IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Perkebunan Dunia

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. diperbaharui, dalam kata lain cadangan migas Indonesia akan semakin menipis.

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

V. GAMBARAN UMUM. sebagai produsen utama dalam perkakaoan dunia. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab

V. EKONOMI GULA. dikonsumsi oleh masyarakat. Bahan pangan pokok yang dimaksud yaitu gula.

I. PENDAHULUAN. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas.

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi. Sektor pertanian merupakan

I. PENDAHULUAN. menjadi pemasok hasil pertanian yang beranekaragam yaitu rempah-rempah

5 GAMBARAN UMUM AGRIBISNIS KELAPA SAWIT

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat secara ekonomi dengan ditunjang oleh faktor-faktor non ekonomi

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

I. PENDAHULUAN. Peran ekspor non migas sebagai penggerak roda perekonomian. komoditas perkebunan yang mempunyai peran cukup besar dalam

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan.

V. GAMBARAN UMUM. 5.1 Luas Areal Perkebunan Kopi Robusta Indonesia. hektar dengan luas lahan tanaman menghasilkan (TM) seluas 878.

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. (BPS 2012), dari pertanian yang terdiri dari subsektor tanaman. bahan makanan, perkebunan, perternakan, kehutanan dan perikanan.

V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang. melimpah dan dikenal dengan sebutan negara agraris, sehingga pertanian

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN. penyumbang devisa, kakao (Theobroma cacao) juga merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Subsektor perkebunan merupakan salah satu sektor pertanian yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan perekonomian suatu negara tentunya tidak terlepas dari

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara agraris mempunyai peluang yang cukup besar dalam

BAB I PENDAHULUAN. jenis tanaman yang banyak dimanfaatkan sebagai bumbu dapur atau juga diolah

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB V GAMBARAN UMUM PRODUK PERTANIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan memberikan

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR SUMATERA UTARA

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS KINERJA EKSPOR 5 KOMODITAS PERKEBUNAN UNGGULAN INDONESIA TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. Kopi Indonesia merupakan salah satu komoditas perkebunan yang telah di ekspor

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR SUMATERA UTARA

I. PENDAHULUAN , , , ,3 Pengangkutan dan Komunikasi

Boks 1. DAMPAK PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT DI JAMBI: PENDEKATAN INPUT-OUTPUT

BAB I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian memegang peran strategis dalam pembangunan

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR SUMATERA UTARA

ISSN OUTLOOK LADA 2015 OUTLOOK LADA

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN

V. GAMBARAN UMUM EKONOMI KELAPA SAWIT DAN KARET INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

RENCANA KEGIATAN DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN 2018

BAB I PENDAHULUAN. melimpah. Memasuki era perdagangan bebas, Indonesia harus membuat strategi yang

KEGIATAN PRIORITAS PENGEMBANGAN PERKEBUNAN TAHUN Disampaikan pada: MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN NASIONAL Jakarta, 31 Mei 2016

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai Ekspor Sepuluh Komoditas Rempah Unggulan Indonesia

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu subsektor pertanian yang berpotensi untuk dijadikan andalan

BAB. I PENDAHULUAN Secara umum sektor pertanian pada Pembangunan Jangka

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR SUMATERA UTARA

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor andalan dalam mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. keberlangsungan suatu negara dan diyakini merupakan lokomotif penggerak dalam

Tabel 1. Neraca Perdagangan Luar Negeri Sumatera Utara Untuk Beberapa Periode Tahun

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR SUMATERA UTARA MEI 2012

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR SUMATERA UTARA

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. meningkatnya hubungan saling ketergantungan (interdependence) antara

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR SUMATERA UTARA

V. PERKEMBANGAN PRODUKSI DAN EKSPOR KOMODITI TEH INDONESIA. selama tahun tersebut hanya ton. Hal ini dapat terlihat pada tabel 12.

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR SUMATERA UTARA

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjang peningkatan ekspor nonmigas di Indonesia. Indonesia

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

V. TINJAUAN UMUM RUMPUT LAUT DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan pembangunan pertanian periode dilaksanakan melalui tiga

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR SUMATERA UTARA

PENDAHULUAN. yang penting di Indonesia dan memiliki prospek pengembangan yang cukup

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu

PENDAHULUAN. daratan menjadi objek dan terbukti penyerapan tenaga kerja yang sangat besar.

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR SUMATERA UTARA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terkenal dengan sebutan Negara Agraris. Hal ini dapat

I. PENDAHULUAN. menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik khususnya pada hasil perkebunan.

V. GAMBARAN UMUM RUMPUT LAUT. Produksi Rumput Laut Dunia

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri, demikian halnya dengan

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komoditas unggulan dari sub sektor perkebunan di Indonesia

I. PENDAHULUAN. Dalam rangka peningkatan produksi pertanian Indonesia pada periode lima

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1. Luasan lahan perkebunan kakao dan jumlah yang menghasilkan (TM) tahun

I. PENDAHULUAN. Indonesia terkenal dengan sebutan negara agraris, yang ditunjukkan oleh luas

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas disusul Provinsi Sumatera. dan Sumatera Selatan dengan luas 1,11 juta Ha.

I. PENDAHULUAN. penyerapan tenaga kerja dengan melibatkan banyak sektor, karena

BAB I PENDAHULUAN. terjadi apabila barang yang dihasilkan oleh suatu negara dijual ke negara lain

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kelapa sawit merupakan komoditas perdagangan yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit.

BAB I PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan yang mempunyai peranan

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN

PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG

BAB I PENDAHULUAN. ukuran dari peningkatan kesejahteraan tersebut adalah adanya pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang

OUTLOOK KOMODITI KAKAO

BAB 1 PENDAHULUAN. negara yang saling membutuhkan satu sama lain. Kegiatan ini diperlukan oleh

I. PENDAHULUAN. melimpah, menjadikan negara ini sebagai penghasil produk-produk dari alam

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Transkripsi:

IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Perkebunan Dunia Komoditi perkebunan Indonesia rata-rata masuk kedalam lima besar sebagai produsen dengan produksi tertinggi di dunia menurut Food and agriculture organization (FAO) pada tahun 2001, 2005 dan 2008, dimana hanya ada empat komoditi yang berada diluar dari lima besar. Berikut akan dipaparkan posisi yang diduduki komoditi perkebunan Indonesia didunia. 1. Cengkeh Cengkeh Indonesia berada pada posisi teratas, sebagai produsen cengkeh terbesar di dunia dalam tiga tahun tersebut dengan rata-rata produksi seberat 79.987,6 ton. Posisi dua hingga kelima pada tahun 2001 diduduki Madagaskar, Tanzania, Komoro dan Sri Lanka. Tahun 2005 posisi dua hingga kelima produsen cengkeh terbesar diduduki Tanzania, Madagaskar, Sri Lanka dan Komoro. Tahun 2008 Madagaskar, Tanzania, Sri Lanka dan Komoro merupakan negara yang menduduki posisi dua hingga lima (FAO). 2. Kacang Mete Indonesia hanya berada pada posisi keenam sebagai produsen kacang mete di dunia dengan produksi rata-rata dalam tiga tahun tersebut seberat 127.769,3 ton. Pada Tahun 2001 Indonesia berada di bawah Nigeria, India, Vietnam, Brazil dan Tanzania. Tahun 2005 dan 2008 Indonesia berada dibawah Vietnam, Nigeria, India, Pantai Gading dan Brazil (FAO). 3. Kakao Indonesia berada pada posisi dua pada tahun 2001 dan 2008, serta posisi tiga pada tahun 2005 sebagai negara produsen kakao tertinggi di dunia dengan produksi ratarata seberat 621.308 ton. Dalam tiga tahun yang ada, Pantai Gading merupakan negara dengan produsen kakao tertinggi di dunia, sementara negara posisi tiga hingga lima pada tahun 2001 dan 2008 diduduki Ghana, Nigeria dan Brazil. Tahun 2005

