Waterlettuce (Pistia statiotes L.) as Biofilter

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Variasi Konsentrasi Limbah Terhadap Kualitas Fisik dan Kimia Air Limbah Tahu

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

Program Studi Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pakuan Bogor ABSTRAK

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. hidup. Namun disamping itu, industri yang ada tidak hanya menghasilkan

barang tentu akan semakin beraneka ragam pula hasil buangan sampingnya. Dari

BAB I PENDAHULUAN. sejauh mana tingkat industrialisasi telah dicapai oleh satu negara. Bagi

BAB I PENDAHULUAN. permintaan pasar akan kebutuhan pangan yang semakin besar. Kegiatan

Anis Artiyani Dosen Teknik Lingkungan FTSP ITN Malang ABSTRAKSI

Natalina 1 dan Hardoyo 2. Surel : ABSTRACT

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

AIR LIMBAH INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT

Oleh: Hernayanti dan Elly Proklamasiningsih Fakultas Biologi Unsoed Purwokerto (Diterima: 4 Oktober 2004, disetujui: 6 Nopember 2004)

Kombinasi pengolahan fisika, kimia dan biologi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pencemaran tidak hanya berasal dari buangan industri tetapi dapat berasal

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya alam yang sangat diperlukan oleh semua

BAB III METODE PENELITIAN. ini diberikan perlakuan untuk memanipulasi objek penelitian disertai dengan

Seminar Nasional Pendidikan Biologi FKIP UNS 2010

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya pertumbuhan dan aktivitas masyarakat Bali di berbagai sektor

EFEKTIVITAS INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH (IPAL) DOMESTIK SISTEM ROTATING BIOLOGICAL CONTACTOR (RBC) KELURAHAN SEBENGKOK KOTA TARAKAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Batik merupakan suatu seni dan cara menghias kain dengan penutup

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

Mukhlis dan Aidil Onasis Staf Pengajar Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Padang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan instalasi pengolahan limbah dan operasionalnya. Adanya

pertumbuhan tiga jenis tumbuhan air dalam (limbah cair) dengan kandungan klorin tinggi (0.66 ppm) sebagai medium tumbuhnya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Kebutuhan yang utama bagi terselenggaranya kesehatan

BAB VI HASIL. Tabel 3 : Hasil Pre Eksperimen Dengan Parameter ph, NH 3, TSS

EFEKTIVITAS JUMLAH RUMPUN TANAMAN ECENG GONDOK (Eichhornia crassipes (Mart) Solm) DALAM PENGENDALIAN LIMBAH CAIR DOMESTIK

PENGARUH LIMBAH CAIR INDUSTRI TAHU TERHADAP KUALITAS AIR SUNGAI PAAL 4 KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat

BAB I PENDAHULUAN. tetapi limbah cair memiliki tingkat pencemaran lebih besar dari pada limbah

BAB I PENDAHULUAN. masalah, salah satunya adalah tercemarnya air pada sumber-sumber air

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. suatu gas yang sebagian besar berupa metan (yang memiliki sifat mudah terbakar)

PENURUNAN KONSENTRASI CHEMICAL OXYGEN DEMAND (COD)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Pengaruh Lama Tanam dan Luas Penutupan Azolla microphylla terhadap Kualitas Kimia dan Fisika Limbah Cair Laundry

BAB I PENDAHULUAN. industri kelapa sawit. Pada saat ini perkembangan industri kelapa sawit tumbuh

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. selain memproduksi tahu juga dapat menimbulkan limbah cair. Seperti

BAB I PENDAHULUAN. limbah yang keberadaannya kerap menjadi masalah dalam kehidupan masyarakat.

