TURKEY, EUROPE, AND PARADOXES OF IDENTITY

Transkripsi

1 l Edisi 048, Februari 2012 P r o j e c t TURKEY, EUROPE, AND PARADOXES OF IDENTITY i t a i g k a a n D Ziya Onis Terkatung-katungnya Nasib Turki di Eropa Review Paper oleh Ihsan Ali-Fauzi 1

2 Edisi 048, Februari 2012 Sumber Paper: Ziya Onis, Turkey, Europe, and Paradoxes of Identity: Perspectives on the International Context of Democratization, Mediterranean Quarterly, 10.3 (Summer 1999). Artikel ini membahas tak-kunjung diterimanya Turki sebagai anggota penuh Uni Eropa, sementara negara-negara bekas jajahan komunis di Eropa Tengah dan Timur akan segera diterima. Ini mengherankan karena Turki sudah lama menyampaikan lamarannya, sementara negara-negara terakhir baru saja mengalami demokratisasi. Dengan membandingkan sejarah Turki dan negara-negara di Eropa ini, juga kinerja demokrasi dan hak-hak asasinya, penulis sampai pada kesimpulan bahwa semua negara ini memiliki banyak persamaan. Karenanya, terkatungkatungnya nasib Turki dan mulusnya nasib negara-negara Eropa Timur harus dijelaskan oleh kenyataan bahwa mayoritas penduduk Turki beragama Islam. Ini disayangkan, karena pendalaman demokrasi di Turki memerlukan integrasi negara itu ke Uni Eropa. D e m o c r a c y P e r p u s t a 2

3 l Edisi 048, Februari 2012 P r o j e c t k a a n D i t a i g Debat tentang hubungan Turki dan Eropa memasuki babak baru dengan kemungkinan segera dimasukkannya negara-negara di Eropa Tengah dan Timur (termasuk Hungaria, Polandia, Estonia, Republik Ceko dan Slovenia), yang dulu berada di bawah kontrol komunis, sebagai anggota penuh Uni Eropa. Ini karena nasib Turki, yang sebenarnya sudah lebih dulu mendaftar sebagai anggota penuh, yakni pada 1987, tak kunjung jelas. Sementara elite politik Turki merasa bahwa keanggotaan penuh itu hanya menunggu waktu, sebagai proses lanjut dari modernisasi dan sekularisasi yang sudah berlangsung lama di Turki, para elite Eropa sendiri masih ragu. Alasan yang dikatakan, itu terkait ekonomi (terkebelakang) dan politik (masih terjadinya pelanggaran hak-hak asasi manusia), dan bukan budaya (mayoritas penduduknya Muslim). Bagaimana menjelaskan ironi ini? 3

4 Edisi 048, Februari 2012 Bukankah ini hanya memperkuat penilaian bahwa Uni Eropa pada dasarnya adalah sebuah proyek peradaban, yang curiga terhadap Turki yang sebagian besar penduduknya menganut agama yang lain dari yang dianut mayoritas orang di Eropa? Artikel ini mencoba merefleksikan pertanyaan-pertanyaan di atas. Ketika menulis artikel ini lebih dari sepuluh tahun lalu, Ziya Onis, penulisnya, adalah gurubesar ekonomi pada Bogazici University, Istanbul, Turkey. Kini dia gurubesar hubungan internasional pada Universitas Koc, Turki. Refleksi di atas harus diajukan karena alasan yang dikemukakan untuk menunda-nunda keanggotaan Turki benarbenar lemah. Ini karena tingkat pertumbuhan ekonomi dan warisan otoritarianisme, yang menjadi alasan ditolaknya D e m o c r a c y P e r p u s t a 4

5 l Edisi 048, Februari 2012 P r o j e c t k a a n D i t a i g Turki, ditemukan baik di Turki maupun di negara-negara Eropa Tengah dan Tikur di atas. Turki dan negara-negara ini juga menunjukkan kelemahan atau keterbelakangan yang sama dalam kinerja demokrasi dan HAM dilihat dari standar Eropa. Dalam hal ini bahkan dapat diargumentasikan bahwa demokrasi perwakilan lebih umum ditemukan di Turki pada pasca- Perang Dunia II dibanding di negara-negara di atas, yang ketika itu berada di bawah cengkeraman komunisme. Boleh jadi di sini ada faktor ironi atau kebetulan sejarah. Yakni, dua fase paling problematis dalam sejarah demokrasi Turki berlangsung bersamaan dengan dua gelombang besar perluasan anggota Komisi Eropa atau Uni Eropa. Pertama pada akhir an, ketika negara-negara Eropa Selatan mengalami transisi 5

