I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemampuan hutan dan ekosistem didalamnya sebagai penyimpan karbon dalam bentuk biomassa di atas tanah dan di bawah tanah mempunyai peranan penting untuk menjaga keseimbangan kapasistas gas rumah kaca di atmosfer. Informasi ini diperlukan dalam kegiatan pengelolaan hutan secara menyeluruh dan secara strategis untuk terlibat dalam perdagangan karbon dunia sebagai implikasi dari diberlakukannya Protokol Kyoto. Metode-metode pendugaan kandungan biomassa dari pohon maupun tegakan telah dikembangkan oleh para peneliti terdahulu (Brown 2002; Lu 2006; Basuki et al. 2009) dan akan terus berkembang untuk mendapatkan metode yang mempunyai keakuratan tinggi. Metode pendugaan biomassa yang sudah ada, disusun dengan pendekatan hubungan matematik antara peubah biomassa dengan peubah pohon atau tegakan dalam bentuk persamaan regresi. Metode destruktif digunakan untuk mengukur secara langsung besarnya biomassa pohon dan akumulasi nilai biomassa pohon dalam suatu tegakan menjadi dugaan biomassa tegakan hutan. Selain itu, dikembangkan juga metode nondestruktif menggunakan persamaan alometrik biomassa pohon. Persamaan ini dibangun dengan menghubungkan biomassa pohon dengan peubah yang diukur pada pohon seperti diameter dan tinggi pohon. Pada tahap berikutnya, dikembangkan juga model-model penduga biomassa tegakan berdasarkan dimensi tegakan yang diukur di lapangan. Model-model penduga tersebut masih perlu diuji tingkat keakuratannya agar memberikan informasi dugaan yang tidak berbias. Seiring dengan perkembangan teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis, pendekatan spasial dalam pendugaan biomassa tegakan hutan semakin terbuka lebar dan menjadi penting. Ketersediaan model penduga biomassa tegakan melalui data citra satelit memberikan kemudahan dalam pendugaan biomassa tegakan hutan pada cakupan yang lebih luas dibandingkan dengan model terestris. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan kajian model penduga biomassa tegakan menggunakan peubah yang dapat diukur pada citra satelit.
2 Model penduga biomassa ini dapat diterapkan bersama-sama dengan metode penarikan contoh yang umum digunakan dalam pendugaan potensi tegakan. Informasi kandungan biomassa dalam tegakan hutan merupakan salah satu komponen penting dalam penentuan stok karbon yang tersimpan dalam hutan. 1.2 Perumusan Masalah Pemanfaatan sumber daya alam dan bahan bakar fosil dalam era industri saat ini, selain meningkatkan tingkat kesejahteraan manusia, ternyata memberikan dampak negatif. Peningkatan suhu bumi sebagai dampak dari meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menyebabkan perubahan iklim secara global. Upaya pengurangan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer ini menjadikan hutan sebagai salah satu solusi. Kemampuan hutan dalam menyerap dan menyimpan karbon dalam bentuk biomassa mendorong upaya penyelamatan hutan yang masih tersisa dan mempercepat pembangunan kembali hutan-hutan yang telah hilang atau terdegradasi. Sebagai salah satu ekosistem yang unik, secara global lahan gambut mampu menyimpan sekitar 329-525 Gt (giga ton) karbon setara dengan 15-35% dari total karbon terestris. Komposisi besaran karbon tersebut terbagi atas karbon di lahan gambut di daerah temperate (86%) dan sisanya terdapat di daerah tropis (14%) (Murdiyarso et al. 2004). Hutan rawa gambut mempunyai kemampuan menyerap karbon paling efektif dibandingkan dengan ekosistem hutan lainnya, yaitu kandungan karbon yang tersimpan dalam ekosistem ini mencapai dua kalinya dibandingkan dengan ekosistem daratan lainnya dan hampir sama dengan kandungan karbon yang ada di atmosfer. Selain itu, hutan rawa gambut juga unik karena simpanan airnya yang juga cukup dominan. Di dunia, hutan rawa gambut yang ada hanya sekitar 3% saja dari total luas daratan. Di Indonesia terdapat sekitar 30 juta ha hutan rawa gambut dan merupakan jumlah terbesar di Asia Tenggara yang setara dengan 7,5% dari seluruh hutan rawa gambut di dunia (Wijaya et al. 2010). Hutan rawa gambut di Indonesia tersebar dominan di Pulau Sumatera seluas 10.888.199 (33,3%), Pulau
