan energi untuk pertumbuhan. Karbohidrat yang terdapat dalam kelompok Non-structural Carbohydrate terutama terdiri atas pektin, gula dari jenis glukosa, fruktosa, sukrosa dan pati. Streeter dan Jeffers (1979) menyatakan bahwa polong, batang dan petiole merupakan sumber utama karbohidrat untuk pengisian biji kedelai, sedangkan kandungan TNC dalam daun tidak digunakan untuk mendukung perkembangan biji. Dalam percobaan ini pengamatan kadar TNC dalam daun dan batang hanya diukur pada pertanaman MT-2007 dan hanya pada 6 varietas kacang tanah yang berbeda pola pertumbuhannya yaitu Badak, Sima, Gajah, Jerapah, Kidang dan Kelinci. Tabel 26. Kadar TNC dalam daun dan batang pada 42 dan 70 HST Varietas Daun Batang.gram per100 gram bahan.. 42 HST 70 HST Selisih 42 HST 70 HST Selisih Badak 23,94 c 33,98 b 10.04 29,29 31,47 2.18 Gajah 39,26 a 30,26 b (-)9.00 33,04 33,12 0.07 Jerapah 25,32 bc 34,83 b 9.52 36,38 38,45 2.07 Kelinci 35,01 ab 27,37 b (-)7.63 37,18 31,27 (-)5.91 Kidang 34,12 abc 48,55 a 14.43 35,66 42,20 6.54 Sima 26,94 bc 28,76 b 1.81 34,62 32,75 (-)1.88 KK 18.1 11.2 10.6 22.5 Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5% Tabel 26 menyajikan data kadar TNC dalam daun dan batang pada 42 dan 70 HST. Pada tabel ini ditunjukkan bahwa kadar TNC dalam daun pada 42 dan

67 70 HST berbeda antar varietas, sedangkan kadar TNC dalam batang tidak terdapat perbedaan antar varietas. Selisih kadar TNC antara 42 dan 70 HST dalam daun tidak berbeda antar varietas, tetapi selisih kadar TNC dalam batang berbeda antar varietas. Apabila antara kadar TNC pada periode pengisian biji dengan jumlah atau persentase polong penuh berkorelasi nyata positif, maka terdapat kemungkinan aliran asimilat untuk pengisian polong/biji. Kadar TNC batang saat 70 HST ditemukan hanya cenderung berkorelasi positif dengan jumlah polong penuh (P>0,06; r = 0.44). Kadar TNC dalam daun dan batang pada 70 HST umumnya masih meningkat, sehingga diduga asimilat untuk pengisian biji lebih banyak diperoleh dari kegiatan fotosintesis pada periode pengisian polong/biji daripada retranslokasi asimilat. Pada varietas Kidang, Badak, Jerapah dan Gajah terdapat selisih positif antara kadar TNC 42 dan 70 HST dalam batang, sedangkan pada Sima dan Kelinci, kadar TNC pada 70 HST lebih rendah daripada saat 42 HST, sehingga nilai selisihnya negatif (Tabel 26). Persentase polong penuh pada Sima dan Kelinci berada di bawah 70%. Nilai ini lebih rendah daripada persentase polong penuh keempat varietas lainnya. Kondisi ini menimbulkan dugaan bahwa menurunnya kandungan asimilat batang pada 70 HST mengakibatkan penurunan asimilat menuju polong yang berakibat sebagian polong kurang atau tidak terisi. 4.4.2. Translokasi 13 C Pengamatan translokasi karbon dilakukan dengan menggunakan gas isotop 13 C sebagai penjejak. Varietas kacang tanah yang digunakan adalah Sima dan Jerapah. Dua varietas ini dipilih karena keduanya memiliki perbedaan dalam bahan kering yang diakumulasikan, hasil polong dan pengisian polong. Pada setiap kondisi PAR, varietas Sima mempunyai kemampuan fotosintesis yang lebih tinggi daripada Jerapah. Nilai CER dari kedua varietas mencapai maksimum sekitar 4.5 5 µmolco 2 /m 2 /s dengan rata-rata 4,3 µmolco 2 /m 2 /s pada Sima dan 3,3 µmolco 2 /m 2 /s pada Jerapah (Tabel 27). Nilai ini lebih rendah dari yang dicapai oleh varietas kacang tanah yang digunakan Senoo dan Isoda (2003), yang mencapai 8,8 10,4 µmolco 2 /m 2 /s. Hasil CER yang dicapai oleh kedua varietas ini menunjukkan rendahnya fotosintesis kacang tanah

68 yang akan berkontribusi pada rendahnya kemampuan mengakumulasi bahan kering dan produktivitas tanaman. Cuaca pada saat pengukuran tergolong cerah berawan dengan rata-rata PAR sekitar 990,3 µmolco 2 /m 2 /s. Tabel 27. Rata-rata hasil pengukuran kondisi umum tanaman kacang tanah pada fase reproduktif Varietas Suhu udara Suhu daun CER Konduktivitas stomata Transpirasi. o C. µmolco 2 /m 2 /s mmol/ m 2 /s mmol/ m 2 /s Sima 35,8 34,0 4,3 0,3 9,6 Jerapah 36,6 34,6 3,3 0,3 10,3 Selama proses feeding berlangsung, suhu dan kelembaban udara di dalam rak plastik dicatat. Suhu di dalam rak plastik tercatat cukup tinggi, yaitu mencapai 40 41 o C dengan kelembaban udara rata-rata antara 68-78 %. Kondisi di dalam rak plastik ini akan mempengaruhi kecepatan laju pertukaran CO 2 tanaman. Pada Gambar 8 ditunjukkan bahwa peningkatan suhu daun menyebabkan penurunan CER, dengan nilai CER = 20.79 + 0.4879 Tdaun (r 2 = 52.9). Apabila suhu daun mencapai 40 o C, maka CER hanya berkisar 1.27 µmol/m2/s. 7 6 CER = 20.79-0.4879 Tdaun S 0.856715 R-Sq 52.9% R-Sq(adj) 50.7% CER (mmol/m2/s) 5 4 3 2 31 32 33 34 35 Temperatur daun 36 37 Gambar 8 Hubungan meningkatnya suhu daun (T) dengan laju CER. Pada akhirnya rendahnya laju CER ini berdampak pada akumulasi bahan kering tanaman. Rata-rata berat kering tanaman yang diakumulasikan pada umur 10 MST mencapai 25.6 g/tanaman untuk Sima dan 24.2 g/tanaman untuk Jerapah. Hasil ini cukup rendah apabila dibandingkan dengan berat kering tanaman umur

69 10 MST yang dapat dicapai kedua varietas ini pada percobaan-percobaan sebelumnya (tahun 2007 dan 2008). Pada percobaan sebelumnya, berat kering Sima per tanaman pada umur 10 MST dapat mencapai 40 50 g, sedangkan Jerapah mencapai 30-35 g/tanaman. Rendahnya berat kering yang dihasilkan tanaman ini diduga karena tanaman mendapat perlakuan pindah tanam (transplanting) dan karena tanaman diletakkan di lokasi yang tidak mendapat sinar matahari langsung selama 2 minggu dengan maksud untuk mengurangi deraan stress akibat pindah tanam. Data pengukuran kadar 13 C dalam tiap bagian tanaman pada 1, 2 hingga 4 hari setelah feeding diperoleh hasil disajikan pada Tabel 28. Satu hari setelah feeding, 13 C ditemukan di semua bagian tanaman. Rata-rata rasio 13 C/ 12 C (δ 13 C) dan nilai % 13 C atom excess pada varietas Jerapah lebih tinggi daripada Sima. Tanaman memfiksasi karbon dari CO 2 udara dalam proses fotosintesis untuk diubah menjadi senyawa berkarbon. Sebagian besar unsur karbon (98,894%) di atmosfir memiliki berat atom 12, akan tetapi secara alami atmosfir juga mengandung karbon dengan berat atom 13 (1,106%). Untuk melihat kandungan atom 13 C dalam tanaman dapat diperoleh dengan mengukur selisih kandungan atom 13 C dalam tanaman dengan kandungan atom 13 C dalam atmosfir yang disebut dengan 13 C % atom excess. Gambar 9 memperlihatkan nilai 13 C % atom excess varietas Sima dan Jerapah. Kedua gambar tersebut menunjukkan bahwa nilai 13 C % atom excess pada kedua varietas menurun dengan lamanya hari pengamatan. Penurunan nilai isotop 13 C excess dapat disebabkan oleh: (1) tanaman melakukan fotosintesis, sehingga konsentrasi 12 C dalam tanaman meningkat; (2) sejumlah karbon ditranslokasikan ke dalam batang, akar dan polong sehingga mengurangi kadar 13 C di dalam daun; (3) kegiatan respirasi. Atom isotop 13 C juga ditemukan dalam akar, keadaan ini menunjukkan bahwa akar mendapat suplai karbon hasil fotosintesis dari tajuk. Laju penurunan δ 13 C pada akar jauh lebih kecil dibandingkan bagian tanaman lain dan nilainya relatif sebanding pada Sima dan Jerapah.

70 0.50 Batang (a) % 13 C atom excess 0.40 0.30 0.20 0.10 Daun Akar Polong 0.00 1 2 4 hari (b) % 13 C atom excess 0.70 0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 Batang Daun Akar Polong 0.00 1 2 4 hari Gambar 9 Nilai % 13 C atom excess dalam tanaman kacang tanah varietas Sima (a) dan Jerapah (b). Adanya translokasi karbon, misalnya dari daun ke batang, maka akan menambah nilai 13 C % atom excess dalam batang sehingga mengurangi laju penurunannya. Translokasi atom isotop 13 C mengakibatkan laju penurunan pada pengamatan 2-4 hari setelah feeding lebih kecil daripada laju penurunan pada pengamatan 1-2 hari. Pada varietas Sima (Gambar 9a), sebagian 13 C ditranslokasikan dari daun ke batang dan kemudian ke akar dan polong sehingga laju penurunan 13 C % atom excess pada batang dan polong melambat. Penurunan 13 C % atom excess seperti yang ditunjukkan Sima mirip dengan penurunan 13 C % atom excess pada penelitian Inanaga dan Yoshihara (1997), meskipun dengan varietas yang berbeda. Kandungan 13 C % atom excess pada daun lebih rendah daripada batang dan polong. Hal ini dikarenakan daun memindahkan hasil fotosintesis ke batang, akar dan polong serta melakukan respirasi.

71 Tabel 28. Nilai 13 C % atom excess dan selisih perubahannya dalam tiap bagian tanaman Varietas Waktu Batang Daun Akar Polong Pengamatan % 13 C Δ % 13 C Δ % 13 C Δ % 13 C Δ Sima 1 hari 0,44 0,27 0,14 0,31 2 hari 0,36 0,08 0,15 0,11 0,12 0,02 0,20 0,10 4 hari 0,32 0,04 0,10 0,05 0,10 0,01 0,17 0,03 Jerapah 1 hari 0,64 0,43 0,13 0,32 2 hari 0,52 0,12 0,37 0,05 0,10 0,02 0,27 0,05 4 hari 0,29 0,23 0,31 0,06 0,09 0,01 0,19 0,08 Perubahan 13 C dalam bagian tanaman dapat dilihat pula dengan menggunakan perhitungan kandungan 13 C berdasarkan berat (gram), seperti disajikan pada Gambar 10. Pada Gambar 10a, kadar 13 C dalam daun, batang dan polong Sima meningkat pada pengamatan hari ke 2, walaupun perbandingan 13 C dan 12 C (% atom 13C excess) menurun. Pada pengamatan hari ke 4, kadar 13 C dalam kandungan karbon daun, batang dan polong Sima berkurang. Hal ini mengindikasikan adanya translokasi 13 C antara daun, batang dan polong, akan tetapi karena tidak ada penambahan 13 C lagi, maka pada hari ke 4 kandungan 13 C menurun. Kandungan 13 C dalam batang Sima sedikit lebih tinggi daripada polongnya. Keadaan ini menunjukkan bahwa batang masih merupakan pesaing polong dalam mendapatkan asimilat dari daun. Pada akar Sima, kadar 13 C dalam kandungan karbonnya terus menurun, yang kemungkinan dikarenakan kegiatan respirasi. Pada varietas Jerapah, laju penurunan nilai 13 C % atom excess pada batang dan polong pengamatan hari 2-4 hampir 2 kali lebih tinggi daripada laju penurunan hari 1-2 (Gambar 10b). Kadar 13 C di dalam karbon daun, batang, akar dan polong Jerapah terus meningkat selama pengamatan (Gambar 10b). Kandungan 13 C dalam polong Jerapah lebih tinggi daripada batang walaupun pada pengamatan hari ke 4 kandungan 13 C dalam polong dan batang hampir sama. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa translokasi 1 3C antar bagian masih terus terjadi, dan bagian bawah tanaman (akar dan polong) mampu mendapatkan 13 C lebih banyak.

