IMPLEMENTASI PENGEMBANGAN PEMBANGKIT LISTRIK PANAS BUMI BERDASARKAN UU NO. 21 TAHUN 2014 TENTANG PANAS BUMI SEBAGAI PILIHAN TEKNOKRATIK

dokumen-dokumen yang mirip
BAB VI PENUTUP. Penelitian ini menyajikan pengamatan di 1 bh lokasi PLTP yaitu PLTP

LAPORAN PENELITIAN KELOMPOK BIDANG EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK AGENDA KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PANAS BUMI DALAM RANGKA KETAHANAN ENERGI NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

Sinergi antar Kementerian dan instansi pemerintah sebagai terobosan dalam pengembangan panasbumi mencapai 7000 MW di tahun 2025

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia pun kena dampaknya. Cadangan bahan tambang yang ada di Indonesia

RINGKASAN EKSEKUTIF PERTEMUAN TAHUNAN PENGELOLAAN ENERGI NASIONAL 2010

Perspektif Good Governance dan RPP Pengendalian Perubahan Iklim

DEWAN ENERGI NASIONAL RANCANGAN RENCANA UMUM ENERGI NASIONAL

Materi Paparan Menteri ESDM Strategi dan Implementasi Program MW: Progres dan Tantangannya

Ringkasan Eksekutif INDONESIA ENERGY OUTLOOK 2009

MENTERI KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN KEPUTUSAN MENTERI KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN REPUBLIK INDONESIA

Materi Paparan Menteri ESDM

EXECUTIVE SUMMARY. Optimalisasi Pengelolaan Sumber Daya Alam Untuk Kesejahteraan Dan Pembangunan Daerah

BAB IV ANALISIS ISU - ISU STRATEGIS

STRATEGI KEN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN ENERGI NASIONAL

BAB II EKONOMI MAKRO DAN KEBIJAKAN KEUANGAN

Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut

Peran dan Strategi Dunia Usaha dalam Implementasi NDC Sektor Energi Dr. Ir. Surya Darma, MBA

ENERGI DAN KESEJAHTERAAN

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional dan kesejahteraan masyarakat. Tantangan masa depan

RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2016 TEMA : MEMPERCEPAT PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR UNTUK MEMPERKUAT FONDASI PEMBANGUNAN YANG BERKUALITAS

KEMENTERIAN DALAM NEGERI. Disampaikan oleh: TJAHJO KUMOLO

PERSIAPAN SUMATERA UTARA DALAM MENYUSUN RENCANA UMUM ENERGI DAERAH (RUED)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN

BRIEF Volume 11 No. 02 Tahun 2017

IMPLIKASI PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2007 TERHADAP PERAN PERENCANA DAN ASOSIASI PROFESI PERENCANA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG

HASIL PEMERIKSAAN BPK RI TERKAIT INFRASTRUKTUR KELISTRIKAN TAHUN 2009 S.D Prof. Dr. Rizal Djalil

BAHAN MENTERI DALAM NEGERI PADA ACARA MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN (MUSRENBANG) REGIONAL KALIMANTAN TAHUN 2015

HALAMAN PENGESAHAN...

BAB 6 P E N U T U P. Secara ringkas capaian kinerja dari masing-masing kategori dapat dilihat dalam uraian berikut ini.

PADA MUSRENBANG RKPD PROVINSI KALIMANTAN TIMUR TAHUN Drs. REYDONNYZAR MOENEK, M. Devt.M

PEMBERDAYAAN DAN KEBERPIHAKAN UNTUK MENGATASI KETIMPANGAN. 23 Oktober 2017

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL ENERGI BARU TERBARUKAN DAN KONSERVASI ENERGI

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat modern saat ini tidak bisa dilepaskan dari energi listrik.

