HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
Lampiran 1 Lokasi dan kondisi Banjir Kota Bekasi (Lanjutan)

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

PENDAHULUAN Latar Belakang

METODOLOGI PENELITIAN

ANALISIS PENANGGULANGAN BANJIR KOTA BEKASI DENGAN PENGELOLAAN DAS. (Analysis of Bekasi City Flood Reduction Using Watershed Management)

BAB IV ANALISA DATA. Dalam bab ini ada beberapa analisa data yang dilakukan, yaitu :

HIDROLOGI DAS CILIWUNG DAN ANDILNYA TERHADAP BANJIR JAKARTA 1

HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN. Lokasi penelitian ini adalah di saluran drainase Antasari, Kecamatan. Sukarame, kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung.

BAB V ANALISA DATA. Dalam bab ini ada beberapa analisa data yang dilakukan, yaitu :

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berikut ini beberapa pengertian yang berkaitan dengan judul yang diangkat oleh

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PERSETUJUAN... ii. PERNYATAAN... iii. LEMBAR PERSEMBAHAN... iv. KATA PENGANTAR... v. DAFTAR ISI...

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. tersebut relatif tinggi dibandingkan daerah hilir dari DAS Ciliwung.

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sungai Banjaran merupakan anak sungai Logawa yang mengalir dari arah

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN DAN KERUSAKAN HUTAN TERHADAP KOEFISIEN PENGALIRAN DAN HIDROGRAF SATUAN

Tahun Penelitian 2005

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Berfungsi mengendalikan limpasan air di permukaan jalan dan dari daerah. - Membawa air dari permukaan ke pembuangan air.

III. METODE PENELITIAN. Lokasi penelitian ini adalah di saluran Ramanuju Hilir, Kecamatan Kotabumi, Kabupaten Lampung Utara, Provinsi Lampung.

Gambar 3.1 Daerah Rendaman Kel. Andir Kec. Baleendah

PEMODELAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ANALISIS KERUSAKAN DAN AGIHAN BANJIR LUAPAN SUNGAI WAWAR BAGIAN HILIR SUB DAS WAWAR DI KABUPATEN PURWOREJO

BAB I PENDAHULUAN. air. Kota Medan dilintasi oleh beberapa sungai termasuk diantaranya Sungai Sei

Bab V Analisa dan Diskusi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Tinjauan Umum 1.2 Latar Belakang

PERENCANAAN PENGENDALIAN BANJIR KALI BANGILTAK DAN KALI WRATI DI KABUPATEN PASURUAN DENGAN NORMALISASI TUGAS AKHIR

BAB III METODA ANALISIS. desa. Jumlah desa di setiap kecamatan berkisar antara 6 hingga 13 desa.

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan

4.17 PERENCANAAN DAN PEMETAAN GARIS SEMPADAN KALI SEMEMI

Bab IV Metodologi dan Konsep Pemodelan

3. METODOLOGI PENELITIAN

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Karakter Daerah Tangkapan Air Merden

BAB III METODA ANALISIS

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Citra Landsat Tahun 1990, 2001 dan 2010 Interpretasi citra landsat dilakukan dengan melihat karakteristik

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN. DKI Jakarta terletak di daerah dataran rendah di tepi pantai utara Pulau

I. PENDAHULUAN. Hujan merupakan komponen masukan yang paling penting dalam proses

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB I PENDAHULUAN. Danau Toba merupakan hulu dari Sungai Asahan dimana sungai tersebut

Perencanaan Penanggulangan Banjir Akibat Luapan Sungai Petung, Kota Pasuruan, Jawa Timur

APLIKASI HEC-HMS UNTUK PERKIRAAN HIDROGRAF ALIRAN DI DAS CILIWUNG BAGIAN HULU RISYANTO

MODEL HIDROGRAF BANJIR NRCS CN MODIFIKASI

BAB III METODA ANALISIS. Wilayah Sungai Dodokan memiliki Daerah Aliran Sungai (DAS) Dodokan seluas

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Luas (Ha) L ms (km) h10. aws (%) L c (km) ars (%) h 85 (m) SubDAS. (m)

PERENCANAAN NORMALISASI SUNGAI KEMUNING KABUPATEN SAMPANG PULAU MADURA TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

BAB IV HASIL PERHITUNGAN DAN ANALISA. Data hidrologi adalah kumpulan keterangan atau fakta mengenai fenomena

STUDI PUSTAKA. Model Banjir

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Way Besai yang terletak

Lampiran 1. Peta Penutupan Lahan tahun 1990

BAB III METODOLOGI 3.1 METODE ANALISIS DAN PENGOLAHAN DATA

KAJIAN KARAKTERISTIK DAS (Studi Kasus DAS Tempe Sungai Bila Kota Makassar)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. angin bertiup dari arah Utara Barat Laut dan membawa banyak uap air dan

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

PENGURANGAN RESIKO BANJIR IBUKOTA DENGAN PENGEMBANGAN DAM PARIT DI DAS CILIWUNG HULU

Gambar 1.1 DAS Ciliwung

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. yang akan digunakan untuk keperluan penelitian. Metodologi juga merupakan

BAB V ANALISIS HIDROLIKA DAN PERHITUNGANNYA

PEMBUATAN PETA TINGKAT KERAWANAN BANJIR SEBAGAI SALAH SATU UPAYA MENGURANGI TINGKAT KERUGIAN AKIBAT BENCANA BANJIR 1 Oleh : Rahardyan Nugroho Adi 2

Oleh : Maizir. Dosen Teknik Sipil Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Padang. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. terus-menerus dari hulu (sumber) menuju hilir (muara). Sungai merupakan salah

V. SIMULASI LUAS HUTAN TERHADAP HASIL AIR

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu.

AIR Banjir dan Permasalahannya Di kota medan

BAB VI. POLA KECENDERUNGAN DAN WATAK DEBIT SUNGAI

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

METODOLOGI Tinjauan Umum 3. BAB 3

BAB IV ANALISIS HIDROLOGI DAN PERHITUNGANNYA

BAB I PENDAHULUAN. topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan

PENERAPAN KOLAM RETENSI DALAM PENGENDALIAN DEBIT BANJIR AKIBAT PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN INDUSTRI

Hasil dan Analisis. Simulasi Banjir Akibat Dam Break

PENANGGULANGAN BANJIR SUNGAI MELAWI DENGAN TANGGUL

BAB 1 PENDAHULUAN. Proses pengangkutan dan pengendapan sedimen tidak hanya tergantung pada

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN Uraian Umum

OPINI MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN SUNGAI DI DAERAH HILIR SUNGAI BERINGIN KOTA SEMARANG

I. PENDAHULUAN. Kata kunci : Air Baku, Spillway, Embung.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Tinjauan Umum

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian Sub DAS Cikapundung

BAB I PENDAHULUAN. karena curah hujan yang tinggi, intensitas, atau kerusakan akibat penggunaan lahan yang salah.

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

Surface Runoff Flow Kuliah -3

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

PEMBAHASAN 5.1 Data dan Analisis Penghitungan Komponen Penduduk

BAB I PENDAHULUAN. 9 Tubuh Air Jumlah Sumber : Risdiyanto dkk. (2009, hlm.1)

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak sungai,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Transkripsi:

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kondisi DAS Bekasi Hulu Secara umum topografi DAS Bekasi Hulu didominasi oleh topografi landai dengan kemiringan lereng 0-8 % seluas 34.073,2 ha atau 87,3 % dari keseluruhan DAS. Sebagian lagi di bagian hulu topografi agak miring sampai berbukit dengan kemiringan 8-15 % seluas 2.615,1 ha atau 6,7 % dan topografi miring sampai berbukit dengan kemiringan 25-40 % seluas 1.820,9 ha atau 4,7 %. DAS Cijanggel dan Ciherang memiliki kemiringan lereng yang agak curam (25-40 %) dengan luas sebesar 539,0 dan 557,9 ha. Kemiringan lereng ini dibentuk oleh pengunungan yang terletak di sebelah selatan DAS Bekasi Hulu. Perbedaan ketinggian yang relatif besar mengakibatkan aliran mengalir dengan cepat dari hulu menuju ke hilir. Berdasarkan peta digital dari Bakosurtanal tahun 1998, 2003 dan 2008, secara umum penggunaan lahan DAS Bekasi Hulu dapat dibedakan menjadi 9 jenis pemanfaatan lahan yaitu (1) air, (2) hutan, (3) pemukiman (4) perkebunan, (5) sawah irigasi, (6) sawah tadah hujan, (7) semak belukar, (8) tanah kosong dan (9) tegalan (Tabel 8). Pembagian penggunaan lahan ini memang menyatukan beberapa penggunaan lahan seperti industri, taman dan lain sebagainya, akan tetapi tetap dapat digunakan sebagai dasar penentuan kondisi biofisik DAS Bekasi Hulu. Salah satu penggunaan lahan terbesar di DAS Bekasi Hulu adalah tegalan yang merupakan bentuk pertanian dengan tanaman semusim yang ditanami sekali sampai dua kali setahun karena kebutuhan airnya sangat tergantung dari curah hujan. Lahan tegalan ditanami singkong dan kacang tanah dengan pola monokultur dan jarak tanam yang relatif renggang. Hal ini mengakibatkan tanah yang ditanami tersebut menjadi labil karena tanah diolah secara terus-menerus, sehingga strukturnya menjadi lebih halus. Kondisi semacam ini akan memudahkan hujan untuk menghancurkan partikel-partikel tanah yang pada akhirnya akan meningkatkan limpasan aliran atau menaikan koefisien limpasan. Perubahan Penggunaan Lahan Salah satu parameter utama dalam menganalisis kondisi DAS Bekasi Hulu adalah perubahan penggunaan lahan. Data penggunaan lahan yang digunakan adalah peta digital Bakosurtanal tahun 1998, 2003 dan 2008, dari data tersebut didapat pada tahun 1998 penggunaan lahan terbesar adalah untuk

