HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
EVALUASI KEBERHASILAN PELAKSANAAN PROGRAM INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI POTONG DI KOTA SAWAHLUNTO JENI FEBRIANTO

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB III MATERI DAN METODE. Ongole (PO) dan sapi Simmental-PO (SIMPO) dilaksanakan pada tanggal 25 Maret

I. PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam

BAB I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia. Sebagai ternak potong, pertumbuhan sapi Bali tergantung pada kualitas

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan

I. PENDAHULUAN. tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. indicus yang berasal dari India, Bos taurus yang merupakan ternak keturunan

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi salah satunya adalah pemenuhan

Contak person: ABSTRACT. Keywords: Service per Conception, Days Open, Calving Interval, Conception Rate and Index Fertility

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

LEMBAR PERSETUJUAN ARTIKEL

Kinerja Reproduksi Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein (PFH) di Kecamatan Pudak, Kabupaten Ponorogo

PREFERENSI DAN TINGKAT PENGETAHUAN PETERNAK TENTANG TEKNOLOGI IB DI KABUPATEN BARRU. Syahdar Baba 1 dan M. Risal 2 ABSTRAK

Agros Vol. 16 No. 1, Januari 2014: ISSN

EFISIENSI REPRODUKSI SAPI POTONG DI KABUPATEN MOJOKERTO. Oleh : Donny Wahyu, SPt*

TINGKAT KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN SAPI POTONG DI TINJAU DARI ANGKA KONSEPSI DAN SERVICE PER CONCEPTION. Dewi Hastuti

PERFORMA REPRODUKSI PADA SAPI POTONG PERANAKAN LIMOSIN DI WILAYAH KECAMATAN KERTOSONO KABUPATEN NGANJUK

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat

SERVICE PER CONCEPTION (S/C) DAN CONCEPTION RATE (CR) SAPI PERANAKAN SIMMENTAL PADA PARITAS YANG BERBEDA DI KECAMATAN SANANKULON KABUPATEN BLITAR

ABSTRAK. Oleh: *Ramli Idris Mantongi, **Suparmin Fathan, ***Fahrul Ilham

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2016

I. PENDAHULUAN. Perkembangan dan kemajuan teknologi yang diikuti dengan kemajuan ilmu

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada

REPRODUCTION PERFORMANCE OF LIMOUSIN CROSSBREED IN TANGGUNGGUNUNG DISTRICT TULUNGAGUNG REGENCY

PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI PERANAKAN ONGOLE DAN PERANAKAN LIMOUSIN DI KABUPATEN MALANG

BAB I PENDAHULUAN. khususnya daging sapi dari tahun ke tahun di Indonesia mengalami peningkatan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Mekar, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Lokasi

Oleh: Rodianto Ismael Banunaek, peternakan, ABSTRAK

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada 2 April 2014 sampai 5 Mei 2014, di Kecamatan Jati

PENDAHULUAN. masyarakat Pesisir Selatan. Namun, populasi sapi pesisir mengalami penurunan,

PEDOMAN PELAKSANAAN UJI PERFORMAN SAPI POTONG TAHUN 2012

Salmiyati Paune, Jurusan Peternakan Fakultas Ilmu-ilmu Pertanian Universitas Negeri Gorontalo, Fahrul Ilham, Tri Ananda Erwin Nugroho

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia

penampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat

Pembibitan dan Budidaya ternak dapat diartikan ternak yang digunakan sebagai tetua bagi anaknya tanpa atau sedikit memperhatikan potensi genetiknya. B

EVALUASI KEBERHASILAN PROGRAM INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI POTONG DI KECAMATAN KLABANG KABUPATEN BONDOWOSO PROVINSI JAWA TIMUR TUGAS AKHIR.

WILAYAH KERJA KRADENAN III, KECAMATAN KRADENAN, KABUPATEN GROBOGAN, JAWA TENGAH SKRIPSI

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

KESIMPULAN DAN SARAN. Kesimpulan. Hasil estimasi heritabilitas calving interval dengan menggunakan korelasi

KAJIAN KEPUSTAKAAN. sangat besar dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu bagi manusia, ternak. perah. (Siregar, dkk, dalam Djaja, dkk,. 2009).