72 (a) Kadar 13 C (g) 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 1 2 4 hari Batang Daun Akar Polong (b) Kadar 13 C (g) 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 1 2 4 hari Batang Daun Akar Polong Gambar 10 Kandungan 13 C (g) dalam bagian tanaman kacang tanah varietas Sima (a) dan Jerapah (b). Hasil dari percobaan ini menunjukkan bahwa aktivitas fotosintesis selama periode pengisian biji merupakan penyuplai utama kebutuhan asimilat untuk pengisian biji kacang tanah, baik pada Sima maupun Jerapah. Perbedaan pola penurunan kadar 13 C kemungkinan lebih disebabkan Jerapah memiliki lebih banyak cabang dan tinggi batang utamanya lebih rendah dibandingkan Sima. 4.5. Peran Source dan Sink dalam Mendukung Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kedua belas varietas kacang tanah yang diuji kemudian dibandingkan berdasarkan karakter-karakter yang ditunjukkan pada dua MT. Data gabungan dari kedua MT yang memiliki ragam homogen, hasil korelasi dan analisis ragam gabungan seperti yang disajikan pada Lampiran 6 dan 7 digunakan sebagai acuan untuk menentukan karakter-karakter yang akan diperbandingkan. Karakter produksi tanaman yang digunakan adalah bobot polong/tanaman, Indeks Panen dan persentase polong penuh. Terdapat korelasi nyata positif antara bobot polong

73 dan bobot biji/tanaman (r = 0.78), tetapi tidak ditemukan adanya korelasi antara karakter produksi lainnya. 4.5.1. Perbandingan Varietas Berdasarkan Bobot Polong Per Tanaman Bobot polong/tanaman diketahui berkorelasi positif dengan karakter kapasitas sink yaitu jumlah polong, jumlah polong penuh, dan bobot biji/tanaman dengan koefisien korelasi berturut-turut 0.83, 0.72 dan 0.78 (Lampiran 7). Karakter jumlah polong/tanaman berkorelasi negatif dengan ILD 42 HST (r = - 0.66) dan berkorelasi positif dengan jumlah polong penuh (r = 0.86), sedangkan bobot biji/tanaman berkorelasi positif dengan jumlah polong pada 70 HST (r = 0.71). Hasil sidik ragam dari karakter ILD 42 HST dan jumlah polong/tanaman dari dua musim tanam menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan perbedaan antar varietas (Pr>F 0.062 dan 0.074) (Lampiran 6). Tabel 29 menyajikan data rataan nilai ILD 42 HST, jumlah polong, bobot polong dan bobot biji/tanaman dari dua musim tanam. Tabel 29. Rata-rata nilai ILD 42 HST, jumlah polong per tanaman, bobot polong dan bobot biji per tanaman dari dua musim tanam Varietas ILD 42 HST Jumlah polong 70HST Jumlah polong /tanaman Bobot polong /tanaman Bobot biji /tanaman Badak 1.02 11.33 cd 18.49 17.74 9.25 Gajah 2.02 15.08 a-d 14.45 15.23 10.12 Garuda3 2.29 15.08 a-d 12.14 13.27 8.84 Jerapah 1.95 14.08 a-d 14.35 13.89 9.32 Kancil 1.91 19.83 a 16.20 16.76 11.30 Kelinci 1.01 15.83 abc 14.89 14.45 9.59 Kidang 1.95 15.17 a-d 12.34 13.93 8.18 Mahesa 1.78 9.92 d 14.06 13.80 8.46 Panter 1.37 17.17 abc 15.41 16.29 10.57 Pelanduk 1.80 18.00 ab 17.74 17.74 11.07 Sima 1.59 13.55 bcd 15.53 16.95 10.48 Turangga 1.48 13.25 bcd 11.31 13.64 9.15 KK 14.9 29.2 9.7 31.3 35.4 Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%

74 Dengan menggunakan kriteria jumlah polong/tanaman sebesar 15 polong, varietas-varietas kacang tanah dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok pertama terdiri atas Badak, Pelanduk, Kancil, Sima dan Panter yang menghasilkan rata-rata jumlah polong/tanaman diatas 15 polong, dan kelompok kedua terdiri atas Kelinci, Jerapah, Gajah, Mahesa, Kidang, Garuda3 dan Turangga, yang rata-rata jumlah polongnya kurang dari 15 polong. Gambar 11 menunjukkan bahwa, semakin banyak jumlah polong/tanaman, maka semakin baik produksi polong/tanaman. Varietas-varietas kelompok pertama juga menghasilkan bobot polong antara 16.0-18.0 gram/tanaman, sedangkan kelompok kedua menghasilkan antara 13.0-15.5 gram, sehingga dapat dikatakan varietas-varietas kelompok pertama memiliki kapasitas sink lebih baik daripada varietas-varietas kelompok kedua. Jumlah polong/tanaman 19 18 17 16 15 14 13 12 Jerapah Mahesa Kidang Garuda3 Turangga 11 13 14 Badak Pelanduk Kancil Panter Sima Kelinci Gajah 15 16 17 Bobot polong/tanaman (gram) 18 Gambar 11 Perbandingan varietas berdasarkan bobot dan jumlah polong per tanaman. Dari hasil uji ragam diperoleh bahwa tidak terdapat pengaruh varietas/genetik terhadap karakter bobot polong/tanaman, akan tetapi dari karakter-karakter yang mempengaruhi bobot polong/tanaman diketahui bahwa karakter jumlah polong/tanaman dipengaruhi oleh faktor genetik (Lampiran 6). Hal ini berarti banyaknya polong yang dapat dihasilkan tanaman jumlahnya dikendalikan secara genetik. Salah satu kriteria seleksi kacang tanah untuk

75 mendapatkan galur-galur baru yang selalu digunakan adalah jumlah polong/tanaman (>15 20 polong/tanaman) (Rais, A 2007, komunikasi pribadi). 19 Badak 18 Pelanduk Jumlah polong/tanaman 17 16 15 14 13 12 Kelinci Panter Sima Turangga Kancil Jerapah Mahesa Kidang Gajah Garuda3 11 1.0 1.2 1.4 1.6 1.8 ILD 42 HST 2.0 2.2 2.4 Gambar 12 Perbandingan varietas berdasarkan ILD 42 HST dan jumlah polong per tanaman. Apabila rataan ILD yang dicapai tanaman pada 42 HST diatas 1.7 digunakan sebagai kriteria batas pengelompokkan, maka varietas yang termasuk dalam kelompok dengan bobot polong dan jumlah polong per tanaman tinggi dan mempunyai ILD 42 HST diatas 1.7 adalah Pelanduk dan Kancil. Sima, Panter dan Badak tergolong menghasilkan ILD 42 HST yang rendah. Dari kelompok dengan bobot polong rendah didapatkan Garuda3, Gajah, Jerapah, Kidang dan Mahesa tergolong menghasilkan ILD 42 HST tinggi, sedangkan Turangga dan Kelinci tergolong menghasilkan ILD 42 HST yang rendah (Gambar 12). Nilai ILD 42 HST berkorelasi positif dengan bobot kering batang dan daun pada 42 HST (r = 0.54 dan 0.83) (Lampiran 9), sehingga varietas dengan ILD 42HST yang tinggi dapat diduga menghasilkan bobot kering batang dan daun pada 42 HST yang juga tinggi, begitupun sebaliknya (Gambar 13). Varietas dengan nilai ILD dan bobot kering tajuk pada 42 HST yang tinggi dapat dikelompokkan sebagai varietas dengan kapasitas source pada fase awal pembentukan dan pengisian biji yang tinggi, sebaliknya varietas dengan nilai ILD dan bobot kering tajuk pada 42 HST yang rendah dikelompokkan sebagai varietas dengan kapasitas source rendah. Luas dan bobot kering daun merupakan karakter

76 yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, walaupun pada karakter bobot kering batang 42 HST terdapat pengaruh genetik hanya saja nilainya kecil (11.6%). 12 Bobot kering tajuk 42HST (gram) 11 10 9 8 7 6 Kelinci Turangga Sima Panter Gajah Kidang Mahesa Kancil Pelanduk Jerapah Garuda3 5 Badak 1.0 1.2 1.4 1.6 1.8 ILD 42 HST 2.0 2.2 2.4 Gambar 13 Perbandingan varietas berdasarkan ILD 42 HST dan bobot kering tajuk (batang dan daun) per tanaman 42 HST. Tanaman membutuhkan kesiapan source/tajuk untuk dapat menghasilkan banyak asimilat, sehingga polong yang dihasilkan dapat diisi dengan maksimal. Dari kelompok dengan varietas yang memiliki kapasitas source tinggi pada periode awal pembentukan dan pengisian biji (42 HST) hanya varietas Kancil dan Pelanduk yang termasuk menghasilkan bobot polong/tanaman relatif tinggi. ILD, bobot batang dan daun pada 42 HST tidak berkorelasi dengan ILD, bobot batang dan daun pada 70 HST (Lampiran 9). Berdasarkan korelasi ini diduga terdapat varietas yang pertumbuhan awalnya lambat, akan tetapi pada saat memasuki fase pembentukan polong dan pengisian biji, pertumbuhannya terus meningkat dan menghasilkan polong dan biji yang hasilnya setara dengan varietas yang pertumbuhan awal generatif relatif lebih cepat. Hasil polong dan biji/tanaman dalam penelitian ini tidak menunjukkan adanya perbedaan antar varietas, akan tetapi dilihat dari nilai rataannya tampak bahwa kelompok yang menghasilkan bobot polong lebih baik tidak selalu hasil bijinya juga tinggi. Hal ini dikarenakan bobot biji dipengaruhi oleh genetik. Terdapat varietas yang secara genetik dapat menghasilkan bobot biji besar atau sebaliknya. Badak merupakan satu-satunya varietas dalam kelompok pertama yang bobot bijinya rendah, sedangkan Gajah merupakan satu-satunya varietas dari

77 kelompok kedua yang hasil biji/tanaman termasuk tinggi (Gambar 14). Bobot 100 biji Badak tergolong kecil dan Gajah tergolong besar (Tabel 18). Bobot biji besar berarti dibutuhkan asimilat untuk pengisian biji yang lebih banyak pada jumlah sink yang sama. 18 Badak Pelanduk Bobot polong/tanaman (gram) 17 16 15 14 Kidang Mahesa Turangga Garuda3 Kelinci Jerapah Gajah Sima Panter Kancil 13 8.0 8.5 9.0 9.5 10.0 10.5 Bobot biji/tanaman (gram) 11.0 11.5 Gambar14 Perbandingan varietas berdasarkan bobot polong per tanaman dan bobot biji per tanaman. 4.5.2. Perbandingan Varietas Berdasarkan Indeks Panen Indeks panen kacang tanah pada dua lokasi tanam berkorelasi negatif dengan ILD pada 70 HST (r = -0.86) (Lampiran 9). Ini berarti semakin tinggi ILD pada periode akhir pengisian biji (70 HST), semakin rendah Indeks Panennya atau dapat diartikan makin sedikit proporsi bahan kering yang dialokasikan untuk pengisian biji/polong. Tabel 30 menyajikan data rataan bobot kering tajuk dan ILD pada 70 HST serta nilai Indeks Panen kacang tanah dari dua musim tanam. Karakter Indeks Panen dipengaruhi oleh genetik (Lampiran 6). Dalam penelitian ini, Indeks Panen pertanaman kacang tanah mencapai kisaran 0.38 ± 0.05. Hasil ini lebih baik dari yang dilaporkan oleh Bell dan Wright (1997), yang menyebutkan rata-rata Indeks Panen kacang tanah di Indonesia rata-rata hanya mencapai 0.31. Dalam penelitian ini, varietas Garuda3, Gajah, Badak menunjukkan rata-rata nilai Indeks Panen dari dua musim tanam yang nyata lebih tinggi daripada Sima, Turangga, Pelanduk dan Kidang.