48 perkebunan 12.313,2 ha dan terkecil untuk badan air 764,4 ha, sedangkan pada tahun 2003 terjadi perubahan karena penggunaan lahan terbesar adalah untuk tegalan 9.917,4 ha dan terkecil pada sawah tadah hujan 394,4 ha. Pada tahun 2008 penggunaan lahan terbesar adalah untuk pemukiman 9.232,8 ha dan yang terkecil adalah sawah tadah hujan 264,6 ha (Lampiran 3). Perubahan dominan penggunaan lahan terbesar dari perkebunan, tegalan, kemudian menjadi permukiman, menunjukkan adanya perubahan tatanan pengelolaan lahan di DAS Bekasi Hulu. Ini menunjukkan adanya pergeseran secara perlahan dari DAS pedesaan menjadi DAS perkotaan. Perubahan tutupan lahan dan pola penggunaan lahan tersebut memberikan kontribusi terhadap peningkatan koefisien aliran permukaan. Berdasarkan data pada Lampiran 3 dan Tabel 8, maka selama sepuluh tahun (1998-2008) terjadi penurunan luasan penggunaan lahan untuk badan air 1,1 %, hutan 5,5 %, perkebunan 14,5 %, sawah irigasi 4,5 %, sawah tadah hujan 3,6 % dan tegalan 5,8 %, sedangkan kenaikan tutupan lahan untuk permukiman 19,3 %, semak belukar 7,5 % dan tanah non-vegetasi 8,3 %. Peningkatan luasan untuk penggunaan permukiman sebesar 19,3 % merupakan perubahan terbesar yang kemudian mendorong perubahan penggunaan lain yang justru merupakan daerah resapan air antara lain terjadi penurunan luasan hutan dari 4.052,3 ha menjadi 1.890,5 ha atau berkurang sebesar 5,5 % dari total keseluruhan DAS dalam waktu 10 tahun. Tabel 8 menunjukkan kecenderungan kenaikan dan penurunan penggunaan lahan, terlihat terjadi kecenderungan seperti kenaikan permukiman dan semak belukar dan disisi lain kecenderungan penurunan hutan dan teitu galan. Kecenderungan yang sama juga terjadi pada kedua bagian DAS yaitu DAS Cileungsi dan Cikeas. Perubahan terbesar terjadi pada DAS Cikeas dengan peningkatan luasan permukiman sebesar 23,5 % lebih besar jika dibandingkan dengan DAS Cileungsi sebesar 13,4 % (Lampiran 3). Peningkatan luasan permukiman di DAS Cikeas justru menggurangi wilayah resapan air seperti hutan dan perkebunan pada bagian hilir sebesar 1,3 % dan 21,4 %, sedangkan di DAS Cileungsi penurunan penggunaan lahan untuk hutan dan perkebunan adalah 7,3 % dan 11,7 %.

49 Tabel 8 Penggunaan lahan DAS Bekasi Hulu (1998-2008) Luas DAS (Ha) Perubahan DAS thd total Tahun 1998 Tahun 2003 Tahun 2008 DAS (%) Badan Air 764,4 1,9 % 443,8 1,1 % 345,9 0,9 % -1,1 Hutan 4.052,3 10,3 % 2.264,4 5,8 % 1.890,5 4,8 % -5,5 Pemukiman 1.715,2 4,4 % 7.142,9 18,2 % 9.232,8 23,6 % 19,3 Perkebunan 12.313,2 31,5 % 7.866,9 20,1 % 6.653,5 17,0 % -14,5 Sawah irigasi 3.293,4 8,3 % 2.471,3 6,3 % 1.536,3 3,9 % -4,5 Sawah T. Hu. 1.665,3 4,2 % 394,4 1,0 % 264,6 0,7 % -3,6 Semak Bel. 3.244,0 8,3 % 5.148,2 13,2 % 6.156,0 15,8 % 7,5 non-vegetasi 1.410,0 3,6 % 3.396,9 8,7 % 4.661,2 11,9 % 8,3 Tegalan 10.587,2 27,1 % 9.917,4 25,4 % 8.304,2 21,3 % -5,8 Total 39.045,0 100,00 % 39.045,0 100,00 % 39.045,0 100,00 % 0 Perubahan luasan perkebunan terbesar terjadi pada DAS Cileungsi sebesar 2.424,2 ha, hal ini menjadi indikasi yang cukup mengkuatirkan mengingat DAS terbesar justru pada bagian tengah DAS Bekasi hulu. Penurunan luasan hutan terjadi pada DAS Cileungsi, karena pada tahun 1998 masih memiliki hutan seluas 3.889,2 ha menjadi 1.953,6 ha atau berkurang sebesar 1.935,5 ha atau 7,29 %. Rincian perubahan luasan tutupan lahan masing-masing DAS terdapat pada Lampiran 3. Data perubahan lahan menunjukkan adanya kecenderungan beberapa penggunaaan lahan yang dominan mempengaruhi debit aliran yaitu perubahan luasan permukiman, hutan dan tegalan. Gambar 20 memperlihatkan kecenderungan penurunan luasan hutan, tegalan dan kenaikan luasan permukiman. Dampak Perubahan Penggunaan Lahan Sebagai akibat perubahan penggunaan lahan, terjadi perubahan beberapa parameter aliran di DAS Bekasi Hulu. Pada penelitian ini dianalisis parameter yang mempunyai pengaruh terhadap koefisien limpasan yang merepresentasikan kondisi DAS Bekasi Hulu.

50 1998 1998 2003 2008 2008 Gambar 19 Perubahan penggunaan lahan hutan, tegalan dan permukiman di DAS Bekasi Hulu (1998-2008) Debit Sungai, jumah dan distribusi aliran permukaan di DAS Bekasi Hulu merupakan fungsi dari curah hujan dan kondisi biofisik DAS. Debit sungai rerata bulanan sangat tergantung pada curah hujan yang terjadi. Pada DAS Bekasi Hulu musim hujan terjadi pada bulan Desember-Maret dan musim kemarau terjadi pada bulan Mei-Oktober, pada bulan April dan November terjadi masa transisi sehingga tidak terlihat pola tetap (Gambar 20). Setiap perubahan penggunaan lahan mempunyai respons yang berbeda terhadap aliran permukaan, pada DAS Bekasi Hulu terlihat (Gambar 20) perubahan luasan permukiman dan hutan memberikan kontribusi terbesar terhadap debit sungai. Tabel 9 Sungai Bekasi pada beberapa perioda waktu dan musim Periode Rerata Debit Sungai Bekasi Hulu Rerata Musim Hujan Musim Kemarau 1998 2003 168,5 346,2 65,5 2003-2008 159,0 424,7 12,6 Sumber : Balai Besar Ciliwung Cisadane, 2008 Dalam kelompok tahun data pengamatan mengambarkan penggunaan lahan yang berbeda akan mempengaruhi aliran limpasan baik di musim hujan maupun kemarau. Pada penggunaan lahan periode 1998-2003 tidak memperlihat perbedaan yang tajam akan tetapi pada periode 2003-2008 terlihat perbedaan yang cukup besar. Analisis ini menunjukkan bahwa perubahan penggunaan

51 lahan seperti pada Tabel 8 memberikan pengaruh yang sangat dominan terhadap debit aliran Sungai Bekasi Hulu. Analisis debit sungai pada periode 1998-2008 dan pada periode 2003-2008 menunjukkan adanya perubahan sebagai akibat penurunan luasan hutan dan tegalan, maka pada musim hujan air mengalir ke badan air/ sungai. Pada musin hujan periode 1998-2003 aliran permukaan lebih rendah dibandingkan pada periode 2003-2008. Sebaliknya pada musim kemarau periode 1998-2003 aliran permukaan lebih tinggi dibandingkan pada periode 2003-2008. m 3 /dt J F M A M J J A S O N D Gambar 20 Hidrograf aliran rata Sungai Bekasi Hulu 1998, 2003 dan 2008. Debit sungai rerata pada musim kemarau perioda 1998-2003 lebih rendah dari perioda 2003-2008, akan tetapi pada musim hujan debit sungai relatif lebih besar dari kemarau yang nyata terlihat pada perioda tahun 2003-2008. Jika dikaitkan dengan perubahan lahan pada Tabel 8 dan Gambar 21 kondisi ini menunjukkan bahwa pengurangi hutan dan tegalan menyebabkan fungsi penyangga hidrologi menjadi berkurang dan menaikan koefisien limpasan. Pada penelitian ini dapat dilihat pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap aliran permukaan yang diindikasikan dengan nilai koefisien aliran permukaan. Nilai koefisien aliran permukaan merupakan jumlah aliran (run-off) dibandingkan dengan jumlah curah hujan pada satuan waktu tertentu. Koefisien limpasan dihitung berdasarkan data curah hujan rata-rata dibandingkan dengan debit bulanan rata-rata Sungai Bekasi Hulu, sehingga didapat hasil seperti pada Tabel 10.