ANALISIS USAHA PEMBIBITAN SAPI POTONG KREDIT KETAHANAN PANGAN DAN ENERGI (STUDI KASUS KELOMPOK TANI SETIA KAWAN KABUPATEN LIMA PULUH KOTA) SKRIPSI

Nomor : Nama pewancara : Tanggal : KUESIONER PETERNAK SAPI BALI DI DESA PA RAPPUNGANTA KABUPATEN TAKALAR, SULAWESEI SELATAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gorontalo. Terdiri dari 18 Kecamatan, 191 Desa, dan 14 Kelurahan. Letak

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. Objek yang diteliti dalam penelitian ini adalah peternak dari tiga kelompok

Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian, Volume 1, Nomor 3, Desember 2012, hlm 23-28

PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI POTONG DI KABUPATEN BOJONEGORO. Moh. Nur Ihsan dan Sri Wahjuningsih Bagian Produksi Ternak Fakultas Peternakan UB, Malang

PERFORMANS REPRODUKSI INDUK SAPI LOKAL PERANAKAN ONGOLE YANG DIKAWINKAN DENGAN TEKNIK INSEMINASI BUATAN DI KECAMATAN TOMPASO BARAT KABUPATEN MINAHASA

Keberhasilan Pembangunan Peternakan di Kabupaten Bangka Barat. dalam arti yang luas dan melalui pendekatan yang menyeluruh dan integratif dengan

PROGRAM AKSI PERBIBITAN TERNAK KERBAU DI KABUPATEN BATANG HARI

PENDAHULUAN. Hasil sensus ternak 1 Mei tahun 2013 menunjukkan bahwa populasi ternak

KATA PENGANTAR. Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah mencurahkan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. kelahiran anak per induk, meningkatkan angka pengafkiran ternak, memperlambat

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48/Permentan/PK.210/10/2016

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat. Metode Penelitian

ANALISIS FAKTOR KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN TERNAK SAPI POTONG DI KECAMATAN TOMBOLO PAO KABUPATEN GOWA

LAPORAN AKHIR PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI

PERFORMANS REPRODUKSI SAPI PERANAKAN ONGOLE DAN PERANAKAN LIMOUSIN DI KECAMATAN PADANG KABUPATEN LUMAJANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

EVALUASI KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN BERDASARKAN PERHITUNGAN NON RETURN RATE, CONCEPTION RATE, SERVICE PER CONCEPTION, CALVING INTERVAL

Performans Reproduksi Sapi Peranakan Simmental (Psm) Hasil Inseminasi Buatan di Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah

PENDAHULUAN Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambaran Umum PT Widodo Makmur Perkasa Propinsi Lampung

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

PERFORMANS REPRODUKSI SAPI BALI DAN SAPI PO DI KECAMATAN SUNGAI BAHAR

TINJAUAN PUSTAKA. Sektor peternakan adalah sektor yang memberikan kontribusi tinggi dalam

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. Objek penelitian ini adalah peternak sapi potong Peranakan Ongole yang

KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH

Syahirul Alim, Lilis Nurlina Fakultas Peternakan

SISTEM PEMELIHARAAN TERNAK KERBAU DI PROPINSI JAMBI

PERFORMAN REPRODUKSI SAPI PERANAKAN ONGOLE DAN SAPI PERANAKAN LIMOUSINE DI KECAMATAN BERBEK KABUPATEN NGANJUK

ABSTRACT

I. PENDAHULUAN. dikembangkan di Indonesia. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan daging di

CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB).

