BAB V. Kesimpulan. A. Pendahuluan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I. Pendahuluan. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

VISI DAN STRATEGI PENDIDIKAN KEBANGSAAN DI ERA GLOBAL

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

KEWARGANEGARAAN GLOBALISASI DAN NASIONALISME. Nurohma, S.IP, M.Si. Modul ke: Fakultas FASILKOM. Program Studi Teknik Informatika.

BAB V KESIMPULAN Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum kurikulum Konstruksi tersebut melakukan the making process dalam

PERLINDUNGAN HAK-HAK MINORITAS DAN DEMOKRASI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Pendidikan didefinisikan sebagai alat untuk memanusiakan manusia dan juga

INTEGRASI ETNIS MUSLIM HUI DI CINA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

.KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

Identitas Kewarganegaraan. By : Amaliatulwalidain

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Yunita, 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. digunakan sebagai alat pemersatu bangsa demi merebut kemerdekaan (Rawantina,

KOMPARASI PENDEKATAN ETNIS DAN AGAMA PERPEKTIF CLEM McCARTNEY 1 DENGAN PERSPEKTIF FRANZ MAGNIS SUSENO. Oleh : Any Rizky Setya P.

Ethnic Integration and Spatial Segregation of the Chinese Population By DAVID W.S. WONG. Asian Ethnicity, Volume 1, Number 1, March 2000

I. PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang heterogen atau majemuk, terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. kenyataan yang tak terbantahkan. Penduduk Indonesia terdiri atas berbagai

BAB I PENDAHULUAN. sesamanya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menjalankan kehidupannya

BAHAN AJAR KEWARGANEGARAAN

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Dinamika Multikulturalisme Kanada ( ). Kesimpulan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

C. Pembelajaran PKn 1. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan Jika dirumuskan, adanya pendidikan kewarganegaraan memiliki tujuan antara lain:

BAB I PENDAHULUAN. dalam periode , yang ditandai dengan munculnya konflik-konflik

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya akan berbagai macam etnis,

Materi Bahasan. n Pengertian HAM. n Generasi HAM. n Konsepsi Non-Barat. n Perdebatan Internasional tentang HAM.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan di Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan peserta didik

Sinopsis (Back Cover)

Multikulturalisme: konsep-konsep dasar Multikulturalisme merupakan cara bagaimana memandang dan menyikapi perbedaan. Keberagaman atau pluralitas buday

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah gerbang yang utama dan pertama dalam usaha

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan gambaran umum lokasi penelitian, deskripsi dan pembahasan

Eksistensi Pancasila dalam Konteks Modern dan Global Pasca Reformasi

BAB IV KESEPAKATAN ANTARA SUKU-SUKU DI ISRAEL DENGAN DAUD DALAM 2 SAMUEL 5:1-5 PERBANDINGANNYA DENGAN KONTRAK SOSIAL MENURUT JEAN JACQUES ROUSSEAU

BAB V KESIMPULAN. BAB V merupakan bab yang berisi kesimpulan-kesimpulan dari setiap

C. Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia

Wawasan Kebangsaan. Dewi Fortuna Anwar

BAB V KESIMPULAN. Tulisan ini telah menunjukkan analisis terhadap alasan-alasan di balik peningkatan

Peranan hamas dalam konflik palestina israel tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu

I. PENDAHULUAN. kelompok-kelompok perorangan dengan jumlah kecil yang tidak dominan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena ketidak-konsistenan antara pendidikan dan keberhasilan kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Pada tanggal 17 Februari 2008 yang lalu, parlemen Kosovo telah

BAB I PENDAHULUAN. Pilgub Jabar telah dilaksanakan pada tanggal 24 Pebruari 2013, yang

KEWARGANEGARAAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN SEBAGAI MATA KULIAH PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN. Syahlan A. Sume. Modul ke: Fakultas FEB

TURKEY, EUROPE, AND PARADOXES OF IDENTITY

BAB I PENDAHULUAN. kebiasaan, bahasa maupun sikap dan perasaan (Kamanto Sunarto, 2000:149).