6 Edisi 048, Februari 2012 demokrasi, Turki berada di bawah otoritarianisme militer. Kedua pada 1990-an, ketika negaranegara Eropa Timur melepaskan diri dari kungkungan masa lalu komunisme mereka, demokrasi Turki tengah mengalami ancaman baru dengan menguatnya Islam politik dan meningkatnya konflik mengenai posisi kalangan minoritas etnis. Tapi penjelasan ini jauh dari memuaskan. Yang lebih meyakinkan adalah penjelasan geosekuriti. Yakni, stabilitas Eropa Timur tampaknya jauh lebih penting dibanding stabilitas Turki dilihat dari pertimbangan keamanan jangka pendek negaranegara Eropa Barat. D e m o c r a c y P e r p u s t a Namun faktor lain yang lebih penting lagi adalah kesamaan afinitas kultural antara negaranegara Eropa Barat dan Timur. Ini memperteguh dugaan, seperti 6

7 l Edisi 048, Februari 2012 P r o j e c t i t a diisyaratkan Samuel Huntington, bahwa Uni Eropa pada dasarnya adalah sebuah proyek budaya dengan lingkup yang jelas di perbatasan timurnya. Di sini Turki tidak dilihat sebagai bagian dari keluarga atau lingkaran peradaban Eropa yang lebih besar. Hal ini juga menjelaskan fakta bahwa, sejauh ini, Eropa tidak ingin memainkan peran aktif di tingkat global di wilayah-wilayah konflik, seperti Timur Tengah, sekalipun kepentingan mereka akan stabilitas minyak besar. k a a n D i g Onis menyayangkan perkembangan ini, karena diterimanya Turki sebagai bagian dari Uni Eropa akan membawa pengaruh positif terhadap pendalaman demokrasi di negara itu. Ini bukan berarti bahwa nasib demokrasi Turki akan sepenuhnya tergantung pada hal itu, tapi faktor integrasi ini akan memuluskannya. Sebab, integrasi dengan Uni Eropa 7

8 Edisi 048, Februari 2012 akan merupakan insentif penting bagi para politisi untuk terus mendukung dan memperdalam demokrasi. Dari sudut ini, hilangnya kemungkinan bagi integrasi penuh Turki dengan Uni Eropa bisa mendestabilisasi proses konsolidasi atau pendalaman demokrasi, seperti yang pernah dialami negara itu pada pertengahan dan akhir an. Kala itu, ambivalensi Eropa mengenai masa depan integrasi Turki telah menciptakan iklim yang kondusif bagi tumbuhnya politik identitas yang bercorak otoritarian, yakni Islam politik, maupun yang berbentuk nasionalisme etnis. Semuanya ini, waktu itu, telah menciptakan situasi yang mendorong kembalinya militer ke politik Turki, yang ditandai sistem kepartaian yang terfragmentasi dan parlemen yang lemah. D e m o c r a c y P e r p u s t a 8

9 l Edisi 048, Februari 2012 P r o j e c t Dengan membandingkan berbagai aspek dari Turki dan negara-negara Eropa Tengah dan Timur dalam kaitan keduanya dengan Uni Eropa, artikel ini dengan meyakinkan telah menunjukkan pentingnya aspek budaya, peradaban, atau agama dalam memahami Uni Eropa. Pemahaman ini sulit diperoleh jika kita hanya membaca hubungan Turki dengan Uni Eropa. k a a n D i t a i g Kini, sesudah lebih dari sepuluh tahun artikel ini ditulis, nasib keanggotaan Turki di Uni Eropa masih tetap terkatung-katung. Untungnya, jenis politik Islam yang tampil di panggung politik Turki belakangan ini tidak seperti yang diduga Onis, tetapi suatu jenis yang sepenuhnya mendukung sekularisme dan demokrasi, yakni Partai Keadilan dan Kesejahteraan (AKP). Mereka memenangkan pemilu justru dengan meninggalkan warisan 9

10 Edisi 048, Februari 2012 partai-partai Islam garis keras sebelumnya.[] 2012 Review Paper ini diterbitkan oleh Democracy Project, Yayasan Abad Demokrasi. D e m o c r a c y P e r p u s t a Jika Anda berminat mendapatkan artikel yang direview, silakan isi form permintaan. Kode artikel: ZON001 Sumber gambar: 10