78 Tabel 30. Rata-rata bobot kering tajuk (batang dan daun) 70 HST, ILD 70 HST dan Indeks Panen kacang tanah dari dua musim tanam Var BK batang 70 HST BK daun 70 HST ILD 70 HST Indeks Panen Badak 10.14 e 7.22 de 3.65 0.42 ab Gajah 13.38 b-e 7.95 cde 4.17 0.43 ab Garuda3 11.30 de 6.52 e 3.20 0.46 a Jerapah 12.70 cde 7.49 cde 5.67 0.39 abc Kancil 16.38 abc 8.34 b-e 3.81 0.40 abc Kelinci 10.83 e 9.11 b-e 4.34 0.37 a-d Kidang 18.42 a 10.13 a-d 5.34 0.30 d Mahesa 14.43 a-e 9.01 b-e 4.95 0.37 bcd Panter 11.95 cde 10.31 a-d 3.97 0.40 abc Pelanduk 17.34 ab 11.22 abc 6.32 0.32 cd Sima 17.47 ab 13.25 a 5.55 0.33 cd Turangga 15.14 a-d 11.56 ab 5.30 0.33 cd KK 24.4 26.4 16.5 17.6 Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5% Pada 70 HST rataan ILD dari seluruh varietas yang diuji sudah mencapai 4.7 ± 0.96. Kiniry et al. (2005) menemukan ILD kacang tanah pada berbagai lokasi di Texas USA pada satu musim berkisar antara 5 6. Apabila nilai ILD 70 HST mencapai 5 digunakan sebagai standar pengelompokkan maka dari kelompok pertama dengan kapasitas sink tinggi, varietas Sima dan Pelanduk termasuk yang menghasilkan nilai ILD pada 70 HST yang tinggi, sedangkan Panter, Kancil dan Badak menghasilkan ILD 70 HST kurang dari 5 (Gambar 15). Dari kelompok kedua, Turangga, Kidang dan Jerapah termasuk yang menghasilkan ILD 70 HST yang tinggi, sedangkan Gajah dan Garuda3 termasuk yang menghasilkan ILD 70 HST rendah. Mahesa dan Kelinci merupakan anggota kelompok kedua yang menghasilkan ILD 70 HST dan Indeks Panen yang tergolong rendah.

79 0.48 0.46 Garuda3 Indeks Panen 0.44 0.42 0.40 0.38 0.36 Badak Kancil Gajah Panter Kelinci Mahesa Jerapah 0.34 0.32 0.30 TuranggaSima Kidang Pelanduk 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 ILD70 HST 5.5 6.0 6.5 Gambar 15 Perbandingan varietas berdasarkan ILD 70 HST dan nilai Indeks Panen kacang tanah. Berdasarkan Lampiran 8 dan 9, nilai ILD 70 HST berkorelasi positif dengan bobot batang dan daun pada 70 HST ( r = 0.57, 0.94, 0,74, 0.67), sehingga varietas-varietas yang menghasilkan nilai ILD 70 HST tinggi dapat digolongkan memiliki kapasitas source pada periode akhir pengisian biji (70 HST) yang tinggi. Dari kelompok dengan kapasitas source pada 42 HST yang rendah, Sima dan Turangga merupakan varietas yang pada saat memasuki periode pembentukan dan pengisian biji juga mengakumulasi bahan kering dalam tajuk yang tinggi sehingga pada akhir periode pengisian biji (70 HST) kapasitas sourcenya tergolong lebih tinggi daripada varietas lain. Varietas Kancil, Garuda3 dan Gajah yang pada saat 42 HST tergolong varietas dengan kapasitas source tinggi, pada periode akhir pengisian kapasitas sourcenya relatif lebih rendah daripada varietas lainnya. Hal ini mengindikasikan adanya penekanan akumulasi bahan kering dalam tajuk. Varietas Badak, Panter dan Kelinci tergolong varietas dengan kapasitas source rendah pada awal periode pembentukan dan pengisian biji (42 HST) dan kapasitas sourcenya tetap tergolong rendah pada periode akhir pengisian biji (70 HST).

80 4.5.3. Perbandingan Varietas Berdasarkan Persentase Polong Penuh Per Tanaman Karakter persentase polong penuh nyata berkorelasi positif dengan karakter kapasitas source bobot kering batang pada 42 HST (r = 0.68) dan sangat nyata berkorelasi negatif dengan karakter kapasitas sink jumlah ginofor pada 70 HST (r = -0.86) (Lampiran 7). Dengan demikian kemampuan tanaman untuk mengisi polong dapat dilihat dari peubah karakter persentase polong penuh, bobot batang 42 HST dan jumlah ginofor 70 HST. Walaupun nilainya kecil, karakterkarakter ini dipengaruhi oleh genetik (Lampiran 6). Hasil uji ragam gabungan pada dua musim tanam didapatkan adanya perbedaan antara varietas pada peubah persentase polong penuh, bobot batang 42 HST dan jumlah ginofor 70 HST (Tabel 31). Apabila 70 persen polong yang dihasilkan tanaman saat panen terisi penuh dan bobot kering batang 42 HST mencapai 4.0 digunakan sebagai kriteria, maka 8 varietas tergolong menghasilkan rata-rata persentase polong penuh diatas 70% dengan bobot kering batang yang relatif tinggi pada 42 HST. Hanya 4 varietas yang persentase polong penuhnya dibawah 70% dan bobot kering batangnya pada 42 HST rendah (Gambar 16). Tabel 31. Rata-rata nilai bobot batang pada 42 HST, jumlah ginofor pada 70 HST dan persentase polong penuh kacang tanah pada dua musim tanam Varietas Bobot batang 42 HST Jumlah ginofor 70 HST % polong penuh Badak 2.56 d 40.58 abc 68.54 b-e Gajah 5.22 ab 31.25 bcd 72.10 bcd Garuda3 4.29 abc 23.92 d 74.85 a-d Jerapah 4.45 abc 22.67 d 83.20 a Kancil 4.48 abc 30.67 bcd 79.28 ab Kelinci 3.07 cd 45.17 ab 64.80 de Kidang 5.65 a 33.75 bcd 74.62 a-d Mahesa 4.76 abc 30.00 cd 78.70 abc Panter 3.54 bcd 49.92 a 67.99 cde Pelanduk 4.28 abc 45.00 ab 74.81 a-d Sima 3.81 bcd 43.17 abc 61.06 e Turangga 4.18 a-d 40.17 abc 70.45 bcde KK 30.7 29.9 11.0 Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%

81 Pada MT-2010, bobot batang 42 HST nyata berkorelasi positif dengan jumlah cabang (Lampiran 9). Ini berarti terdapat kecenderungan tanaman dengan jumlah cabang banyak memiliki bobot batang tinggi. Inanaga dan Yoshihara (1997) menyatakan bahwa daun-daun dalam batang utama merupakan penyuplai asimilat untuk pengisian biji, sedangkan daun-daun pada cabang menghasilkan asimilat untuk kebutuhan akar dan bintil akar. Kondisi ini diduga yang menyebabkan adanya hubungan korelasi positif antara bobot batang 42 HST dengan persentase polong penuh. Polong-polong pada varietas dengan bobot batang tinggi dan jumlah cabang banyak pada awal pembentukan ginofor (42 HST) akan mendapatkan cukup asimilat untuk mengisi tanpa harus bersaing dengan bagian tanaman yang lain. 85 Jerapah 80 Kancil Mahesa %-ase polong penuh 75 70 65 Badak Kelinci Panter Pelanduk Garuda3 Turangga Gajah Kidang Sima 60 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 Bobot Kering Batang 42HST 5.5 6.0 Gambar 16 Perbandingan varietas berdasarkan bobot kering batang 42 HST dan persentase polong penuh per tanaman. Badak, Sima, Kelinci dan Panter, selain memiliki bobot kering 42 HST yang rendah, varietas-varietas ini juga menghasilkan jumlah ginofor pada 70 HST yang lebih banyak daripada varietas-varietas yang menghasilkan persentase polong lebih dari 70% (Gambar 17). Pelanduk merupakan satu-satunya varietas dengan bobot batang 42 HST, yang jumlah ginofor pada 70 HST dan persentase polong penuhnya tergolong tinggi.

82 85 Jerapah 80 Kancil Mahesa %-ase polong penuh 75 70 65 Garuda3 Gajah Kidang Turangga Badak Pelanduk Kelinci Panter Sima 60 20 25 30 35 40 Jumlah ginofor 70HST 45 50 Gambar 17 Perbandingan varietas berdasarkan jumlah ginofor 70 HST dan persentase polong penuh per tanaman. Bunga dan ginofor kacang tanah terbentuk terus dengan pertambahan umur tanaman. Dalam hierarki sink, polong yang sudah terbentuk lebih dahulu merupakan sink yang kuat (Wardlaw 1990), sedangkan ginofor yang muncul kemudian kemungkinan tidak akan membentuk polong (Trustinah 1993). Banyaknya ginofor tampaknya akan menjadi masalah karena menjadi pesaing bagi polong yang sedang mengisi. Hal ini dimungkinkan karena letak polong di dalam tanah dan berada pada buku-buku yang lebih bawah daripada ginofor yang lebih muda. Wardlaw (1990) menyebutkan bahwa akar merupakan kompetitor asimilat yang lemah, walaupun beberapa umbi menunjukkan sebagai sink dominan. 4.5.4. Matrik Perbandingan Varietas Berdasarkan perbandingan varietas, keduabelas varietas yang diuji kemudian dimasukkan dalam suatu matrik dan hasilnya ditampilkan dalam Tabel 32. Varietas dengan bobot polong/tanaman yang relatif lebih baik ditandai dengan kemampuan menghasilkan jumlah polong/tanaman lebih dari 15 polong. Varietas-varietas ini ada yang mampu mendistribusikan bahan kering lebih banyak ke dalam polong (Indeks Panen tinggi), atau menghasilkan bahan kering yang lebih besar dengan jumlah dan bobot polong yang relatif sama dengan varietas yang IP-nya tinggi (Indeks Panen rendah).

83 Empat dari lima varietas, yaitu Badak, Panter, Sima dan Pelanduk, yang memiliki rataan bobot polong dan jumlah polong/tanaman relatif lebih baik daripada ketujuh varietas lainnya, menghasilkan jumlah ginofor pada periode akhir pengisian biji (70 HST) yang tinggi pula. Polong-polong yang terbentuk lebih dahulu telah menjadi sink yang dominan sehingga tanaman hanya mampu menghasilkan bunga dan ginofor. Badak, Panter dan Sima dengan jumlah ginofor yang tinggi, menunjukkan persentase pengisian polong penuh yang tergolong rendah. Hal ini dikarenakan ginofor yang terus terbentuk selama periode pengisian biji akhirnya menjadi pesaing bagi polong yang sedang mengisi untuk mendapatkan asimilat. Kancil dan Pelanduk menunjukkan pola pertumbuhan yang berbeda dengan ketiga varietas lainnya karena kedua varietas ini tergolong mampu cepat tumbuh mengumpulkan bahan kering pada awal fase generatif (ILD dan bobot batang 42 HST), sehingga diduga dapat segera mengisi polong yang sudah terbentuk. Lamanya fase pengisian polong mengakibatkan lebih banyak polong yang dapat terisi penuh. Hal ini dikarenakan lamanya periode pengisian polong merupakan salah satu karakter yang menentukan hasil polong (Duncan et al. 1978; Ketring et al. 1982). Tanaman yang mendistribusikan asimilat lebih banyak ke dalam polong (indeks panen tinggi) tidak berarti persentase polong penuhnya tinggi. Dua dari lima varietas yang nilai indeks panennya tinggi, yaitu Badak dan Panter, memiliki persentase polong penuh rendah. Hal ini diduga karena kedua varietas ini tidak tergolong varietas yang memiliki kemampuan source yang tinggi (kapasitas dan aktivitas), tetapi mampu menghasilkan banyak polong, sehingga terkendala asimilat yang dapat didistribusikan untuk pengisian polong (source limited).