BAB V. Kesimpulan. Identitas ini menentukan kepentingan dan dasar dari perilaku antar aktor. Aktor tidak

KONSENTRASI BARU KEBANGKITAN ISLAM DI ASIA TENGGARA. Dewi Triwahyuni

BAB I PENDAHULUAN. bahasa juga mempengaruhi pikiran manusia itu sendiri. Ilmu Sosiolinguistik

I. PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia merupakan suatu bangsa yang majemuk, yang terdiri dari

PERAN PANCASILA SEBAGAI ALAT PEMERSATU BANGSA

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak pernah dijajah. Meskipun demikian, negara ini tidak luput dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Identitas pertama kali diperkenalkan oleh Aristoteles dan dipakai oleh para

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang Bangsa dan negara Indonesia sejak proklamasi pada tanggal 17 Agustus

ULTURAL DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM DI SEKOLAH PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

Problem Papua dan Rapuhnya Relasi Kebangsaan

I. PENDAHULUAN. Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Repubik Indonesia,

TINJAUAN PUSTAKA. A. Politik Identitas. Sebagai suatu konsep yang sangat mendasar, apa yang dinamakan identitas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai sebuah negara yang masyarakatnya majemuk, Indonesia terdiri

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

DOSEN : Dr. AGUS SUBAGYO, S.IP., M.SI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Neni SUharjani, 2014

BAB I PENDAHULUAN. potensi dirinya melalui proses pembelajaran atau cara lain yang dikenal dan diakui

BAB I PENDAHULUAN. budaya. Pada dasarnya keragaman budaya baik dari segi etnis, agama,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian I Gede Budiawan, 2015

PERAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DALAM MENGATASI GERAKAN RADIKALISME. Oleh: Didik Siswanto, M.Pd 1

PEMBANGUNAN YES GBHN No!

Teori Perubahan Sosial Budaya.

EXECUTIVE SUMMARY KAJIAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DAERAH YANG MEMILIKI OTONOMI KHUSUS

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, REKOMENDASI

Materi Minggu 12. Kerjasama Ekonomi Internasional

A. IDENTITAS MATA AJARAN

RESUME DUKUNGAN JERMAN TERHADAP RENCANA REFORMASI CAP (COMMON AGRICULTURAL POLICY) UNI EROPA. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting

BAB I PENDAHULUAN. suatu persamaan-persamaan dan berbeda dari bangsa-bangsa lainnya. Menurut Hayes

BAB VIII KESIMPULAN. kesengsaraan, sekaligus kemarahan bangsa Palestina terhadap Israel.

BAB I PENDAHULUAN. salah satu isu utama dalam hubungan internasional. Persoalan ini menjadi sangat

BAB V PENUTUP KESIMPULAN. Rangkaian perjalanan sejarah yang panjang terhadap upaya-upaya dan

BAB 4 KESIMPULAN. 69 Universitas Indonesia. Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010

CHAPTER V SUMMARY BINA NUSANTARA UNIVERSITY. Faculty of Humanities. English Department. Strata 1 Program

ESENSI DAN URGENSI IDENTITAS NASIONAL SEBAGAI SALAH SATU DETERMINAN PEMBANGUNAN BANGSA DAN KARAKTER

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Perkembangan era globalisasi saat ini telah membawa kemajuan ilmu

BAB V ANALISIS SK GUBERNUR NO. 188/94/KPTS/013/2011 DALAM TEORI PERLINDUNGAN EKSTERNAL DAN PEMBATASAN INTERNAL PERSPEKTIF WILL KYMLICKA

proses sosial itulah terbangun struktur sosial yang mempengaruhi bagaimana China merumuskan politik luar negeri terhadap Zimbabwe.

I. PENDAHULUAN. pemerintahannya juga mengalami banyak kemajuan. Salah satunya mengenai. demokrasi yang menjadi idaman dari masyarakat Indonesia.

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. melepaskan Timor Timur dari bagian NKRI (Kuntari, 2008). Pergolakan

BAB V KESIMPULAN. European Coal and Steel Community (ECSC), European Economic. Community (EEC), dan European Atomic Community (Euratom), kemudian

BAB I PENDAHULUAN. Nasionalisme melahirkan sebuah kesadaran melalui anak-anak bangsa. penindasan, eksploitasi dan dominasi.

Kebijakan Gender AIPP Rancangan September 2012


Kedua, bila dicermati tindak kekerasan itu tidak diseluruh Papua, tapi berkosentrasi di tiga distrik yaitu Jayapura, Abepura, dan Puncak Jaya.