52 Pertambahan penggunaan lahan untuk permukimann justru meningkatkan aliran permukiman pada musim hujan yang signifikan tetapi mengurangi jumlah air pada musim kemarau (Tabel 9). Selain itu juga terjadi peningkatan koefisien limpasan akibat bertambahnya penggunaan lahan untuk permukiman seperti yang ditunjukkan pada Tabel 10. Tabel 10 Perubahan Koefisien limpasan di DAS Bekasi Hulu DAS Koefisien limpasan (%) 1998 2003 2008 Cileungsi 62,4 70,6 78,2 Cikeas 70,4 76,8 86,5 DAS Bekasi Hulu 68,3 74,6 83,2 Sumber : hitungan Koefisien Limpasan Koef. Limpasan 90.0 85.0 80.0 75.0 70.0 65.0 60.0 55.0 50.0 1 1998 2 2003 3 2008 Tahun Cileungsi Cikeas Das Bekasi Hulu Gambar 21 Perubahan koefisien Limpasan di DAS Bekasi Hulu (1998-2008). Koefisien limpasan berubah dari tahun 1998, 2003 dan kemudian 2008 memberikan indikasi yang kuat akan perlunya suatu upaya untuk mengatasi permasalahan banjir di kemudian hari. Pada DAS Cileungsi dan Cikeas terjadi kenaikan koefisien limpasan sebesar 25,32 % dan 22,86 %, sedangkan untuk keseluruhan DAS Bekasi hulu terjadi kenaikan dari 68,3 menjadi 83,2 (Tabel 10). Uraian di atas menunjukkan bahwa banjir yang terjadi di Kota Bekasi disebabkan perubahan penggunaan lahan di DAS Bekasi Hulu yang mengalami perubahan dengan cepat, dalam kurun waktu sepuluh tahun (1998-2008) terjadi peningkatan luasan permukiman dan penurunan luasan hutan.

53 Prediksi pada Tahun 2020, Prediksi luasan permukiman tahun 2020 menggunakan data luasan permukiman tahun 1998, 2003 dan 2008 adalah seperti pada Gambar 23. Regresi ini menunjukkan luasan permukiman pada tahun 2020 sebesar 16.853 ha dan bila di hitung akan mendapatkan bilangan kurva pada kondisi II sebesar 78,45 dan pada kondisi III sebesar 91,42 (Lampiran 4). 16.854 ha Tahun Ke- Gambar 22 Prediksi luasan lahan permukiman tahun 2020.

54 Analisis Hidrologi DAS Bekasi Hulu Analisis karakteristik hidrologi pada keseluruhan DAS Bekasi Hulu difokuskan pada beberapa aspek yaitu (1) curah hujan; (2) hujan rancangan; (3) model hidrologi; (4) debit berdasarkan hujan rancangan; (5) aliran permukaan dan (6) prediksi aliran pada tahun 2020. Curah Hujan Karakteritik curah hujan berdasarkan data 8 stasiun hujan selama 28 tahun yaitu tahun 1974-2002 (Badan Meteorologi dan Geofisika, 2003) dicirikan oleh curah hujan harian maksimum terbesar 250 mm di stasiun Bekasi pada 30 Januari tahun 2002 dengan rerata hujan harian sebesar 93,4 m, sedangkan curah hujan harian maksimum terkecil di Stasiun Gunung Putri sebesar 133 mm pada 8 September 2001 dengan rerata hujan harian sebesar 87,1 mm. Curah hujan harian rerata terbesar terjadi di Stasiun Cariu yaitu 118,5 mm dan terkecil pada Stasiun Depok sebesar 85,0 mm (Tabel 11). Curah hujan rerata tahunan keseluruhan DAS Bekasi Hulu sebesar 3.210 mm dengan curah hujan rerata tahunan terbesar di stasiun Depok sebesar 4.124 mm, sedangkan curah hujan rerata tahunan yang terkecil adalah di Stasiun Halim Perdana Kusuma sebesar 1.901 mm yang terletak di DKI Jakarta(Tabel 11). Stasiun Tabel 11. Curah hujan harian maksimum dan tahunan DAS Bekasi Hulu Tahun Data Harian Maks (mm) Rerata Harian Maks (mm) Hujan Rancangan 10 tahunan Rerata Tahunan (mm) Hulu Cariu 1973-2002 345 118,5 202,4 3.925 Gadog 1973-2002 202 113,3 158,8 3.303 Tengah Cibinong 1973-2002 157 85,0 138,4 3.153 Gunung 1973-1994 133 90,9 115,4 4.116 Putri Depok 1973-2002 208 112,6 160,5 4.124 Cileungsi 1973-1996 146 110,4 139,2 2.579 Hilir HP. 1973-2002 198 115,6 164,3 1.901 Kusuma Bekasi 1973-2002 250 93,4 131,6 2.586 Seluruh DAS 100,6 150,7 3.210 Sumber : Data curah hujan BMG (1974 2005)

55 Data pada Tabel 11 menunjukkan bahwa curah hujan rerata tahunan di bagian hulu relatif lebih besar jika dibandingkan dengan di bagian tengah dan hilir, hal ini memberikan indikasi perlunya daerah hulu mendapat perlakuan khusus sehingga tidak terjadi aliran permukaan besar dari hulu yang memberi kontribusi banjir di daerah hilir. Hujan Rancangan Hujan rancangan dihitung berdasarkan curah hujan harian maksimum pada Lampiran 2, kemudian dilakukan analisis frekuensi dengan metoda Weibull untuk masing-masing stasiun hujan dan didapat hujan rancangan. Besaran luas dan nisbah poligon Thiessen dapat dilihat pada pada Tabel 12. Menggunakan data pada Tabel 12 dan Lampiran 2 dapat dihitung curah hujan rancangan rerata untuk keseluruhan DAS Bekasi Hulu seperti yang ditunjukkan pada Tabel 14. Hasil analisis frekuensi inilah yang kemudian digunakan sebagai dasar hitungan hujan rancangan. Untuk menghitung hujan rancangan keseluruhan DAS dihitung menggunakan poligon Thiessen (Lampiran 2). Tabel 12 Luas dan nisbah dengan poligon Thiessen Stasiun C Hujan Luas ( ha ) Nisbah Bekasi 4.685,4 0,12 G. putri 2.342,7 0,06 Cileungsi 8.199,4 0,21 Cariu 5.466,2 0,14 Cibinong 8.589,9 0,22 Depok 1.171,4 0,03 Halim 3.514,0 0,09 Gadog 5.075,8 0,13 DAS Bekasi Hulu 39.045,0 1,00 Sumber : Hasil hitungan Hujan rancangan yang dimaksud pada penelitian ini adalah besaran hujan yang diperkirakan terjadi dengan perioda ulang tertentu yang didasarkan data curah hujan pada kejadian tahun sebelumnya. Hujan rancangan ini yang kemudian menjadi acuan dalam menganalisis aliran permukaan pada masingmasing sub-das, maupun pada keseluruhan DAS Bekasi Hulu.

56 Tabel 13 Curah hujan rancangan perioda ulang tertentu Curah Hujan Harian Perioda Ulang Maksimum (mm) 2 91,72 5 126,02 10 150,72 25 195,53 50 229,53 Sumber : Hasil hitungan Model Hidrologi Dengan menggunakan HEC-GeoHMS, maka dari peta digital dapat disusun jaringan hidrologi DAS dan dilengkapi data setiap komponen hidrologinya. Komponen hidrologi dihubungkan dengan jaringan membentuk parameter subbasin yang merupakan representasi fisik dari DAS. Jaringan hidrologi inilah yang mensimulasikan proses aliran permukaan (Lampiran 5), terlihat jaringan terbentuk mengikuti arah aliran sungai dan secara otomatis membentuk sub-das pada setiap pertemuan antara dua sungai/ anak sungai, Pada DAS Bekasi hulu terbentuk empat DAS di hulu dan tiga DAS di tengah yang kemudian disederhanakan menjadi dua yakni DAS Cikeas dan Cileungsi. Masukan model hidrologi HEC-HMS terdiri dari tiga bagian yaitu loss rate, transforms dan base flow. Pada bagian loss rate dimasukan data kehilangan awal (initial loss), bilangan kurva (SCS Curve number) dan kekedapan (impervious). Pada bagian transform untuk metoda SCS hanya dibutuhkan data SCS lag (dalam satuan waktu) dan pada bagian base flow dapat memilih berbagai metoda yaitu no base flow, recession, constant monthly dan linear reservoir. Pada penelitian ini digunakan metoda no base flow karena berdasarkan hasil pengukuran aliran dasar minimum relatif kecil (1,33 m 3 /dt) sehingga bisa diabaikan. Sebelum digunakan untuk simulasi rancangan skenario, model hidrologi terlebih dulu diverifikasi terhadap hasil pengukuran tanggal 12 Maret, 20 April, 25 Mei, 16 Oktober pada tahun 2003; tanggal 10 Januari, 17 Februari, 11 April, 27 Mei, 2 Oktober pada tahun 2004, 15 dan 22 Januari pada tahun 2005 (Tabel 15).