38 posisi dua diduduki Ghana, sedangkan posisi empat dan lima diduduki Nigeria dan Brazil (FAO). 4. Karet Indonesia berada pada posisi satu pada tahun 2001 dan posisi dua pada tahun 2005 dan 2008 sebagai negara produsen karet terbesar di dunia dengan rata-rata produksi seberat 8.251.247 ton. Tahun 2001 posisi dua hingga posisi lima diduduki Malaysia, Nigeria, Thailand dan Kolombia. Tahun 2005 dan 2008 posisi satu diduduki Thailand, sedangkan posisi tiga hingga posisi lima diduduki Malaysia, India dan Vietnam (FAO). 5. Kayu Manis Rata-rata produksi dalam tiga tahun yang ada seberat 68.429,67 ton, Indonesia berada pada posisi satu sebagai produsen kayu manis terbesar di dunia, dimana dalam tiga tahun yang ada posisi dua hingga posisi lima selalu diduduki China, Sri Lanka, Vietnam dan Madagaskar (FAO). 6. Kelapa Sawit Indonesia memiliki rata-rata produksi CPO seberat 13.595.000 ton dalam tiga tahun yang ada, dimana pada tahun 2001 dan 2005 Indonesia sebagai produsen CPO terbesar kedua dibawah Malaysia, sedangkan pada tahun 2008 Indonesia merupakan negara produsen CPO tertinggi dan berada di atas Malaysia. Tahun 2001 dan 2005 negara yang berada pada posisi tiga hingga posisi lima adalah Nigeria, Thailand dan Kolombia (FAO). 7. Kelapa Indonesia berada pada posisi satu sebagai negara produsen kelapa di dunia, dengan rata-rata produksi seberat 17.855.000 ton dalam tahun 2001, 2005 dan 2008. Dalam tiga tahun tersebut pula posisi dua hingga posisi lima negara produsen kelapa diduduki Filipina, India, Brazil dan Sri Lanka (FAO). 8. Kopi Indonesia berada pada posisi keempat sebagai negara produsen kopi terbesar di dunia dengan produksi rata-rata dalam tiga tahun seberat 630.845,7 ton. Posisi satu hingga posisi tiga dalam tiga tahun yang ada diduduki Brazil, Veitnam, serta

39 Kolombia. Sementara posisi kelima diduduki Meksiko pada tahun 2001 dan 2005 serta Peru pada tahun 2008 (FAO). 9. Lada Indonesia berada pada posisi enam pada tahun 2001 dan posisi dua pada tahun 2005 dan 2008 sebagai negara produsen lada terbesar di dunia dengan rata-rata produksi seberat 117.242 ton dalam tiga tahun tersebut. Posisi satu hingga posisi lima pada tahun 2001 diduduki China, India, Kenya, Sri Lanka dan Turki. Tahun 2005 dan tahun 2008 posisi satu diduduki Vietnam sedangkan posisi tiga hingga posisi lima diduduki Brazil, India dan China (FAO). 10. Pala Tahun 2001 Indonesia berada pada posisi satu sebagai negara produsen pala terbesar didunia, sedangkan pada tahun 2005 Indonesia berada pada posisi empat dan pada tahun 2008 berada pada posisi tiga, dengan rata-rata produksi seberat 13.896,67 ton. Tahun 2001 posisi dua hingga posisi lima diduduki Guatemala, India, Nepal dan Bhutan. Tahun 2005 posisi satu hingga posisi tiga diduduki Guatemala, India dan Bhutan, sedangkan Nepal berada dibawah Indonesia. Tahun 2008 Guatemala dan India berada pada posisi satu dan dua, sedangkan Nepal dan Bhutan berada dibawah Indonesia (FAO). 11. Teh Tahun 2001 Indonesia berada pada posisi keempat sebagai negara produsen teh terbesar di dunia, sedangkan pada tahun 2005 dan 2008 berada pada posisi tujuh dengan rata-rata produksi seberat 290.312 ton. Posisi satu hingga posisi tiga pada tahun 2001 diduduki Brazil, Vietnam dan Kolombia, sedangkan Meksiko berada pada posisi kelima. Tahun 2005 dan 2008 posisi satu hingga posisi lima diduduki China, India, Kenya, Sri Lanka dan Turki (FAO). 12. Tembakau Tahun 2001 dan 2008 Indonesia berada pada posisi lima sebagai negara dengan produksi tembakau terbesar di dunia, sedangkan pada tahun 2005, Indonesia berada pada posisi keenam, rata-rata produksi yang dimiliki dalam tiga tahun tersebut adalah seberat 175.012,7 ton. Tahun 2001 posisi satu hingga posisi empat diduduki China,

40 Brazil, Amerika Serikat dan India. Tahun 2005 posisi satu hingga posisi lima diduduki China, Brazil, India, Amerika Serikat dan Argentina. Tahun 2008 China, Brazil, India dan Amerika Serikat berada pada posisi satu hingga lima produsen tembakau terbesar didunia. 4.2 Perkebunan Indonesia Alam Indonesia yang sangat luas memberikan dampak yang baik bagi perkebunan Indonesia, sebab dari luasnya lahan tersebut, sektor perkebunan yang notabene harus memiliki lahan yang luas untuk bercocok tanam menjadi terbantu. Lahan yang luas belum tentu termanfaatkan secara optimal oleh sektor perkebunan Indonesia, karena produktivitas merupakan suatu tolak ukur bagaimana lahan tersebut dimanfaatkan. Secara keseluruhan rendahnya mutu komoditi perkebunan Indonesia menjadi sorotan, karena rata-rata perkebunan dikelola oleh perkebunan rakyat yang masih kurang penyuluhan pemerintah. Dalam subbab perkebunan Indonesia akan dipaparkan bagaimana luas areal, produksi dan daerah sentra produksi perkebunan Indonesia masing-masing komoditi. 4.2.1 Perkembangan Luas Areal, Volume Produksi dan Daerah Sentra Produksi Cengkeh Indonesia Pesatnya industri rokok kretek di Indonesia menyebabkan tanaman cengkeh yang dulunya merupakan komoditas ekspor berubah menjadi komoditas impor, sehingga pada tahun 1970 muncul program swasembada cengkeh, melalui perluasan areal. Program swasemabada tersebut berhasil pada tahun 1991, namun dengan melimpahnya produksi cengkeh menyebabkan harga komoditas tersebut turun. Permasalahan tersebut membuat pemerintah membuat kebijakan dengan mengatur tata niaga cengkeh melalui pembentukan Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC). Program ini tidak berhasil dan petani menelantarkan areal pertanaman cengkeh ( Deptan, 2005) Sekitar tahun 2001-2002 harga cengkeh di pasar dalam negeri melonjak cukup tajam. Kenyataan ini mengejutkan semua pihak, baik petani maupun pengusaha rokok

41 kretek yang merupakan satu-satunya konsumen komoditas tersebut. Harga cengkeh yang telah lama terpuruk yaitu dengan harga Rp2.500/kg Rp8.500/kg kini menjadi sekitar Rp70.000/kg. Kondisi ini menggambarkan dua fakta kontradiktif. Dari sisi produsen rokok kretek mengalami kesusahan akibat harga yang tinggi, sedangkan dari petani juga tidak bergembira dengan melambungnya harga cengkeh tersebut, karena bukan hasil dari panen petani, melainkan stok timbunan para pedagang besar 1. Luas areal cengkeh Indonesia dari tahun 2001 hingga 2006 mengalami fluktuasi, sementara pada tahun 2007 sampai 2009 mengalami peningkatan, seperti yang tertera pada Gambar 8. Luas Areal (Ha) dan Volume 500000 400000 300000 200000 100000 0 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Tahun Luas Areal (Ha) Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan Gambar 8. Perkembangan Luas Areal dan Produksi Cengkeh Indonesia Tahun 2001-2009 Pertumbuhan rata-rata luas areal cengkeh Indonesia adalah sebesar 1,1 persen, dengan pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2003 dengan pertumbuhan sebesar 2,8 persen luas areal yang mana pada tahun 2002 luas areal cengkeh adalah 430.212 Ha dan meningkat menjadi seluas 442.333 Ha. Setelah mengalami pertumbuhan luas areal tertinggi pada tahun 2003, pertumbuhan yang paling rendah dan bahkan lagi-lagi negatif terjadi pada tahun 2004 dengan penurunan luas areal cengkeh sebesar 0,9 persen, yaitu menjadi seluas 438.253 Ha. 1 Fahmi Ismail, 2002 diacu dalam Out Look Pertanian Perkebunan, 2008