Klorin merupakan unsur halogen yang sangat reaktif sehingga mudah bereaksi dengan senyawa organik maupun senyawa lainnya. Xu dkk (2005) melaporkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Industri tahu mempunyai dampak positif yaitu sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN. pencemaran yang melampui daya dukungnya. Pencemaran yang. mengakibatkan penurunan kualitas air berasal dari limbah terpusat (point

TINJAUAN PUSTAKA. tidak dimiliki oleh sektor lain seperti pertanian. Tidaklah mengherankan jika kemudian

BAB III METODE PENELITIAN. Gorontalo dan pengambilan sampel air limbah dilakukan pada industri tahu.

BAB III PENCEMARAN SUNGAI YANG DIAKIBATKAN OLEH LIMBAH INDUSTRI RUMAH TANGGA. A. Penyebab dan Akibat Terjadinya Pencemaran Sungai yang diakibatkan

BAB V ANALISA AIR LIMBAH

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Hasil Penelitian Tahap Sebelumnya

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu Dan Tempat Penelitian. B. Alat dan Bahan

I. PENDAHULUAN. mandi, mencuci, dan sebagainya. Di sisi lain, air mudah sekali terkontaminasi oleh

BAB III METODE PENELITIAN

Analisa BOD dan COD ANALISA BOD DAN COD (BOD AND COD ANALYSIST) COD (Chemical Oxygen Demand) BOD (Biochemical Oxygen Demand)

(Study Stirring Time)

MAKALAH KIMIA ANALITIK

Nama : Putri Kendaliman Wulandari NPM : Jurusan : Teknik Industri Pembimbing : Dr. Ir. Rakhma Oktavina, M.T Ratih Wulandari, S.T, M.

BAB 1 KIMIA PERAIRAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengaruh Penambahan Kotoran Sapi Perah Terhadap Nilai ph

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi

PROSES PRODUKSI INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

: Limbah Cair dan Cara Pengelolaannya

Analisis Nitrit Analisis Chemical Oxygen Demand (COD) HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Identifikasi Bakteri

Fitoremediasi Phospat dengan menggunakan Tumbuhan Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) pada Limbah Cair Industri kecil Pencucian Pakaian (Laundry)

Bab V Hasil dan Pembahasan

BAB 6 PEMBAHASAN 6.1 Diskusi Hasil Penelitian

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Kecamatan Kota Timur merupakan kecamatan yang terdiri dari enam kelurahan.

BAB VI PEMBAHASAN. 6.1 Ketaatan Terhadap Kewajiban Mengolahan Limbah Cair Rumah Sakit dengan IPAL

PEMANFAATAN TUMBUHAN IRIS AIR (Neomarica gracillis) SEBAGAI AGEN BIOREMEDIASI AIR LIMBAH RUMAH TANGGA ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Rumah Makan Sederhana Natar-Lampung Selatan.

Modul 5 Bioremediasi Polutan Organik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Minyak dan lemak merupakan komponen utama bahan makanan yang juga

Nur Rahmah Fithriyah

A. BAHAN DAN ALAT B. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA Sungai.. ' Sungai merupakan Perairan Umum yang airnya mengalir secara terus

HASIL DAN PEMBAHASAN. Lanjutan Nilai parameter. Baku mutu. sebelum perlakuan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat khususnya di kotakota

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan penduduk dikarenakan tempat tinggal mereka telah tercemar. Salah satu

Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic)

Jurnal Kimia Indonesia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGELOLAAN AIR LIMBAH PKS

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya aktifitas berbagai macam industri menyebabkan semakin

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi dalam penelitian ini yaitu di industri tahu yang ada di Kecamatan Kota

Standart Kompetensi Kompetensi Dasar

BAB I PENDAHULUAN. industri berat maupun yang berupa industri ringan (Sugiharto, 2008). Sragen

Transkripsi:

EFEKTIVITAS PENURUNAN BAHAN ORGANIK DAN ANORGANIK PADA LIMBAH CAIR PENYAMAKAN KULIT MENGGUNAKAN TUMBUHAN KAYU APU ( (Pistia statiotes L.) SEBAGAI BIOFILTER Decreasing Effectiveness of Organic and Inorganic Material in Liquid Waste of Leather Tanning by Using Waterlettuce (Pistia statiotes L.) as Biofilter Siti Asmaul Mustaniroh, Wignyanto, dan Bernardus Endi S. Jurusan Teknologi Industri Pertanian-Fak. Teknologi Pertanian-Universitas Brawijaya Jl. Veteran Malang ABSTRACT This objective of the research was to know the ability of waterlettuce to decrease organic and inorganic materials in liquid waste of leather tanning, to know detention time needed by waterlettuce in decreasing organic and inorganic material, and to know the effectiveness of waterlettuce as biofilter compared to Eichhornia crassipes. The research used completely randomized design with ten treatments (based on 10 days planed-detention time), with three replication. Purified liquid waste was analyzed including ph value, BOD, DO, TSS and chromium content. The data was analyzed using Test F on 5% significant level and Turkey Test. Effectiveness analysis was used to know the range of waterlettuce effectiveness compared to Eichhornia crassipes. The results showed that waterlettuce (Pistia statiotes L.) as biofilter in liquid waste of leather tanning decreased ph value 39.25 %, BOD 67.05%; DO 72.24%, TSS 60.31%, and chromium content 74.51%. Detention time of waterlettuce in decreasing organic and inorganic material in liquid waste of leather tanning was ten days. Effectiveness of Waterlettuce as biofilter in liquid waste of leather tanning to decrease organic and inorganic is 99.33% of ph; 100.65% of BOD; 119.70% of DO; 10.16% of TSS and 103.05% of chromium content. Keywords: effectiveness, waterlettuce, biofilter, detention time PENDAHULUAN Industri penyamakan kulit sebagian besar menggunakan proses chrome tanning yang menghasilkan limbah cair yang mengandung kromium. Chrome tanning merupakan proses penyamakan kulit menggunakan kromium yang mengandung atom-atom kromium valensi 3 + (Cr 3+ ) agar diperoleh kulit dengan kualitas yang baik. Limbah cair maupun lumpurnya yang mengandung kromium trivalen dapat membahayakan lingkungan (termasuk dalam kategori limbah bahan beracun dan berbahaya (limbah B3)), menyebabkan kanker kulit dan gangguan pencernaan. Penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh Effendi (1988) dengan menggunakan tumbuhan enceng gondok (Eichhornia crassipes) sebagai biofilter pada limbah cair penyamakan kulit dengan kajian waktu detensi air limbah menghasilkan perbaikan kualitas limbah cair yang semakin baik pada akhir waktu detensi hari ke-14. Namun penggunaan enceng gondok sebagai biofilter masih mempunyai beberapa kekurangan, yaitu jumlah akar yang dimiliki enceng gondok sedikit, pertumbuhan tunas akar dan daun relatif lama, pemeliharaan yang sulit karena mudah terserang penyakit, dan membutuhkan tempat yang relatif 10

Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 10 No. 1 (April 2009) 10-18 luas sebagai media tumbuh. Oleh karena itu diperlukan tumbuhan air lain sebagai alternatif untuk pengolahan limbah cair penyamakan kulit. Salah satunya adalah tumbuhan kayu apu (Pistia statiotes L.). Penggunaan kayu apu sebagai biofilter memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan tumbuhan enceng gondok, diantaranya: kayu apu memiliki akar seperti bulu berbentuk labirin-labirin yang lembut dan ringan, berwarna putih, ungu dan hitam. Akar menyebar dengan akar pokok yang panjangnya dapat mencapai 90 mm, perkembangbiakan dengan tunas vegetatif lebih cepat, dan panjangnya bisa mencapai 60 cm serta pemeliharaannya juga relatif mudah. Kelebihan yang dimiliki kayu apu sangat berpengaruh terhadap waktu detensi dalam mendegradasi bahan organik (protein dan lemak) dan anorganik (mineral) yang terkandung dalam limbah cair penyamakan kulit. Berhubung semakin cepat proses penyerapan bahan organik (protein dan lemak) dan anorganik (mineral) oleh akar tumbuhan kayu apu, semakin cepat pula proses perbaikan kualitas limbah cair penyamakan kulit dan efektivitas waktu detensi yang diperlukan untuk memperoleh kualitas air limbah sesuai standar dapat tercapai. BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan adalah limbah cair penyamakan kulit, akuades, tumbuhan kayu apu dengan berat ±45 gram, larutan MnSO4, dithane M-45, basudin 60 EC, serta bahan lain yang mendukung. Peralatan yang dipergunakan antara lain bak plastik dengan kapasitas 2 liter dengan diameter 15 cm, jerigen, oven, erlenmeyer, penggaris, timbangan elektrik dan analitik, gelas ukur, ph meter, botol Winkler, desikator, inkubator, cutter. Metode Penelitian Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan sepuluh perlakuan (sesuai dengan waktu detensi yang direncanakan yaitu 10 hari) dan dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali. Pengambilan Limbah Cair Penyamakan Kulit (Sampel) Limbah cair segar penyamakan kulit diperoleh dari industri penyamakan kulit yang terletak di Kecamatan Sukun Kota Malang. Limbah cair penyamakan kulit yang diambil dari bak penampung air limbah mempunyai karakteristik sebagai berikut: BOD = 450 750 mg/l; DO = 0,25 1,26 mg/l; ph = 10 13; TSS = 500 1000 mg/l dan kadar kromium = 1-6 mg/l. Pelaksanaan Penelitian Limbah cair penyamakan kulit diambil 2 liter dan dimasukkan ke dalam bak plastik, kemudian ditanami tumbuhan kayu apu (berat ±45 gram, jumlah daun minimal 5 helai, akar yang banyak dan panjangnya minimal 4 cm, sehat dan bebas hama penyakit) sebanyak satu tanaman kemudian dilakukan pemeliharaan yang meliputi penyulaman dan pengendalian hama penyakit. Analisis Data Pengukuran nilai ph diamati menggunakan ph meter, BOD dengan BOD meter, DO dengan DO meter, TSS dengan penimbangan, dan kadar kromium dengan Spektrofotometer Serapan Atom. Data dianalisis menggunakan analisis ragam, Uji Tukey, dan analisis efektivitas HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik akteristik Limbah Cair Penyamakan Kulit Sebelum Perlakuan Limbah cair penyamakan kulit berwarna putih keruh, sebab limbah yang diambil dari bak penampung/pengendapan hasil proses 11