57 Tabel 14 Verifikasi hasil simulasi model hidrologi HEC-HMS dengan hasil Pengukuran dengan metoda T-test. Curah Hujan Waktu Puncak (T Tanggal P ) menit Debit Puncak (Q P ) m 3 /dt (mm) Pengukuran Model Pengukuran Model 12 Mar 03 23 275 234 84 80,0 20 Apr 03 18 592 576 54 54,4 25 Mei 03 25 354 300 83 86,3 16 Okt 03 26 249 260 86 87,9 26 Okt 03 132 301 288 502 515,4 10 Jan 04 62 406 342 368 352,9 17 Feb 04 17 375 344 59 54,8 11 Apr 04 28 576 518 96 95,4 27 Mei 04 20 371 365 64 67,7 02 Okt 04 31 395 368 145 149,1 15 Jan 05 118 359 303 469 468,0 22 Jan 05 29 466 438 84 129,6 Rerata 44,1 394 361 178 174 Sumber : Hasil pengukuran dan simulasi model hidrologi Pengujian keberlakuan dilakukan dengan cara membandingkan hidrograf aliran hasil pengukuran dari data telemetri dengan hidrograf aliran yang dihasilkan Model HEC-HMS (Lampiran 5). Pada penelitian ini digunakan 12 rentang waktu untuk uji keberlakuan model hidrologi. Secara rinci hasil perbandingan parameter hidrograf aliran dapat dilihat pada Tabel 14. Pengujiannya dilakukan dengan metoda T-test menggunakan program statistik Minitab Versi 14 (Lampiran 5), dan dari hasil analisis diperoleh hasil dengan perbandingan parameter debit puncak (Q P ) dan waktu mencapai debit puncak (T P ). Nilai T ( T-test) Parameter yang diuji adalah debit puncak (Q p ) dan waktu puncak (T p ), untuk Qp didapat nilai T sebesar 0,06 dan untuk Tp sebesar 0,81, nilai ini masih lebih rendah dari nilai T(α=0,05/2). Pada Tabel 14 terlihat hasil perbandingan antara pengukuran dengan model HEC-HMS dan ternyata tidak berbeda nyata serta menunjukkan adanya korelasi yang baik. Hal ini menunjukkan bahwa model simulasi HEC-HMS yang terbangun dengan parameter hidrologi DAS Bekasi Hulu dapat digunakan untuk melakukan simulasi hidrograf aliran langsung untuk setiap Sub-DAS pada DAS Bekasi Hulu. 0,81< nilai T(α=0,05/2) 0,06 < nilai T(α=0,05/2)

58 Debit Berdasarkan Hujan Rancangan Setelah dilakukan uji keberlakuan, maka model hidrologi dapat digunakan untuk menentukan debit berdasarkan hujan rancangan. Hujan rancangan tersebut dimasukan ke dalam model simulasi hidrologi HEC-HMS didasarkan pada data biofisik DAS pada tahun 2008 dan didapatkan besaran debit puncak seperti pada Tabel 15. Debit berdasarkan hujan rancangan ini yang kemudian dipergunakan untuk menganalisis kemampuan atau kapasitas alir sungai untuk mengalirkan debit tersebut dan juga untuk menganalisis pengaruh perubahan lahan terhadap debit limpasan. Disisi lain debit berdasarkan hujan rancangan digunakan untuk menentukan rancangan pengelolaan DAS untuk mengurangi kerugian akibat banjir. Tabel 15 Hujan rancangan dan debit berdasarkan hujan rancangan DAS Bekasi Hulu dengan perioda ulang tertentu Perioda Ulang Curah Hujan Rancangan (mm) Debit (m 3 /dt) 2 91,72 421,45 5 126,02 481,77 10 150,72 620,36 25 195,53 866,73 50 229,53 1050,8 Sumber : simulasi model hidrologi Debit banjir yang terjadi pada tahun 2005 sebesar 545,5 m 3 /dt masih lebih rendah dari debit berdasarkan hujan rancangan 10 tahunan sebesar 620,36 m 3 /dt, artinya akan mungkin terjadi banjir yang lebih besar dari banjir yang terjadi tahun 2005. Data genangan tahun 2005 sudah mencapai 164,5 ha dan diperkirakan akan terlampaui apabila debit berdasarkan hujan rancangan 10 tahunan terjadi. Aliran Permukaan Aliran permukaan akibat perubahan penggunaan lahan dihitung dari simulasi model hidrologi dan data hujan rancangan 10 tahunan sebesar 150,72 mm (Lampiran 5). Hasil simulasi berdasarkan data penggunaan lahan tahun 1998 didapat parameter hidrograf berupa debit puncak pada Tabel 16.

59 Tabel 16 Debit puncak aliran berdasarkan hujan rancangan 10 tahunan (150,72 mm) DAS Bekasi Hulu tahun 1998 DAS Luas (Ha) Debit Puncak (m 3 /dt) Cileungsi 26.525,9 448,60 Cikeruh 1.790,9 21,69 Ciherang 2.071,2 27,05 Cibadak 2.497,2 30,03 Cijanggel 3.480,6 43,65 Cikeas 11.352,9 153,07 DAS Bekasi Hulu 39.045,0 602,70 Sumber : Simulasi dengan model Hidrologi Hasil simulasi menunjukkan berdasarkan kondisi biofisik tahun 1998 DAS Cileungsi memberikan kontribusi aliran permukaan yang lebih besar dari DAS Cikeas terhadap banjir Kota Bekasi dengan debit puncak 448,60 m 3 /dt dan 153,07 m 3 /dt. Dengan kondisi penggunaan lahan tahun 1998 yang relatif masih baik kondisi aliran pada hujan rancangan 10 tahun telah mencapai 602,70 m 3 /dt dengan demikian kondisi DAS Bekasi Hulu perlu mendapat perhatian yang serius, khususnya di bagian hulu. Lebih lanjut dilakukan simulasi berdasarkan data penggunaan lahan tahun 2003 didapat debit puncak yang dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Debit puncak aliran berdasarkan hujan rancangan 10 tahunan (150,72 mm) DAS Bekasi Hulu tahun 2003 Debit Puncak DAS Luas (Ha) (m 3 /dt) Cileungsi 26.525,9 458,7 Cikeruh 1.790,9 22,78 Ciherang 2.071,2 27,17 Cibadak 2.497,2 30,25 Cijanggel 3.480,6 43,64 Cikeas 11.352,9 156,70 DAS Bekasi Hulu 39.045,0 616,30 Sumber : Simulasi dengan model Hidrologi Hasil simulasi menunjukkan berdasarkan kondisi biofisik tahun 2003 DAS Cileungsi memberikan kontribusi aliran limpasan yang lebih besar dari DAS Cikeas terhadap banjir Kota Bekasi dengan debit puncak 458,7 m 3 /dt dan 156,70 m 3 /dt. DAS Cileungsi bagian hulu memberikan kontribusi terhadap aliran

60 limpasan. Besarnya kontribusi aliran limpasan DAS Cileungsi ditentukan oleh ke empat sub-das yang berada di bagian hulu ialah DAS Cikeruh 4,2 %, DAS Ciherang 4,5 %, DAS Cibadak 5.2 % dan DAS Cijanggel 8,6 %. Kurun waktu 5 tahun (1998-2003) telah mendorong peningkatan debit sebesar 13,60 m 3 /dt, ini menunjukkan adanya kecenderungan kenaikan aliran limpasan diakibatkan perubahan pengunaan lahan yang tidak tertata dengan baik. Salah satu pemicunya ialah menurunkan luasan penggunaan lahan untuk tegalan dan meningkatnya untuk pemukiman yang secara langsung akan menaikan nilai bilangan kurva keseluruhan DAS Bekasi Hulu. Menelaah perkembangan sebelumnya dilakukan simulasi berdasarkan data penggunaan lahan tahun 2008 didapat parameter hidrograf berupa debit puncak limpasan air hujan dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Debit puncak aliran berdasarkan hujan rancangan 10 tahunan (150,72 mm) DAS Bekasi Hulu tahun 2008 Debit Puncak DAS Luas (Ha) (m 3 /dt) Cileungsi 26.525,9 459,56 Cikeruh 1.790,9 23,15 Ciherang 2.071,2 27,38 Cibadak 2.497,2 30,42 Cijanggel 3.480,6 44,39 Cikeas 11.352,9 158,82 DAS Bekasi Hulu 39.045,0 620,36 Sumber : Simulasi dengan model Hidrologi Hasil simulasi menunjukkan berdasarkan kondisi biofisik tahun 2008 DAS Cileungsi memberikan kontribusi aliran limpasan yang lebih besar dari DAS Cikeas terhadap banjir Kota Bekasi dengan debit puncak 459,56 m 3 /dt dan 158,82 m 3 /dt. DAS Cileungsi bagian hulu memberikan kontribusi terbesar terhadap aliran limpasan. Besarnya kontribusi aliran limpasan ke empat sub-das yang berada di bagian hulu ialah DAS Cikeruh 5,1 %, DAS Ciherang 6,1 %, DAS Cibadak 5,6 % dan DAS Cijanggel 6,7 %. Pengaruh perubahan tutupan lahan terhadap aliran permukaan Hasil simulasi menunjukkan berdasarkan penggunaan lahan pada tahun 1998, 2003 dan 2008 terjadi peningkatan debit aliran permukaan pada DAS Cileungsi dan Cikeas sebesar 2,44 % dan 3,75 %. Untuk keseluruhan DAS Bekasi Hulu terjadi peningkatan sebesar 2,93 % (Tabel 19). Jika dilihat dari prosentasi