BAB I PENDAHULUAN. Masalah utama peternakan kita sampai saat ini bertumpu pada


BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI

II. TINJAUAN PUSTAKA

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup

HASIL DAN PEMBAHASAN

Cahyo Andi Yulyanto, Trinil Susilawati dan M. Nur Ihsan. Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya Jl. Veteran Malang Jawa Timur

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Pedaging

SKRIPSI. Oleh : WIWIK WIDIARTINI

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. yang tergabung pada TPK Cibodas yang berada di Desa Cibodas, Kecamatan

PERFORMANS REPRODUKSI SAPI PERANAKAN ONGOLE DAN PERANAKAN LIMOUSIN PADA PARITAS BERBEDA DI KECAMATAN PACIRAN KABUPATEN LAMONGAN

PENDAHULUAN. pangan hewani. Sapi perah merupakan salah satu penghasil pangan hewani, yang

MINAT PETERNAK UNTUK MENGEMBANGKAN TERNAK SAPI DI KAWASAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT (Studi Kasus : Kecamatan Sungai Bahar Kabupaten Muaro Jambi)

EFISIENSI REPRODUKSI KAMBING PERANKAN ETAWA DI LEMBAH GOGONITI FARM DI DESA KEMIRIGEDE KECAMATAN KESAMBEN KABUPATEN BLITAR

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Saat ini, produksi susu di Indonesia masih sangat rendah baru

JIMVET E-ISSN : Juni 2018, 2(3):

HASIL DAN PEMBAHASAN. profil Desa Sukanegara, Kecamatan Carita, Kabupaten Pandeglang tahun 2016.

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :......

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan bangsa sapi yang paling banyak

Transkripsi:

8 Tabel 1 Panduan interpretasi hasil uji hipotesis berdasarkan kekuatan korelasi, nilai p, dan arah korelasi (Dahlan 2001) No. Parameter Nilai Interpretasi 1. Kekuatan Korelasi (r) 2. Nilai p 3. Arah korelasi 0.00-0.199 Sangat lemah 0.20-0.399 Lemah 0.40-0.599 Sedang 0.60-0.799 Kuat 0.80-1.000 Sangat Kuat P < 0.05 P > 0.05 + (positif) - (negatif) Terdapat korelasi yang bermakna antara dua variabel yang diuji Tidak terdapat korelasi yang bermakna antara dua variabel yang diuji Searah: semakin besar nilai satu variabel, semakin besar pula nilai variabel lainnya Berlawanan arah: semakin besar nilai satu variabel, semakin kecil nilai variabel lainnya HASIL DAN PEMBAHASAN Pelaksanaan Kegiatan Inseminasi Buatan Salah satu upaya untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas sapi lokal serta produksi peternakan di Kota Sawahlunto khususnya ternak sapi potong, Pemerintah Kota Sawahlunto dalam hal ini Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Sawahlunto melaksanakan program inseminasi buatan (IB). Pelaksanaan program IB di Kota Sawahlunto telah mencapai usia kurang lebih 10 tahun. Program IB di Kota Sawahlunto terdiri dari berbagai rangkaian kegiatan yang pelaksanaannya dikelola oleh dinas setempat. Pengelolaan ini ditunjang oleh beberapa aktivitas saling berkaitan yaitu penyuluhan IB, distribusi semen beku, deteksi birahi, sistem pelaksanaan IB, pelayanan pemeriksaan kebuntingan, pemeriksaan gangguan kebuntingan, dan pencatatan (recording) IB. Organisasi pelaksana IB yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan program IB di Kota Sawahlunto adalah Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Sawahlunto. Pelaksanaan program ini dikelola oleh Bidang Peternakan dan Perikanan dengan membuat satuan pelayanan khusus yaitu Satuan Pelayanan Inseminasi Buatan (SPIB). Gambar 1 memperlihatkan struktur organisasi pelaksanaan program inseminasi di Kota Sawahlunto. Lokasi pelaksanaan IB di Sawahlunto mencakup 4 kecamatan di wilayah Kota Sawahlunto. Untuk memudahkan pelaksanaan IB maka dibentuk SPIB yang terbagi pada 4 kecamatan tersebut. Keberadaan SPIB per kecamatan ini dapat memecahkan masalah klasik pelaksanaan IB yaitu tak terjangkaunya lokasi IB. Lokasi SPIB ini terletak di di kantor UPTD Pertanian setiap kecamatan.

