BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman kakao (Theobroma cacao. l) merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan Indonesia yang memiliki peran penting dalam perekonomian nasional. Indonesia merupakan negara penghasil kakao terbesar ketiga setelah Pantai Gading dan Ghana. Luas tanaman kakao di Indonesia dari 37,08 ribu ha pada tahun 1980 menjadi 1,74 juta ha pada tahun 2013. Rata-rata peningkatan luas areal kakao mencapai 13,29% per tahun. Berdasarkan status pengusahaannya, perkebunan kakao dibedakan menjadi perkebunan rakyat (PR), perkebunan besar negara (PBN), dan perkebunan besar swasta (PBS). Dari ketiga jenis pengusahaan tersebut, PR menguasai 86,63% luas areal kakao Indonesia, diikuti oleh PBS dan PBN masing-masing sebesar 6,87% dan 6,50%. Produksi kakao Indonesia bersifat fluktuatif dan cenderung meningkat. Rata-rata produksi kakao Indonesia mengalami peningkatan sebesar 15,89% per tahun. Produksi kakao di Indonesia pada tahun 2012 sebesar 740.513 ton dan pada tahun 2013 sebesar 918,96 ribu ton (angka sementara). Sentra produksi kakao terbanyak di Indonesia ada pada provinsi Sulawesi Selatan,pada tahun 2013 produksinya diperkirakan mencapai 155.340 ton. Ekspor kakao Indonesia di tahun 2013 mencapai 414.090 ton per tahun. Ekspor kakao Indonesia menempatkan kakao sebagai penghasil devisa terbesar ketiga subsektor perkebunan setelah kelapa sawit dan karet. (Pusat Data dan Sistem Informasi-Kementerian Pertanian,2014) 1
Bagi Indonesia komoditas kakao merupakan komoditas ekspor andalan yang sejak beberapa tahun dipacu untuk dibudidayakan dalam hal meningkatkan ekspor biji kakao Indonesia. Jenis kakao yang banyak dikembangkan di Indonesia yaitu jenis kakao lindak karena kakao lindak cocok untuk ditanam di daerah dataran rendah dan bisa ditangani oleh rakyat. Perkebunan kakao di Indonesia sebagian besar dikelola langsung oleh rakyat. Budidaya kakao di Indonesia diharapkan mampu memberikan penghasilan yang mensejahterakan kehidupan masyarakat petani kakao di berbagai daerah. Perkembangan budidaya kakao berlangsung amat pesat dengan laju pertumbuhan luas tanaman dan produksi kakao yang meningkat. Tetapi peningkatan produksi kakao di Indonesia tidak diikuti dengan peningkatan mutu biji kakao, karena secara umum mutu biji kakao Indonesia masih dianggap rendah dipasar dunia. Biji kakao yang dihasilkan Indonesia ternyata kurang memiliki rasa dan aroma khas coklat yang penting diperlukan oleh industri industri coklat. Konsisten mutu biji kakao belum dapat terjamin. Kelemahan lain biji kakao Indonesia yaitu: rasa asam yang masih terlalu kuat, rasa sepat agak pahit, mudah pecah, kandungan lemak yang lemah, serta seringkali mengandung rasa bau asap. Perlu adanya tindakan untuk mengatasi masalah mutu biji kakao tersebut melalui penyempurnaan cara pengolahan biji kakao. Untuk memperoleh kakao dengan kualitas mutu yang baik, tidak hanya bergantung pada varietas dan lingkungan pertumbuhan tanaman kakao saja, tetapi tahapan pengolahan biji kakao juga sangat 2
menenttukan mutu, rasa, dan aroma biji kakao.oleh karena itu perlu adanya penyempurnaan pengolahan biji kakao. Dua Proses penting dalam pengolahan biji kakao yaitu fermentasi dan pengeringan. Biji kakao yang difermentasi umumnya memiliki kadar air antara 55-60%. Selama proses fermentasi akan terjadi perombakan senyawa kimia yang menghasilkan senyawa prekursor aroma yang spesifik. Proses perubahan komponen kimiawi selama fermentasi biji kakao akan terus berlangsung hingga berakhirnya proses pengeringan. Biji kakao yang sudah di fermentasi kemudian dikeringkan sampai kadar air 7,5 % atau kurang. Hal ini bertujuan untuk menjaga agar biji tidak terserang jamur saat penyimpanan, dan memperpanjang umur simpan biji kakao. Pada proses pengeringan terjadi perkembangan rasa, reaksi pencoklatan,dan penurunan keasaman biji (jinap et al., 1994). Perubahan senyawa kimia yang tidak didukung oleh kondisi pengeringan yang sesuai akan menghasilkan mutu yang rendah. Pada proses pengeringan biji kakao, pemilihan cara pengeringan yang tepat diharapkan dapat meningkatkan kualitas biji kakao kering. Kualitas biji kakao dikatakan baik apabila memiliki kadar air 7,5 %, warna coklat merata, kadar lemak tinggi, keasaman rendah, dan biji tidak mudah pecah. Indonesia memiliki keinginan untuk menyaingi produksi kakao Pantai gading dan Ghana. Banyak cara yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan produktivitasnya seperti penyempurnaan proses pengolahan biji kakao. Asosiasi kakao Indonesia menilai perlu adanya penyempurnaan cara pengolahan biji kakao segera dikarenakan hal ini akan berpengaruh terhadap pemasaran kakao Indonesia. Asosiasi kakao Indonesia telah mengamati perkembangan teknologi pengolahan 3