61 kenaikan memang angkanya cukup kecil, akan tetapi jika ditelaah terhadap luasan genangan yang akan terjadi akibat kenaikan debit tersebut, maka perlu dicermati kecenderungan kenaikan debit tersebut. Tabel 19 Debit aliran berdasarkan hujan rancangan 10 tahunan (150,72 mm) DAS Bekasi Hulu tahun 1998, 2003 dan 2008 Q banjir (m 3 /dt) Prosentasi DAS 1998 2003 2008 kenaikan ( % ) Cileungsi 448,60 458,7 459,56 2,44 Cikeruh 21,69 22,78 23,15 1,68 Ciherang 27,05 27,17 27,38 0,63 Cibadak 30,03 30,25 30,42 2,12 Cijanggel 43,65 43,64 44,39 1,44 Cikeas 153,07 156,70 158,82 3,75 DAS Bekasi Hulu 602,70 616,30 620,36 2,93 Sumber : Simulasi dengan model Hidrologi Dilihat dari kondisi hidrologi saat ini peningkatan debit aliran permukaan pada DAS Bekasi Hulu dari tahun 1998 sampai tahun 2008 terlihat bahwa pada bagian kedua DAS terjadi peningkatan yang tinggi. Jika dilihat kontribusinya terhadap banjir Kota Bekasi ternyata perubahan yang terjadi pada kedua DAS tersebut memberikan kontribusi yang hampir sama. Oleh karena itu untuk mengurangi pengaruh banjir pada Kota Bekasi perlu adanya perlakuan terhadap kedua DAS tersebut. Walaupun peningkatan debit tidak terlalu besar akan tetapi terjadi kenaikan menerus, dan jika dibandingkan dengan genangan yang terjadi pada banjir 2005, maka perlu dilakukan analisis hidrolika dan genangan yang mungkin terjadi. Uraian di atas menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan berupa peningkatan luas permukiman dan penurunan hutan telah mengakibatkan banjir besar di Kota Bekasi. Prediksi Aliran Permukaan pada tahun 2020 Menggunakan kecenderungan perubahan penggunaan lahan sampai dengan tahun 2008 dan proyeksi tahun 2020 (Gambar 22) sebagai akibat kenaikan lahan permukiman, maka simulasimodel hidrologi memprediksikan kecenderungan debit banjir pada tahun 2020 untuk curah hujan rancangan 10 tahunan sebesar 150,72 mm adalah sebesar 735,63 m 3 /dt. Prediksi ini menunjukkan terjadinya kenaikan sebesar 115,27 m 3 /dt atau 18,58 % (Lampiran 5).

62 Analisis Hidrolika Sungai Bekasi Hulu Analisis hidrolika Sungai Bekasi Hulu dibagi meliputi (1) Sungai Bekasi Hulu; (2) model hidrolika; (3) kapasitas alir Sungai Bekasi Hulu; (4) pengaruh kecepatan aliran dan (5) analisis penyebab banjir Kota Bekasi. Sungai Bekasi Hulu Pada DAS Bekasi Hulu, terdapat delapan sungai utama yaitu Sungai Bekasi Hulu, Cikeas, Cileungsi, Citeurep, Cikeruh, Ciherang, Cibadak dan Cijanggel. Sungai terpanjang adalah Sungai Cileungsi dengan panjang 41.829 m ditambahkan dengan Sungai Cibadak sehingga panjang total menjadi 50.670 m dan Sungai Cikeas sebesar 49.924 m. Sungai sedangkan sungai terpendek adalah Sungai Bekasi Hulu sepanjang 10.596 m yang terletak di bagian hilir DAS Bekasi Hulu. Sungai Bekasi Hulu terletak disebelah hilir dari DAS Cikeas dan Cileungsi, dan merupakan daerah banjir di DAS Bekasi Hulu. Debit aliran yang melalui Sungai Bekasi Hulu sangat tergantung pada aliran limpasan pada Sungai Cikeas dan Cileungsi, sehingga secara hidrolika masukan aliran adalah limpasan kedua sungai tersebut. Sungai ini berbelok-belok secara alamiah membentuk meandering (Lampiran 1), akan tetapi disisi kanan dan kiri saat ini telah dibudidayakan secara maksimal menjadi lahan permukiman sehingga Sungai Bekasi Hulu tidak lagi merupakan sungai alamiah, akan tetapi menjadi bagian dari saluran drainase lingkungan. Ini yang menyebabkan kapasitas alir sungai dan kesetimbangan aliran tidak lagi mengikuti kesetimbangan alam, akan tetapi lebih mengikuti penataan wilayah permukiman. Aliran rerata sungai Bekasi Hulu berdasarkan data aliran selama 15 tahun (1991-2005) adalah seperti pada Gambar 23. Data tersebut menunjukkan bahwa debit rerata bulanan minimum dan maksimum terjadi pada bulan Februari dan September (Balai Sungai Ciliwung Cisadane, 2008). Debit rerata terbesar terjadi pada bulan Februari sebesar 104,3 m 3 /dt dan terkecil pada bulan September sebesar 4,5 m 3 /dt. Debit kejadian terbesar terjadi pada 1 Februari 2002 sebesar 578,6 m 3 /dt, sedangkan debit kejadian terkecil terjadi pada 3 September 2006 sebesar 1,3 m 3 /dt. Fluktuasi ini menunjukkan kondisi DAS Bekasi Hulu mendekati DAS kurang sehat.

63 Pada beberapa tempat sepanjang sungai sering terjadi tebing longsor yang cukup signifikan sehingga banyak juga bangunan tanggul yang longsor. Pada tahun 2005 terjadi tanggul yang jebol di beberapa lokasi (Delta Pekayon, Jaka Kencana) sebagai akibat dari longsormya tebing sungai atau gerusan dasar sungai (Lampiran 2). Fenomena ini mendorong perlunya analisis lebih lanjut penyebab longsornya tebing sungai agar dapat dicari upaya penyelesaiannya. 500 CH rerata Bulanan (mm) 120 400 300 200 100 0 Sumber : BMG 1974-2002 J F M A M J J A S O N D Debit Rerata bulanan m 3 /dt 100 80 60 40 20 Sumber : PWSCC 1991-2005 0 J F M A M J J A S O N D Gambar 23 Rerata bulanan curah Hujan dan aliran Sungai Bekasi Hulu. Gambar 24 Hidrograf Sungai Bekasi Hulu hasil pengukuran 8 Januari 2005 (curah hujan 82 mm).

64 Model Hidrolika Analisis hidrolika pada penelitian ini menggunakan program HEC-RAS versi 4.0 (Hydrologic Engineering Centre-River Analysis System ). Masukan data untuk program terdiri dari dua bagian yaitu model geometri dan model aliran. Salah satu data geometri yang sangat penting ialah koefisen gesekan yang menggunakan Koefisen Manning (Lampiran 6). Parameter ini ditentukan berdasarkan pada kondisi lapangan dan dibedakan antara dasar dan bantaran sungai, data masukan ini sebagai data awal sebelum dikalibrasi. Model HEC- RAS dilengkapi fasilitas kalibrasi untuk koefisien kekasaran. Masukan data pada model aliran untuk uji keberlakuan ini didasarkan pada data debit jam-jaman yang berasal dari sistem telemetri yang terdapat pada Balai Sungai Ciliwung Cisadane tahun 2003. Sebelum digunakan untuk simulasi aliran, terlebih dahulu dilakukan uji keberlakuan dengan cara membandingkan dengan hidrograf aliran hasil pengukuran pada pintu air Bendung Bekasi Data yang digunakan untuk uji keberlakuan model hidrolika ini adalah data aliran dengan rentang waktu yang sama dengan rentang waktu yang digunakan untuk kalibrasi model hidrologi untuk memudahkan dalam mengorganisasi data dan sekaligus mengontrolnya. Hasil perbandingan parameter hidrograf aliran dapat dilihat pada Tabel 20. Hasil simulasi hidrolika untuk debit puncak (Q p ) dan Waktu puncak (T p ) didapat rerata simulasi sebesar 172 m 3 /dt dan 377 menit dengan nilai T (T-test) untuk Qp sebesar 0,08 dan Tp sebesar 0,56, nilai ini masih lebih rendah dari nilai T(α=0,05/2), sehingga hasil model simulasi tidak berbeda nyata dengan pengukuran. Hal ini menunjukkan bahwa model simulasi HEC-RAS yang terbangun dengan parameter aliran dapat digunakan untuk melakukan simulasi hidrograf aliran langsung pada Sungai Bekasi Hulu.