9 Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Sawahlunto Bidang Peternakan dan Perikanan Bagian Produksi Satuan Pelayanan IB (SPIB) SPIB Kecamatan Inseminator Peternak. Gambar 2 Struktur organisasi pelaksana IB di Kota Sawahlunto Karakteristik Peternak Responden terdiri dari 44 peternak yang ada di Kota Sawahlunto. Karakteristik responden yang diamati dalam penelitian ini meliputi lama berternak, pendidikan terakhir, pekerjaan utama, dan jumlah ternak sapi potong yang dimiliki oleh peternak (Tabel 2). Hasil survei dari seluruh responden menunjukkan bahwa lama berternak responden adalah antara 1 sampai 5 tahun (43.2%), 6 sampai 10 tahun (20.5%), 11 sampai 15 tahun (13.6%), dan yang lebih dari 15 tahun (22.7%). Hal ini mengindikasikan bahwa responden yang berpengalaman rendah lebih mendominasi. Kondisi ini memungkinkan mereka sulit belajar dari pengalaman lapangan, sehingga akan sulit juga dalam menerima inovasi teknologi usahatani menuju perubahan baik secara individu maupun kelompok. Pengalaman yang masih rendah akan berpengaruh terhadap pengetahuan seseorang (Nee dan Sani 2011). Tingkat pendidikan responden sebagian besar hanya menjalani pendidikan sampai SD dan hanya sedikit yang mencapai jenjang sekolah lanjutan bahkan sampai perguruan tinggi. Tingkat pendidikan responden yang rata-rata berpendidikan terbatas, yaitu tamat SD (36.4%), SLTP (29.5%), SLTA (31.8%), dan perguruan tinggi (2.3%) dapat mengindikasikan bahwa berternak merupakan pilihan pekerjaan bagi responden yang tidak memiliki pendidikan yang tinggi.

10 Pekerjaan utama responden relatif bervariasi, yaitu pegawai (4.5%), peternak (9.1%), petani (63.6%), dan wiraswasta (22.8%). Hal ini merupakan gambaran umum penduduk di pedesaan, dimana sebagian besar bergantung pada sektor pertanian. Kepemilikan ternak sapi potong responden antara lain 1 sampai 5 ekor (61.4%), 6 sampai 10 ekor (27.3%), 11 sampai 15 ekor (6.8%), dan yang lebih dari 15 ekor (4.2%). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kepemilikan sapi potong peternak sangat terbatas. Dari data ini terlihat sangat jelas bahwa petani hanya sekedar sebagai keeper atau user. Oleh karena itu, di Kota Sawahlunto hampir tidak ada petani yang berperan sebagai producer maupun breeder, sehingga sapi potong belum menjadi usaha pokok bagi petani, tetapi masih sebagai usaha sambilan. Tabel 2 Karakteristik peternak (n=44) Karakter Responden Jumlah Responden % dari Total Responden Lama berternak 1-5 tahun 19 43.2 6-10 tahun 9 20.5 11-15 tahun 6 13.6 > 15 tahun 10 22.7 Pendidikan terakhir SD 16 36.4 SLTP 13 29.5 SLTA 14 31.8 PT 1 2.3 Pekerjaan utama Pegawai (PNS/swasta/honorer) 2 4.5 Peternak 4 9.1 Petani 28 63.6 Wiraswasta 10 22.8 Jumlah ternak 1-5 ekor 27 61.4 6-10 ekor 12 27.3 11-15 ekor 3 6.8 > 15 ekor 2 4.2 Partisipasi Peternak Partisipasi peternak dalam penelitian ini dinilai dari teknik perkawinan yang diterapkan peternak, kurun waktu lamanya peternak mengikuti program IB, dan pemanfaatan IB oleh peternak untuk mengawinkan keseluruhan ternaknya. Partisipasi peternak dalam program IB dapat dilihat dalam Table 3. Partisipasi peternak dalam program IB memperlihatkan sebagian besar peternak sudah memanfaatkan teknik perkawinan secara IB (86.4%). Hal ini