INSTRUMEN KELEMBAGAAN KONDISI SAAT INI POTENSI DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA ENERGI INDIKASI PENYEBAB BELUM OPTIMALNYA PENGELOLAAN ENERGI

Disampaikan pada Seminar Nasional Optimalisasi Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan Menuju Ketahanan Energi yang Berkelanjutan

RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2011

KONSERVASI DAN DIVERSIFIKASI ENERGI DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN ENERGI INDONESIA TAHUN 2040

PERSIAPAN DAERAH dalam menghadapi

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG E N E R G I

PROGRAM MW DALAM RUPTL PERKUAT SISTEM KELISTRIKAN NASIONAL. Pandu Satria Jati B S.IP

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi

RENCANA UMUM ENERGI NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

2 Mengingat Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2007 tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 70 T

WILAYAH PERTAMBANGAN DALAM TATA RUANG NASIONAL. Oleh : Bambang Pardiarto Kelompok Program Penelitian Mineral, Pusat Sumberdaya Geologi, Badan Geologi

PERENCANAAN STRATEGIS

1.1 Latar Belakang I - 1. Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Provinsi Jawa Barat Tahun 2010

EFEKTIVITAS KEBIJAKAN FIT (FEED IN TARIFF) ENERGI BARU DAN TERBARUKAN DI INDONESIA. Nanda Avianto Wicaksono dan Arfie Ikhsan Firmansyah

Desain Tata Kelola Kelembagaan Hulu Migas Menuju Perubahan UU Migas Oleh: Wiwin Sri Rahyani * Naskah diterima: 13 April 2015; disetujui: 22 April 2015

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Daya Mineral yang telah diupayakan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Tengah pada periode sebelumnya.

MATRIKS PROGRAM 100 HARI, 1 TAHUN DAN 5 TAHUN (Di Sempurnakan Sesuai dengan Usulan Kadin)

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN ENERGI NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat. Demi mencapai tujuan tersebut, ini adalah kegiatan investasi (penanaman modal).

KEBIJAKAN PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK

BAB III ANALISIS ISU STRATEGIS

Boks 2. PERINGKAT DAYA SAING INVESTASI DAERAH PROVINSI JAMBI

KSN Mamminasata. Menuju Pertumbuhan Ekonomi Hijau

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) KOTA TANGERANG SELATAN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2003 TENTANG PANAS BUMI

BAB I PENDAHULUAN. listrik yang semakin meningkat sehingga diperlukan energy alternatif untuk energi

KEBIJAKAN DALAM PENGUSAHAAN PANAS BUMI PASCA UU NOMOR 27 TAHUN 2003 DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

Kepastian Pembiayaan dalam keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Publik (UU KIP) disahkan pada tanggal 30 April 2008 dan mulai berlaku dua

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/DPD RI/I/ TENTANG HASIL PENGAWASAN

RINGKASAN EKSEKUTIF INDONESIA ENERGY OUTLOOK 2008

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan

KEBIJAKAN PENGUATAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kamis, 16 Juli 2009

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 2011 TENTANG PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS DAN INFRASTRUKTUR SELAT SUNDA

Pemetaan Pendanaan Publik untuk Perubahan Iklim di Indonesia

OPTIMALISASI PERAN PANAS BUMI DALAM KERANGKA UNDANG-UNDANG PANAS BUMI OPTIMIZATION ROLE OF GEOTHERMAL IN GEOTHERMAL REGULATION FRAMEWORK

RENCANA UMUM ENERGI DAERAH (RUED)

ESDM untuk Kesejahteraan Rakyat

KEBIJAKAN UMUM SEKTOR PERTAMBANGAN

KERANGKA ACUAN KERJA (KAK)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERAN GEOLOGI DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

1. Visi BKPM Terwujudnya Iklim Penanaman Modal Yang Berdaya Saing Untuk Menunjang Kualitas Perekonomian Nasional.

Analisis Isu-Isu Strategis

Penataan Ruang dalam Rangka Mengoptimalkan Pemanfaatan Ruang di Kawasan Hutan

BAB 4: PELAKSANAAN DAN TATA KELOLA MP3EI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 13 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI

Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua,

PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR SEKTOR ESDM

Dr. Prasetijono Widjojo MJ, MA Deputi Bidang Ekonomi Bappenas. Penutupan Pra-Musrenbangnas 2013 Jakarta, 29 April 2013

2017, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Panas Bumi adalah sumber energi panas yang terkand

OPSI NUKLIR DALAM BAURAN ENERGI NASIONAL

TABEL 4.1 KETERKAITAN VISI, MISI DAN STRATEGI DINAS ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

PERCEPATAN PENGEMBANGAN EBTKE DALAM RANGKA MENOPANG KEDAULATAN ENERGI NASIONAL

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. serta alasan penulis memilih obyek penelitian di PT. X. Setelah itu, sub bab

Transkripsi:

IMPLEMENTASI PENGEMBANGAN PEMBANGKIT LISTRIK PANAS BUMI BERDASARKAN UU NO. 21 TAHUN 2014 TENTANG PANAS BUMI SEBAGAI PILIHAN TEKNOKRATIK (Laporan Penelitian Individu 2016) Oleh Hariyadi BIDANG EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK PUSAT PENELITIAN BADAN KEAHLIAN DPR RI 2016 1

RINGKASAN EKSEKUTIF Lahirnya UU No. 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi, menggantikan UU No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi merefleksikan kemauan politik pemerintah dalam pengembangan sumber pembangkit listrik energi terbarukan (EBT). Kerangka hukum ini memiliki arti strategis dalam pembangunan ketenagalistrikan nasional seiring dengan besarnya potensi panas bumi di Indonesia. Pengembangan panas bumi baru mencapai 1.341 MW (4,6%). Hal ini menyiratkan bahwa kontribusi panas bumi belum optimal. Hal ini tentu kurang sejalan dengan mandat kebijakan energi nasional yang ditargetkan mencapai 23% pada tahun 2025. Sejumlah isu krusial merentang secara lintas-sektoral dari isu perijinan khususnya di kawasan hutan, insentif baik fiskal maupun non-fiskal bagi pengembang, pemanfaatan langsung, peran Pemda, isu penetapan harga jual uap, pendanaan eksplorasi sampai pada isu kelembagaan. Tidak kalah pentingnya, mengingat lebih dari 80% lokasi cadangan panas bumi masuk dalam kawasan hutan, persoalan pengembangan panas bumi di kawasan hutan khususnya di hutan konservasi misalnya, juga menjadi salah satu persoalan yang belum terselesaikan. Berdasarkan kerangka hukum yang baru, sejumlah pengaturan yang bersifat terobosan antara lain sebagai berikut. Pertama, sentralisme pengelolaan panas bumi untuk tujuan. Kedua, pengelolaan panas bumi sebagai bagian dari rezim non-pertambangan. Ketiga, penetapan harga panas bumi sesuai harga keekonomian. Karena itu, sebagai satu mata rantai sumber EBT yang besar potensinya, optimalisasi peran panas bumi melalui kerangka UU yang baru memiliki nilai yang cukup strategis dalam jangka menengah dan panjang. Sementara itu, pada saat yang sama pemerintah juga telah menegaskan komitmen secara nasional dan global untuk berkontribusi secara signifikan dalam penurunan emisi dari sektor kehutanan dan lahan. 2