biji kakao dengan proses SIME-CADBURY, serta memandang perlu adanya kajian untuk penerapann proses SIME-CADBURY oleh perkebunan-perkebunan maupun masyarakat petani kakao di Indonesia. Prinsip dasar proses SIME-CADBURY yaitu menghasilkan mutu biji kakao seperti yang dihasilkan oleh Ghana dan memilih proses pengolahan sebagai faktor yang dominan dalam penentuan mutu biji kakao. Upaya penyempurnaan proses pengolahan biji kakao dimulai dari proses pemetikan buah hingga berakhirnya proses pengeringan biji kakao. proses pengeringan merupakan akhir dari proses pengolahan biji kakao basah menjadi biji kakao kering. Syarat berakhirnya proses pengeringan menurut SNI 2323-2008 yaitu kadar air biji kakao maksimal 7,5 %. Metode pengeringan yang banyak dilakukan oleh petani kakao di Indonesia untuk mendapatkan cita rasa yang baik yaitu dengan cara penjemuran sinar matahari (sun drying). Metode ini murah, sederhana dan penerapannya yang mudah menyebabkan petani kakao di Indonesia banyak menggunakannya. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menguji metode penjemuran sinar matahari. Dari hasil penelitian terbukti metode penjemuran sinar matahari mampu membentuk cita rasa, aroma coklat yang baik., dan reaksi pencoklatan yang optimal. Namun metode ini memiliki kelemahan yaitu menghasilkan jenis biji kakao yang berkualitas heterogen selama musim hujan, dan waktu yang dibutuhkan untuk proses pengeringan lama.untuk mengatasi kelemahan tersebut biasanya dilakukan dengan cara mengganti metode pengeringan sinar matahari dengan metode pengeringan alternatif lainnya. (Seminar penyempurnaan pengolahan biji kakao Asosiasi Kakao Indonesia,1989) 4
Salah satu rekomendasi untuk mengoptimalkan proses pengeringan biji kakao apabila keadaan tidak memungkinkan untuk dilakukan proses penjemuran sinar matahari secara penuh, yaitu melakukan proses pengeringan kombinasi antara penganginan dan pengeringan akhir. Penganginan dilakukan dengan cara memberikan aliran udara terhadap biji kakao yang telah difermentasi selama 72-80 jam pada suhu kamar.tumpukan biji kakao sekitar 15 cm dengan kecepatan hembusan udara 0,3 m/detik. Penganginan ini ditujukan untuk menghentikan proses fermentasi dan untuk mengoptimalkan reaksi pencoklatan. Penganginan berakhir apabila kadar air biji kakao mencapai 20 %, kemudian dilanjutkan dengan pengeringan akhir. Proses pengeringan akhir menggunakan suhu udara panas 45 C sampai dengan 60 C selama 16-24 jam sampai mencapai kadar air biji kakao maksimum 7,5%. Perlu adanya pembuktian lanjut apakah pengeringan kombinasi menggunakan aliran udara mampu menghasilkan reaksi pencoklatan biji kakao yang baik sama seperti biji kakao yang melalui reaksi pencoklatan oleh sinar matahari (Seminar penyempurnaan pengolahan biji kakao Asosiasi Kakao Indonesia,1989). Alternatif pengeringan biji kakao lainnya yaitu menggunakan metode pengeringan secara mekanis menggunakan suhu udara panas 45 C sampai dengan 60 C. Metode pengeringan ini menyebabkan laju pengeringan biji kakao berlangsung cepat dibandingkan pengeringan sinar matahari. Namun metodepengeringan mekanis dapat menurunkan jumlah kakao kering yang dihasilkan dan menyebabkan kenaikan biaya energi. (Arinze et al,1996 dalam Zahouli et al.,2010). Menurut Gracia Allamilla et al., (2007) pengeringan mekanis 5
menghasilkan biji kakao kering dengan keasaman yang lebih tinggi daripada biji kakao kering yang dikeringkan dengan metode pengeringan sinar matahari. Penelitian penggunaan berbagai alternatif pengeringan dalam rangka penyempurnaan proses pengeringan biji kakao telah banyak dilakukan tetapi kenyataannya masih banyak petani kakao di Indoesia yang tidak mengetahui nya, masih banyak biji kakao di Indonesia yang memiliki kadar air diatas 7,5 % dan warna coklat yang tidak merata pada permukaan biji. Hal ini yang menyebabkan mutu kakao Indonesia rendah.oleh karena itu penelitaian ini dilakukan untuk mengetahui metode pengeringan yang terbaik dalam rangka menghasilkan mutu biji kakao yang baik. Metode pengeringan terbaik diharapkan mampu untuk diaplikasikan oleh para petani kakao di Indonesia sehingga memberikan nilai tambah dan kesejahteraan bagi para petani kakao. 1.2 Tujuan 1. Mengetahui pengaruh penggunaan berbagai metode pengeringan biji kakao yaitu : penjemuran sinar matahari, pengeringan kombinasi, dan pengeringan mekanis terhadap sifat fisik dan kimia biji kakao kering. 2. Menentukan metode pengeringan yang terbaik untuk menghasilkan biji kakao kering dengan karakteristik sifat fisik dan kimia biji kakao terbaik. 3. Membuktikan apakah reaksi pencoklatan biji kakao menggunakan hembusan udara pada metode perngeringan kombinasi, mampu menghasilkan karakteristik yang sama dengan biji kakao yang melalui reaksi pencoklatan oleh sinar matahari. 6
1.3 Manfaat Penelitian ini diharapkan mampu memberikan solusi terhadap pemilihan metode pengeringan terbaik sehingga menghasilkan biji kakao kering dengan karakteristik sifat fisik dan kimia yang baik, selain itu diharapkan dengan adanya penelitian ini masyarakat Indonesia mengetahui upaya-upaya yang harus dilakukan dalam hal penyempurnaan pengolahan biji kakao 7