84 84 Tabel 32. Matrik perbandingan karakter dua belas varietas kacang tanah Varietas Bobot Kering Batang 42 HST ILD 42 HST ILD 70 HST Jumlah ginofor 70 HST Jumlah polong /tanaman Persentase Polong penuh Indeks Panen Bobot polong /tanaman Badak O O O T T O T T Gajah T T O O O T T O Garuda3 T T O O O T T O Jerapah T T T O O T O O Kancil T T O O T T T T Kelinci O O O T O O O O Kidang T T T O O T O O Mahesa T T T O O T O O Panter O O O T T O T T Pelanduk T T T T T T O T Sima O O T T T O O T Turangga T O T T O T O O Keterangan : T = tinggi O = rendah

85 Tanaman yang cepat menghasilkan ILD tinggi pada awal fase generatif berarti mampu menghasilkan bahan kering tinggi yang kemudian tersimpan dalam batang dan daun. Terdapat tujuh varietas yang menghasilkan bobot kering batang tinggi pada 42 HST dan menunjukkan persentase pengisian polong penuh yang tinggi, akan tetapi karena banyak yang tidak mampu menghasilkan jumlah polong yang banyak maka hasil polongnya relatif rendah. Hanya Kancil dan Pelanduk dari ketujuh varietas tersebut, yang menghasilkan bobot batang pada awal generatif tinggi, menghasilkan jumlah polong dan bobot polong relatif lebih baik dengan persentase polong penuh yang tinggi. Pengisian polong pada Pelanduk diduga masih terkendala oleh persaingan asimilat dengan tajuk yang terus tumbuh cepat hingga akhir fase pengisian (ILD dan jumlah ginofor 70 HST), sedangkan Kancil lebih efisien dilihat dari nilai IP-nya yang tinggi. Terdapat varietas yang cenderung lambat pertumbuhannya pada fase awal generatif, tetapi kemudian pertambahan bahan kering terus terjadi dengan cepat bahkan hingga akhir fase pengisian, ditunjukkan dengan tingginya nilai ILD, bobot kering batang dan daun serta jumlah ginofor pada 70 HST. Sima dan Turangga menunjukkan pola pertumbuhan tersebut tetapi Sima menghasilkan bobot polong/tanaman lebih baik dari Turangga karena jumlah polong/tanaman Sima lebih baik. Besarnya bahan kering yang dihasilkan Sima tidak mampu didistribusikan dengan lebih baik ke dalam polong-polong yang tersedia, menunjukkan polong-polong kacang tanah bukan sink yang cukup kuat untuk mendapatkan asimilat. Letak sink (polong) yang berada dibawah permukaan tanah diduga merupakan penyebabnya. Pola translokasi asimilat dari source ke sink mengikuti pola kedekatan lokasi source dan sink, perkembangan organ dan hubungan pembuluh (Wardlaw 1990; Taiz dan Zeiger 2002). Tajuk, bunga dan ginofor yang terus muncul menjadi pesaing polong untuk asimilat, lokasi polong diduga membuat polong menjadi lebih sulit mendapatkan asimilat dibandingkan misalnya polong kedelai yang tumbuh di batang. Taiz dan Zeiger (2002) juga menyatakan bahwa mengurangi daun-daun dibagian bawah dapat memaksa daun-daun bagian atas untuk mentranslokasikan lebih banyak asimilat ke bagian akar.

86 Dari keduabelas varietas yang diuji hanya Kelinci yang karakter-karakter pertumbuhan dan hasilnya relatif lebih rendah daripada varietas lainnya. Varietas ini cenderung lambat mengumpulkan bahan kering pada awal fase generatif tetapi pertambahan bahan keringnya hingga akhir fase pengisian juga tergolong rendah. Rata-rata jumlah polong yang dihasilkan Kelinci 14.5 polong/tanaman tetapi diduga karena kemampuan menghasilkan bahan kering kurang ditambah persaingan dari ginofor yang jumlahnya tinggi mengakibatkan banyak polong kurang terisi penuh dan bobot polong tergolong rendah. Varietas kacang tanah dengan bobot polong tinggi terutama ditentukan oleh jumlah polongnya yang tinggi, sedangkan kualitas pengisian polong yang baik (persentase polong penuh >70%) ditentukan oleh kemampuan tanaman menghasilkan ILD tinggi pada awal fase generatif (42 HST) atau distribusi asimilat (indeks panen) tinggi. Dari pengamatan dapat dikatakan bahwa, produktivitas kacang tanah nasional, salah satunya, lebih ditunjang oleh peningkatan jumlah polong/tanaman daripada peningkatan indeks panen. 4.6. Sidik Lintas Bagaimana karakter-karakter pertumbuhan mempengaruhi produksi dapat dipelajari dengan mengukur besarnya pengaruh atau hubungan karakter tersebut terhadap karakter hasil tanaman. Menggunakan koefisien korelasi Pearson saja tidak cukup untuk menerangkan hubungan antara karakter-karakter pertumbuhan dengan produksi tanaman, karena korelasi Pearson hanya menjelaskan tingkat keeratan antara karakter-karakter yang diuji tidak menjelaskan hubungan sebab akibat dari kekeratan hubungan karakter-karakter tersebut (Rohaeni 2010). Untuk itu karakter-karakter yang diduga mempengaruhi hasil/produksi polong tanaman disusun dan dianalisis menggunakan analisis sidik lintas sehingga menjadi suatu model yang diharapkan dapat menerangkan apakah suatu karakter dalam model tersebut berpengaruh langsung atau tidak terhadap produksi tanaman. Pada analisis sidik lintas, produksi tanaman berupa bobot polong/tanaman, bobot biji/tanaman, Indeks Panen dan persentase polong penuh ditempatkan secara bergantian sebagai variabel tak bebas sedangkan komponen karakter yang lain menjadi variabel bebas. Komponen karakter yang menjadi variabel bebas

87 yang digunakan adalah karakter-karakter yang memiliki korelasi nyata dengan karakter variabel tak bebas berdasarkan uji Pearson. Pemahaman mengenai karakter yang berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap produksi tanaman dibutuhkan, misalnya untuk menentukan karakter yang dapat digunakan secara efektif untuk melakukan seleksi atau untuk digunakan sebagai subjek yang dieksploitasi dalam perbaikan teknik produksi tanaman untuk menjamin peningkatan produksi. 4.6.1. Sidik Lintas Bobot Polong Per Tanaman Lampiran 12 menyajikan hasil sidik lintas yang menunjukkan karakterkarakter yang berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap hasil polong/tanaman (bobot polong/tanaman) dengan pengaruh sisaan yang tidak dapat dijelaskan dengan model tersebut, sebesar 1.1 %. Dengan hanya mengambil karakter-karakter yang nilai korelasinya tinggi maka tampak pada Gambar 18 bahwa bobot polong/tanaman dipengaruhi langsung positif oleh banyaknya polong yang dihasilkan tanaman (jumlah polong/tanaman), bobot 100 butir biji dan jumlah ginofor pada 70 HST. Bobot kering batang pada 42 HST merupakan karakter yang mempengaruhi bobot polong/tanaman secara positif melalui pengaruhnya terhadap bobot 100 biji, akan tetapi bobot kering 42 HST juga dapat menekan bobot polong/tanaman (walaupun nilai koefisien/nilai pengaruhnya kecil) melalui jumlah ginofor yang muncul pada 70 HST. Bobot kering batang berkorelasi positif sangat nyata dengan jumlah cabang (Lampiran 8), sehingga dapat dikatakan bahwa tanaman yang bercabang banyak cenderung bobot batangnya tinggi. ILD dan bobot kering daun pada 42 HST juga merupakan karakter yang mempengaruhi bobot polong/tanaman dengan nilai koefisien yang negatif melalui pengaruhnya terhadap jumlah polong/tanaman. Dalam jumlah yang sama biji yang berukuran besar (bobot 100 biji tinggi) menunjukkan kebutuhan asimilat yang lebih banyak daripada biji yang berukuran kecil, sehingga dapat dikatakan biji besar kekuatan sinknya lebih tinggi daripada biji kecil. Tanaman dengan banyak cabang pada awal fase generatif (40 HST) cenderung menghasilkan jumlah/luasan daun yang banyak. Karena daun-daun

88 belum saling menutupi sehingga dapat diduga asimilat yang dihasilkan juga cukup tinggi sehingga dapat dimanfaatkan untuk mengisi polong/biji yang sudah terbentuk pada fase tersebut. Tanaman dengan karakter biji besar diduga membutuhkan bentuk tanaman yang bercabang sehingga suplai asimilat untuk kebutuhan pengisian dapat dipenuhi oleh source sejak awal fase pengisian, karena periode pengisian biji untuk biji berukuran besar diduga juga lebih lama daripada biji kecil. Apabila asimilat distribusinya terganggu dengan adanya bunga dan ginofor pada fase pengisian maka pengisian biji terganggu dan produksi tanaman menjadi rendah. Varietas dengan ukuran biji besar apabila mampu menenghasilkan jumlah polong yang banyak maka produksi tanaman juga akan tinggi seperti yang ditunjukkan oleh varietas Kancil. Varietas Gajah yang juga berbiji besar jumlah polong/tanaman yang dihasilkan rata-rata lebih sedikit daripada Kancil sehingga produksi varietas Gajah lebih rendah daripada Kancil. ILD42 Jgin42 Jgin70-0.37 0.30 0.28-0.50 0.22 daun42-0.43 Jpoltan 0.76 Bobot polong /tanaman 0.20-0.19-0.18 0.26 Bat42 0.21 B100 Sisaan 1.1% Gambar 18 Karakter-karakter yang berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap bobot polong/tanaman kacang tanah. Banyaknya ginofor mampu mempengaruhi bobot polong/tanaman. Jumlah ginofor yang banyak pada awal fase generatif (42 HST) cenderung menurunkan bobot polong/tanaman, sebaliknya jumlah ginofor pada akhir fase pengisian (70 HST) cenderung meningkatkan hasil polong. Akumulasi bahan kering tajuk dan ILD pada 42 HST yang tinggi cenderung meningkatkan jumlah ginofor 42 HST (Lampiran 12). Kondisi ini diduga karena tanaman yang menghasilkan banyak

89 ginofor pada awal fase generatif (42 HST) akan membutuhkan banyak asimilat untuk pembentukan dan pengisian polong/biji. Apabila tanaman belum membentuk cukup tajuk yang mampu menghasilkan asimilat yang dibutuhkan untuk kegiatan tersebut, proses pembentukan dan pengisian polong akan terganggu atau bersaing dengan tajuk, dan untuk selanjutnya mengganggu hasil polong dan biji. Diantara varietas-varietas yang tergolong menghasilkan bobot tajuk 42 HST tinggi yaitu Gajah, Jerapah, Garuda3, Kancil, Kidang dan Mahesa (Gambar 13) hanya Kancil yang termasuk kelompok dengan bobot polong/tanaman tinggi (Gambar 11). Hal ini diduga karena Kancil tergolong bobot 100 butir tinggi (Tabel 22), mampu menghasilkan jumlah polong tinggi (Tabel 29), termasuk kelompok dengan nilai ILD 70 HST rendah (Gambar 16), dan terutama menghasilkan jumlah polong/tanaman lebih dari 15 polong. Jumlah ginofor 70 HST juga dapat meningkatkan bobot polong tanaman melalui karakter jumlah polong/tanaman. Hal ini dapat diartikan bahwa varietas/tanaman kacang tanah yang menghasilkan jumlah polong tinggi dapat dilihat dari jumlah ginofornya pada 70 HST. Nilai ILD 42 HST dari varietas-varietas dengan bobot tajuk 42 HST tinggi lebih dari 3 pada MT-2010 (Tabel 8). McCloud et al. (1980) menyatakan tanaman kacang tanah dapat meng-intersepsi 95% cahaya matahari pada saat ILD mencapai 3, tetapi karena kacang tanah terus tumbuh setelah berbunga maka nilai ILD 3 ini lebih baik tidak segera tercapai pada fase awal pembentukan polong, karena daun-daun baru akan tumbuh sehingga dapat saling menaungi dan mengganggu suplai asimilat untuk pengisian. Nilai ILD mencapai 3 tampaknya lebih baik tercapai pada awal fase pengisian polong 56 HST untuk menunjang kebutuhan asimilat pada periode tersebut. 4.6.2. Sidik Lintas Indeks Panen Karakter-karakter yang berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap indeks panen ditunjukkan pada Lampiran 13 dan ringkasannya ditampilkan pada Gambar 19. Nilai sisaan yang diperoleh dari model ini adalah 18%.