65 Tabel 20 Verifikasi hasil simulasi model hidrologi HEC-RAS dengan hasil Pengukuran dengan metoda T-test. Curah Hujan Waktu Puncak (T Tanggal P ) menit Debit Puncak (Q P ) m 3 /dt (mm) Pengukuran Model Pengukuran Model 12 Mar 03 23 262 292 80 84,5 20 Apr 03 18 573 565 52 52,4 25 Mei 03 25 334 326 87 90,2 16 Okt 03 26 267 292 82 86,1 26 Okt 03 132 280 316 524 532,6 10 Jan 04 62 390 398 382 342,5 17 Feb 04 17 382 352 53 58,5 11 Apr 04 28 594 559 92 97,6 27 Mei 04 20 382 398 60 69,5 02 Okt 04 31 278 256 136 148,3 15 Jan 05 118 336 362 442 482,6 22 Jan 05 29 445 467 80 90,6 Rerata 44,1 377 382 172 178 Nilai T ( T-test) 0,08 < nilai T(α=0,05/2) 0,57< nilai T(α=0,05/2) Sumber : Hasil pengukuran dan simulasi model hidrologi Kapasitas Alir Sungai Bekasi Hulu Analisis kapasitas alir Sungai Bekasi Hulu dilakukan untuk 10 potongan penampang yang mewakili lokasi perumahan di tepi Sungai Bekasi Hulu. Hasil hitungan elevasi muka air terhadap debit berdasarkan hujan rancangan ditunjukkan pada Tabel 21. Asumsi yang digunakan pada hitungan kapasitas alir ialah berdasarkan elevasi tanggul yang telah selesai konstruksinya pada bulan Januari 2003 dan 2007, tidak didasarkan kondisi penampang sungai pada banjir 2002 pada saat terjadi banjir. Tabel 21 menunjukkan bahwa kapasitas alir penampang untuk setiap potongan berbeda tergantung pada bentuk dan ukuran penampang serta elevasi tanggul yang telah dibangun. Kapasitas alir terbesar pada penampang sta 6+300 sebesar 764 m 3 /dt dan yang terkecil pada penampang sta 5+100 sebesar 462 m 3 /dt. Berdasarkan hitungan tersebut dapat ditentukan kapasitas alir keseluruhan Sungai Bekasi diambil berdasarkan kemampuan terkecil atau sebesar 462 m 3 /dt. Hal ini menyebabkan pada tahun 2005 debit sebesar 545 m 3 /dt akan melimpas di atas tanggul pada penampang Sta 3+600, 4+200, dan 5+100, sedangkan pada Sta lain elevasi muka air belum melewati elevasi tanggul sehingga tidak terjadi banjir kecuali apabila terjadi jebolnya tanggul.

66 Tabel 21 Kapasitas alir penampang Sungai Bekasi Hulu Pot. Penam -pang Elevasi tanggul pada potongan Barat Timur Elevasi muka air berdasarkan debit pada hujan rancangan pada potongan penampang 2 thn 5 thn 10 thn 25 thn 50 thn 421,45 m 3 /dt 481,77 m 3 /dt 620,36 m 3 /dt 866,73 m 3 /dt 1050,8 m 3 /dt Kapasitas alir sungai ( m 3 /dt ) 0+600 21,0 21,0 19,38 19,50 19,84 20,48 21,13 738 1+700 22,0 22,0 20,38 20,56 22,02 21,77 22,49 665 3+100 22,5 22,5 21,20 21,43 22,07 22,70 23,46 553 3+600 22,5 22,5 21,43 21,66 22,70 23,09 23,80 502 4+200 23,0 23,0 32,69 21,89 23,02 23,40 24,11 536 5+100 23,0 23,0 22,09 22,34 23,14 23,81 24,56 462 6+300 25,5 25,5 22,85 23,15 23,77 24,66 25,45 764 6+700 25,5 25,5 23,22 23,46 24,08 24,77 25,76 703 7+300 25,5 25,5 23,53 23,81 24,39 25,35 26,04 646 8+300 25,5 25,0 23,91 24,17 24,86 25,81 26,59 562 Elevasi muka air di atas elevasi tanggul, sehingga terjadi luapan aliran. Bandingan antara elevasi muka air dan elevasi tanggul dapat dilihat pada Gambar 25. Gambar ini menunjukkan bahwa elevasi muka air dengan debit berdasarkan hujan rancangan 10 tahunan pada penampang Sta 5+100 telah melewati puncak tanggul + 23,00 m, karena muka air telah mencapai + 23,14 m. Pada kondisi ini air akan meluap apalagi jika ditambah adanya gangguan pada aliran, maka muka air akan meluap. Evaluasi elevasi muka air banjir juga dapat dilakukan dengan mengamati elevasi tanggul pada potongan memanjang sungai dengan elevasi muka air seperti yang ditunjukkan Gambar 25 dan 26. Pada simulasi dengan debit berdasarkan hujan rancangan 10 tahunan terlihat adanya muka air yang lebih tinggi dari elevasi tanggul, sedangkan akan terlihat pada beberapa lokasi sepanjang sungai telah terjadi banjir pada debit berdasarkan hujan rancangan 10 tahunan karena muka air telah di atas elevasi tanggul.

67 Elevasi muka air telah melewati elevasi tanggul Gambar 25 Elevasi muka air Sungai Bekasi Hulu pada Sta 5+100. Kapasitas alir penampang Sungai Bekasi Hulu berdasarkan hasil simulasi hidrolika menunjukkan bahwa tanggul tidak dirancang untuk menahan luapan banjir akibat hujan rancangan 10 tahunan dengan kondisi penggunaan lahan tahun 2008 sebesar 620,36 m 3 /dt. Kondisi ini mengindikasikan bahwa untuk mencegah meluapnya air di atas tanggul, dengan hanya menaikan elevasi tanggul hanya dapat menyelesaikan permasalahan sesaat dan kemudian harus dievaluasi kembali sejalan dengan perubahan biofisik DAS. Melewati elevasi tanggul Gambar 26 Elevasi muka air memanjang Sungai Bekasi Hulu.

68 Dari bahasan di atas dapat disimpulkan bahwa kapasitas alir Sungai Bekasi Hulu tidak dapat mengalirkan debit aliran di atas 462 m 3 /dt disebabkan karena di sepanjang sisi sungai telah dipenuhi oleh permukiman penduduk, sehingga sungai tidak lagi dapat menampung aliran dari hulu. Pengaruh Kecepatan Aliran Permasalahan aliran tidak hanya pada besarnya debit aliran yang mengalir pada Sungai Bekasi Hulu akan tetapi juga pada kecepatan dan gaya gesek aliran yang menyebabkan terjadinya kelongsoran pada tebing. Pada model simulasi hidrolika dapat diketahui pertambahan kecepatan aliran pada debit berdasarkan hujan rancangan seperti yang terlihat pada Tabel 22. Tabel 22 Kecepatan aliran terhadap kecepatan izin maksimum Pot. Penampang Kecepatan aliran rerata (m/dt ) pada debit (m 3 /dt) berdasarkan hujan rancangan pada potongan 2 thn 5 thn 10 thn 25 thn 50 thn 421,45 m 3 /dt 481,77 m 3 /dt 620,36 m 3 /dt 866,73 m 3 /dt 1050,8 m 3 /dt 0+600 2,18 2,30 2,56 2,92 3,05 1+700 1,90 1,98 2,20 2,47 2,76 3+100 1,53 1,57 1,66 1,65 1,94 3+600 1,31 1,36 1,51 1,54 1,88 4+200 1,23 1,25 1,31 1,30 1,52 5+100 1,59 1,63 1,74 1,80 2,13 6+300 1,65 1,67 1,72 1,90 2,09 6+700 1,42 1,45 1,56 1,76 1,89 7+300 1,57 1,62 1,75 1,99 2,19 8+300 1,56 1,60 1,74 1,76 2,15 Kecepatan lebih besar dari kecepatan izin maksimum, mudah terjadi kelongsoran tepi sungai. Kecepatan aliran akan makin bertambah sebagai fungsi dari kenaikan debit. Kecepatan yang diizinkan melewati sungai ditutupi rumput campuran pada jenis tanah yang mudah tererosi adalah 1,2 m/dt untuk kemiringan talud 0-5 % dan 1,8 m/dt untuk kemiringan talud 5-10 % (Lencastre, 1987). Sungai Bekasi Hulu mempunyai kemiringan talud rerata 5-10 % sehingga kecepatan izin maksimum (permessible velocity) yang diizinkan adalah 1,8 m/dt. Dari Tabel 22 di atas menunjukkan untuk perioda ulang 25 dan 50 tahunan kecepatan aliran telah melewati kecepatan izin maksimum, sehingga perlu diperhatikan agar tidak terjadi gerusan yang mengakibatkan kelongsoran tepi sungai.