mengindikasikan bahwa program IB yang dicanangkan Pemerintah Kota Sawahlunto sebagian besar sudah dimanfaatkan oleh peternak. Tabel 3 Partisipasi peternak dalam program IB (n=44) Kategori Jumlah Responden % dari Total Responden Teknik perkawinan IB 38 86.4 Alami 6 13.6 Keikutsertaan IB Tidak ikut 6 13.6 < 1 tahun 10 22.7 1-5 tahun 24 54.5 6-10 tahun 4 9.1 Kekontinuan mengawinkan ternak dengan IB Tidak ikut 6 13.6 Sebagian induk 8 18.4 Seluruh induk 30 68.0 Tabel 3 juga memperlihatkan bahwa sebanyak 22.7% responden memanfaatkan program IB kurang dari 1 tahun, 54.5% responden memanfaatkan program IB antara 1 sampai 5 tahun, 9.1% responden memanfaatkan program IB antara 6 sampai 10 tahun, dan tidak ada responden yang memanfaatkan program IB lebih dari 10 tahun. Sebagian besar responden memanfaatkan IB dengan kurun waktu antara 1 sampai 5 tahun dan tidak ada responden yang memanfaatkan IB lebih dari 10 tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar masyarakat baru mengetahui program IB tidak lebih dari 5 tahun dan program IB di Kota Sawahlunto diterapkan tidak lebih dari 10 tahun karena tidak ada satupun responden yang memanfaatkan IB dalam kurun waktu tersebut. Lebih dari dua per tiga responden mengawinkan seluruh ternak dengan cara IB (68.0%) dan sebanyak kurang dari satu per tiga responden yang mengawinkan sebagian ternak dengan cara IB (18.4%). Hal ini menunjukkan bahwa peternak cukup nyaman dengan penggunaan program IB dalam mengawinkan ternaknya. 11 Sistem Pemeliharaan Ternak Teknik pemeliharaan ternak dalam penelitian ini dibedakan atas teknik pemeliharaan secara intensif, semi intensif, dan ekstensif. Teknik pemeliharaan intensif diartikan bahwa sapi selalu dikandangkan dan diberikan pakan secara teratur di dalam kandang. Teknik pemeliharaan semi intensif diartikan bahwa sapi dikandangkan pada malam hari dan digembalakan pada siang hari. Sedangkan, teknik pemeliharaan secara ekstensif diartikan bahwa ternak dipelihara di padang penggembalaan dengan pola pertanian menetap atau di hutan (Tabel 4). Teknik pemeliharaan ternak di Kota sawahlunto sebagian besar dilakukan dengan cara semi intensif (70.5%), sebagian lagi intensif (20.5%), dan hanya

12 sedikit dengan cara ekstensif (9.1%). Teknik pemeliharaan yang sebagian besar dilakukan dengan cara semi-intensif ini mengindikasikan bahwa peternak harus memiliki padang penggembalaan untuk mencukupi kebutuhan pakan ternak setiap hari. Tabel 4 Teknik pemeliharaan ternak Teknik Pemeliharaan Total Jumlah Responden % dari Total Responden Intensif 9 20.5 Semi intensif 31 70.5 Ekstensif 4 9.1 Total 44 100.0 Karakteristik Inseminator Responden terdiri dari 16 inseminator yang ada di Kota Sawahlunto. Karakteristik responden yang diamati dalam penelitian ini meliputi lama bertugas sebagai inseminator, pendidikan terakhir, pekerjaan utama, dan kepemilikan Surat Izin Melakukan Inseminasi Buatan (SIMI). Tabel 5 memperlihatkan karakteristik inseminator yang ada di Kota Sawahlunto. Tabel 5 Karakteristik inseminator (n=16) Karakter Responden Jumlah Responden % dari Total Responden Lama bertugas 1-5 tahun 11 68.8 6-10 tahun 5 31.3 Pendidikan terakhir SMA 9 56.3 D3 2 12.5 S1 5 31.3 Pekerjaan utama PNS/honorer 9 56.3 Swadana 6 37.5 Peternak 1 6.3 SIMI Memiliki 8 50.0 Tidak memiliki 8 50.0 Hasil survei dari seluruh responden menunjukkan bahwa lama bertugas responden sebagai inseminator adalah antara 1 sampai 5 tahun (68.8%), 6 sampai 10 tahun (31.3%), dan tidak ada satu pun responden yang bertugas lebih dari 10 tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa responden yang berpengalaman rendah lebih mendominasi, hanya sedikit yang cukup berpengalaman, bahkan tidak ada seorang pun inseminator yang berpengalaman lebih dari 10 tahun. Kondisi ini