BAB I PENDAHULUAN. Museum Permainan Tradisional di Yogyakarta AM. Titis Rum Kuntari /

BAB V KESIMPULAN. serangan Paris oleh kaum Islamis dengan pandangan-pandangan SYRIZA terhadap

Tanggapan Generasi Muda Etnis Tionghoa terhadap Implementasi Strategi Kampanye Calon Legislatif dari Etnis Tionghoa dalam Pemilu 2014

Transkripsi:

BAB V. Kesimpulan A. Pendahuluan Kebijakan nation building yang diterapkan di Malaysia saat ini (dengan basis identitas etnis Melayu sebagai kelompok etnis yang dominan) tidak berjalan seperti yang diharapkan karena munculnya berbagai hambatan dalam perjalanannya. Kegagalan nation building yang memberikan penekanan pada pembentukan sebuah bangsa yang penduduknya terdiri dari lebih dari satu kelompok etnis dan mendefinisikan identitas nasionalnya berdasarkan hanya pada identitas salah satu kelompok etnis yang ada juga sudah dialami di negara-negara lain seperti Russia, Eriteria, dan seterusnya. Fenomena di atas sejalan dengan apa yang dikritisi oleh Walker Connor bahwa nation building dengan pendekatan penciptaan satu identitas nasional melalui proses rekayasa sosial yang cenderung asimilatif malah akan memberikan hasil yang sebaliknya nation destroying. 86 Kalau pun identitas nasional terbentuk dan persatuan nasional tercapai, tidak ada jaminan kondisi ini akan bertahan seterusnya. Salah satu contoh yang baru-baru ini terjadi adalah seperti yang terjadi di Spanyol (kelompok etnis Catalan ingin memisahkan diri), lalu juga ada di Inggris, dimana ada wacana referendum bagi Scotland untuk berpisah dari Inggris, menunjukan bahwa negara-negara yang saat ini sudah dianggap cukup dewasa dalam hal identitas kebangsaannya masih belum terbebas dari adanya tendensi dari (satu atau lebih) kelompok etnis yang ingin memisahkan diri (ethnic nationalism). Kritik Connor tersebut menekankan pentingnya untuk memperhatikan faktor-faktor yang berkaitan dengan etnisitas dalam 86 Connor, Walker. 1972. Nation-Building or Nation-Destroying? World Politics, Vol. 24(3). Hlm. 336. 63

membicarakan nation building karena besarnya pengaruh etnisitas dalam proses yang berjalan. B. Rangkuman Pada skripsi ini telah dibahas beberapa kebijakan nation building di Malaysia, diantaranya kebijakan pendidikan nasional yang difokuskan pada usaha pembentukan sistem pendidikan yang terintegrasi dengan memberikan perhatian khusus pada proses penerapan bahasa nasional sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah Malaysia. Kebijakan lainnya yang ditujukan untuk menunjang proses nation building di Malaysia adalah kebijakan New Economic Policy sebagai kebijakan afirmatif yang lahir pasca pecahnya kerusuhan etnis pada tahun 1969. Kebijakan pendidikan dan bahasa nasional berfungsi untuk menumbuhkan rasa persatuan dan loyalitas pada negara dikalangan para siswa dengan menanamkan common values dan identity, yang dicapai salah satunya dengan penerapan bahasa nasional sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah Malaysia. Namun dalam perjalanannya, penerapan kebijakan bahasa nasional ini tidak selalu berjalan dengan mulus, dikarenakan adanya beberapa keberatan dari kelompok non- Melayu untuk melepaskan sistem sekolah vernakular di level pendidikan dasar yang menggunakan bahasa ibu masing-masing sebagai bahasa pengantar. Kebijakan New Economic Policy (NEP) merupakan kebijakan afirmatif yang bertujuan untuk mengoreksi kondisi ketimpangan sosial-ekonomi antara kelompok etnis Melayu dengan kelompok etnis non-melayu. Adanya ketimpangan sosial-ekonomi diantara berbagai kelompok etnis dianggap bukan merupakan fondasi yang baik untuk menciptakan persatuan nasional, sehingga bagi pemerintah, kebijakan ini dianggap dibutuhkan untuk menunjang proses nation building. Sebagai konsekuensi dari penerapan kebijakan NEP, mencuatnya pembedaan masyarakat Malaysia berdasarkan garis etnis menjadi hal yang tidak terelakkan. Pada prinsipnya, kelompok non-melayu dapat menerima kebijakan 64