90 Karakter source dan sink yang berpengaruh langsung positif pada nilai indeks panen dengan nilai koefisien yang tinggi adalah bobot batang dan daun pada 42 HST, bobot biji/tanaman dan jumlah polong/tanaman. Karakter source dan sink yang berpengaruh langsung negatif pada nilai indeks panen dengan nilai koefisien tinggi adalah ILD 70 HST dan bobot 100 butir. Karakter-karakter yang berpengaruh langsung positif nilai koefisiennya lebih kecil daripada karakterkarakter yang berpengaruh langsung negatif terhadap indeks panen. -0.53 ILD70-0.25 0.45 Jgin70 B100-0.53 Bat 70-0.65 Bat42-0.70-0.82 Indeks Panen 0.27 daun 70 0.25 0.21 0.39 Daun42 Bkbiji/tanaman 0.15 Jpoltan -0.12 Sisaan 18 % Gambar 19 Karakter-karakter yang berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap Indeks Panen kacang tanah. Bobot batang dan daun pada 42 HST berpengaruh langsung positif terhadap Indeks Panen. Hal ini menunjukkan tanaman yang pertumbuhan tajuknya cukup baik pada awal fase generatif akan mampu menyuplai asimilat untuk pembentukan dan pengisian polong/biji lebih awal, yang kemudian berdampak pada peningkatan proporsi asimilat untuk polong/biji saat panen. Akan tetapi ada kecenderungan yang lebih besar yaitu bobot batang 42 HST berpengaruh negatif terhadap Indeks Panen dengan nilai korelasi yang lebih besar daripada pengaruh langsungnya yang positif walaupun hubungan pengaruh ini tidak langsung tetapi melalui pengaruh bobot batang 42 HST pada bobot 100 biji. Diduga pada varietas dengan karakter jumlah cabang banyak (bobot batang tinggi) dan ukuran biji besar (bobot 100 biji tinggi) akan membutuhkan asimilat yang tinggi untuk pengisian biji sehingga untuk ketersediaan asimilat ini tanaman akan

91 berusaha mempertahankan tajuk besar sehingga pada saat panen nilai Indeks Panen rendah. Karakter varietas ini ditunjukkan oleh Pelanduk dan Kidang. Varietas yang banyak mengakumulasi bahan kering dalam tajuk pada 70 HST akan mengakibatkan Indeks Panennya menurun. Varietas kacang tanah seperti Pelanduk, Sima dan Turangga pada awal berbunga kapasitas sourcenya tergolong rendah tetapi tanaman terus tumbuh selama fase pembentukan dan pengisian sehingga pada fase akhir pengisian kapasitas source tergolong tinggi (Tabel 30 dan Gambar 16). Pada tanaman kacang tanah dengan indeks panen yang rendah tidak berarti kemampuan menghasilkan polong rendah. Apabila tanaman mampu menghasilkan jumlah polong yang tinggi (>15 polong) maka asimilat yang dihasilkan oleh tajuk/source yang tinggi dapat digunakan untuk mengisi polong. Hal ini ditunjukkan oleh Sima dan Pelanduk. Perhatian khusus untuk varietas Badak yang kemampuan menghasilkan source relatif lebih kecil daripada varietas lainnya tetapi mampu menghasilkan dan mengisi lebih banyak polong/tanaman sehingga nilai indeks panen tinggi (>0.40) dan tergolong kelompok yang menghasilkan bobot polong tinggi (Gambar 11, Tabel 30, Tabel 31). Diduga selama fase pengisian varietas Badak mampu mempertahankan luasan daun hijau dengan aktivitas fotosintesis tinggi tanpa menambah tajuk baru. 4.6.3. Sidik Lintas Persentase Polong Penuh Per Tanaman Karakter yang berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap pengisian polong hasil analisis sidik lintas ditunjukkan pada Lampiran 13 dan ringkasannya ditampilkan dalam Gambar 20 berikut. Model ini menghasilkan sisaan 3.4% data yang tidak dapat dijelaskan dengan menggunakan model ini. Karakter yang berpengaruh langsung meningkatkan persentase polong penuh dengan nilai koefisien relatif tinggi yaitu jumlah polong/tanaman, bobot 100 biji dan ILD 70 HST. Tingginya jumlah cipo berarti menurunkan persentase polong yang terisi penuh. Bobot kering batang 42 HST berpengaruh positif terhadap persentase polong penuh melalui pengaruhnya terhadap bobot 100 butir dan jumlah cipo/tanaman. ILD 42 HST berpengaruh positif terhadap persentase polong penuh melalui jumlah cipo dan berpengaruh negatif melalui jumlah

92 polong/tanaman. Jumlah ginofor 70 HST cenderung menurunkan persentase polong penuh melalui pengaruhnya terhadap jumlah cipo. ILD70 0.23 B100 0.29 %polong penuh ILD42-0.35 0.61 Jpoltan 0.53-0.97 Bat42 0.52 0.24 0.31 Jcipo 0.44-0.22 Sisaan 3.4% Jgin70-0.81-0.56 Bpoltan Gambar 20 Karakter-karakter yang berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap persentase polong penuh kacang tanah. Varietas yang bercabang banyak pada awal fase generatif (bobot batang tinggi) dengan ukuran biji (sink) besar cenderung mampu menghasilkan cukup asimilat untuk pengisian banyak polong/biji karena adanya kecenderungan daundaun pada batang utama menyuplai asimilat untuk pengisian biji, sedangkan daundaun pada cabang menyuplai kebutuhan asimilat akar dan bintil akar (Inanaga dan Yoshihara 1997). Akan tetapi banyaknya cabang memungkinkan tanaman untuk menghasilkan banyak bunga (jumlah cabang berkorelasi positif dengan jumlah bunga, Lampiran 9), yang kemudian dapat berkembang menjadi ginofor dan polong. Adanya dominansi dari polong-polong yang terbentuk dan mengisi lebih dahulu mengakibatkan ginofor tidak dapat berkembang lebih lanjut dan apabila sudah terbentuk polong menjadi tidak terisi (cipo). Gambar 35 menunjukkan hasil polong/tanaman dapat berpengaruh langsung positif terhadap persentase polong penuh melalui jumlah polong/tanaman, yang berarti makin tinggi bobot hasil tanaman cenderung meningkatkan persentase polong penuhnya apabila jumlah polong tanaman tinggi. Varietas Pelanduk dan Kancil menunjukkan karakter ini. Hasil polong/tanaman juga dapat berpengaruh negatif terhadap persentase polong penuh melalui jumlah cipo/tanaman, yang berarti persentase polong penuh yang tinggi dapat karena

93 rendahnya jumlah cipo/tanaman atau rendahnya jumlah polong/tanaman (Lampiran 14). Hal ini ditunjukkan oleh varietas Mahesa, Kidang, Jerapah dan Garuda3, yang bobot polongnya tergolong rendah. 4.7. Pembahasan Umum Secara umum, sebelum dan selama fase pengisian biji hingga panen, keduabelas varietas kacang tanah yang diuji menunjukkan perbedaan antara varietas dalam karakter kapasitas source, tetapi aktivitas sourcenya relatif tidak berbeda. Laju akumulasi bahan kering pada MT-2007 memang menunjukkan perbedaan antara varietas tetapi perbedaan hanya pada laju akumulasi bahan kering dalam tajuk dan bukan dalam polong/biji. Hal ini menunjukkan adanya varietas yang mampu menghasilkan source yang lebih tinggi daripada varietas lain tetapi peningkatan kapasitas source ini tidak berdampak pada peningkatan asimilat untuk sink produktif. Berdasarkan perbandingan karakter kapasitas sourcenya pada awal periode pembentukan dan pengisian polong (42HST) kedua belas varietas kacang tanah dapat dibagi menjadi varietas dengan kapasitas source tinggi yaitu Kancil, Pelanduk, Gajah, Kidang, Mahesa, Jerapah dan Garuda3, dan varietas dengan kapasitas source rendah yaitu Badak, kelinci, Panter, Sima dan Turangga. Selama periode pengisian biji tanaman kacang tanah masih terus mengakumulasi bahan kering dalam tajuk, tetapi ada beberapa varietas yang lebih tinggi akumulasi bahan keringnya dan ada beberapa varietas yang pertambahan bahan kering tajuk sedikit tertekan. Varietas dengan akumulasi bahan kering yang tinggi pada periode pengisian biji (kapasitas source tinggi pada 70 HST) adalah Sima, Turangga, Pelanduk, Kidang, Jerapah dan Mahesa. Varietas dengan pertambahan bahan kering tajuk terbatas pada periode pengisian biji (kapasitas source rendah pada 70 HST) adalah Garuda3, Gajah, Kancil, Badak, Panter dan Kelinci. Pada kacang tanah jumlah polong/tanaman merupakan karakter yang dipengaruhi oleh genetik dan relatif stabil. Jumlah polong, yang merupakan kapasitas sink, sudah ditentukan banyaknya sebelum periode pengisian biji (sebelum ± 40HST). Jumlah polong merupakan karakter kapasitas sink yang

94 mempengaruhi hasil/bobot polong, bobot biji, Indeks Panen maupun kualitas produksi (persentase polong penuh) tanaman. Banyaknya polong yang dapat terbentuk sebelum 40 HST dalam penelitian ini tidak banyak ditentukan oleh banyaknya bunga yang terbentuk pada periode tersebut. Semua varietas yang diuji menghasilkan cukup bunga untuk menghasilkan 15 polong/tanaman sebelum 40 HST, walaupun terdapat perbedaan antar varietas dalam pola pembungaan, akan tetapi perhatian perlu ditujukan pada pembentukan ginofor menjadi polong karena proses ini sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tumbuh. Berdasarkan perbandingan karakter kapasitas sinknya (jumlah dan bobot polong/tanaman), varietas Badak, Pelanduk, Kancil, Sima dan Panter dapat dikelompokkan sebagai varietas dengan kapasitas sink tinggi, sedangkan varietas Garuda3, Kidang, Turangga, Kelinci, Gajah, Mahesa dan jerapah termasuk kelompok dengan kapasitas sink rendah. Dari penelitian ini didapatkan adanya tujuh pola hubungan source dan sink pada kacang tanah. Ketujuh pola hubungan source dan sink itu adalah : 1. Tanaman dengan kapasitas dan aktivitas source tinggi sejak awal pertumbuhannya, mampu menghasilkan bahan kering tinggi pada awal fase pembentukan dan pengisian polong/biji, luasan daun hijau terus ditingkatkan selama fase pengisian untuk mempertahankan aktivitas source tinggi pada fase pengisian hingga masuk fase pemasakan biji. Ginofor banyak yang menjadi polong pada awal fase pembentukan dan pengisian biji sehingga jumlah polong/tanaman saat panen lebih dari 15 polong, ginofor juga masih banyak dihasilkan tanaman hingga akhir fase pengisian biji. Tingginya bahan kering yang dihasilkan tanaman mengakibatkan tanaman mampu mengisi lebih banyak polong sehingga disamping menghasilkan bobot polong/tanaman tinggi dan persentase polong penuh >70% tetapi Indeks Panen rendah. Tipe ini ditunjukkan oleh varietas Pelanduk. 2. Tanaman dengan kapasitas dan aktivitas source tinggi sejak awal pertumbuhannya, mampu menghasilkan bahan kering tinggi pada awal fase pembentukan dan pengisian polong/biji, luasan daun hijau terus ditingkatkan selama fase pengisian untuk mempertahankan aktivitas source tinggi pada fase pengisian hingga masuk fase pemasakan biji dan menghasilkan banyak

95 ginofor selama fase pengisian. Kapasitas sink tergolong rendah karena kemampuan menghasilkan bunga dan ginofor yang menjadi polong pada awal fase pembentukan dan pengisian polong/biji rendah. Karena jumlah polong sedikit persentase polong penuh >70% dengan Indeks Panen sedang. Tipe ini ditunjukkan oleh varietas Kidang, Mahesa dan Jerapah. 3. Tanaman dengan kapasitas dan aktivitas source tinggi sejak awal pertumbuhan, mampu menghasilkan bahan kering tinggi pada awal fase pembentukan dan pengisian polong/biji. Kapasitas sink tergolong tinggi karena mampu menghasilkan banyak bunga dan ginofor yang menjadi polong pada awal fase pembentukan dan pengisian polong/biji. Kapasitas source dan pembentukan ginofor pada fase pengisian biji terbatas, tanaman mampu mempertahankan luasan daun yang ada tetap hijau. Indeks Panen tinggi, menghasilkan bobot polong/tanaman tinggi, persentase polong penuh >70% dan bobot 100 biji tinggi. Tipe ini ditunjukkan oleh varietas Kancil. 4. Tanaman dengan kapasitas dan aktivitas source tinggi sejak awal pertumbuhan, mampu menghasilkan bahan kering tinggi pada awal fase pembentukan dan pengisian polong/biji. Kapasitas sink tergolong rendah karena kemampuan menghasilkan ginofor menjadi polong yang rendah pada awal fase pembentukan polong sehingga jumlah polong sedikit. Indeks Panen tinggi, persentase polong penuh >70% dan bobot 100 biji tinggi. Tipe ini ditunjukkan oleh varietas Gajah dan Garuda3. 5. Tanaman dengan kapasitas dan aktivitas source pada awal pertumbuhan yang cenderung lambat. Kapasitas dan aktivitas source terus meningkat dengan cepat selama fase pengisian hingga masuk fase pemasakan biji. Tanaman menghasilkan ginofor dan polong tinggi sejak fase pembentukan ginofor dan polong sehingga pada saat panen jumlah polong/tanaman dapat lebih dari 15 polong, ginofor juga masih banyak muncul pada fase pengisian. Indeks Panen dan persentase polong penuh rendah karena distribusi asimilat ke dalam polong terganggu kebutuhan untuk meningkatkan luasan daun hijau serta pembentukan bunga dan ginofor. Tipe ini ditunjukkan oleh varietas Sima.