penyaringan dan pengendapan ini masih mengandung kromium. Limbah cair berbau agak busuk kemungkinan disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme yang menghasilkan NH 3. Limbah cair penyamakan kulit mempunyai suhu antara 25 30 o C. Suhu limbah cair cukup tinggi karena kemungkinan disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme yang menghasilkan panas (kalor). Limbah cair penyamakan kulit sebelum perlakuan mempunyai nilai BOD cukup tinggi, yaitu sebesar 450 750 mg/l, DO sebesar 0,25 1,26 mg/l. Tingginya nilai BOD dan rendahnya nilai DO disebabkan oleh faktor tingginya kandungan bahan organik dan anorganik yang terdapat pada air limbah karena belum mengalami proses pengolahan lanjutan. Nilai BOD dan DO limbah cair penyamakan kulit sebelum perlakuan masih belum memenuhi baku mutu limbah cair penyamakan kulit. Limbah cair penyamakan kulit bersifat basa, rata-rata sebesar 11,54. Hal ini disebabkan penambahan bahan kapur (natrium hidroksida) pada saat proses pelarutan protein dan lemak untuk memudahkan proses penyamakan kulit. Untuk dapat dibuang ke sungai, limbah cair penyamakan kulit harus mempunyai nilai ph sebesar 6 9 (baku mutu limbah cair penyamakan kulit). Kandungan kromium dalam limbah cair penyamakan kulit tergolong cukup tinggi, yaitu sebesar 1 6 mg/l. Hal ini disebabkan karena hampir sebagian besar proses untuk mendapatkan kualitas kulit yang baik diperlukan penambahan kromium dioksida (pada proses chrom tanning). Limbah cair penyamakan kulit yang belum mengalami proses pengolahan mempunyai kandungan bahan organik dan anorganik yang tinggi, hal ini juga mempengaruhi kandungan total padatan tersuspensi (TSS) limbah cair penyamakan kulit. Kandungan TSS limbah cair penyamakan kulit sebelum perlakuan adalah 500 1000 mg/l. Nilai ini masih belum memenuhi baku mutu limbah cair penyamakan kulit yang membatasi kandungan TSS untuk limbah cair penyamakan kulit maksimal 200 mg/l. Parameter Kualitas Limbah Cair Penyamakan Kulit setelah Perlakuan Nilai ph (Konsentrasi Ion - Hidrogen) Nilai ph limbah cair penyamakan kulit setelah mengalami perlakuan, secara umum mengalami penurunan. Nilai ph awal rata-rata sebelum mengalami perlakuan adalah 11,54. Pada awal perlakuan terjadi kenaikan nilai ph pada hari ke-2 sampai dengan hari ke-3 yang disebabkan oleh aktivitas mikrob perombak yaitu Bacillus subtilis yang terdapat pada limbah cair penyamakan kulit. Mikrob ini merombak bahan organik (protein dan lemak) pada limbah cair penyamakan kulit menjadi amonia yang menyebabkan ph pada limbah menjadi naik dan menjadi basa. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hanifah (2001), bahwa limbah cair penyamakan kulit bersifat basa karena memiliki kandungan amonia hasil perombakan oleh bakteri dalam limbah yang dapat menaikkan nilai ph. Setelah mendapat perlakuan dengan tumbuhan kayu apu sebagai biofilter, yang ditanam pada limbah cair penyamakan kulit sebagai media untuk tumbuh, terjadi penurunan nilai ph sampai mendekati ph normal hingga hari ke-10. Lamanya waktu detensi berpengaruh nyata terhadap penurunan nilai ph oleh tumbuhan kayu apu pada media limbah cair penyamakan kulit (α= 5%). Berdasarkan Gambar 1, waktu detensi sangat berpengaruh terhadap penurunan nilai ph limbah cair penyamakan kulit. Waktu detensi (waktu tinggal) merupakan waktu yang diperlukan oleh suatu tahap pengolahan untuk memberikan kesempatan (waktu) pada mikroorganisme dalam melakukan proses pendegradasian agar diperoleh effluent dengan kualitas yang baik. 12

Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 10 No. 1 (April 2009) 10-18 Sehingga semakin lama waktu detensi untuk proses pendegradasian limbah cair, maka semakin baik kualitas effluent yang dihasilkan. ph 15 12 9 6 3 0 Nilai Rerata ph 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Waktu Detensi (Hari) Gambar 1. Grafik nilai ph effluent limbah cair penyamakan kulit Penurunan nilai ph effluent disebabkan bahan organik (protein dan lemak) dan anorganik (mineral) telah disaring atau diikat oleh akar tumbuhan kayu apu sehingga memudahkan mikrob perombak dalam proses degradasi. Bahan organik yang telah disaring atau diikat oleh akar tumbuhan kayu apu didegradasi menjadi senyawa sederhana yaitu, asam amino dan asam lemak (asam organik) hingga diperoleh amonia, nitrat, nitrit dan nitrogen. Dengan terbentuknya asam organik hasil pemecahan protein dan lemak, maka ph akan terus menurun mendekati ph netral. Adapun bahan anorganik pada limbah cair penyamakan kulit disaring atau diikat oleh akar tumbuhan kayu apu sehingga kadar bahan organik pada limbah dapat dikurangi. Nilai ph yang baik adalah nilai ph yang masih memungkinkan kehidupan biologis di dalam air dapat berjalan dengan baik (Ginting, 1995). Nilai ph terbaik diperoleh dari perlakuan dengan waktu detensi 10 hari yaitu rata-rata sebesar 7,01. BOD ( (Biologycal Oxygen Demand) Nilai BOD awal pada limbah cair penyamakan kulit adalah 449,40 mg/l. Pada hari ke-2 sampai dengan hari ke-4 nilai BOD mengalami kenaikan karena adanya proses perombakan bahan organik (protein dan lemak) menjadi senyawa yang lebih sederhana. Dalam proses perombakan ini dibutuhkan jumlah oksigen yang cukup banyak sebagai sumber energi bagi mikroorganisme. Tingginya nilai BOD menyebabkan kadar oksigen dalam air menjadi rendah serta membuat air menjadi keruh dan berbau. Hal ini juga sangat berpengaruh pada kinerja mikrob perombak dalam proses pendegradasian bahan organik pada limbah cair penyamakan kulit. Setelah mendapat perlakuan dengan menggunakan tumbuhan kayu apu sebagai biofilter, rata-rata nilai BOD limbah cair penyamakan kulit mengalami penurunan. (ppm) BOD 500 400 300 200 100 0 Nilai Rerata BOD 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Waktu Detensi (Hari) Gambar 2. Grafik nilai BOD effluent limbah cair penyamakan kulit Berdasarkan Gambar 2 dapat dilihat bahwa nilai BOD cenderung menurun. Penurunan nilai BOD effluent limbah cair penyamakan kulit disebabkan oleh lamanya waktu detensi. Semakin lama waktu detensi untuk proses degradasi limbah cair penyamakan kulit, semakin baik kualitas effluent yang dihasilkan. Waktu detensi diperlukan oleh akar tumbuhan kayu apu untuk menyaring atau mengikat bahan organik dan anorganik (protein dan lemak) dan anorganik (mineral) yang terdapat pada limbah cair penyamakan kulit sehingga memudahkan mikrob perombak melakukan aktivitas pendegradasiannya. Semakin lama waktu detensi, maka nilai BOD effluent limbah cair penyamakan kulit juga semakin kecil. Penurunan yang relatif mencolok terlihat pada hari ke-6 sampai dengan hari ke-9. 13

