I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara yang nilai produksi pertaniannya belum mampu untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya secara mandiri sehingga masih ketergantungan pada impor. Menurut Badan Pusat Indonesia (BPS), nilai impor pangan Indonesia pada Juni 2016 mencapai 12,02 miliar dolar AS atau naik 7,86 persen apabila dibandingkan Mei 2016. Angka tersebut akan terus meningkat dari tahun ke tahun apabila Indonesia tidak mampu meningkatkan produktivitas pangannya. Salah satu kendala untuk meningkatkan produksi pangan Indonesia adalah tingkat kesuburan tanah pertanian yang rendah akibat eksplorasi lahan sehingga menurunkan kandungan C organik dalam tanah. Kadar C organik tanah yang sesuai untuk lahan pertanian minimal adalah 2,5% dari bahan organik tanah (BOT). Namun, sebagian besar lahan pertanian di Indonesia memiliki kadar C organik tanah kurang dari 2%. Tanah dalam kondisi ini sering disebut sebagai tanah lapar pupuk atau leveling offsehingga akan mengonsumsi pupuk kimia yang berlebihan, sedangkan penggunaan pupuk kimia tersebut tidak secara efektif terserap di dalam tanah, maksimal hanya 30% yang diserap oleh tanaman, dan 70-80% lainnya terbuang. Land dan Liu (2008) menyatakan bahwa pupuk yang diberikan akan hilang sebesar 40-70% nitrogen, 80-90% fosfor dan 50-70% kalium melalui penguapan, imobilisasi mikroba dan fiksasi mineral tanah. Tanah leveling off dapat diatasi dengan cara meningkatkan kadar C organik dalam tanah dengan memutus siklus karbon dan nitrogen sehingga penangkapan dan penyimpanan C dan N dalam tanah meningkat dan tanah menjadi lebih subur. Prusty dan Azeez (2005) menyatakan bahwa salah satu faktor terbesar yang mempengaruhi kesuburan dan produktivitas tanah adalah senyawa organik tanah, terutama kandungan humus yang seharusnya 70%. Humus mempengaruhi sifat tanah karena memiliki stabilitas yang tinggi sehingga terdekomposisi dengan lambat, meningkatkan agregasi tanah dan stabilitas agregat, meningkatkan
kapasitas pertukaran ion, dan berkontribusi terhadap ketersediaan N, P, K serta nutrien lain yang dibutuhkan oleh tanaman. Humus terbentuk dari proses humifikasi, yaitu proses pencampuran berbagai macam komponen hasil dari transformasi biologi dan kimia dari bahan organik (Hayes dan Swift, 1978). Humifikasi dibagi menjadi dua yaitu secara mikrobiologi dan kimia. Humifikasi secara mikrobiologi diawali melalui metabolisme lignin, fenol, asam amino, dan sebagainya, yang kemudian membentuk senyawa makromolekul yang sering dikenal dengan pengomposan. Namun, pengomposan kurang efisien karena hilangnya biomassa melalui emisi karbon dioksida, air dan nitrogen oksida sangat tinggi sehingga tidak ramah lingkungan (Ziechmann dkk., 2000). Selain itu, humifikasi mikrobiologi membutuhkan waktu yang sangat lama sementara eksplorasi lahan yang intensif perlu proses yang lebih cepat untuk menyuburkan tanah. Tan (2003) menyatakan bahwa humifikasi dapat dilakukan dengan tanpa bantuan mikroorganisme, maka humus dapat dibuat melalui proses kimiawi. Humifikasi secara kimia lebih efisien dilakukan karena proses humifikasi mikrobiologi dapat direproduksi secara kimia, sehingga dapat dihasilkan humus dengan waktu yang lebih cepat. Teori klasik makromolekul mendefinisikan humus sebagai total senyawa organik dalam tanah tertentu yang utamanya berasal dari jaringan tumbuhan dan hewan yang tidak terdekomposisi, produk dekomposisi parsial, dan biomassa tanah, serta substansi humat sebagai suatu rangkaian molekul dengan berat molekul relatif tinggi yang berwarna kuning hingga hitam (Stevenson, 1994). Namun, definisi humus dan substansi humat ini tidak didukung oleh adanya pembuktian yang dilakukan untuk memisahkan antara komponen yang terdekomposisi, produk dekomposisi parsial, dan biomassa. Seiring dengan perkembangan teknologi, analisis dengan menggunakan 13 C-NMR pada fraksi asam humat dan humin dilakukan oleh Hayes dkk., (2008) yang menunjukkan bahwa komponen humus atau substansi humat dalam tanah tersusun atas komponen aromatik, karbohidrat, peptida, lipid, lignin, dan struktur alifatis. Keberadaan struktur-struktur ini membuktikan bahwa substansi humat bukanlah suatu makromolekul seperti pada definisi klasik substansi humat, namun merupakan suatu asosiasi molekul yang