Dalam kerangka pemahaman seperti ini, implementasi pengembangan panas bumi dipetaruhkan. Dalam kerangka rumusan permasalahan tersebut, penelitian ini akan diarahkan untuk melihat sejauh mana pengaruh politik penurunan emisi nasional dalam implementasi kerangka hukum baru tentang panas bumi dalam jangka menengah dan panjang sebagai sebuah pilihan teknokratis; dan bagaimana dampak pilihan tersebut terhadap implementasi pengembangan panas bumi dalam jangka menengah dan panjang. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terkait dengan persoalan implementasi pengembangan pemanfaatan panas bumi berdasarkan kerangka hukum baru panas bumi dalam konteks pengaruh politik penurunan emisi nasional. Sementara itu, hasil penelitian ini juga sekaligus dapat membantu pemikiran bagi DPR RI dalam melaksanakan tugas konstitusional khususnya fungsi pengawasan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan sumber data primer dan sekunder. Data primer yang dipakai adalah hasil wawancara mendalam dan serangkaian dokumen resmi yang terkait agenda pembangunan PLTP selama ini dan isu tantangan pasokan listrik secara nasional dan daerah. Sementara itu, data sekunder didasarkan pada studi linteratur. Penggalian data sekunder dilakukan di DKI Jakarta, mulai Maret 2016 s.d. Juni 20016. Sementara itu, kegiatan penelitian lapangan akan dilakukan Provinsi Bengkulu dan Provinsi Lampung. Alasan dipilihnya kedua lokasi penelitian tersebut dilakukan berdasarkan beberapa kriteria sebagai berikut: (1) pilihan pengembang antara pemerintah dan swasta; (2) waktu perencanaan pembangunan PLTP dari 2016-2019; dan (3) kapasitas pembangkit yang dibangun. PLTP Hululais 1 dan 2 (2x55 MW) di Kab. Lebong, Provinsi Bengkulu mewakili PLTP yang dibangun oleh pemerintah (PT PLN) direncanakan akan dibangun pada tahun 2015-2019. Sementara itu, PLTP Ulubelu 3 dan 4 (2x55 MW), Kab. Tanggamus, Provinsi Lampung 3

mewakili PLTP yang dibangun swasta (IPP), direncanakan akan dibangun pada tahun 2016-2017. Politik penurunan emisi nasional telah mendorong pemerintah untuk melakukan serangkaian kebijakan yang diarahkan dalam memperkokoh kebijakan penurunan emisi nasional. Serangkaian kebijakan ini tidak hanya menyasar target-target penurunan emisi nasional tetapi juga dalam upaya pemenuhan komitmen penurunan emisi secara global pasca-cop di Paris. Dalam konteks ini, diasumsikan terdapat pengaruh positif politik penurunan emisi nasional bagi penguatan implementasi kerangka hukum baru tentang panas bumi. Meskipun demikian, indikasi pengaruh positif tersebut belum begitu terlihat secara signifikan. Pendek kata, kerangka hukum baru ini baru sebatas keberhasilan penentuan pilihan politik pemerintah di tingkat pusat. Di daerah, hal ini bahkan masih belum banyak tersosialisasikan. Selain itu, penyelesaian penyiapan serangkaian regulasi turunan sebagaimana diamanatkan dalam kerangka hukum baru tersebut menjadi bagian penting dalam menganalisis tingkat pengaruh politik penurunan emisi nasional dalam implementasi pengembangan panas bumi. Kasus yang sama terhadap kebutuhan penyelarasan sejumlah peraturan terkait. Hal lain terkait dengan masalah koordinasi dan sinergi antara pusat dan daerah. Lemahnya koordinasi dan sinergi tersebut tentu berimplikasi pada lemahnya kemauan politik daerah dalam mendukung implementasi pengembangan panas bumi di daerah. Konteks pengembangan di Lampung dan Bengkulu, hal ini semakin kuat seiring dengan relatif terpenuhinya kebutuhan listrik mereka. Dalam konteks implementasi kebijakan, situasi ini menyiratkan dua hal penting. Pertama, masih lemahnya kemauan politik pemerintah dalam melaksanakan apa yang telah digarikan dalam kerangka hukum baru panas bumi. Hal ini dimungkinkan terjadi karena tujuan yang kurang jelas dan konsisten, serta kurang siapnya lembaga pelaksana. Selain itu, belum kuatnya dukungan elit baik di legislatif maupun eksekutif dan 4