memungkinkan hasil IB di Kota Sawahlunto kurang bagus karena pengalaman inseminator yang kurang. Tingkat pendidikan responden sebagian besar hanya menjalani pendidikan sampai SMA dan hanya sedikit yang mencapai jenjang pendidikan sampai perguruan tinggi. Tingkat pendidikan responden yang rata-rata terbatas ini, yaitu tamat SMA (56.3%), D3 (12.5%), dan sarjana (31.3%) dapat mengindikasikan bahwa inseminator yang ada di Kota Sawahlunto memiliki pengetahuan yang kurang. Pekerjaan utama responden relatif bervariasi, yaitu PNS dan honorer dinas peternakan (56.3%), swadana (37.5%), dan peternak (6.3%). Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar inseminator yang ada adalah pegawai yang bekerja di Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Sawahlunto, sehingga pelaksanaan program IB yang dilakukan lebih terstruktur. Petugas pelayanan IB (inseminator) di Kota Sawahlunto yang memiliki SIMI hanya setengah (50%), sedangkan sebagian lagi tidak memiliki. Hal ini mengindikasikan bahwa setengah dari inseminator ini belum layak untuk melakukan pelayanan inseminasi buatan kepada masyarakat. Ditjennak (2012) menegaskan bahwa untuk dapat melakukan inseminasi buatan di masyarakat, petugas teknik inseminasi buatan harus memiliki Surat Izin Melakukan Inseminasi Buatan (SIMI) yang dikeluarkan oleh dinas yang menangani fungsi peternakan dan kesehatan hewan provinsi setempat. Dengan demikian tidak dibenarkan apabila pelaksana IB di lapangan diserahkan kepada petugas yang belum atau tidak cukup mengikuti pelatihan inseminator. 13 Sistem dan Kapasitas Kerja Inseminator Sistem dan kapasitas kerja inseminator dalam penelitian ini terdiri dari sistem pelayanan dan melakukan pelaporan dalam pelaksanaan IB. Disamping itu, peubah lain yang digunakan untuk mengukur kapasitas kerja inseminator adalah lamanya persiapan sebelum melaksanakan IB dan jumlah akseptor yang dapat dilayani dalam sehari sebagaimana disajikan dalam Tabel 6. Sistem pelayanan IB dalam penelitian ini dibedakan atas sistem pelayanan aktif (inseminator mendatangi peternak), pasif (peternak mendatangi inseminator), dan semi aktif (inseminator dan peternak bertemu disuatu tempat). Dari Tabel 6 dapat diketahui bahwa sistem pelayanan aktif lebih mendominasi (62.8%), semi aktif (37.2%), dan tidak ada sama sekali sistem pelayanan pasif. Hal ini mengindikasikan bahwa inseminator sangat peduli terhadap pelayanan IB kepada masyarakat peternak, sedangkan masyarakat peternak tidak terlalu peduli karena tidak ada satu pun peternak yang mendatangi inseminator untuk pelayanan IB ternaknya. Untuk mempermudah pelaporan/permintaan pelayanan IB maka harus dibuat suatu sistem pelaporan yang sederhana, cepat, mudah, dan murah. Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa seluruh inseminator membuat laporan dan dilakukan secara teratur dalam menjalankan tugasnya. Hal ini mengindikasikan bahwa program IB di Kota Sawahlunto terstruktur dengan baik dan kinerja inseminatornya sangat baik.