42 Gambar 8 juga memperlihatkan volume produksi cengkeh Indonesia yang berfluktuasi dari tahun 2001 sampai 2009. Akibatnya pertumbuhan rata-rata volume cengkeh hanya sebesar 2,7 persen, dengan pertumbuhan produksi paling tinggi terjadi pada tahun 2009 dengan persentase sebesar 16,3 persen yaitu dari produksi cengkeh tahun 2008 seberat 70.538 ton menjadi 82.032 ton cengkeh. Pertumbuhan yang paling rendah bahkan negatif terjadi pada tahun 2006 dengan penurunan pertumbuhan sebesar 21,6 persen yaitu dari produksi cengkeh pada tahun 2005 seberat 78.350 ton menjadi 61.408 ton pada tahun 2006. Daerah yang menjadi sentra cengkeh Indonesia adalah provinsi Sulawesi Selatan dengan rata-rata pertumbuhan produksi dari tahun 2003 hingga 2009 sebesar 15,4 persen dan diikuti Maluku dengan rata-rata pertumbuhan produksi sebesar 1,3 persen, sedangkan diposisi ketiga ditempati Jawa Timur dengan pertumbuhan produksi rata-rata sebesar 3,3 persen (Ditjenbun). 4.2.2 Perkembangan Luas Areal, Volume Produksi dan Daerah Sentra Produksi Kacang Mete Indonesia Luas areal kacang mete Indonesia memiliki pertumbuhan rata-rata sebesar 0,0007 persen. Persentase yang kecil tersebut terjadi akibat peningkatan yang kecil setiap tahunnya, luas areal pada tahun 2001 adalah seluas 568.912 Ha dan pada tahun 2009 menjadi seluas 572.114 Ha, dimana hanya terjadi peningkatan luas yang kecil selama delapan tahun tersebut seperti yang terlihat pada Gambar 9. Peningkatan pertumbuhan yang tertinggi terjadi pada tahun 2002, itu pun dengan persentase 0,01 persen, yaitu dari luas areal 568.912 Ha pada tahun 2001 menjadi 578.924 Ha pada tahun 2002, bahkan luas areal pada tahun 2002 tersebut lebih luas dibandingkan dengan luas areal kacang mete pada tahun 2009, namun untuk areal yang terluas adalah pada tahun 2005, yaitu seluas 579.650 Ha. Sementara setelah pada tahun 2003 mengalami pertumbuhan yang paling tinggi, pada tahun 2004 luas areal mengalami pertumbuhan yang terendah bahkan negatif dimana luas areal kacang mete menjadi seluas 573.281 Ha.

43 Perkembangan produksi kacang mete hampir sama dengan perkembangan produksi hasil perkebunan yang lain, yaitu berfluktuasi seperti yang tertera pada Gambar 9. Pada tahun 2001 produksi kacang mete adalah 91.586 ton dan pada tahun 2009 meningkat menjadi 147.403 ton dengan pertumbuhan rata-rata 0,06 persen. Pertumbuhan tertinggi volume produksi kacang mete terjadi pada tahun 2004 dengan pertumbuhan sebesar 0,2 persen, yaitu dari volume produksi 106.932 ton pada tahun 2003 meningkat menjadi 131.020 ton pada tahun 2004. Sementara penurunan pertumbuhan terjadi pada tahun 2009 yaitu sebesar 0,09 persen dengan penurunan dari tahun 2008 yang memiliki volume seberat 156.652 ton menjadi 147.403 ton pada tahun 2009. Luas Areal (Ha) dan Volume 700000 600000 500000 400000 300000 200000 100000 0 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Tahun Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan Gambar 9. Perkembangan Luas Areal dan Produksi Kacang Mete Indonesia Tahun 2001-2009 Daerah sentra kacang mete Indonesia adalah Sulawesi Tenggara, namun pertumbuhan rata-rata produksinya tidak mencerminkan sebagai daerah utama sentra kacang mete Indonesia, sebab memiliki pertumbuhan rata-rata yang negatif yaitu sebesar 0,8 persen. Nusa Tenggara Timur menjadi provinsi kedua dengan memiliki selisih produksi rata-rata sebesar 30 ton dibandingkan dengan Sulawesi Tenggara, bahkan provinsi ini memiliki pertumbuhan produksi rata-rata yang cukup baik yaitu sebesar 7,5 persen (Ditjenbun). Luas Areal (Ha)

44 4.2.3 Perkembangan Luas Areal, Volume Produksi dan Daerah Sentra Produksi Kakao Indonesia Luas areal kakao Indonesia memiliki trend yang terjadi dari tahun 2001 hingga 2009 (Gambar 10). Walaupun hanya memiliki pertumbuhan rata-rata sebesar 0,08 persen, kestabilan peningkatan luas areal kakao sangat baik untuk ditiru perkebunan lain, walaupun sama-sama dikelola oleh perkebunan rakyat. Pertumbuhan tertinggi untuk luas areal kakao terjadi pada tahun 2006 dengan memiliki persentase pertumbuhan yang hampir sama dengan pertumbuhan pada tahun 2004 yaitu sebesar 1,3 persen. Pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 2002 dengan pertumbuhan 0,05 persen. Luas Areal (Ha) dan Volume 2000000 1500000 1000000 500000 0 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Tahun Luas Areal (Ha) Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan Gambar 10. Perkembangan Luas Areal dan Produksi Kakao Indonesia Tahun 2001-2009 Volume produksi kakao Indonesia memiliki pertumbuhan yang positif dari tahun 2001 hingga 2009. Penurunan produksi kakao terjadi pada tahun 2004 dan 2007, sedangkan selain tahun tersebut mengalami peningkatan (Gambar 10). Pertumbuhan rata-rata produksi kakao sebesar 0,05 persen, produksi kakao dengan persentase pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2003 dengan tingkat pertumbuhan sebesar 0,2 persen, dimana kenaikan yang terjadi dari seberat 571.155 ton pada tahun 2002 menjadi 698.816 ton pada tahun 2003. Untuk pertumbuhan terendah dan terjadi penurunan volume produksi terjadi pada tahun 2007, dari volume

45 produksi kakao seberat 769.386 ton pada tahun 2006 menjadi hanya 740.006 ton pada tahun 2007 dengan penurunan pertumbuhan sebesar 0,03 persen. Daerah sentra produksi kakao di Indonesia didominasi oleh produksi dari Pulau Sulawesi. Sulawesi Selatan merupakan provinsi yang menjadi sentra utama kakao Indonesia, namun posisi ini terancam karena pertumbuhan rata-rata produksi kakao provinsi ini negatif yaitu sebesar 4,7 persen. Sulawesi Tengah yang menjadi ancaman bagi provinsi Sulawesi Selatan, sebab dengan rata-rata pertumbuhan produksi yang positif yaitu sebesar 3,6 persen dapat mengambil alih posisi puncak, bahkan posisi ketiga yang ditempati Sulawesi Tenggara juga bisa naik sebagai yang nomor satu dengan rata-rata pertumbuhan produksi yang positif sebesar 5,7 persen. Lampung merupakan provinsi dengan pertumbuhan rata-rata produksi tertinggi, yaitu lebih dari 9 persen (Ditjenbun). 4.2.4 Perkembangan Luas Areal, Volume Produksi dan Daerah Sentra Produksi Karet Indonesia Indonesia menargetkan menjadi negara penghasil karet terbesar di dunia tahun 2020. Upaya itu dilakukan dengan cara merevitalisasi perkebunan karet seluas 300 ribu hektar hingga tahun 2010 sekaligus mengganti tanaman karet yang rusak dan tua yang mencapai 400 ribu hektar (Deptan, 2008). Luas areal karet Indonesia sendiri dari tahun 2001 hingga 2003 mengalami penurunan dan pada tahun 2004 hingga 2009 terus meningkat, namun pertumbuhan luas areal karet masih positif namun dengan nilai pertumbuhan yang kecil yaitu sebesar 0,003 persen dengan pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2006 dan 2007 yang memiliki persentase pertumbuhan sebesar 0,02 persen. Penurunan luas pada tahun 2001 hingga 2003 merupakan penurunan pertumbuhan dengan persentase penurunan yang sama yaitu sebesar 0,008 persen. Pertumbuhan luas areal karet yang positif dari tahun 2001 seluas 3.344.767 menjadi 3.435.270 Ha pada tahun 2009 dapat dilihat pada Gambar 11. Lahan karet yang mengalami revitalisasi dan memiliki pertumbuhan yang terus meningkat dari tahun 2004 hingga tahun 2009, tidak bisa menjadi acuan bahwa produksi juga akan meningkat, itu terbukti dengan menurunnya produksi karet pada