masih lemahnya koordinasi antar-lembaga pelaksana. Kedua, lemahnya implementasi politik penurunan emisi nasional dalam konteks pengembangan panas bumi secara umum. Serangkaian kebijakan penurunan emisi sektor energi yang kurang menyasar pada pengarusutamaan pada penggunaan panas bumi menguatkan pandangan bahwa EBT belum menjadi agenda utama sasaran penurunan emisi nasional. Hal ini dimungkinkan terjadi karena persoalan pembiayaan, lemahnya dukungan dunia masyarakat dan usaha, serta konteks konstelasi kekiniaan, yakni lemahnya harga minyak dunia sehingga EBT kurang mendapat dukungan politik pemerintah. Mentahnya inisiasi kebijakan pemerintah untuk membentuk dana ketahanan energi yang secara langsung untuk mengembangkan sumber dan infrastruktur EBT menguatkan pandangan ini. Kasus yang salam pembatalan pengakuisisian PLTP dari Cevron oleh PT PLN. Isu lain terkait lambatnya pengelolaan konflik sosial dalam pengembangan PLTP di Hululais di Bengkulu. Situasi ini dikarenakan sejumlah hal. Pertama, penyelesaian penggunaan lahan dan perizinan belum menunjukkan perbaikan yang berarti. Kedua, resistensi sosial. Sejumlah faktor yang mendorong fenomena ini menyangkut kesenjangan dan kurang menetesnya program-program CSR kepada masyarakat secara langsung, konflik lahan, kompensasi kerugian dan akses terhadap pekerjaan. Hal lain terkait lemahnya pengawasan Hal ini diperburuk dengan lemahnya sosialisasi, kerja sama, koordinasi dan sinergi antar-pemerintah dengan pengembang. Ketiga, persoalan sinergitas. Lambatnya penuntasan resistensi sosial sebenarnya berakar pada kurang kuatnya sinergi dan koordinasi antar-pemerintah dan pengembang. Sejumlah unsur pemerintah daerah memandang persoalan ini sebagai urusan pemerintah pusat, sementara kehadiran PLTP sebenarnya relatif signifikan. Dengan demikian, pengembangan panas bumi ini setidak-tidaknya dapat membantu penguatan kebutuhan listrik dari wilayah sendiri. 5

Kerangka hukum baru dinilai memberikan penguatan bagi pengembangan panas bumi, seperti Inpres 8 Tahun 2015 tentang kebijakan moratorium ijin penggunaan konsesi kawasan hutan. Dari sisi sosial pengembangannya juga memberikan manfaat dalam bentuk komitmen pembangunan infrastruktur di wilayah sekitar PLTP, sejumlah CSR dan membuka tingkat keterisolasian wilayah. Hal lain dampaknya terhadap lingkungan pun relatif kecil. Namun demikian, implementasi pengembangan panas bumi belum menunjukkan adanya terobosan. Berdasarkan gambaran ini, sebagai kesimpulan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pilihan teknokratis pemerintah bagi pengembangan panas bumi dalam kerangka hukum yang baru yang bersifat terobosan dalam dua tahun terakhir belum memberikan arah dampak yang signifkan. Dengan demikian, dalam konteks kekiniaan dan jangka menengah, implementasi pengembangan panas bumi untuk tujuan tidak langsung masih bersifat inkremental (muddle-through). Penguatan kemauan politik pemerintah dalam mendukung program pembangkitan 35.000 MW dan penguatan peran dalam upaya penurunan emisi global sebagaimana tercermin dalam serangkaian kebijakan penurunan emisi nasional dari semua sektor akan mendorong implementasi kerangka hukum nasional tentang panas bumi dalam jangka panjang menjadi tantangan yang harus dikelola. Dalam konteks ini, dua rekomendasi dapat disajikan sebagai berikut: (1) pemerintah perlu memberikan kemauan politik dan penguatan sinergi dengan Pemda dan dunia usaha dalam upaya mendorong peran panas bumi dalam jangka panjang; dan (2) Perlunya penguatan dan percepatan regulasi turunan untuk memperkokoh implementasi pengembangan panas bumi. 6

7

8