3 Papua seluas 10.682.262 ha (32,7%), Pulau Kalimantan seluas 10.385.047 ha (31,8%), dan sisanya berada di Pulau Sulawesi seluas 611.152 ha (1,9%) serta di Pulau Jawa seluas 89.446 ha (0,3%) (KLH 2010). Hutan rawa gambut mempunyai keunikan dalam laju dekomposisi serasahnya dan dipengaruhi oleh kondisi hidrologi, ketersediaan unsur hara pada lingkungan yang miskin hara, dan ph yang rendah. Kondisi muka air tanah dan kadar air, terutama pada permukaan gambut, berperan dalam mengontrol laju dekomposisi melalui jumlah mikrob tanah dan aktivitasnya. Populasi mikrob tanah dan aktivitasnya akan tinggi pada daerah aerob dibandingkan anaerob. Laju dekomposisi paling cepat terjadi pada kondisi aerob dan lembap. Laju dekomposisi menjadi lambat jika kondisi kering terus menerus dan menjadi sangat lambat pada daerah yang secara permanent anaerob (Sulistiyanto et al. 2005). FAO (2004) mendefinisikan biomassa hutan sebagai bahan-bahan organik hidup maupun yang sudah mati dan berada di atas permukaan tanah hutan atau di bawah permukaan tanah hutan, seperti: pohon, tumbuhan bawah, semak, serasah, akar, dan lain-lain. Biomassa di atas permukaan tanah terdiri atas semua biomassa hidup di atas permukaan tanah yang meliputi batang, tunggak, cabang, kulit, buah/biji, dan daun. Biomassa di bawah permukaan tanah terdiri atas semua akar pohon yang masih hidup kecuali serabut akar (diameter < 2 mm). Biomassa hutan di atas permukaan merupakan komponen penting yang sangat terkait dengan siklus karbon, alokasi nutrisi hutan, akumulasi bahan bakar fosil, dan habitat dalam ekosistem hutan. Ekosistem hutan juga mempunyai peranan peting dalam siklus karbon secara global. Hutan mampu menyimpan karbon sekitar 80% (IPPC 2001). Tegakan hutan yang masih produktif untuk tumbuh mampu menyerap gas CO 2 yang ada di atmosfer dan menyimpannya dalam bentuk biomassa pohon (Losi et al. 2003). Kemampuan tegakan hutan tersebut mendorong United Nations Framework Convention on Climate Change dan Protokol Kyoto menempatkan posisi hutan secara strategis berperan dalam penyerapan karbon secara global, seperti terlihat pada Artikel 3.3 dan 3.4 dari Protokol Kyoto (Rosenqvist et al. 2003). Brown (2002) menyatakan bahwa dengan hilangnya pohon dalam ekosistem hutan, baik secara alami maupun karena kegiatan penebangan, degradasi hutan, kebakaran, terserang hama dan penyakit,
4 perubahan fungsi menjadi nonhutan maka jumlah karbon yang dilepaskan ke atmosfer lebih banyak dibandingkan dengan karbon yang dilepaskan pada proses fotosintesis sewaktu pohon masih hidup. Pendugaan biomassa dapat dilakukan melalui metode langsung menggunakan data penginderaan jauh (citra satelit) melalui berbagai macam pendekatan seperti analisis regresi berganda sampai dengan sistem jaringan syaraf tiruan (neural network). Pendugaan biomassa secara tidak langsung menggunakan parameter penutupan tajuk (diameter tajuk) atau nilai digital dari piksel pada citra satelit juga diperoleh melalui analisis regresi berganda (Lu 2006). Metode pendugaan biomassa terus mengalami peningkatan seiring dengan semakin majunya teknologi penginderaan jauh. Penggunaan data citra satelit pada awal penelitian pendugaan biomassa lebih banyak dilakukan pada hutan konifer yang struktur dan komposisi jenisnya relatif lebih sederhana (Wu & Strahler 1994; Trotter et al. 1997; Zheng et al. 2004). Pada hutan tropis, penelitian pendugaan biomassa banyak mengalami kendala, terutama oleh struktur tegakan dan komposisi jenis yang cukup kompleks (Nelson et al. 2000; Steininger 2000; Foody et al. 2003). Pendugaan biomassa hutan menggunakan 2 macam satuan biomassa, yaitu biomassa kering dan biomassa basah. Biomassa kering lebih relevan digunakan dalam pendugaan penyerapan karbon karena 50% dari biomassa ini merupakan jumlah karbon yang terkandung didalamnya (Losi et al. 2003). Keterkaitan antara karbon dan biomassa dalam tegakan hutan menjadi isu menarik bagi peneliti melalui kajian tentang hubungan antara keduanya sampai dengan metode pendugaan cadangan karbon yang tersimpan dalam tegakan hutan. Dalam bidang kehutanan, penggunaan teknologi penginderaan jauh telah banyak diaplikasikan dalam kegiatan pemetaan tutupan lahan, evaluasi perubahan tutupan dan penggunaan lahan. Selain itu, penggunaan peubah-pubah biofisik yang dapat ditaksir melalui data citra satelit seperti kerapatan tutupan tajuk dan diameter tajuk untuk menduga tegakan hutan di lapangan seperti volume tegakan dan biomassa tegakan (Lu 2006).