Gambar 27 Genangan pada debit 550 m 3 /dt. 69

Gambar 28 Genangan pada debit 650 m 3 /dt. 70

Gambar 29 Genangan pada debit 750 m 3 /dt. 71

72 Kecepatan aliran yang melebihan kecepatan izin maksimum mengakibatkan banyaknya terjadi kelongsoran pada tepi Sungai Bekasi Hulu, sehingga memberikan permasalahan tersendiri seperti runtuhnya tanggul penahan banjir dan beberapa bangunan lain. Secara struktur banyak bangunan air yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini seperti pemasangan krip atau peredam arus untuk mengurangi kecepatan aliran, juga dapat dibangun turap dari bronjong, sheetpile atau material lain yang berfungsi untuk menahan benturan aliran dengan tepi sungai. Berbagai metoda struktur di atas memang sangat efektif untuk mengurangi permasalahan keruntuhan tepi sungai secara langsung akan tetapi apabila benturan yang terjadi di atas desain rencana, maka akan terjadi bencana yang lebih besar karena kekuatan dari struktur sangat terbatas, untuk itu dapat dipertimbangkan dengan mengembangkan riparian di tepi sungai yang merupakan upaya memperkuat kondisi tanah melalui akar tanaman dan sekaligus menahan benturan arus sungai. Analisis Penyebab Banjir Kota Bekasi Banjir yang terjadi 2005 (545,5 m 3 /dt) akibat hujan sebesar 127 mm selama 6 jam menunjukkan bahwa kapasitas alir sungai tidak lagi mampu mengalirkan aliran sungai sehingga terjadi luapan air di beberapa lokasi karena kapasitas alir lebih rendah dari debit aliran. Keterbatasan kapasitas alir disebabkan karena di sepanjang sisi sungai telah dipenuhi oleh permukiman penduduk, sehingga sungai tidak lagi dapat mengikuti kesetimbangan alam untuk menampung aliran dari hulu dan berubah fungsi menjadi saluran drainase lingkungan. Kondisi akan semakin parah jika memperhatikan perubahan penggunaan lahan khususnya kenaikan penggunaan lahan permukiman sebesar 19,3 % dan penurunan hutan sebesar 5,5 % dalam kurun waktu 10 tahun (1998-2008). Hasil simulasi hidrologi menunjukkan dengan menggunakan data biofisik DAS tahun 2008 dengan hujan yang sama pada tahun 2005 (127 mm selama 6 jam) akan mengalir debit sebesar 592,8 m 3 /dt atau terjadi kenaikan sebesar 47,6 m 3 /dt dalam waktu 3 tahun. Hasil simulasi ini memberikan indikasi kuat bahwa kecenderungan terjadi banjir semakin tinggi, terlebih lagi jika diamati terjadinya hujan dengan rancangan 10 tahunan, maka akan terjadi genangan yang luas.

73 Keterkaitan antara besarnya aliran limpasan dari hulu dan kapasitas alir sungai merupakan penyebab utama terjadinya banjir, apabila aliran limpasan lebih besar dari kapasitas alir, maka akan terjadi banjir. Berdasarkan analisis hidrologi dan kondisi DAS jelas terlihat bahwa perubahan penggunaan lahan sangat berpengaruh terhadap aliran limpasan yang terjadi sehingga perlu diupayakan suatu langsung untuk mengatasi besarnya aliran limpasan. Apabila sulit dilakukan perubahan pengunaan lahan dapat dipertimbangkan untuk menata lahan yang telah ada berdasarkan kaidah konservasi baik yang berada di daerah perkotaan maupun pedesaan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan pendekatan yang terpadu sehingga kerugian akibat banjir dapat dikurangi. Besaran kerugian akibat banjir merupakan fungsi dari aliran limpasan dan kedalaman genangan air, sehingga untuk mempertajam upaya penangganan banjir dilakukan analisis nilai kerugian akibat banjir dengan mengakomodasi nilai kerugian yang dirasakan oleh masyarakat yang mengalami kebanjiran di Kota Bekasi.

74 Analisis Kerugian Akibat Genangan Banjir Kerugian akibat banjir dihitung sebagai fungsi dari luasan zonasi genangan banjir pada perioda ulang tertentu, jumlah kerusakan yang terjadi dan nilai kerugian berdasarkan pendapat masyarakat. Secara rinci masing-masing fungsi tersebut dijabarkan di bawah ini. Zonasi Banjir Luasan zonasi genangan didapatkan dengan memindahkan hasil simulasi hidrolika pada hujan rancangan ke dalam sistem informasi geografis. Luasan daerah genangan untuk kondisi biofisik DAS Bekasi hulu pada tahun 2008 untuk masing-masing perioda ulang disajikan pada Tabel 23. Tabel 23 Luas genangan dan ketinggian banjir pada debit (m 3 /dt) Debit Banjir (m 3 /dt) Luas genangan (ha) Ketinggian Banjir 2008 2008 350 Tidak ada Tidak ada 450 Tidak ada Tidak ada 550 423,0 0,5-1,8 m 650 787,5 0,5-2,4 m 750 1246,8 0,5-2,8 m Sumber : hasil hitungan Pada debit lebih kecil 450 m 3 /dt tidak terjadi genangan karena debit tersebut pada kondisi biofisik DAS tahun 2008 masih lebih kecil dari kapasitas alir Sungai Bekasi hulu (462 m 3 /dt). Luasan daerah genangan pada Tabel 23 di atas jika ditumpang-tindihkan dengan penggunaan lahan pada daerah banjir akan mendapatkan jumlah bangunan dan infrastruktur yang terendam air seperti yang ditunjukkan pada Tabel 24. Asumsi yang digunakan pada penelitian inilah daerah genangan sebagian besar adalah daerah permukiman, sehingga penekanan banjir yang terjadi adalah pada rumah dan jalan yang jumlah dan panjangnya tergantung pada luasan genangan. Gambar 27, 28 dan 29 menunjukkan tumpang-tindih antara poligon genangan hasil bangkitan model hidrolika dengan penggunaan lahan pada sistem informasi geografis. Dengan menggunakan fungsi-fungsi pada ArcView 3.2 didapat jumlah rumah dan panjang jalan yang terendam yang diberikan pada Tabel 25.

75 Debit Banjir (m 3 /dt) Tabel 24 Jumlah rumah, jalan dan fasilitas yang terendam Jumlah yang terendam Rumah Jalan (Km) Fas. Umum/ Sosial 450 Tidak ada Tidak ada Tidak ada 550 6.230 5,2 6 650 12.692 6,7 8 750 26.077 10,5 12 Sumber : hasil tumpang-tindih SIG Tabel 24 menunjukkan jumlah rumah dan panjang jalan yang terendam meningkat dengan kenaikan debit banjir. Data lebih rinci jumlah rumah kecil, sedang dan besar yang terendam berdasarkan perioda ulang dapat dilihat pada Tabel 25 a, b dan c. Angka ini yang kemudian menjadi acuan hitungan kerugian akibat banjir. Tabel 25 a Jumlah berbagai rumah tipe kecil (< 45 m 2 ) yang terendam (m) pada debit (m 3 /dt) Kedalaman Jumlah rumah tipe kecil (< 45 m 2 ) pada debit (m 3 /dt) Banjir (m) 450 550 650 0,5 Tidak ada data 4.249 8.730 0,5-1,0 Tidak ada data 6.111 12.554 1,0-2,0 Tidak ada data 6.728 13.838 2,5 Tidak ada data 6.854 14.081 Tidak ada data berarti tidak ada responden yang mengalami kedalam banjir pada debit 450 m 3 /dt Sumber : hasil tumpang-tindih SIG Tabel 25 b Jumlah berbagai rumah tipe sedang (45-200 m 2 ) yang terendam (m) pada debit (m 3 /dt) Kedalaman Jumlah rumah tipe sedang (45-200 m 2 ) pada debit (m 3 /dt) Banjir (m) 450 550 650 0,5 Tidak ada data 2.588 5.320 0,5-1,0 Tidak ada data 3.514 7.204 1,0-2,0 Tidak ada data 3.807 7.824 2,5 Tidak ada data 3.807 7.824 Tidak ada data berarti tidak ada responden yang mengalami kedalam banjir pada debit 450 m 3 /dt Sumber : hasil tumpang-tindih SIG Tabel 25 c Jumlah berbagai rumah tipe besar (>200 m 2 ) yang terendam (m) pada debit (m 3 /dt) Kedalaman Jumlah rumah tipe besar (>200 m 2 ) pada debit (m 3 /dt) Banjir (m) 450 550 650 0,5 Tidak ada data 1.463 3.003 0,5-1,0 Tidak ada data 1.975 4.060 1,0-2,0 Tidak ada data 2.031 4.172 2,5 Tidak ada data 2.031 4.172 Tidak ada data berarti tidak ada responden yang mengalami kedalam banjir pada debit 450 m 3 /dt Sumber : hasil tumpang-tindih SIG