96 6. Tanaman dengan kapasitas dan aktivitas source pada awal pertumbuhan yang cenderung lambat. Kapasitas dan aktivitas source terus meningkat dengan cepat selama fase pengisian hingga masuk fase pemasakan. Kemampuan sink rendah karena menghasilkan ginofor menjadi polong kurang serempak, ginofor terus terbentuk selama fase pengisian. Indeks panen rendah, persentase pengisian yang relatif rendah sehingga produksi polong juga rendah. Tipe ini ditunjukkan oleh varietas Turangga. 7. Tanaman dengan kapasitas dan aktivitas source yang lebih rendah daripada varietas lainnya pada awal fase generatif, pertambahan bahan kering tidak terlalu cepat sehingga pada akhir fase pengisian akumulasi bahan kering relatif sedang. Tanaman mampu menghasilkan banyak ginofor dan polong sehingga jumlah polong/tanaman lebih dari 15 polong. Distribusi asimilat kedalam polong tidak banyak terganggu oleh persaingan asimilat dengan tajuk sehingga persentase polong penuh dan Indeks Panen tinggi (>0,38). Tipe ini ditunjukkan oleh varietas Badak, Panter dan Kelinci. Tanaman kacang tanah membutuhkan kapasitas dan aktivitas source tinggi untuk menghasilkan banyak asimilat. Daun-daun kacang tanah harus tahan penyakit yang menyerang daun seperti bercak daun, karat daun dan virus, terutama pada periode pengisian biji hingga 70-84 HST. Munculnya penyakit dapat menyebabkan produksi asimilat terganggu dan pada akhirnya mengganggu pengisian biji. Selama periode utama pengisian biji (56-70 HST), fotosintesis selama periode ini merupakan penyedia utama asimilat untuk pengisian biji. Selama periode ini tanaman juga masih terus meningkatkan akumulasi bahan kering dalam tajuk. Adanya peningkatan jumlah dan luasan daun apabila terlalu besar menjadi tidak menguntungkan karena daun-daun akan saling menaungi yang menyebabkan daun-daun bagian bawah tidak lagi aktif berfotosintesis dan hanya berfungsi sebagai pesaing asimilat bagi polong yang sedang mengisi. Untuk dapat menghasilkan asimilat tinggi dan meminimalkan daun-daun yang saling menaungi maka luasan daun perlu diperhatikan. Tanaman kacang tanah diharapkan menghasilkan ILD pada fase awal generatif (42 HST) mencapai 2, memasuki fase pengisian (56HST) diharapkan kanopi sudah menutup dan ILD

97 mencapai nilai 3-4 sehingga sebagian besar daun dapat menerima radiasi matahari secara maksimal. Pertambahan tajuk baru selama fase pengisian tidak diharapkan karena akan mengurangi asimilat untuk pengisian biji, akan tetapi karena sifat tanaman kacang tanah yang semideterminate maka nilai ILD mencapai 5-6 pada akhir fase pengisian biji (70 HST) sudah cukup baik. ILD 5-6 diharapkan cukup baik untuk mempertahankan kebutuhan asimilat pada fase-fase selanjutnya Polong dan biji kacang tanah terbentuk di dalam tanah. Lokasi yang relatif jauh dari tajuk (source) sehingga, tajuk yang terus tumbuh dapat menjadi kompetitor kuat bagi polong dan biji dalam memperebutkan asimilat. Karena polong dan biji tidak dapat menjadi kompetitor asimilat yang kuat bagi tajuk, diduga mengakibatkan tajuk terus tumbuh selama fase pengisian biji, yang kemudian berakibat banyak daun menjadi saling menutupi, dan pada akhirnya distribusi asimilat ke polong dan biji makin terganggu. Untuk mencegah pertumbuhan tajuk yang terlalu dominan sebaiknya tinggi batang utama kacang tanah diupayakan untuk tidak terlalu tinggi. Tampaknya tinggi batang utama yang mencapai 70 cm sudah mencukupi. Pembatasan tinggi batang utama ini diharapkan dapat menekan pertumbuhan daun, bunga dan ginofor baru sehingga tidak menjadi pesaing asimilat bagi polong/biji yang sedang mengisi. Varietas yang menghasilkan jumlah polong tinggi sebagian besar ditandai pula dengan kemampuan menghasilkan ginofor yang tinggi. Varietas-varietas ini cenderung memiliki habitus tinggi tegak/kurang bercabang. Pada tanaman kacang tanah, bunga dan ginofor terus muncul selama pertumbuhan tanaman kacang tanah, padahal ginofor merupakan kompetitor asimilat pula. Apabila ginofor terbentuk pada lokasi yang terlalu jauh dari permukaan tanah akibatnya ginofor ini tidak akan terbentuk menjadi polong. Sumarno dan Slamet (1993) menyatakan apabila tangkai ginofor tumbuh lebih dari 15 cm, maka ginofor akan berhenti tumbuh dan tidak akan membentuk polong. Munculnya ginofor pada fase pengisian akan menjadi pesaing bagi polong yang sedang mengisi dalam mendapatkan asimilat. Akan tetapi hasil sidik lintas menunjukkan bahwa, ada hubungan pengaruh langsung positif karakter jumlah ginofor dengan karakter produksi (bobot polong/tanaman). Hal ini memunculkan dugaan bahwa terbentuknya bunga dan ginofor mengakibatkan lebih banyak asimilat disediakan

98 oleh source untuk menyuplai kebutuhan ke bagian bawah tanaman (pengisian polong) daripada ke bagian atas tanaman untuk pertumbuhan tunas. Diduga pada tanaman yang habitus tinggi dan kurang bercabang munculnya banyak bunga dan ginofor yang terbentuk pada fase pengisian akan lebih menguntungkan untuk pengisian polong/biji. Varietas yang membentuk percabangan sejak awal fase pertumbuhannya cenderung cepat menghasilkan daun yang dapat digunakan untuk menopang kebutuhan asimilat untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman seawal mungkin. Ginofor banyak terbentuk pada buku-buku batang utama yang dekat permukaan tanah sehingga memudahkan ginofor untuk masuk kedalam tanah membentuk polong. Karena polong banyak terbentuk pada batang utama maka daun-daun pada batang utama merupakan penyuplai utama asimilat untuk pengisian polong/biji. Daun-daun yang tumbuh pada cabang merupakan penyuplai asimilat utuk kebutuhan sink-sink lain selain biji. Polong dan biji dapat menjadi sink yang kuat sehingga hanya sedikit bunga dan ginofor terbentuk pada periode pengisian biji terutama pada puncak pengisian yaitu sekitar 56-70 HST. Hasil sidik lintas menunjukkan bahwa tanaman dengan bobot batang pada awal fase generatif (42 HST) berpengaruh walaupun tidak langsung terhadap bobot polong/tanaman dan persentase polong penuh. Tanaman yang bercabang banyak bobot batangnya juga tinggi karena jumlah cabang berkorelasi positif dengan bobot batang, dan data juga menunjukkan bahwa varietas kacang tanah yang bercabang pengisian polong/bijinya lebih baik daripada tanaman yang sedikit bercabang, lebih banyak polong terisi penuh dengan bobot 100 butir tinggi. Hal ini karena polong tidak banyak bersaing dengan tajuk dan ginofor selama fase pengisian. Walaupun demikian terdapat kekurangan dari tanaman bercabang yaitu apabila bunga, ginofor dan polong tidak terbentuk cukup serempak sehingga hanya sedikit polong yang dapat terbentuk. Polong yang terbentuk lebih dahulu ini akan menjadi sink kuat dan mengakibatkan perkembangan ginofor dan polong yang terbentuk kemudian menjadi terhambat. Apabila diharapkan butir kacang tanah yang besar (bobot 100 butir > 50 gram) dan kualitas polong yang baik (polong penuh terisi biji), tanaman kacang tanah sebaiknya bercabang karena asimilat untuk pertumbuhan dan perkembangan

99 polong dan biji tidak banyak terbagi oleh kebutuhan sink-sink lain. Jumlah cabang maksimal 5-6 cabang pada 42-56HST sehingga dapat menopang banyak bunga dan ginofor pada awal fase generatif. Tinggi batang utama saat panen tidak terlalu tinggi 65-70cm, untuk menjamin ruang tumbuh tanaman tidak terlalu rimbun sehingga daun masih cukup mendapat radiasi matahari dan menghambat pembentukan bunga dan ginofor baru. Banyaknya polong yang dapat dipanen sudah ditentukan sebelum periode pengisian biji (sebelum ± 40HST). Oleh karena itu untuk menghasilkan banyak polong, bunga diharapkan muncul serempak membentuk ginofor dan sebanyak mungkin ginofor serempak membentuk polong muda yang siap untuk diisi. Bunga kacang tanah muncul pada 26-28 HST dan sebaiknya dalam waktu 2-3 hari 50% populasi berbunga tercapai sehingga didapatkan periode waktu pengisian polong yang cukup (56-60 hari). Dari data yang diperoleh 60% bunga dari total bunga sudah muncul sebelum 40HST. Untuk menjamin jumlah polong/tanaman ±20 polong pada saat panen maka jumlah ginofor ±10 hari setelah berbunga mencapai 15-20 ginofor. Indeks Panen varietas-varietas kacang tanah yang diperoleh dalam penelitian ini lebih baik dari Indeks Panen varietas kacang tanah Indonesia seperti yang dilaporkan Bell dan Wright (1997). Beberapa varietas bahkan dapat mencapai rata-rata Indeks Panen 0.40-0.5 yang menunjukkan besarnya asimilat yang didistribusikan untuk pengisian polong/biji. Indeks Panen ditemukan tidak berkorelasi dengan produksi tanaman kemungkinan hal ini disebabkan varietasvarietas kacang tanah yang dikembangkan masih bertumpu pada peningkatan produksi biomassa untuk mencapai produksi tinggi. Berdasarkan hasil sidik lintas, bobot batang dan daun yang tinggi pada fase awal generatif berpengaruh langsung terhadap Indeks Panen. Diduga tanaman dengan pertumbuhan tajuk yang tinggi pada awal generatif dibutuhkan untuk mendapatkan cukup asimilat yang diperlukan untuk menghasilkan banyak ginofor menjadi polong (Tabel 6 dan 17). Masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan karakter yang mampu meningkatkan Indeks Panen. Ada indikasi terjadinya remobilisasi asimilat pada beberapa varietas untuk pengisian biji yang terjadi setelah periode utama pengisian biji (setelah 70 HST

100 hingga panen). Hal ini ditandai dengan meningkatnya bobot polong disertai dengan penurunan bobot batang dan daun, seperti yang terjadi pada varietas Garuda3, atau dengan bobot batang dan daun yang relatif tetap seperti terjadi pada varietas Gajah, Jerapah, Mahesa dan Kelinci. Masih perlu diteliti lebih lanjut faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya remobilisasi ini. Berdasarkan penjelasan karakter-karakter source dan sink tadi maka disusunlah satu tipe keragaan ideal tanaman kacang tanah yang diharapkan mampu berproduksi tinggi dengan persentase pengisian biji yang tinggi. Ideotype tanaman kacang tanah ini diharapkan memiliki karakter : Mempunyai kapasitas dan aktifitas source tinggi sehingga mampu menghasilkan bahan kering yang besar dengan bobot 100 biji > 50 gram Ukuran daun kecil, relatif tegak dengan sudut daun sempit, kemampuan menghasilkan asimilat tinggi. ILD pada fase awal generatif (42HST) mencapai 2, memasuki fase pengisian (56HST) mencapai 3-4, dan pada akhir fase pengisian ILD mencapai 5-6. ILD pada fase-fase selanjutnya dipertahankan 5-6 untuk pemasakan polong. Tanaman membentuk percabangan (maksimal 5-6 cabang) pada 42-56HST sehingga dapat menopang banyak bunga dan ginofor pada awal fase generatif. Tinggi batang utama saat panen tidak terlalu tinggi ± 70cm Bunga muncul serempak pada 28HST dan dalam waktu 2-3 hari 50% populasi berbunga tercapai. Enam puluh persen bunga dari total bunga sudah muncul sebelum 40HST. Jumlah ginofor 10 hari setelah berbunga mencapai 10-15 ginofor. Hal ini untuk menjamin jumlah polong/tanaman lebih dari 20 polong pada saat panen. Bunga dan ginofor tidak terbentuk pada periode puncak pengisian (56-70HST) Indeks panen tanaman mencapai ± 0.40-0.50