5 Penggunaan teknologi penginderaan jauh yang dikombinasikan dengan pengukuran lapangan (survei lapang) dapat digunakan dalam pendugaan biomassa (Foody et al. 2003). Tantangan yang menarik dalam pembuatan model penduga biomassa ini adalah perlunya peningkatan kualitas data lapangan untuk menghasilkan model penduga yang lebih akurat, menguji keakuratan hasil pendugaan analisis data penginderaan jauh, dan mendapatkan peubah data penginderaan jauh yang mempunyai korelasi erat dengan biomassa. Model-model penduga biomassa yang sudah terbangun dan teruji kevalidannya dapat digunakan dalam pendugaan biomassa pada areal-areal yang sulit terjangkau. Penelitian pendugaan biomassa yang telah dilakukan lebih banyak dengan menghubungkan biomassa kering pohon dengan dimensi pohon yang dapat diukur seperti diameter (dbh) dan tinggi pohon. Persamaan pendugaan biomassa ini diperoleh melalui analisis regresi dengan metode penduga kuadrat terkecil (Ordinary Least Square, OLS). Asumsi dasar yang harus dipenuhi dalam analisis regresi ini meliputi adanya kenormalan sisaan dan ragam yang bebas dan konstan (Furnival 1961). Kekonstanan ragam dalam analisis regresi linier ini sangat berpengaruh terhadap validitas pengujian hipotesis. Pendugaan biomassa tegakan hutan telah banyak dilakukan dengan berbagai macam pendekatan. Mulai dari pendekatan terestris melalui pengukuran biomassa secara langsung pada pohon penyusun tegakan sampai dengan penggunaan data citra satelit. Selain itu, penyusunan model alometrik untuk menduga biomassa pohon berdasarkan dimensi-dimensi pohon yang diukur juga dikaji oleh para peneliti. Persamaan alometrik tersebut disusun dengan metode penebangan dan penimbangan langsung. Hal ini dapat meningkatkan ketepatan pendugaan dan mengurangi kesalahan yang mungkin ada. Pada umumnya, teknik analisis regresi banyak diterapkan dalam penyusunan alometrik tersebut, baik model regresi linier maupun nonlinier (Wiant & Harner 1979; Tiryana et al. 2011). Peubah-peubah penduga yang digunakan juga semakin bervariasi, mulai dari peubah dimensi pohon (Pastor et al. 1984; Nelson et al. 1999; Basuki et al. 2009), peubah dimensi tegakan, dan data citra satelit (Foody et al. 2003; Lu 2006).
6 Objek kajian dalam penyusunan model penduga biomassa juga bervariasi, dari hutan temperate, subtropis hingga hutan tropis (Murdiyarso et al. 2004; Basuki et al. 2009). Model-model penduga biomassa yang dibuat, pada umumnya juga bersifat lokal yang khusus digunakan pada lokasi tertentu sesuai dengan asal data penyusun model penduga biomassa tersebut. Berbagai macam model/persamaan alometrik untuk pendugaan biomassa tegakan sudah banyak diteliti dan dibuat, tapi belum ada persamaan penduga biomassa tegakan yang disusun berdasarkan peubah citra satelit hasil interpretasi visual. Oleh karena itu, dipandang cukup penting untuk melakukan penelitian mengenai persamaan alometrik tersebut terutama untuk kasus di hutan rawa gambut. Harapannya, model yang didapatkan akan memberikan kontribusi yang besar di dalam peningkatan keakurasian pendugaan karbon di hutan rawa gambut Indonesia. 1.3 Tujuan Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk membangun model penduga biomassa tegakan hutan rawa gambut menggunakan peubah kerapatan tajuk dan diameter tajuk hasil penaksiran citra satelit SPOT Pankromatik. 1.4 Hipotesis Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah adanya korelasi antara peubah-peubah penaksiran pada citra satelit SPOT Pankromatik dengan peubahpeubah pengukuran di lapangan, yaitu peubah kerapatan tajuk dan diameter tajuk. 1.5 Manfaat Berkaitan dengan tujuan penelitian di atas, maka diharapkan dari kegiatan penelitian ini diperoleh suatu model penduga biomassa tegakan berdasarkan peubah pada citra SPOT Pankromatik. Hasil penelitian pun dapat digunakan dalam kegiatan inventarisasi hutan melalui aplikasi berbagai macam metode penarikan contoh, terutama yang melibatkan data citra satelit. Penentuan biomassa tegakan dalam suatu tegakan hutan bermanfaat dalam penghitungan
7 cadangan atau stok karbon yang tersimpan terutama dalam mendukung penerapan REDD di Indonesia. 1.6 Ruang Lingkup Lingkup penelitian yang akan dikerjakan secara ringkas disajikan pada Gambar 1 dengan fokus penelitian biomassa tegakan hutan adalah biomassa tegakan di atas permukaan tanah. Data Terestris: - Plot contoh Data Penginderaan Jauh: - Citra satelit Pengukuran dimensi pohon pada plot contoh Koreksi data citra satelit (rektifikasi) Korelasi antara dimensi: - Volume vs diameter pohon (dbh) - Volume vs diameter tajuk - Biomassa vs volume pohon Penyusunan persamaan penduga biomassa tegakan berdasarkan peubah penciri biomassa tegakan Model penduga biomassa tegakan hutan rawa gambut Gambar 1. Ruang lingkup kajian dalam penelitian.