46 tahun 2008 dan 2009 yang sebelumnya dari tahun 2001 hingga 2007 mengalami peningkatan (Gambar 11). Pertumbuhan rata-rata volume produksi karet Indonesia positif dengan persentase sebesar 0,05 persen. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2006 dengan persentase pertumbuhan 0,1 persen, itu terjadi akibat volume produksi yang meningkat dari seberat 2.270.891 ton pada tahun 2005 menjadi seberat 2.637.231 ton pada tahun 2006. Penurunan pertumbuhan yang terbesar terjadi pada tahun 2009, dari volume produksi seberat 2.751.286 ton pada tahun 2008 menjadi 2.440.347 ton pada tahun 2009. Daerah sentra produksi karet Indonesia berada di kawasan Sumatera Selatan, Sumatera Utara dan Riau yang dilihat dari hasil produksi pada tahun 2004 hingga 2009. Rata-rata pertumbuhan 3,9 persen hasil produksi karet Sumatera Selatan atau rata-rata produksi 490.704 ton, membuat provinsi tersebut berada di atas Sumatera Utara yang memiliki pertumbuhan rata-rata 1,6 persen dengan produksi rata-rata 408.441 ton dan Riau dengan pertumbuhan rata-rata 5,2 persen dengan rata-rata produksi karet seberat 325.452 ton (Ditjenbun). Luas Areal (Ha) dan Volume 4000000 3000000 2000000 1000000 0 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Tahun Luas Areal (Ha) Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan Gambar 11. Perkembangan Luas Areal dan Produksi Karet Indonesia Tahun 2001-2009 4.2.5 Perkembangan Luas Areal, Volume Produksi dan Sentra Produksi Kayu Manis Indonesia Hingga kini prospek kayu manis masih terbuka luas. Hal ini dibuktikan dari jumlah permintaan kayu manis baik kulit, minyak asiri dan oleoresin yang setiap

47 tahun mengalami peningkatan. Kebutuhan kayu manis bukan hanya di pasar mancanegara tetapi juga untuk pasar lokal. Jumlah kebutuhannya pun setiap tahun meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Oleh karena itu jumlah permintaan kayu manis cukup banyak setiap tahunnya. untuk memenuhi permintaan kayu manis tersebut, pemerintah telah menggalakkan upaya perluasan areal, baik melalui perkebunan rakyat maupun perkebunan besar. Namun sayangnya hingga kini status pengelolaan perkebunan kayu manis paling banyak adalah perkebunan rakyat (Rismunandar dan Paimin, 2001) Luas Areal (Ha) dan Volume 150000 100000 50000 0 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Tahun Luas Areal (Ha) Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan Gambar 12. Perkembangan Luas Areal dan Volume Produksi Kayu Manis Indonesia Tahun 2001-2009 Gambar 12 memperlihatkan luas areal kayu manis memiliki pertumbuhan rata-rata dari tahun 2001 hingga 2009 yang negatif, yaitu sebesar 3,3 persen. Dari tahun 2001 hingga 2003 kayu manis memiliki peningkatan perluasan dengan rata-rata 138.248 Ha, namun kemudian terus turun hingga tahun 2008, dan pada tahun 2009 meningkat sebesar 0,6 persen. Pertumbuhan yang tertinggi terjadi pada tahun 2003 dengan pertumbuhan sebesar 1,9 persen. Sementara penurunan pertumbuhan yang signifikan terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar 13,2 persen dimana dari total seluas 125.093 Ha pada tahun 2005 menurun menjadi seluas 108.591 Ha pada tahun 2006. Gambar 12 juga memperlihatkan bagaimana volume produksi kayu manis Indonesia mengalami peningkatan tertinggi dari tahun 2001 hingga tahun 2004. Berbeda dengan luas areal kayu manis yang memilik pertumbuhan negatif, rata-rata

48 volume produksi kayu manis Indonesia positif sebesar 13,9 persen atau 83.556 ton, dengan pertumbuhan tertinggi yang terjadi pada tahun 2004, dimana pada tahun 2003 volume produksi adalah 64.830 ton meningkat sangat tinggi hingga menjadi 99.465 ton pada tahun 2004. Jika ada pertumbuhan volume produksi tertinggi maka ada volume produksi terendah, yang terjadi pada tahun 2006 karena terjadi penurunan pertumbuhan sebesar 6,3 persen. Pada tahun 2006 tersebut merupakan satu-satunya penurunan volume produksi kayu manis Indonesia yaitu dari tahun 2005 dengan volume produksi 100.775 ton menurun menjadi 94.380 ton pada tahun 2006. Daerah sentra produksi kayu manis Indonesia adalah Provinsi Jambi dengan produksi seberat 57.768 ton, sedangkan posisi dua diduduki Sumbar dengan produksi total 36.649 ton sedangkan posisi ketiga sebagai daerah sentra kayu manis diduduki Sumatera Utara dengan volume yang jauh dibawah kedua pesaing tersebut yaitu seberat 3.235 ton (Ditjenbun, 2008). 4.2.6 Perkembangan Luas Areal, Volume Produksi dan Daerah Sentra Kelapa Sawit Indonesia Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan yang mempunyai peran yang cukup penting dalam perekonomian Indonesia, karena merupakan andalan ekspor sehingga menghasilkan devisa diluar minyak dan gas. Selain itu pasar dalam negeri juga masih terbuka untuk menyerap produk kelapa sawit berupa CPO dan PKO untuk minyak goreng, lemak khusus dan sabun mandi (BPS, 2005). Disamping itu minyak kelapa sawit juga merupakan salah satu bahan yang dapat dijadikan sumber bahan bakar atau energi seperti biodiesel yang terbarukan untuk menggantikan bahan bakar yang berasal dari minyak bumi yang semakin tipis persediaannya ( Ditjen Perkebunan, 2006). Kebijakan pemerintah untuk mendukung perkembangan kelapa sawit Indonesia sampai tahun 2010 antara lain (Ditjenbun, 2006) : 1. Peningkatan produktivitaas dan mutu 2. Pengembangan industri hilir dan peningkatan nilai tambah 3. Pengembangan industri minyak goreng atau minyak makan terpadu

49 4. Fasilitasi dukungan penyediaan dana Dari kebijakan tersebut terlihat dampaknya, bagaimana luas areal kelapa sawit Indonesia yang terus meningkat dan tidak mengalami penurunan luas areal pada rentang tahun 2001 hingga 2009. Luas areal pada tahun 2001 adalah seluas 4.713.435 Ha dan pada tahun 2009 menjadi seluas 8.248.328 Ha, dengan rata-rata pertumbuhan luas areal sebesar 0,07 persen. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2009 dengan pertumbuhan sebesar 0,1 persen dan pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 2004 yang berada di bawah 0,001 persen. Peningkatan yang terus terjadi pada luas areal kelapa sawit terlihat jelas pada Gambar 13. Luas Areal (Ha) dan Volume 25000000 20000000 15000000 10000000 5000000 0 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Tahun Luas Areal (Ha) Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan Gambar 13. Perkembangan Luas Areal dan Volume Produksi Kelapa Sawit Indonesia Tahun 2001-2009 Indonesia memiliki volume produksi kelapa sawit yang meningkat dari tahun 2001 hingga 2007, kemudian turun pada tahun 2008 dan meningkat kembali pada tahun 2009 (Gambar 13), kondisi ini berbeda dengan luas areal yang terus meningkat. Penurunan pertumbuhan pada tahun 2008 adalah sebesar 0,007 persen, untuk pertumbuhan tertinggi volume produksi terjadi pada tahun 2006 dengan persentase pertumbuhan 0,4 persen, dimana pada tahun 2005 volume produksi seberat 11.861.615 ton menjadi 17.350.848 ton pada tahun 2006. Rata-rata volume produksi kelapa sawit Indonesia dari tahun 2001 hingga 2009 adalah seberat 13.670.368 ton. Daerah yang menjadi sentra produksi kelapa sawit Indonesia yang dilihat dari volume produksi tahun 2003 hingga 2009 adalah provinsi Riau, dimana provinsi