14 Lama persiapan IB yang dilakukan inseminator sebelum melakukan IB adalah kurang atau sama dengan 1 jam (100%). Hal ini mengindikasikan bahwa kinerja inseminator sangat baik, sehingga pelaksanaan IB berjalan dengan baik. Tabel 6 Sistem dan kapasitas kerja inseminator (n=16) Kategori Jumlah Responden % dari Total Responden Sistem pelayanan Aktif 10 62.8 Pasif 0 0.0 Aktif dan pasif 6 37.2 Melakukan pelaporan ya, secara teratur 16 100.0 ya, tidak teratur 0 0.0 tidak buat laporan 0 0.0 Lama persiapan alat IB < 1 Jam 16 100.0 1 jam 0 0.0 Jumlah akseptor per hari 1-2 ekor 10 62.8 3-4 ekor 6 37.2 5 ekor 0 0.0 Jumlah akseptor yang dapat dilayani seorang inseminator adalah 1 sampai 2 ekor (62.8%), 3 sampai 4 ekor (37.2%), dan lebih atau sama dengan 5 ekor tidak ada seorang inseminator pun yang dapat melayani IB. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar inseminator yang bertugas di wilayah kerja Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Sawahlunto hanya dapat melayani IB tidak lebih dari 2 ekor akseptor dan Kota Sawahlunto masih membutuhkan seorang inseminator untuk melayani akseptor. Tingkat Keberhasilan Program Inseminasi Buatan Tingkat keberhasilan IB pada penelitian ini diukur dari nilai angka konsepsi atau conception rate (CR), inseminasi per konsepsi atau service per conception (S/C), dan jarak kelahiran atau calving interval (CI) yang yang dihitung dari hasil wawancara 44 orang peternak. Sistem penilaian keberhasilan IB di Indonesia pada umumnya berdasarkan pada nilai CR dan S/C (Feradis 2010). Soeharsono et al. (2010) juga berpendapat bahwa performans reproduksi yang sangat penting adalah umur beranak pertama, service per conception (S/C), dan jarak beranak atau calving interval (CI). Nilai CR pembibitan ternak sapi potong di Kota Sawahlunto dari hasil penelitian ini dapat diketahui sebesar 50.0%. Hal ini mengindikasikan bahwa keberhasilan IB di Kota Sawahlunto sudah baik, namun hampir mendekati kurang baik. Toelihere (1979) menyatakan bahwa conception rate di negara maju dapat berkisar antara 60-70%, namun untuk kondisi di Indonesia conception rate

sebesar 50% sudah termasuk normal, dan jika dibawah 50% berarti menunjukkan wilayah tersebut memiliki ternak yang kurang subur. Penghitungan terhadap nilai S/C di Kota Sawahlunto pada penelitian ini didapatkan nilai S/C sebesar 1.80. Dari data ini dapat dikatakan bahwa tingkat keberhasilan IB di Kota Sawahlunto sudah baik, karena menurut Toelihere (1979) nilai S/C yang normal adalah 1.60 sampai 2.00. Nilai CI rata-rata di Kota Sawahlunto dari hasil penelitian ini adalah selama 16.34 bulan. Hal ini mengindikasikan bahwa di Kota Sawahlunto efisiensi reproduksinya buruk. Hadi dan Ilham (2002) menyatakan bahwa jarak waktu beranak (CI) yang ideal adalah 12 bulan, yaitu 9 bulan bunting dan 3 bulan menyusui. Efisiensi yang buruk ditandai dengan interval kelahiran yang lebih panjang (Nurhyadi dan Wahjuningsih 2011). 15 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keberhasilan Program Inseminasi Buatan Faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat keberhasilan IB dapat ditinjau dari karakteristik peternak, partisipasi peternak, serta teknik pemeliharaan ternak. Tabel 7 memperlihatkan hubungan beberapa faktor terhadap keberhasilan program IB. Tabel 7 Hubungan karakteristik peternak, partisipasi peternak, dan teknik pemeliharaan ternak terhadap keberhasilan pelaksanaan IB Karakteristik CR S/C CI p-value r p-value r p-value r Lama berternak 0.037 0.340* 0.022 0.372* 0.290 0.163 Tiingkat pendidikan 0.773-0.048 0.752-0.053 0.999 0.000 Pekerjaan utama 0.355 0.154 0.286-0.178 0.945 0.011 Jumlah ternak 0.789 0.045 0.656 0.075 0.970-0.060 Keikutsertaan IB - - - - 0.587 0.084 Lama keikutsertaan IB 0.712-0.062 0.568-0.096 0.083 0.264 Jumlah ternak yang di IB 0.642 0.078 0.963-0.008 0.358 0.142 Teknik pemeliharaan ternak 0.017 0.385* 0.037 0.339* 0.014 0.367* Keterangan: *Menunjukkan hubungan yang nyata pada nilai p<0.05 (hubungan dua arah) Karakteristik lama berternak memperlihatkan hubungan yang nyata terhadap nilai CR dan S/C (p<0.05) dengan tingkat hubungan yang lemah (0.200 r < 0,399), namun tidak memperlihatkan hubungan dengan nilai CI. Hal ini mengindikasikan bahwa pengalaman dari peternak berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan IB. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Soeharsono et al. (2010), pengalaman memungkinkan peternak dapat dengan mudah menerima inovasi teknologi usaha tani menuju perubahan yang lebih baik. Tingkat pendidikan, pekerjaan utama, dan jumlah ternak yang dimiliki peternak, tidak memperlihatkan adanya hubungan yang nyata terhadap tingkat keberhasilan IB. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat pendidikan, pekerjaan