NEP karena kebijakan tersebut dirasa perlu untuk memperbaiki kondisi ketimpangan yang ada. Namun kebijakan NEP menjadi bermasalah ketika kebijakan tersebut masih terus berlangsung bahkan ketika sebagian besar target dari kebijakan tersebut sudah tercapai dan batas waktunya sudah terlampaui. Hambatan-hambatan yang dihadapi dalam penerapan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan nation building Malaysia di atas dapat dijelaskan dengan mempelajari pengaruh nasionalisme Melayu pada kebijakan-kebijakan tersebut. Sejak awal pertumbuhannya, nasionalisme Melayu dilatarbelakangi oleh rasa insecurity etnis Melayu terhadap posisinya yang terbelakang dibandingkan dengan kelompok etnis lain khususnya kelompok etnis Cina. Hal ini menyebabkan nasionalisme Melayu cenderung untuk melindungi eksistensi dan identitas kelompok etnis Melayu. Nasionalisme Melayu yang dilatarbelakangi oleh rasa insecurity etnis Melayu pula lah yang mempengaruhi kebijakankebijakan nation building di Malaysia dan mengundang resistensi atau penolakan dari kelompok etnis non-melayu. Berbagai hambatan dalam pelaksanaan nation building di Malaysia sebagaimana telah disimpulkan di atas dapat dilihat sebagai perwujudan dari perbedaan cara pandang dalam visi bangsa ideal (nation-of-intent) antara kelompok etnis Melayu dan kelompok etnis non-melayu. Kebijakan nation building yang selama ini dijalankan di Malaysia saat ini sangat terpusat pada nation-of-intent yang diusung oleh kelompok nasionalis Melayu. Beberapa kebijakan yang dilancarkan oleh pemerintah, baik itu kebijakan pendidikan maupun kebijakan ekonomi seperti NEP, sering kali dilandaskan pada elemen-elemen identitas etnis Melayu (seperti pada penerapan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah) atau mengutamakan pada kepentingan kelompok etnis Melayu (seperti pada berbagai program NEP). Penekanan pada identitas atau kepentingan etnis Melayu tersebut dilakukan untuk mempreservasi dan memperkuat identitas Melayu dalam kerangka kebangsaan 65

nasional. Sejak ditolaknya proposal Malayan Union dan berdirinya Federasi Malaya pada tahun 1957, dapat dikatakan bahwa konsep bangsa di Malaysia dibentuk dengan membasiskan identitasnya pada identitas Melayu. Selain itu, halhal seperti pengakuan atas keistimewaan kelompok Melayu dalam konstitusi, dan juga posisi dominan kelompok Melayu dalam sistem politik yang digambarkan melalui istilah primus inter pares first among equals, dengan jelas memberikan gambaran betapa dominannya hegemoni kelompok Melayu dalam kerangka kebangsaan Malaysia. Bagi kelompok etnis non-melayu, visi bangsa ideal (nation-of-intent) bagi Malaysia adalah sebuah bangsa yang dibasiskan pada karakteristik-karakteristik multietnis dan multikultur, dimana berbagai keragaman yang ada dari berbagai kelompok etnis diberikan pengakuan yang setara serta diberikan perlindungan untuk terus tumbuh. Sebagian besar dari kelompok etnis non-melayu tidak dapat menerima konsep kebangsaan dimana identitasnya dibasiskan pada identitas tunggal dari sebuah kelompok etnis tertentu. Oleh karena itu, banyak dari kelompok etnis non-melayu yang tidak setuju dengan bagaimana proses nation building Malaysia yang dijalankan saat ini karena mereka khawatir kebijakan tersebut akan menggerus integritas identitas etnis mereka, baik itu berupa bahasa, budaya maupun agama. Singkatnya, pendekatan yang dianggap asimilatif dalam proses nation building di Malaysia besar kemungkinannya akan menemui penolakan dari kelompok etnis non-melayu. Dalam bidang politik, dominasi kelompok etnis Melayu juga merupakan suatu hal yang sulit untuk diterima oleh kelompok etnis non-melayu. Meskipun secara historis ada social contract perjanjian tidak tertulis dimana kelompok etnis Melayu diakui dominasinya dengan imbalan pemberian kewarganegaraan terbuka bagi kelompok etnis non-melayu, cukup banyak generasi muda non-melayu yang menganggap bahwa kesepakatan ini bersifat tidak adil. Pengistimewaan kelompok etnis Melayu, baik secara langsung atau tidak, membantu menciptakan dikotomi antara bumiputera melawan non-bumiputera, yang pada akhirnya 66