50 tersebut memilliki pertumbuhan rata-rata 18,3 persen. Daerah Sumatera masih menjadi sentra kelapa sawit Indonesia, setelah Riau dengan produksi rata-rata tertinggi, diposisi kedua diduduki provinsi Sumatera Utara dengan pertumbuhan ratarata 3,2 persen dan daerah sentra produksi ketiga adalah Sumatera Selatan dengan pertumbuhan rata-rata yang lebih tinggi dari posisi kedua yaitu sebesar 15,3 persen (Ditjenbun). 4.2.7 Perkembangan Luas Areal, Volume Produksi dan Sentra Kelapa Indonesia Gambar 14 dapat terlihat bagaimana luas areal perkebunan kelapa Indonesia mengalami fluktuasi dari tahun 2001 hingga 2009. Luas Areal (Ha) dan Volume 5000000 4000000 3000000 2000000 1000000 0 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Tahun Luas Areal (Ha) Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan Gambar 14. Perkembangan Luas Areal dan Volume Produksi Kelapa Indonesia Tahun 2001-2009 Peningkatan luas areal kelapa hanya terjadi pada tahun 2003, 2005 dan 2009, akibatnya pertumbuhan rata-rata luas areal kelapa negatif yaitu dengan persentase 0,3 persen. Pertumbuhan negatif pada luas areal kelapa terjadi pada tahun 2004, yaitu dari 3.913.130 Ha luas areal kelapa pada tahun 2003 menjadi seluas 3.797.004 Ha pada tahun 2004. Sementara diantara tiga tahun yang mengalami peningkatan pertumbuhan tersebut, tahun 2003 merupakan luas areal yang memiliki pertumbuhan

51 tertinggi sekaligus menjadi areal perkebunan kelapa yang terluas diantara sembilan tahun tersebut yaitu seluas 3.913.130 Ha. Volume produksi kelapa Indonesia pada tahun 2001 hingga 2009 memiliki pertumbuhan yang lambat yaitu 0,4 persen. Penurunan pertumbuhan hanya terjadi pada tahun 2002 dan 2004, dimana tahun 2004 merupakan penurunan pertumbuhan volume produksi yang paling besar yaitu 6,1 persen, akibat dari berkurangnya luas areal pada tahun tersebut, padahal tahun sebelumnya yaitu pada tahun 2003 merupakan pertumbuhan volume produksi dan luas areal kelapa tertinggi dengan pertumbuhan volume produksi sebesar 5 persen. Penurunan pertumbuhan pada tahun 2004 seakan-akan membuat para pemilik perkebunan kelapa terbangun, sebab setelah itu volume produksi kelapa terus mengalami peningkatan hingga mencapai angka 3.257.702 ton pada tahun 2009 (Gambar 14). Provinsi Riau selain kaya akan produksi kelapa sawitnya, juga memiliki volume produksi kelapa yang tinggi dibandingkan rata-rata produksi provinsi lainnya yang dilihat dari tahun 2003 hingga tahun 2009. Walaupun memiliki rata-rata pertumbuhan hanya sebesar 0,8 persen yang lebih rendah dibandingkan dengan Provinsi Jawa Barat yang memiliki rata-rata pertumbuhan 8,6 persen, Provinsi Riau masih memiliki rata-rata produksi yang lebih tinggi. Sulawesi Utara dan Jawa Timur bersaing dibawah Provinsi Riau dengan rata-rata pertumbuhan produksi kelapa yang sama-sama menurun sebesar 0,3 dan 0,5 persen (Ditjenbun). 4.2.8 Perkembangan Luas Areal, Volume Produksi dan Sentra Produksi Kopi Indonesia Tahun 2002, 2004 dan 2006 terjadi pertumbuhan luas areal kopi, sedangkan selain tahun tersebut luas areal kopi Indonesia mengalami penurunan (Gambar 15). Pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2002 yaitu sebesar 4,4 persen, selain itu pada tahun 2002 juga menjadi tahun yang memiliki luas areal kopi yang paling luas dari tahun lainnya, yaitu seluas 1.372.184 Ha. Sementara untuk pertumbuhan terendah bahkan negatif terjadi setelah tahun 2002 yang merupakan tahun dengan

52 pertumbuhan tertinggi yaitu penurunan sebesar 5,8 persen, menjadi 1.291.910 Ha pada tahun 2003. Lusa Areal (Ha) dan Volume Ekspor (Ton) 1600000 1400000 1200000 1000000 800000 600000 400000 200000 0 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Tahun Luas Areal (Ha) Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan Gambar 15. Perkembangan Luas Areal dan Produksi Kopi Indonesia Tahun 2001-2009 Pertumbuhan rata-rata yang negatif pada luas areal kopi Indonesia tidak terjadi dalam volume produksinya, karena memiliki pertumbuhan rata-rata sebesar 2,5 persen. Pada tahun 2002 yang merupakan luas areal yang terluas untuk areal kopi menjadikan volume produksi pada tahun ini juga sangat tinggi yaitu memiliki pertumbuhan sebesar 19,8 persen. Sementara untuk pertumbuhan terendah bahkan terjadi penurunan yaitu pada tahun 2004 yaitu sebesar 3,5 persen, walaupun disisi lain terjadi peningkatan luas areal pada tahun tersebut. Gambar 15 juga terlihat volume produksi dengan rata-rata senilai 661.342 ton dari tahun 2001 hingga 2009. Rata-rata produksi kopi tertinggi di Indonesia berada pada Provinsi Sumatera Selatan, dengan rata-rata pertumbuhan yang negatif sebesar 0,6 persen provinsi tersebut harus bersaing dengan Lampung yang memiliki pertumbuhan rata-rata volume produksi yang lebih baik, yaitu sebesar 0,3 persen. Dilihat dari selisih produksi rata-rata dari tahun 2004 hingga 2009 kedua provinsi tersebut hanya berbeda kurang lebih 2000 ton. Bengkulu menjadi provinsi dengan rata-rata produksi terbesar ketiga Indonesia, dengan rata-rata produksi yang jauh dibawah Sumatera Selatan dan

53 Lampung. Pertumbuhan rata-rata produksi kopi Lampung juga lebih rendah dari pada Provinsi Sumatera Selatan yang negatif sebesar 2,6 persen (Ditjenbun). 4.2.9 Perkembangan Luas Areal, Volume Produksi dan Sentra Produksi Lada Indonesia Luas areal perkebunan lada Indonesia memiliki pertumbuhan yang lambat dari rentang waktu tahun 2001 hingga 2009 yaitu sebesar 0,07 persen. Pada tahun 2002 luas areal lada mencapai pertumbuhan tertingginya yaitu dari seluas 186.022 Ha pada tahun 2001 menjadi seluas 204.068 Ha pada tahun 2002, sementara tahun 2003 menjadi lahan yang terluas yang dimiliki Indonesia untuk perkebunan lada, dengan luas 204.364 Ha (Gambar 16). Pada tahun 2004 sebenarnya telah terjadi penurunan luas areal tanaman lada, namun penurunan luas areal tertinggi terjadi pada tahun 2005 dengan persentase 4,7 persen. Tahun 2009 ditutup dengan 185.941 Ha luas areal tanaman lada. Luas Areal (Ha) dan Volume 250000 200000 150000 100000 50000 0 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Tahun Luas Areal (Ha) Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan Gambar 16. Perkembangan Luas Areal dan Produksi Lada Indonesia Tahun 2001-2009 Produksi lada pada satu dekade terkhir ini mengalami fluktuasi yang cukup tinggi. Dengan rata-rata pertumbuhan volume produksi sebesar 0,3 persen, pertumbuhan volume produksi pada tahun 2002 merupakan pertumbuhan yang tertinggi yaitu sebesar 9,8 persen, dimana hal tersebut diakibatkan luas areal yang