101 5. KESIMPULAN 1. Terdapat karakter-karakter source dan sink yang berpengaruh langsung positif meningkatkan hasil polong/tanaman kacang tanah yaitu jumlah polong/tanaman, bobot 100 biji dan jumlah ginofor 70HST. Karakterkarakter source dan sink yang berpengaruh langsung menaikkan indeks panen yaitu bobot kering batang dan daun pada 42 HST, bobot biji/tanaman dan jumlah polong/tanaman. Karakter-karakter source dan sink yang berpengaruh langsung meningkatkan persentase polong penuh yaitu jumlah polong/tanaman, bobot 100 biji dan ILD 70HST 2. Didapatkan bahwa asimilat untuk pengisian biji lebih banyak diperoleh dari kegiatan fotosintesis pada periode pengisian polong/biji. Tidak ditemukan adanya perbedaan antar varietas dengan pola pertumbuhan berbeda dalam memenuhi kebutuhan asimilat saat pengisian. Ada indikasi beberapa varietas melakukan remobilisasi asimilat. 3. Berdasarkan perbandingan karakter-karakter source dan sink didapatkan ada tujuh hubungan source-sink pada varietas kacang tanah yang diuji yaitu: a. Source tinggi dan Sink tinggi dengan Indeks Panen rendah b. Source tinggi dan Sink rendah dengan Indeks Panen sedang dan rendah c. Source tinggi dan Sink tinggi dengan Indeks Panen tinggi d. Source tinggi dan Sink rendah dengan Indeks Panen tinggi e. Source tinggi dan Sink tinggi dengan Indeks Panen rendah f. Source tinggi dan Sink rendah dengan Indeks Panen rendah g. Source rendah dan Sink tinggi dengan Indeks Panen tinggi 4. Berdasarkan karakter source dan sink yang berpengaruh langsung terhadap produksi polong dan kualitas polong disusun ideotype tanaman kacang tanah dengan produktivitas polong tinggi dan persentase pengisian tinggi yaitu : a. Menghasilkan kapasitas dan aktifitas source tinggi sehingga mampu menghasilkan bahan kering yang besar dengan bobot 100 biji > 50 gram

102 b. ILD pada fase awal generatif (42HST) mencapai 2, memasuki fase pengisian (56HST) mencapai 3-4, dan pada akhir fase pengisian ILD mencapai 5-6. ILD pada fase-fase selanjutnya dipertahankan 5-6 untuk pemasakan polong. c. Membentuk percabangan (maksimal 5-6 cabang) pada 42-56HST sehingga dapat menopang banyak bunga dan ginofor pada awal fase generatif. Tinggi batang utama saat panen tidak terlalu tinggi ±70cm. d. Bunga muncul serempak pada 26-28HST dan dalam waktu 2-3 hari 50% populasi berbunga tercapai. Enam puluh persen bunga dari total bunga sudah muncul sebelum 40HST. Jumlah ginofor 10 hari setelah berbunga mencapai 15-20 ginofor untuk menjamin jumlah polong/tanaman lebih dari 20 polong pada saat panen. e. Indeks panen tanaman mencapai ± 0.40-0.50 Saran Unuk meningkatkan produksi kacang tanah maka teknik produksi tanaman perlu memperhatikan media tumbuh hingga 40 HST dan mempertahankan kuasan daun hijau hingga 70HST. Pemulia tanaman kacang tanah perlu memperhatikan karakter percabangan, pola pembungaan dan pembentukan ginofor serta ketahanan terhadap hama penyakit yang menyerang daun. Diperlukan penelitian lebih lanjut terhadap karakter-karakter yang berpengaruh langsung terhadap peningkatan Indeks Panen maupun mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya remobilisasi asimilat pada kacang tanah.

103 DAFTAR PUSTAKA Atkins CA, Smith PMC. 2007. Translocations in Legumes; Assimilates, Nutrients and Signaling Molecules. Plant Physiology 144:550-561. Badan Pusat Statistik. 2008. Statistik Tanaman Pangan Sekunder di Indonesia. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik. Jakarta. Diakses pada 10 Januari 2008. Bell MJ, Wright GC. 1998. Groundnut growth and development in contrasting environment. 1. Growth and plant density responses. Experimental Agriculture 34 : 99-112. Brown RH. 1984. Growth of The Green Plant. In M.B. Tesar (Ed.). Physiological Basic of Crop Growth and Development. American Society of Agronomy Inc. and Crop Science Society of America Inc.USA. 341 p. Cathey HM. 1964. Physiology of retarding chemicals. Annu Rev. Plant Physiol.15:272-302. Chatterton JN, Silvius JE. 1979. Photosynthate partitioning into starch in soybean leaves. Plant Physiol. 64:749-753. Dewey, DR and LU, KH. 1959. A correlation and path coefficient analysis of components of crested wheat grass seed production. Agronomy Journal 51:515-518. Duncan WG, McCloud DE, McGraw RL, Boote KJ. 1978. Physiological aspects of peanut yields improvement. Crop Science 18 : 1015 1020. Edoka PN. 2006. Influence of Leaf Area Development of Early and Mid-early Maturity Varieties of silage Maize on Dry Matter yield and Forage Quality. Dissertation. Institut Fur Planzenbauwissenschaften, Lanswirtschaftlich- Gärtnerische Fakultät, Humboldt Universität zu Berlin. Egli DB. 1999. Variation in leaf starch and sink limitation during seed filling in soybean. Crop Sci. 39 :1361-1368. Evans LT, Fischer RA. 1999. Yield Potential: its definition, measurement and significance. Crop Sci. 39:1544-1551. Gardner,FP, RB Pearce dan R.L.Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. UI Press.Jakarta.500p. Gomez KA dan Gomez AA. 2007. Prosedur Statistik Untuk Penelitian Pertanian. E. Sjamsudin dan JS Baharsjah, penerjemah. Jakarta : UI-Press. Terjemahan dari Statistical Procedurs for Agricultural Research.

104 Griffiths, H. 1993. Carbon isotope discrimination. In Photosynthesis and Production in a Changing Environment: a field and laboratory manual. D.O. Hall, JMO Scorlock, H.R. Bothar-Nordenkampf, L.C. Leegood and S.P. Long (Eds.). London. 181-191p. Hayashi T, Heins RD, Cameron AC, Carlson WH. 2001. Ethepon influences flowering, height and branching of several herbaceous perennials. Scientia Horticulturae 91:305-323. Hendrix JE. 1995. Assimilate Transport and Partitioning. In Hanbook of Plant and Crop Physiology, M. Pessarakli (Ed.). Marcel Dekker, Inc. New York USA. 357-385p. Howell BD. 2001. Genotype Evaluations for productivity and quality of peanut in West Texas. Thesis. The Graduate Faculty of Texas Tech. University. 56p. Huber SC. 1983. Role of sucrose-phosphate synthase in partitioning of carbon in leaves. Plant Physiol. 71:818-821. Inanaga S, Yoshihara R. 1997. Translocation and distribution of assimilated carbon in peanut plant. Soil Sci. Plant Nutr. 43(2):267-274 Ispandi A, Munip A. 2004. Efektifitas Pupuk PK dan Frekuensi Pemberian Pupuk K dalam Meningkatkan Serapan Hara dan Produksi Kacang Tanah di Lahan Kering Alfisols. Jurnal. Ilmu Pertanian Vol. 11 No. 2, 2004 : 11-24. Diakses pada Sabtu, 20 Oktober 2007. Jogloy C, P Jaisil, C Akkasaeng, T Kesmala, S Jogloy. 2011. Heritability and correlation for components of crop partitioning in advanced generations of peanut crosses. Asian Journal of Plant Sciences 10(1):60-66. Kato M, Kobayashi K,Ogiso E, Yokoo M. 2004. Photosynthesis and dry matter production during ripening stage in a female sterile line of rice. Plant Prod. Sci. 7(2):184-188 Kasno, A. 1993. Pengembangan Varietas Kacang Tanah. Dalam A. Kasno, A.Winarto dan Soenardi (Eds.). Kacang Tanah. Balai Penelitian Tanaman Pangan. Malang.. 2005. Profil dan Perkembangan Teknik Produksi Kacang Tanah di Indonesia. Seminar Rutin Puslitbang Tanaman Pangan Bogor.. 2006. Strategi Pengembangan Kacang tanah di Indonesia. Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. 69-84hal.

105 Ketring, D.L., R.H. Brown, G.A. Sullivan and B.B Johnson. 1982. Growth Physiology. In H.E. Pattee and C.T Young (Ed.) Peanut Science and Technology. American Peanut Research and education Society, Inc. Khanna-Chopra R. 2000. Photosynthesis In Relation To Crop Productivity. In Probing Photosynthesis. Mechanism and Adaptation, M. Yunus, U. Pathre and P. Mohanty (Eds.). Taylor and Francis Inc. USA. 263-280. Kiniry, JR, CE Simson, AM Schubert and JD Reed. 2005. Peanut leaf area index, light interception, radiation use efficiency and harvest index at three sites in Texas. Field Crops Research 91:297-306 Lubis, I., T. Shiraiwa, M.Ohnishi, T.Horie and N. Inoue. 2003. Contribution of sink and source sizes to yield variation among rice cultivars. Plant Prod.Sci. 6(2):119-125 Lukitas, W. 2005. Uji daya hasil lima cultivar kacang tanah. Skripsi. Departemen Budi Daya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ma, L., F.P. Gardner and A.selamat. 1992. Estimation of leaf area from leaf and total mass measurements in penut. Crop Sci. 32:467-471 Maria, D. 2000. Penentuan Masak Panen Benih Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.) Varietas Landak, Banteng, Kidang dan Komodo dengan Memperhatikan Fenologi Tanaman. Skripsi. Departemen Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 58 hal. Marschner, H. 1995. Mineral Nutrition of Higher Plants. Academic Press.131-183p. Mengel, K. 1996. Potassium movement within plant and its importance in assimilate transport. Hal : 408 409. In R. D. Munson (ed). Potassium In Agriculture. American Soils Society. 1207 p. Meziane, D and B. Shipley. 2001. Direct and indirect relationship between specific leaf area, leaf N and leaf gas exchange. Effect irradiance and nutrient supply. Annals of Botany 88:915-927 Miah, M.N.H., T. Yoshida, Y. Yamamoto and Y. Nitta. 1996. Characteristics of dry matter production and partitioning of dry matter in high yielding semi dwarf indica dan japanica-indica hybrid rice varieties. Jpn. J.Crop.Sci. 65:672-685. Nigam S N, Aruna R, Giri D Y, Ranga-Rao R V, Reddy AGS. 2006. Obtaining Sustainable Higher Groundnut Yields: Principles and Practices of Cultivation. International Research Institute for the Semi Arid Tropics. Andhra Pradesh, India.48pp.