76 Kedalaman banjir ditentukan berdasarkan selisih elevasi berdasarkan topografi dan elevasi muka air. Penyimpangan terhadap data ini dapat terjadi, mengingat rumah dibangun lebih tinggi dari elevasi topografi. Dari data pada Tabel 25 a, b, dan c terlihat bahwa pada debit banjir 450, 550, 650 dan 750 m 3 /dt jumlah rumah tipe kecil lebih banyak terendam pada kedalaman banjir di atas 0,5 m. Nilai Kerugian akibat Banjir Untuk mengetahui nilai kerugian akibat banjir dilakukan kuisioner dengan data sampling sebanyak 375 responden yang dilakukan pada mulai tanggal 10 Februari sampai dengan 25 Februari 2006 pada masyarakat yang tinggal di daerah bantaran Sungai Bekasi Hulu (Lampiran 7). Gambar 30. Prosentasi Responden dan pengalaman mengalami banjir (Kuisoner, 2006). Gambar 31. Tingkat pendidikan Responden(Kuisoner, 2006). Hasil kuisioner juga menunjukkan bahwa responden yang mengalami banjir sebagian besar yang tinggal atau rumahnya berada 100-200 m dari tepi Sungai Bekasi Hulu dan tinggi rumah hanya 1m atau lebih rendah dari elevasi jalan utama. Sebagian besar responden yang mengalami banjir (74,9%) tinggal pada rumah dengan tipe kecil (< 45 m 2 ) dengan tinggi rumah terhadap bantaran

77 sungai relatif sama tinggi. Ini menunjukkan bahwa pada saat pembangunan rumah kurang memperhatikan faktor banjir, dan lebih memperhatikan faktor ekonomis dibandingkan resiko dan estitika terhadap sungai. Secara umum karena di daerah permukiman yang telah tertata, kebanyakan masyarakat pada strata pendapatan menengah ke atas dan berpendidikan paling rendah adalah sekolah menengah atas. Hasil kuisioner terhadap keseluruhan data sampling didapat hasil yang dapat beberapa hasil yang dituangkan pada Tabel 26, 27 dan 28. Tabel 26 Jumlah responden dengan tipe rumah yang terendam Kedalaman Jumlah responden pada tipe rumah Banjir (m) kecil (< 45 m 2 ) sedang (45-200 m 2 ) besar (>200 m 2 ) 0,5 139 74 40 0,5-1,0 187 103 54 1,0-2,0 199 113 60 2,5 202 113 60 Sumber : hasil tumpang tindih SIG Tabel 26 menunjukkan banyaknya rumah responden yang terendam dengan kedalam tertentu, terlihat kebanyakan justru pada rumah kecil mengalami kebanjiran yang lebih dalam. Sedangkan pada tipe besar umumnya lebih kedalaman lebih kecil karena lantai rumah relatif tinggi. Nilai kerugian ditanyakan dalam 2 bagian yaitu biaya langsung dan tidak langsung. Untuk kerugian langsung berupa (1) pembersihan rumah; (2) perbaikan fisik rumah; (3) perbaikan perabot rumah tangga dan (3) kerusakan benda yang tidak dapat diselamatkan. Hasilnya pada Tabel 27 merupakan rerata dari semua responden yang menjawab pada interval tertentu yang diberikan. Tabel 27 Kerugian langsung pada dengan tipe rumah yang terendam Kedalaman Kerugian pada tipe rumah ( x Rp 1000) Banjir (m) kecil (< 45 m 2 ) sedang (45-200 m 2 ) besar (>200 m 2 ) 0,5 1.200 1.350 2.150 0,5-1,0 2.250 2.600 3.300 1,0-2,0 3.275 3.650 4.125 2,5 5.300 Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data berarti tidak ada responden yang mengalami kedalam banjir di atas 2,00 m Sumber : hasil kuisioner Sementara itu biaya tidak langsung yang didapat adalah berapa biaya yang dikeluarkan responden untuk memulihkan kondisi yang terganggu akibat banjir antara lain (1) biaya pengobatan yang sakit; (2) kegiatan sosial yang terhambat dan (3) kegiatan ekonomis yang terganggu.

78 Tabel 28 Kerugian tidak langsung dengan tipe rumah yang terendam Kedalaman Kerugian pada tipe rumah ( x Rp 1000) Banjir (m) kecil (< 45 m 2 ) sedang (45-200 m 2 ) besar (>200 m 2 ) 0,5 625 875 1.200 0,5-1,0 1.250 1.600 2.200 1,0-2,0 2.100 3.250 5.400 2,5 4.250 Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data berarti tidak ada responden yang mengalami kedalam banjir di atas 2,00 m Sumber : hasil kuisioner Kerugian pada Zonasi Banjir Berdasarkan luasan dan jumlah rumah dan jalan yang terendam pada Tabel 24 dan nilai kerugian sebagai fungsi dari kedalaman dan tipe rumah pada Tabel 27 dan 28 maka dapat dihitung total kerugian yang terjadi pada perioda ulang tertentu seperti pada Tabel 29. Tabel 29 Total kerugian akibat banjir Debit (m 3 /dt) Total Kerugian ( x Rp 1.000.000) Langsung Tidak Langsung Jumlah 550 12.457,80 5.452,60 26.910,40 650 25.384,67 14.697,08 40.081,75 750 51.467,45 32.364,10 83.831,55 Sumber : hasil hitungan Tabel 30 menunjukkan besarnya kerugian pada daerah zonasi genangan banjir sebesar Rp. 40.081.750.000,- pada debit aliran 650 m 3 /dt dan Rp. 83.831.550.000,- pada pada debit aliran 750 m 3 /dt. Dengan menggunakan hasil hitungan total kerugian dan debit banjir pada Tabel 30 dapat digambarkan grafik hubungan debit aliran dengan kerugian akibat banjir yang disajikan pada Gambar 32.

79 Nilai Kerugian (x Rp. 1000,-) 39.850,05 Debit berdasarkan hujan rancangan 620,3 Debit (m 3 /dt) Gambar 32. Hubungan elevasi muka air dengan kerugian (hasil hitungan). Pada grafik pada Gambar 32 di atas, maka dapat dihitung nilai kerugian untuk debit berdasarkan hujan rancangan 10 tahunan (620,36 m 3 /dt) dengan kondisi biofisik 2008 sebesar Rp. 39.850.050.000,- (tipa puluh sembilan milyar delapan ratus lima puluh juta lima puluh ribu rupiah). Nilai ini didapat dari hasil interpolasi eksponensial terhadap hitungan kerugian pada debit 550, 650 dan 750 m 3 /dt. Grafik ini dapat digunakan untuk mempermudah menghitung nilai kerugian setiap kali diketahui debit yang mengakibatkan banjir yang terjadi di wilayah banjir khususnya pada DAS Bekasi Hulu. Gambar 32 menunjukkan besarnya kerugian langsung dan tidak langsung di daerah zonasi genangan banjir Kota Bekasi bertambah dengan peningkatan debit aliran Sungai Bekasi Hulu.

80 Pengelolaan DAS Untuk Penanggulangan Banjir Arahan pengelolaan DAS Bekasi Hulu untuk menyusun usulan rancangan skenario penanggulangan banjir dan penurunan resiko banjir didasarkan pada beberapa pertimbangan kondisi biofisik DAS dan aliran Sungai Bekasi Hulu. Dasar Pertimbangan Dasar pertimbangan utama adalah respons aliran limpasan DAS dan perilaku aliran pada Sungai Bekasi Hulu terhadap kejadian hujan rancangan pada kondisi biofisik DAS Bekasi Hulu tahun 1998, 2003, 2008 dan proyeksi tahun 2020 yang dicirikan sebagai berikut: 1. DAS Bekasi Hulu dengan luasan total sebesar 39.045,0 ha mengalami perubahan yang cepat. Pada kurun waktu sepuluh tahun (1998-2008) terjadi penurunan luasan penggunaan lahan untuk hutan 5,5 %, perkebunan 14,5 %, sawah-tegalan 13,9 %, sedangkan kenaikan luasan tutupan lahan untuk permukiman 19,3 %, semak belukar 7,5 % dan tanah kosong 1,4 % 2. Perubahan tutupan lahan dan pola penggunaan lahan memberikan kontribusi terhadap peningkatan perbandingan Qmax : Qmin yang semula pada tahun 1998 sebesar 15 kali menjadi sekitar 410 kali pada tahun 2005. Kenaikan rasio debit aliran sungai mencirikan kondisi hidrologis DAS Bekasi Hulu tidak terlalu sehat. 3. Perubahan penggunaan lahan tahun 1998-2008 mengakibatkan peningkatan debit pada DAS Bekasi Hulu sebesar 17,66 m 3 /dt atau 2,93 %, jika dilihat dari prosentase kenaikan memang tidak besar akan tetapi perlu ditelaah penambahan debit akan mengakibatkan kenaikan luasan genangan yang signifikan. 4. Kapasitas alir Sungai Bekasi Hulu berdasarkan hasil simulasi hidrolika sebesar 462 m 3 /dt, sedangkan debit pada hujan rancangan 10 tahunan adalah 620,36 m 3 /dt sehingga pada kondisi hujan rancangan 10 tahunan akan terjadi banjir. Besarnya kapasitas alir ini sangat tergantung penampang sungai dan elevasi tanggul sungai. Kenaikan aliran permukaan akibat perubahan penggunaaan lahan menyebabkan elevasi yang telah dibangun harus ditinggikan setiap tahunnya.