membuat kelompok etnis non-melayu terus merasa diri mereka sebagai kelompok pendatang, warga negara kelas dua, dan tidak pernah membuat mereka benarbenar merasa telah menjadi warga negara yang setara di Malaysia. C. Penutup Melihat kondisi di Malaysia dimana masih terdapat perbedaan-perbedaan yang dapat berpotensi merusak persatuan nasional, tampaknya pendekatan atas nation building di Malaysia perlu mencari arah lain. Mungkin sudah saatnya bagi Malaysia untuk lebih memfokuskan usaha nation buildingnya pada hal-hal yang lebih mendasar, seperti pemberian kesetaraan bagi seluruh warga negaranya, dan mulai meninggalkan kebijakan-kebijakan yang malah memisah-misahkan penduduknya. Terdapat beberapa alternatif lain bagi negara-negara seperti Malaysia untuk menjalankan proyek nation buildingnya. Brubaker menawarkan tiga model sebagai berikut: 87 1. Model civic state: model ini tidak menempatkan hal-hal seperti etnisitas, identitas bangsa/identitas nasional, atau bahkan konsep mengenai bangsa itu sendiri sebagai sesuatu yang penting. Dalam model ini, persatuan nasional ditekankan dengan membangun loyalitas masyarakat kepada negara. 2. Model bi-/multinational state: secara sederhana, model ini merupakan sebuah model dimana didalam sebuah negara terdapat dua (atau lebih) ethnocultural core nations. Negara tidak menampilkan identitas nasionalnya dengan memilih/memberikan preferensi pada identitas kelompok yang satu dibandingkan dengan kelompok yang lain. 88 Model 87 Brubaker, Rogers. 1996. Nationalism Reframed: Nationhood and the National Question in the New Europe, Cambridge University Press. Hlm. 104-105. 88 Bahkan boleh jadi identitas nasional sama sekali tidak didefinisikan. 67

ini lebih cocok dalam situasi dimana terjadi penggabungan antar dua (atau lebih) negara, dengan entitas baru hasil penggabungan didefinisikan sebagai binational atau multinational, namun masing-masing komponen bangsa/negara tetap dapat menampilkan identitas nasional mereka masing-masing secara internal. 3. Model hybrid of minority rights: model ini dapat dipahami sebagai negara dimana bangsa beserta identitas kebangsaan/nasionalnya didefinisikan dengan jelas (salah satunya dengan mengadopsi identitas kelompok etnis mayoritas), namun negara ini tidak mencoba untuk mengasimilasikan identitas kelompok etnis mayoritas terhadap kelompokkelompok etnis minoritas. Anggota dari kelompok-kelompok etnis minoritas mendapat jaminan hak-hak yang setara sebagai warga negara dan oleh sebab itu, mereka juga mendapat jaminan proteksi dari praktekpraktek yang membeda-bedakan mereka dari kelompok etnis mayoritas. Beberapa aspek sosial-budaya kelompok minoritas, seperti pendidikan dan bahasa merupakan aspek-aspek yang dilindungi oleh negara, dan dengan demikian aspek-aspek tersebut secara prinsipil akan aman dari upayaupaya asimilasi kedalam kelompok etnis mayoritas. Berdasarkan ketiga model diatas, tampaknya model ketiga merupakan model yang cukup realistis untuk diterapkan di Malaysia. Berdasarkan model ketiga ini, identitas nasional dari Malaysia masih dibangun berdasarkan identitas etnis Melayu tetapi dengan memberikan perlindungan atas hak-hak kelompok etnis minoritas. Hal ini tentu akan berbeda, khususnya bagi kelompok etnis Melayu, apabila model yang pertama dan kedua yang dijadikan sebagai basis bagi nation building di Malaysia, yang tidak lagi menerapkan konsep identitas nasional tunggal. Bagi kelompok etnis non-melayu, meskipun dengan model yang ketiga ini identitas Malaysia masih dibasiskan pada identitas etnis Melayu, adanya jaminan atas kesetaraan bagi seluruh penduduk tanpa adanya lagi pembedabedaan dapat dilihat sebagai perubahan yang mendasar dibandingkan dengan kondisi saat ini. Kelompok etnis non-melayu juga bisa merasa aman akan 68

keberlangsungan identitas kultural mereka karena hal-hal tersebut dilindungi oleh negara. Namun ada konsekuensi yang sulit bagi kelompok etnis Melayu dimana besar kemungkinannya mereka harus melepaskan status istimewa mereka di Malaysia. Suatu hal yang mungkin masih sulit untuk dilaksanakan. 69