54 juga mengalami pertumbuhan tertinggi pada tahun tersebut. Sementara mengikuti luas areal yang mencapai luas tertinggi pada tahun 2003, volume produksi juga mencapai nilai yang tertinggi pada tahun tersebut dengan berat 90.740 ton. Penurunan luas areal yang terjadi pada tahun 2004 menyebabkan volume produksi lada pada tahun tersebut mengalami penurunan pertumbuhan yang darstis bahkan negatif yaitu sebesar 15,1 persen. Fluktuasi volume produksi lada pada Gambar 16 menjadikan pertumbuhan volume produksi lambat seperti pertumbuhan luas areal komoditi lada. Memiliki rata-rata pertumbuhan 2,3 persen, Lampung menduduki posisi pertama sebagai daerah produksi sentra lada dengan rata-rata produksi 21.996,5 ton. Dibawahnya ada Bangka Belitung, walaupun provinsi baru tersebut memiliki pertumbuhan produksi rata-rata yang negatif, yaitu 5,7 persen, namun memiliki produksi rata-rata yang masih tinggi. Kalimantan Timur berada diposisi tiga, walaupun memiliki rata-rata pertumbuhan produksi yang lebih baik yaitu 6,5 persen. Provinsi Sumatera Selatan merupakan provinsi yang memiliki rata-rata pertumbuhan produksi yang tinggi, yaitu sebesar 37,3 persen dan duduk diposisi kelima sebagai daerah sentra lada Indonesia (Ditjenbun). 4.2.10 Perkembangan Luas Areal, Volume Produksi dan Sentra Produksi Pala Indonesia Areal perkebunan pala memiliki pertumbuhan luas yang tinggi dibandingkan dengan luas areal perkebunan lain, yaitu sebesar lima persen dari rentang waktu 2001 hingga 2009. Penurunan luas areal pala dan bahkan negatif hanya terjadi pada tahun 2005 dan 2006, dimana pada tahun 2005 merupakan penurunan yang tertinggi yaitu 7,1 persen dan pada tahun 2006 mengalami pertumbuhan yang negatif sebesar 0,8 persen, sementara untuk tahun sebelum dan sesudahnya mengalami pertumbuhan dan peningkatan luas areal. Tahun 2008 merupakan pertumbuhan yang tertinggi luas areal pala Indonesia yaitu sebesar 15,6 persen, namun untuk tahun yang memiliki perkebunan pala yang terluas terjadi pada tahun 2009 dengan luas 86.854 Ha. Gambar 17 akan terlihat penurunan luas areal pada tahun 2005 dan 2006.

55 Berbeda dengan luas areal yang juga terlihat pada Gambar 17, pertumbuhan volume produksi mengalami pertumbuhan yang negatif yaitu 4,1 persen. Pertumbuhan yang negatif tersebut diakibatkan penurunan volume produksi yang drastis pada tahun 2004 yaitu dari volume produksi seberat 22.235 ton pada tahun 2003 menjadi 10.360 ton pada tahun 2004 atau menurun lebih dari 50 persen, sedangkan pada tahun tersebut luas areal pala mengalami pertumbuhan, kemudian diikuti tahun berikutnya dengan penurunan pertumbuhan yang negatif sebesar 20 persen lebih. Pertumbuhan volume produksi pala tertinggi pada tahun 2008 sebesar 23,3 persen tidak bisa membuat pertumbuhan rata-rata volume produksi pala menjadi positif. Luas Areal (Ha) dan Volume 100000 80000 60000 40000 20000 0 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Tahun Luas Areal (Ha) Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan Gambar 17. Perkembangan Luas Areal dan Produksi Pala Indonesia Tahun 2001-2009 Daerah sentra pala Indonesia yang dilihat dari produksi tahun 2003 hingga 2007 adalah Provinsi Maluku Utara, dan provinsi ini pun mengalami rata-rata pertumbuhan produksi yang negatif yaitu 21,9 persen. Nanggroe Aceh Darussalam yang menempati posisi kedua sebagai daerah sentra pala juga memiliki rata-rata pertumbuhan produksi yang negatif yaitu sebesar 10,2 persen, hanya Sulawesi Utara sebagai daerah sentra cengkeh yang duduk diposisi tiga besar memiliki rata-rata pertumbuhan produksi yang positif yaitu sebesar 5,6 persen (Ditjenbun).

56 4.2.11 Perkembangan Luas Areal, Volume Produksi dan Sentra Produksi Teh Indonesia Perkembangan luas areal teh Indonesia dalam rentang waktu sembilan tahun ini menunjukan penurunan, yang membuat rata-rata pertumbuhannya pun negatif yaitu 2,4 persen. Dari tahun 2001 hingga 2009 tidak ada kemajuan dalam luas areal lahan perkebunan teh Indonesia, penurunan luas areal tertinggi terjadi pada tahun 2003 dengan 4,7 persen dan pada tahun 2008 kembali terjadi penurunan yang tinggi yaitu sekitar 4,5 persen. Gambar 18 akan memperlihatkan bagaimana luas areal pada tahun 2001 seluas 150.872 Ha, menjadi seluas 123.506 Ha pada tahun 2009. Luas Areal (Ha) dan Volume 200000 150000 100000 50000 0 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Tahun Luas Areal (Ha) Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan Gambar 18. Perkembangan Luas Areal dan Produksi Teh Indonesia Tahun 2001-2009 Gambar 18 juga memperlihatkan bagaimana perkembangan volume produksi yang memiliki rata-rata produksi 160.208,6 ton. Walaupun sama seperti luas areal yang memiliki rata-rata penurunan luas areal, volume produksi juga memiliki volume yang rata-rata menurun, tetapi bedanya hal itu hanya dipengaruhi oleh tahun 2002 dan 2006, yang pada tahun tersebut volume produksi teh Indonesia mengalami penurunan yang drastis, penurunan satu persen pada tahun 2002 dan penurunan lebih dari 11 persen pada tahun 2006, yang mengakibatkan rata-rata volume produksi menurun 0,6 persen. Volume produksi teh Indonesia tertinggi dari rentang tahun 2001 hingga 2009 adalah pada tahun 2003 dengan volume produksi 169.821 ton, dan tahun tersebut juga

57 merupakan pertumbuhan tertinggi volume produksi dengan 2,8 persen, walaupun disisi lain luas areal terus menurun. Provinsi penghasil teh terbesar di Indonesia hanya tersebar di tiga provinsi, Provinsi Jawa Barat merupakan penghasil teh utama Indonesia, walaupun demikian para pemilik perkebunan teh didaerah Jawa Barat harus terus meningkatkan produksinya, sebab rata-rata pertumbuhan produksinya negatif 0,6 persen. Provinsi Sumatera Utara dan Jawa Tengah bersaing untuk menjadi daerah kedua sentra cengkeh Indonesia, Sumatera Utara memiliki rata-rata produksi seberat 12.809 ton sedangkan Jawa Tengah berada dibawahnya dengan berat rata-rata 11.161,2 ton (Ditjenbun). 4.2.12 Perkembangan Luas Areal, Volume Produksi dan Sentra Produksi Tembakau Indonesia Perkembangan luas areal tembakau Indonesia mengalami fluktuatif dan cendrung menurun seperti yang terlihat pada Gambar 19. Luas Areal (Ha) dan Volume 300000 250000 200000 150000 100000 50000 0 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Tahun Luas Areal (Ha) Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan Gambar 19. Perkembangan Luas Areal dan Produksi Tembakau Indonesia Tahun 2001-2009 Pada tahun 2001 luas areal pekebunan tembakau adalah seluas 260.738 Ha, dan pada tahun 2009 hanya seluas 204.218, dengan pertumbuhan rata-rata yang