salah satu penyusunnya adalah molekul biologi seperti karbohidrat, peptida, dan lipid. Konsep supramolekul oleh Hayes dkk., (2010) dianggap lebih sesuai untuk mendefinisikan humus yang memberikan model substansi humat tanah dengan membandingkan antara konsep klasik dan konsep modern. Kuncaka (2013) memberikan terobosan New Road of Synthetic Humification dengan membuat suatu humus sintetik yang stabil sehingga dapat meningkatkan kesuburan tanah. Humus sintetik ini diperoleh dengan cara melakukan penggabungan molekul-molekul dari biochar dan hydrochar yang mengandung polisakarida, polipeptida, asam amino dan lemak agar menjadi humus stabil. Biochar diperoleh dari hasil proses pirolisis biomassa pertanian yang berlignin dan bersilika, sedangkan hydrochar yang mengandung polisakarida, polipeptida, asam amino dan lemak berasal dari Partial Hydrothermal Carbonization (PHTC) kotoran ternak (Kuncaka, 2013). Humus buatan ini dibuat untuk mengatasi humifikasi mikrobiologi yang lambat dan terbentuknya humus yang tidak stabil. Peran humus sintetik dirancang semirip mungkin seperti humus mikrobiologi yaitu sebagai agen lepas lambat makronutrien dan mikronutrien, pengendali transfer elektron, pengendali kadar air, rumah berkembangbiaknya bakteri tanah dan peningkat kadar oksigen tanah. Di sisi lain industri Monosodium Glutamat menghasilkan limbah GM-1 yang merupakan bahan organik cair hasil samping dari proses fermentasi molase dengan bakteri Micrococcus Glutamicus dalam proses pembentukan kristal asam glutamat. Limbah GM-1 mengandung setidaknya 2,5 % nitrogen total; 3,5% C-organik dan 2,5 % klor dengan ph berkisar 3,4-3,5 (PT. Sasa Inti). Industri tersebut menghasilkan limbah GM-1 dengan frekuensi dan volume limbah sebesar 800 kl/hari sehingga apabila tidak dikelola dengan baik dan benar akan menimbulkan pencemaran yang dapat mengancam keberlangsungan hidup manusia dan lingkungan sekitarnya baik pencemaran air, udara maupun tanah. Selain itu, limbah GM-1 juga mengandung unsur-unsur ikutan lainnya seperti Ca, Mg, S, Cl dan Fe serta beberapa unsur mikro lain dengankadar yang bervariasi sehingga limbah GM-1 biasanya diolah menjadi bahan dasar pupuk organik cair oleh industri yang bersangkutan (Sofyan dkk., 1997;Triastuti, 2006).
Nitrogen merupakan salah satu makronutrien yang ketersediannya tinggi di dalam limbah GM-1.Bersama unsur fosfor (P) dan kalium (K), nitogen (N) merupakan unsur hara yang mutlak dibutuhkan oleh tanaman.bahan tanaman kering mengandung sekitar 2 sampai 4 % nitrogen, jauh lebih rendah dari kandungan karbon yang berkisar 40 %.Namun, unsur hara nitrogen merupakan komponen protein (asam amino) dan klorofil.bentuk ion yang diserap oleh tanaman umumnya dalam bentuk NO3 - dan NH4 + bagi tanaman padi sawah (Russell, 1973). Berdasarkan permasalahan tersebut pada penelitian ini akan diterapkan konsep New Road of Synthetic Humification oleh Kuncaka (2014) untuk membuat humus sintetik yang berasal dari limbah MSG membentuk agregat supramolekul humus sintetik sesuai konsep humus Hayes melalui proseshydrothermal Carbonization (HTC). Humus sintetik diharapkanmampu memainkan konsep hostguest chemistry dalam tanah, dimana humin sintetik sebagai fraksi stabil dapat berperan sebagai host dari guest berupa asam glutamate yang berasal dari limbah GM-1 tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang studi pembuatan humus sintetik dari limbah monosodium glutamate (MSG) sebagai penangkap dan penyimpan nitrogen. Penelitian ini diharapkan dapat mengkaji secara semi-kuantitatif humus sintetik dalam menangkap dan menyimpan nitrogen. I.2 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang permasalahan yang dikemukakan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Mempelajari pembuatan humus sintetikmenggunakan bahan dasar limbah Monosodium Glutamate (MSG) dengan metode Hydrothermal Carbonization (HTC) 2. Menentukan energi eksotermal reaksi pada proses HTC 3. Menentukan nitrogen total yang terdapat pada humus sintetik I.3 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Membuktikan bahwa humus sintesis dapat dibuat dengan bahan dasar limbah hasil pembuatan MSG dengan menggunakan metode HTC
2. Humus sintesis diharapkan mampu memperbaiki kondisi tanah yang mengalami levelling-off sehingga dapat meningkatkan kesuburan tanah 3. Memberikan sumbangan pembaharuan penelitian atas permasalahan pertanian dan limbah industri di Indonesia