16 utama, dan jumlah ternak yang dimiliki peternak tidak mempengaruhi tingkat keberhasilan IB. Hal ini berkemungkinan sesuai dengan apa yang dikatakan Baba et al. (2011), karakteristik peternak berpengaruh negatif terhadap persepsi mereka terhadap apa yang diprogramkan pemerintah. Semakin tinggi tingkat pendidikan, tingkat kosmopolit, dan besarnya usaha menyebabkan persepsi mereka terhadap berbagai program pemerintah menurun. Partisipasi peternak yang dinilai dari keikutsertaan IB, lama keikutsertaan IB, dan jumlah ternak yang di IB, tidak memperlihatkan hubungan yang nyata dengan tingkat keberhasilan IB (p>0.05). Hal ini mengindikasikan bahwa partisipasi peternak tidak berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan IB. Seharusnya, partisipasi sangat berpengaruh terhadap keberhasilan program IB, karena menurut Baba et al. (2011), keikutsertaan peternak dalam progam membuat mereka lebih sering berkomunikasi dengan penyuluh dan akan membuat hasil yang lebih baik. Teknik pemeliharaan ternak pada penelitian ini menunjukkan hubungan yang nyata terhadap seluruh indikator tingkat keberhasilan IB (p<0.05) dengan tingkat hubungan yang lemah (0.200 r < 0,399). Hal ini mengindikasikan bahwa teknik pemeliharaan ternak di Kota Sawahlunto yang hanya 20.5% secara intensif, ternyata cukup berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan IB yang ada. Dwiyanto (2008) menyebutkan, salah satu kunci keberhasilan IB adalah sapi dipelihara secara intensif dengan cara dikandangkan. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Sebagian besar tingkat pendidikan dan pengalaman peternak di Kota Sawahlunto masuk dalam kategori rendah. 2. Sebagian besar peternak di Kota Sawahlunto sudah menerapkan sistem perkawinan ternak dengan teknologi IB. 3. Sistem kerja dan pelaporan pelaksanaan IB oleh inseminator di Kota Sawahlunto mayoritas sudah dilakukan dengan baik. 4. Sistem pemeliharaan ternak di Kota Sawahlunto mayoritas dilakukan secara semi intensif, namun masih ada yang dilakukan secara ekstensif. 5. Pengalaman dan daya kerja inseminator di Kota Sawahlunto masih kurang. 6. Tingkat keberhasilan IB di Kota Sawahlunto dilihat dari nilai CR dan S/C memperlihatkan hasil yang sudah baik, namun nilai CI belum ideal. 7. Pengalaman berternak dan sistem pemeliharaan ternak berhubungan dengan tingkat keberhasilan IB di Kota Sawahlunto. 8. Tingkat pendidikan, pekerjaan utama, jumlah ternak, dan partisipasi peternak terhadap program IB tidak memperlihatkan hubungan yang nyata terhadap tingkat keberhasilan IB di Kota Sawahlunto. Saran 1. Pemerintah Kota Sawahlunto dalam hal ini Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Sawahlunto disarankan untuk mengadakan penyuluhan dan pembinaan