58 negatif yaitu 2,4 persen. Penurunan luas areal terjadi dalam lima tahun yaitu; 2002, 2004, 2005, 2006 dan 2008, sedangkan tahun lainnya mengalami peningkatan luas areal, walaupun belum bisa melebihi luas areal pada tahun 2001 yang merupakan luas areal terluas tembakau Indonesia rentang waktu sembilan tahun tersebut. Setelah tiga tahun berturut-turut mengalami penurunan dan yang penurunan yang paling drastis tahun 2004 yaitu 17,8 persen, pada tahun 2007 luas areal tembakau Indonesia mengalami peningkatan yang tajam yaitu 12,7 persen dan menurun kembali pada tahun 2008 dan meningkat pada tahun 2009, namun masih tidak mampu membuat rata-rata pertumbuhan luas areal tembakau menjadi positif. Mengikuti luas areal tembakau yang cendrung fluktuatif dan memiliki pertumbuhan yang negatif, volume produksi tembakau juga memiliki perkembangan yang sama dan nilai pertumbuhan yang sama-sama negatif seperti yang terlihat juga pada Gambar 19. Pada tahun 2003 merupakan tahun dengan volume terbesar tembakau Indonesia dari rentang tahun 2001 hingga 2009. Namun untuk pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar 12,7 persen dimana pada saat itu terjadi pertumbuhan tertinggi juga untuk luas areal lahan. Untuk penurunan volume produksi tembakau Indonesia terjadi pada tahun yang sama dengan luas areal, kecuali tahun 2008 yang pada saat itu terjadi peningkatan produksi sebeasr 1,9 persen, kesamaan itu juga tergambar pada tahun 2003 dimana volume produksi juga mengalami penurunan yang paling drastis yaitu 17,8 persen. Setelah melihat bagaimana luas areal dan volume produksi tembakau Indonesia secara keseluruhan, daerah yang menjadi sentra produksi tembakau Indonesia adalah Provinsi Jawa Timur. Walaupun provinsi yang beribukotakan Surabaya ini menjadi nomor satu sebagai produksi tembakau, namun memiliki pertumbuhan produksi rata-rata yang negatif sebesar 0,7 persen. Posisi kedua diduduki Nusa Tenggara Barat memiliki rata-rata pertumbuhan yang lebih baik daripada Jawa Timur, yaitu sebesar 8,2 persen. Jawa Tengah yang berada di posisi ketiga juga memiliki rata-rata pertumbuhan yang lebih baik dari posisi satu namun masih ketinggalan dari posisi dua, rata-rata pertumbuhan produksi tembakau provinsi ini adalah sebesar 3,4 persen (Ditjenbun).

59 4.3 Perkembangan Volume Ekspor Perkebunan Indonesia ke Negara Importir Utama dan Dunia Volume ekspor Indonesia ke sebelas negara utama memiliki keadaan volume yang berbeda-beda. Ini diakibatkan karena permintaan akan suatu komoditi dari suatu negara berbeda dengan negara lainnya. Faktor lain yang dapat menyebabkan perbedaan tersebut diakibatkan oleh kemampuan negara kita dalam memberikan supply akan komoditi tersebut, dan faktor-faktor lainnya seperti nilai ekspor yang tinggi, mutu hasil perkebunan maupun bencana alam. Perbedaan-perbedaan volume ekspor tersebut dapat dilihat dalam subbab-subbab komoditi perkebunan. 4.3.1 Perkembangan Volume Ekspor Cengkeh Volume ekspor cengkeh Indonesia ke sebelas negara utama pada tahun 2001 adalah sebesar 84,2 persen dari total volume ekspor cengkeh Indonesia ke dunia seberat 6.323.790 Kg dan sisanya ke negara lain diluar sebelas negara utama. Singapura merupakan negara yang kita ekspor paling besar yaitu sebesar 34,9 persen atau sebesar 2.212.623 Kg dari total volume ekspor cengkeh kita, Belanda dan India menjadi negara kedua dan ketiga terbesar ekspor cengkeh kita kenegara utama dengan persentase berturut-turut adalah 24,8 persen dan 15,8 persen. Ada tiga negara yang tidak impor cengkeh dari Indonesia pada tahun 2001 ini yaitu Australia, Belgia dan Jepang seperti yang terlihat pada Gambar 20. Gambar 20 tersebut juga dapat terlihat pada tahun 2005 terjadi penurunan volume ekspor kesebelas negara utama tersebut, dari total volume ekspor yang meningkat menjadi 7.682.658 Kg, total hanya 54,2 persen yang diekspor kesebelas negara tersebut. Volume ekspor Indonesia ke India adalah sebesar 25,5 persen dari total ekspor, ini merupakan volume ekspor terbesar Indonesia ke negara utama pada tahun ini, sementara Singapura mengimpor dengan persentase sebesar 19,1 persen dari total ekspor Indonesia. Bedanya pada tahun 2005 ini Indonesia mengekspor cengkeh kesemua negara utama tersebut, walaupun volume ekspornya kecil, Belgia merupakan salah satunya, dengan impor cengkeh dari Indonesia sebesar 0,1 persen dari total ekspor Indonesia. Walaupun volume ekspor Indonesia ke dunia menurun pada tahun 2009 menjadi 5.142.028 Kg,

60 namun terjadi peningkatan volume ekspor kita ke negara utama yaitu menjadi sebesar 62,2 persen. India masih menjadi negara terbesar pasar cengkeh Indonesia dengan hasil perkebunan cengkeh yang diekspor sebesar 43,6 prersen dari total ekspor cengkeh Indonesia ke dunia. Sama seperti tahun 2005, semua negara utama mengimpor cengkeh dari Indonesia dan Jerman menjadi negara yang terkecil, yaitu dibawah 0,01 persen dari total ekspor Indonesia. Gambar 32 akan terlihat bagaimana India selama dua tahun menjadi negara tujuan ekspor cengkeh Indonesia. Negara Tujuan United States Singapore Netherland Malaysia Japan India United Kingdom Germany China Belgium Australia 2009 2005 2001 0 500000 1000000 1500000 2000000 2500000 Volume Ekspor dalam Kg Sumber : UNComtrade Gambar 20. Volume Ekspor Cengkeh Indonesia Tahun 2001, 2005 dan 2009 ke Sebelas Negara Importir Utama 4.3.2 Perkembangan Volume Ekspor Kacang Mete Volume Ekspor kacang mete Indonesia ke dunia pada tahun 2001 adalah sebesar 39.546.013 Kg dengan total sebesar 80,5 persennya diekspor ke negara utama dan sisanya ke negara lainnya. Indonesia mengekspor kacang mete terbesar pada tahun tersebut ke India 79,8 persen atau sebesar 31.565.318 Kg dari total ekspor kacang mete Indonesia kedunia, sementara Australia, Belgia dan Inggris tidak mengimpor kacang mete dari Indonesia. Setelah Indonesia mengekspor ke India, sisanya negara kita hanya mengekspor di bawah nol persen untuk negara utama lainnya dari total volume ekspor kita. India masih menjadi negara tujuan ekspor kacang mete Indonesia pada tahun 2005 dengan persentase 78,1 persen dari total

61 volume ekspor sebesar 65.958.508 Kg Indonesia kedunia. Pada tahun ini ekspor Indonesia ke negara utama menurun menjadi total sebesar 78,2 persen, dimana India yang menjadi tujuan utama, dan ada beberapa negara yang tidak impor dari Indonesia yaitu Australia, Belgia, Jerman, Inggris dan Belanda, sementara China dan Jepang tidak impor kacang mete pada tahun 2005 ini. Belgia, China, Inggris dan Belanda kembali tidak impor kacang mete dari Indonesia pada tahun 2009, disisi lain India masih sebagai negara tujuan ekspor kacang mete Indonesia. Volume ekspor sebesar 38.752.868 Kg atau sebesar 63,9 persen kacang mete Indonesia diekspor ke India dari total ekspor Indonesia ke dunia sebesar 60.627.785 Kg. Pada tahun ini ekspor Indonesia kenegara utama kembali menurun menjadi 64,5 persen dan sisanya diekspor kenegara lain. India yang menjadi negara tujuan ekspor kacang mete Indonesia pada tahun 2001, 2005 dan 2009 dapat terlihat jelas pada Gambar 21. Negara Tujuan United States Singapore Netherlands Malaysia Japan India United Kingdom Germany China Belgium Australia United Singapore Netherlands Malaysia Japan United Germany China Belgium Australia 0 50000000 10000000 Volume Ekspor dalam Kg 0 200000 2009 2005 2009 2001 2005 2001 Sumber : UNComtrade Gambar 21. Volume Ekspor Kacang Mete Indonesia Tahun 2001, 2005 dan 2009 ke Sebelas Negara Importir Utama 4.3.3 Perkembangan Volume Ekspor Kakao Total Indonesia mengekspor sebesar 87,7 persen ke negara importir utama dari total 302.670.029 Kg ekspor kakao Indonesia ke dunia pada tahun 2001. Diantara sebelas negara utama, hanya Australia yang tidak impor kakao dari Indonesia, sementara negara yang menjadi tujuan utama ekspor kakao Indonesia yang