106 Oentari, AP. 2008. Pengaruh Pupuk Kalium Terhadap Kapasitas Source Sink Pada Enam Varietas Kacang Tanah (Arachis Hypogaea L.). Skripsi Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian IPB. 44 hal Pierce, L.L., S.W. Running and J.Walker. 1994. Regional-scale relationships of leaf area index to specific leaf area and leaf nitrogen content. Ecological Application 4 (2):313-321. Rao, R. 1988. Botany. In Groundnut. P.S. Reddy (Ed.). New Delhi:Indian Council of Agricultural Research. 25-64p Reynolds, M., B. Skovman, R. Trethowan, R. Singh and M.van Ginkel. 2000. Wheat Program CIMMYT. Rohaeni, WR. 2010. Pendugaan parameter genetik dan seleksi rilis F6 kedelai hasil SSD untuk toleransi terhadap cahaya rendah. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. 100 hal. Santosa, E. 2000. Adaptasi Fisiologi Tanaman Padi Gogo Terhadap Naungan : Laju Pertukaran Karbon, Respirasi dan Konduktansi Stomata. Thesis. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Sanchez, L.E., F. Prieto and M. Becerra. 1988. Control of Vegetatif Growth of Stone Fruits With Paclobutrazol. Hort Sci. 23(3):467-470. Senoo S, Isoda A. 2003. Effects of paclobutrazol on dry matter distribution and yield in peanut. Plant Prod. Sci. 6(1):90-94.2003.Effects of paclobutrazol on podding and photosynthetic characteristic in peanut. Plant Prod. Sci. 6(3): 190-194. Shiraiwa, T., N. Ueno, S.Shimada and T. Horie. 2004. Correlation between yielding ability and dry matter productivity during innitial seed filling stage in various soybean genotypes. Plant Prod. Sci. 7(2):138-142. Sinclair, T.R. and dewit, C.T. 1978. Analysis of the carbon and nitrogen limitations to soybean yields. Agronomy J. 68 319-324. Sinclair, T.R. 1994. Limits To Crop Yields?. In Physiology and Determination of Crop Yield. K.J. Boote, J.M. Bennet, T.R. Sinclair, and G.M. Paulsen (Ed.). American Soc. Of Agronomy, Inc., Crop Science Soc. Of America, Inc., Soil Science Soc. Of America, Inc., Wisconsin, USA. Sumarno. 1986. Teknik Budidaya Kacang Tanah. Sinar Baru. Bandung. 75 hal. Sumarno dan Slamet, P. 1993. Fisiologi dan Pertumbuhan Kacang Tanah. Dalam Astanto Kasno, Achmad Winarto dan Sunardi (Eds). Kacang Tanah. Balai Penelitian Tanaman Pangan. Malang. Hal. 24-30.

LAMPIRAN 109

110 Lampiran 1 Deskripsi duabelas varietas kacang tanah Nama Varietas : Gajah Tahun : 1950 Tetua : Seleksi keturunan persilangan Schwarz-21 Spanish 18-38 Potensi Hasil : 1,8 ton/ha Mulai berbunga : 30 hari Umur polong tua : 100 hari Bentuk tanaman : Tegak Warna kulit biji : Merah muda Berat 100 biji : 53 gram Kadar lemak : 48% Kadar protein : 29% Rendemen biji dari : 60-70% polong Ketahanan terhadap : -tahan terhadap penyakit layu penyakit -peka terhadap penyakit karat dan becak daun Sifat-sifat lain : Rendemen biji dari polong 60-70% Nama Varietas : Kidang SK : Tahun pelepasan 1950 Tahun : 1950 Tetua : Nomor induk 86, Seleksi keturunan persilangan Schwarz - 21 small Japan Potensi Hasil : 1,8 ton/ha Mulai berbunga : Kurang lebih 30 hari Umur polong tua : kurang lebih 100 hari Bentuk tanaman : Tegak Warna kulit biji : Merah muda Bobot 100 biji : Kurang lebih 49 gram Kadar lemak : Kurang lebih 49% Kadar protein : Kurang lebih 29% Rendemen biji dari polong : 60-70% Ketahanan terhadap penyakit : -tahan terhadap penyakit layu -peka terhadap penyakit becak daun dan karat daun Sifatsifat lain : Rendemen biji dari polong 60-70%

111 Lampiran 1 Deskripsi deuabelas varietas kacang tanah (lanjutan) Nama Varietas : Pelanduk Tahun : 1983 Tetua : Persilangan Kidang/Virginia Bunch Improved (VBI) Potensi Hasil : 2,0 ton/ha Mulai berbunga : 28-30 hari Umur polong tua : 95-100 hari Bentuk tanaman : Tegak Warna kulit biji : Merah Jumlah polong/pohon : 16-20 buah Berat 100 biji : Kurang lebih 573 gram Berat 100 polong : 16 gram Kadar lemak : 45% Kadar protein : 17% Rendemen biji dari polong : 60-70% Ketahanan terhadap penyakit : -tahan layu bakteri (Pseudomonas sp.) -peka karat daun (Puccinia arachidis), becak daun (Cescospora sp.)dan virus belang Nama Varietas : Kelinci Kategori : Varietas unggul nasional (released variety) SK : 17/Kpts/TP.240/1/1987 tanggal 14 Januari tahun 1987 Tahun : 1987 Tetua : Introduksi dari Uruguay, lewat IRRI Farming System Rataan Hasil : 2.3 ton/ha Mulai berbunga : 25-29 hari Umur polong tua : 95 hari Bentuk tanaman : Tegak Warna kulit biji : Merah muda Jumlah polong/pohon : 15 Jumlah biji /polong : 4 Berat 100 biji : Kurang lebih 45 gram Kadar lemak : 28% Kadar protein : 31% Rendemen biji dari polong : 67% Sifat-sifat lain : -tahan karat daun(puccinia arachidis) -toleran terhadap becak daun (Cescospora sp.) -agak tahan penyakit layu (Pseudomonas solanacearum)

112 Lampiran 1 Deskripsi duabelas varietas kacang tanah (lanjutan) Nama Varietas : Mahesa SK : 110/Kpts/TP.240/3/91, tgl pelepasan 9 Maret 1991 Tahun : 1991 Tetua : Persilangan PI 350680 x Kidang Potensi Hasil : 1,6 (1,0-2,5) ton/ha biji bersih Mulai berbunga : 28-31 hari Umur polong tua : 95-100 hari Bentuk tanaman : Tegak Warna kulit biji : Merah muda Jumlah polong/pohon : 14-18 Berat 1000 biji : 400-450 g Berat 1000 polong : 900-1000 g Kadar lemak : 46,0% Kadar protein : 27,0% Rendemen : 70,0% Ketahanan terhadap : tahan layu, agak tahan karat, dan peka bercak daun awal penyakit Nama Varietas : Badak SK : 111/Kpts/TP.240/3/91 tanggal 9 Maret 1991 Tahun : 1991 Tetua : Persilangan No. 726 dengan FESR 12 Potensi Hasil : 2,0 (1,5-2,6) ton/ha biji nersih Mulai berbunga : 28-31 hari Umur polong tua : 95-103 hari Bentuk tanaman : Tegak Warna kulit biji : Merah muda Jumlah polong/pohon : 15-20 Berat 1000 biji : 350-400 g Berat 1000 polong : 1200-1300 g Kadar lemak : 47,0% Kadar protein : 24,0% Rendemen : 70,0% Ketahanan terhadap penyakit : Toleran penyakit layu, bercak daun, dan tahan karat

113 Lampiran 1 Deskripsi duabelas varietas kacang tanah (lanjutan) Nama Varietas : Panter Tahun : 1998 Asal : ICG 1703 varietas lokal asal Peru Tetua : Seleksi massa dari populasi kacang tanah ICG varietas lokal asal Peru Rataan Hasil : 1,0-5,4 ton/ha Potensi Hasil : 2,60 ton/ha Umur tanaman : Mulai berbunga : 28-31 hari, Panen: 90-95 hari Bentuk tanaman : Tegak Warna biji : Rose (merah muda) Jumlah polong : 15-20/tanaman Jumlah biji : 3-4 / polong Bentuk biji : Persegi Bobot 100 polong : 34-40 gram kandungan protein : 21,5% Kandungan lemak : 43% Ketahanan terhadap penyakit : Toleran terhadap penyakit layu, karat dan bercak daun Keterangan : Hasil stabil dan beradaptasi luas Nama Varietas : Jerapah Kategori : Kacang tanah Tahun : 1998 Tetua : Hasil silang tunggal dari varietas lokal Majalengka dengan ICGV86021 Rataan Hasil : 1-4 ton/ha Potensi Hasil : 1,92 ton / ha Umur tanaman : Mulai berbunga: 38-31 hari, penen : 90-95 hari Bentuk tanaman : Tegak Warna biji : Rose (merah muda) Jumlah polong : 15-20 / tanaman Jumlah biji : 2 / polomg Bentuk biji : Bulat Bobot 100 polong : 45-50 gram Kandungan protein : 21,5% Kandungan lemak : 43% Daya hasil : 1-4 ton/ha Rata-rata hasil : 1,92 ton / ha Ketahanan terhadap penyakit : Tahan terhadap penyakit layu, penyakit karat, dan penyakit becak daun Keterangan : Toleransi kekeringan, hasil stabil beradaptasi luas dan toleran lahan masam

114 Lampiran 1 Deskripsi duabelas varietas kacang tanah (lanjutan) Nama Varietas : Kancil Kategori : Varietas unggul nasional (released variety) SK : 61/Kpts/TP.240/1/2001 tanggal 12 Januari tahun 2001 Tetua : Introduksi dari ICRISAT, India (persilangan antara F334A-B-14 dan NC Ac 2214) Rataan Hasil : 1.3-2.4 ton/ha Potensi Hasil : 1.7 ton/ha Umur berbunga : 26-28 hari Umur panen : 90-95 hari Tipe tumbuh : Tegak Rata-rata tinggi tanaman : 54.9 cm Bentuk dan warna biji : Bulat, warna biji ros Jumlah biji per polong : 2 atau 1 Jumlah polong per tanaman : 15-20 Bobot 100 biji : 35-40 gram Kadar protein : 29.9% Kadar lemak : 50.0% Ketahanan terhadap penyakit : Tahan penyakit layu, toleran terhadap penyakit karat dan bercak daun, tahan Aspergillus flavus Sifat khusus : Toleran terhadap klorosis Benih Penjenis (BS) : Dirawat dan diperbanyak oleh Balai Penelitian Kacang- Kacangan dan Umbi-umbian Nama Varietas : Sima Kategori : Varietas unggul nasional (released variety) SK : 63/Kpts/TP.240/2001 tanggal 12 Januari tahun 2001 Tetua : Silang tunggal varietas lokal Majalengka dengan ICGV 87165 Rataan Hasil : 1.3-2.4 ton/ha Potensi Hasil : 2.0 ton/ha Umur berbunga : 28-31 hari Umur panen : 100-105 hari Rata-rata tinggi tanaman : 67.1 cm Tipe tumbuh : Tegak Warna biji : Ros (merah muda) Jumlah biji per polong : 3;4;2 atau 1 Jumlah polong per tanaman : 15-20 Bobot 100 biji : 35-45 gram Kadar protein : 29.9% Kadar lemak : 50% Ketahanan terhadap penyakit : Tahan penyakit layu, toleran terhadap penyakit karat dan bercak daun, agak tahan A.flavus Sifat khusus : Tergolong toleran kekeringan dan toleran lahan masam

115 Lampiran 1 Deskripsi duabelas varietas kacang tanah (lanjutan) Nama Varietas : Turangga Kategori : Varietas unggul nasional (released variety) SK : 62/Kpts/TP.240/1/2001 tanggal 12 Januari tahun 2001 Tahun : 2001 Tetua : Introduksi dari ICRISAT, India (persilangan antara OG 69-6-1 x NC Ac 17090) Umur berbunga : 28-31 hari Umur panen : 100-110 hari Rata-rata tinggi tanaman : 77.9 cm Tipe tumbuh : Tegak, Tipe Valencia Jumlah biji per polong : 4;3;2; atau 1 Jumlah polong per tanaman : 14-20 Bobot 100 biji : 40-50 gram Bentuk polong : Tidak berpinggang, paruh kecil menonjol, bentuk paruh lurus, melengkung dengan kulit polong kasar Bentuk dan warna biji : Lonjong, ujungnya datar lancip, warna ros Kadar protein : 25.8% Kadar lemak : 47.4% Ketahanan terhadap penyakit : Tahan penyakit layu, agak tahan terhadap penyakit karat bercak daun, dan A.flavus Sifat khusus : Toleran terhadap kekeringan dan penaungan Nama Varietas Kategori : Garuda3 (Garuda biji tiga) : Varietas lokal asal Desa Citayam Kec. Bojong Gede, Kabupaten Bogor Tanggal Pelepasan : 6 Agustus 2008 Daya Hasil : 2,5 ton/ha Hasil Rata-rata : 1,8 ton/ha polong kering Bentuk tanaman : Tegak, tipe Valencia Jumlah polong/pohon : 13-22 Jumlah biji/polong : 3-4 Bobot 100 biji : 44 gram Kadar lemak : 43% Kadar protein : 27,11% Rendemen : 70 % Ketahanan terhadap penyakit : Tahan penyakit layu, peka penyakit karat dan bercak daun

116 Lampiran 2 Tiga Kategori Polong Polong penuh Polong setengah penuh Polong cipo