62 dilihat dari volume adalah Amerika Serikat dengan mengimpor 42,5 persen dari total volume ekspor kakao Indonesia ke dunia pada tahun tersebut. Malaysia dan Singapura mengimpor sebesar 25,8 persen dan 11,8 persen dari total ekspor kakao Indonesia ke dunia. Negara lain seperti Belgia, Inggris, India, Jepang dan Belanda mengimpor dibawah nol persen dari total volume ekspor kakao Indonesia. Terjadi peningkatan volume ekspor kakao Indonesia kedunia pada tahun 2005 menjadi 367.425.784 Kg, dari total volume tersebut ekspor kakao Indonesia ke negara utama sebesar 87,4 persen. Malaysia menjadi tujuan ekspor utama Indonesia pada tahun ini dengan mengekspor 42,5 persen dari total volume ekspor Indonesia (Gambar 22). Volume ekspor kakao Indonesia ke Amerika Serikat dan Singapura adalah sebesar 107.630.513 Kg dan 30.093.945 Kg, volume tersebut menjadikan negara tersebut sebagai tujuan ekspor kedua dan ketiga terbesar hasil kakao Indonesia, sementara Australia masih belum impor kakao dari Indonesia. Negara Tujuan United States Singapore Netherlands Malaysia Japan India United Kingdom Germany China Belgium Australia 2009 2005 2001 Sumber : UNComtrade Gambar 22. Volume Ekspor Kakao Indonesia Tahun 2001, 2005 dan 2009 ke Sebelas Negara Importir Utama Volume ekspor kakao Indonesia kembali meningkat pada tahun 2009 menjadi 439.305.321 Kg, Malaysia masih menjadi negara tujuan ekspor kakao Indonesia dengan persentase 0 50000000 10000000 15000000 20000000 Volume Ekspor dalam Kg 41,6 persen dari total 86,4 persen ekspor kakao Indonesia ke negara utama. Amerika Serikat dan Singapura juga masih menjadi

63 negara tujuan ekspor kakao Indonesia terbesar kedua dan ketiga dengan masingmasing memiliki volume impor 120.304.020 Kg dan 55.889.339 Kg kakao dari total ekspor ke dunia. Pada tahun 2009 ini Inggris yang tidak mengimpor kakao dari Indonesia, sementara Jerman dan China yang mengimpor dibawah 2 persen dan negara lainnya mengimpor di bawah nol persen dari total ekspor Indonesia ke dunia. 4.3.4 Perkembangan Volume Ekspor Karet Total 10.374.888 Kg volume ekspor karet Indonesia ke seluruh dunia pada tahun 2001, sebesar 82,1 persennya diekspor ke negara utama. Amerika Serikat merupakan negara yang menjadi tujuan utama ekspor karet alam Indonesia yaitu sebesar 60,2 persen dari total ekspor Indonesia ke negara utama, tujuan ekspor karet alam Indonesia kenegara utama yang kedua adalah Jerman dengan persentase sebesar 6,7 persen dan tujuan kenegara utama yang ketiga adalah Inggris dengan 4 persen. Pada tahun ini negara utama yang tidak impor dari Indonesia hanya India. Volume ekspor karet alam Indonesia pada tahun 2005 menurun drastis menjadi 4.013.593 Kg (Gambar 23). Dari sebelas negara utama ada tiga negara yang tidak mengimpor karet alam dari Indonesia yaitu Inggris, India dan Malaysia, sementara negara utama yang menjadi tujuan utama ekspor karet Indonesia adalah Amerika Serikat dengan persentase lebih dari 30 persen, China dengan persentase 22,5 persen dan Belanda dengan 7,8 persen dari total 75,5 persen ekspor karet alam Indonesia ke negara utama. Sedangkan negara utama lainnya mengekspor dibawah lima persen. Volume ekspor karet alam Indonesia ke dunia meningkat pada tahun 2009 menjadi 9.147.316 Kg, dimana sebesar 73,3 persennya diekspor kenegara utama. China menjadi negara tujuan utama diantara sebelas negara lainnya dengan mengimpor 61,4 persen dari total ekspor Indonesia ke dunia. Sementara Malaysia dan Amerika Serikat menjadi negara utama yang memiliki volume ekspor karet alam Indonesia terbesar kedua dan ketiga dengan persentase masing-masing 8,3 persen dan 2,5 persen dari total ekspor kedunia. Pada tahun ini ada empat negara utama yang tidak impor karet alam dari Indonesia, diantaranya hanya Inggris yang kembali tidak impor karet alam Indonesia

64 setelah tahun 2005, sedangkan negara utama yang tidak ekspor pada tahun 2009 adalah Australia, Belanda dan Singapura. Negara Tujuan United States Singapore Netherlands Malaysia Japan India United Kingdom Germany China Belgium Australia 2009 2005 2001 0 2000000 4000000 6000000 Volume Ekspor dalam Kg Sumber : UNComtrade Gambar 23. Volume Ekspor Karet Indonesia Tahun 2001, 2005 dan 2009 ke Sebelas Negara Importir Utama 4.3.5 Perkembangan Volume Ekspor Kayu Manis Amerika Serikat negara utama yang menjadi tujuan utama ekspor kayu manis Indonesia, dari total 28.899.467 Kg ekspor kayu manis Indonesia ke dunia sebesar 48,6 persennya diekspor ke Amerika Serikat, sementara total keseluruhan ekspor kayu manis ke negara utama adalah 78,2 persen dari total ekspor kayu manis Indonesia ke dunia pada tahun 2001. Belanda, Singapura, Jerman dan Malaysia berturut-turut berada dibawah Amerika serikat sebagai negara utama yang menjadi tujuan ekspor kayu manis Indonesia dengan persentase masing-masing 16 persen, 6 persen dan lebih dari dua persen untuk Jerman dan Malaysia, negara utama lain masih impor dibawah 2 persen dan nol persen, kecuali China yang tidak impor kayu manis dari Indonesia di tahun 2001 ini. Tahun 2005, volume ekspor kayu manis Indonesia ke pasar dunia mengalami peningkatan menjadi 35.356.152 Kg (Gambar 24), dari total tersebut sebesar 71,8 persen diekspor kenegara utama, Amerika Serikat masih menjadi negara utama yang menjadi tujuan utama ekspor kayu manis Indonesia dengan persentase 40,8 persen. Negara utama seperti Belanda mengimpor sebesar 17

65 persen, Jerman 4,1 persen, Singapura 3,3 persen, Malaysia dan India di atas dua persen dari total ekspor kayu manis Indonesia kedunia. Sedangkan negara utama lainnya masih mengekspor dibawah nol persen. Penurunan volume ekspor kayu manis Indonesia terjadi pada tahun 2009, bahkan volume ekspor kayu manis pada tahun ini lebih rendah dari volume ekspor pada tahun 2001. Volume ekspor seberat 22.802.090 Kg Indonesia kedunia, sebesar 60,2 persen masih diekspor ke negara utama. Amerika Serikat masih menjadi tujuan utama ekspor kayu manis Indonesia dengan persentase sebesar 40,3 persen dari total ekspor kayu manis ke negara utama. Malaysia menjadi negara utama dengan volume ekspor tertinggi kedua, yaitu di atas lima persen dari total ekspor kayu manis Indonesia, dibawahnya ada Belanda dan Jerman dengan persentase diatas tiga persen, China, India dan Singapura yang diekspor Indonesia diatas 2 persen, sedangkan negara utama lainnya berada dibawah nol persen dari total volume ekspor kayu manis Indonesia kedunia. Negara Tujuan United States Singapore Netherlands Malaysia Japan India United Kingdom Germany China Belgium Australia 2009 2005 2001 0 5000000 10000000 15000000 20000000 Volume Ekspor dalam Kg Sumber : UNComtrade Gambar 24. Volume Ekspor Kayu Manis Indonesia Tahun 2001, 2005 dan 2009 ke Sebelas Negara Importir Utama 4.3.6 Perkembangan Volume Ekspor Kelapa Sawit Volume ekspor CPO Indonesia kepasar dunia pada tahun 2001 adalah sebesar 1.849.142.144 Kg, dimana lebih dari 86 persennya diekspor kenegara utama. India, Belanda dan Singapura merupakan tiga negara utama yang mengimpor paling besar