Hal ini disebabkan karena aktivitas penyerapan kayu apu semakin tinggi sehingga penyerapan bahan organik oleh akar tumbuhan kayu apu semakin aktif dan nilai BOD turun semakin cepat. Kebutuhan nutrisi (zat hara) mikrob perombak untuk tumbuh dan berkembang biak telah dipenuhi oleh akar tumbuhan kayu apu hasil dari proses penyaringan atau pengikatan bahan organik dan anorganik yang terdapat pada limbah cair penyamakan kulit. Jumlah mikrob perombak yang semakin banyak sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan kayu apu karena nutrisi yang diperlukan untuk pertumbuhannya diperoleh dari hasil aktivitas mikrob perombak (Bacillus subtilis) dalam mendegradasi bahan organik pada limbah. Mikrob perombak melakukan proses perombakan bahan organik menjadi senyawa sederhana yaitu, asam amino dan asam lemak (asam organik) hingga diperoleh amonia, nitrat, nitrit dan nitrogen. Sedangkan bahan anorganik (mineral), amonia dan nitrogen diserap oleh akar-akar tumbuhan kayu apu sebagai sumber nutrisi untuk pertumbuhannya, sehingga merupakan asosiasi yang saling menguntungkan. Hal ini akan berdampak semakin kecilnya jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikrob untuk mendegradasi bahan organik. Berhubung bahan organik dan anorganik pada limbah cair penyamakan kulit semakin berkurang setelah tersaring atau terikat oleh akar tumbuhan kayu apu. Menurut Sugiharto (1987), penurunan bahan organik dan anorganik dalam air limbah menyebabkan nilai BOD juga semakin menurun, karena semakin rendah kandungan bahan organik dan anorganik dalam limbah cair maka kebutuhan oksigen oleh mikrob untuk mendegradasi/mengikat bahan organik dan anorganik tersebut juga akan semakin kecil. Nilai BOD limbah cair penyamakan kulit berhubungan dengan jumlah kandungan padatan tersuspensi (TSS) dalam limbah cair tersebut. Semakin tinggi nilai TSS dari limbah cair penyamakan kulit, maka nilai BOD limbah tersebut juga tinggi. Bahan organik dan anorganik yang tinggi pada limbah cair penyamakan kulit menyebabkan meningkatnya kebutuhan oksigen untuk penguraian/pengikatan bahan organik dan anorganik oleh mikrob perombak. Kandungan bahan organik dan anorganik dalam limbah cair penyamakan kulit merugikan lingkungan karena dapat menghabiskan oksigen terlarut (DO) dalam air limbah. Dari penurunan nilai BOD menunjukkan bahwa hasil terbaik terdapat pada waktu detensi 10 hari yaitu rata-rata 148,04 mg/l meskipun pada waktu detensi 9 hari (149,92 mg/l) telah memenuhi syarat baku mutu limbah yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu maksimal sebesar 150 mg/l. Penetapan hasil terbaik pada waktu detensi 10 hari yang diambil dikarenakan nilai BOD pada hari ke-9 sudah mendekati nilai baku mutu yang ditetapkan pemerintah yaitu sebesar 150 mg/l. DO ( (Disolved Oxygen) Nilai oksigen terlarut (DO) limbah cair penyamakan kulit sebelum perlakuan adalah 1,26 mg/l. Setelah mendapat perlakuan dengan tumbuhan kayu apu sebagai biofilter, rata-rata nilai DO limbah cair penyamakan kulit mengalami kenaikan. Waktu detensi berpengaruh nyata terhadap kenaikan nilai DO oleh tumbuhan kayu apu sebagai biofilter pada limbah cair penyamakan kulit (α=5%). Berdasarkan Gambar 3 dapat dilihat bahwa pada waktu detensi 2-4 hari nilai DO mengalami penurunan karena proses perombakan yang dilakukan oleh kayu apu belum berlangsung, sehingga DO cenderung menurun, setelah hari ke-4 karena cukup banyak oksigen maka perombakan bahan organik (protein dan lemak) menjadi senyawa sederhana (asam amino dan asam lemak) meningkat. 14

Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 10 No. 1 (April 2009) 10-18 (ppm) DO 5 4 3 2 1 0 Nilai Rerata DO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Waktu Detensi (Hari) Gambar 3. Grafik nilai DO effluent limbah cair penyamakan kulit Oksigen yang terdapat pada limbah cair penyamakan kulit menjadi lebih banyak dan dapat juga sebagian besar mikrob perombak melakukan proses degradasi senyawa sederhana menjadi amonia, nitrat, nitrit dan nitrogen. Kebutuhan oksigen yang cukup banyak oleh mikrob perombak untuk mendegradasi bahan organik belum maksimal dipenuhi oleh tumbuhan kayu apu, walaupun kebutuhan akan amonia dan nitrogen hasil perombakan senyawa sederhana sebagai sumber nutrisi untuk tumbuh dan berkembang bagi tumbuhan kayu apu belum dipenuhi oleh mikrob perombak. Dengan demikian, tumbuhan kayu apu masih menyesuaikan diri dengan limbah cair penyamakan kulit sebagai media tumbuh. Pada waktu detensi selanjutnya yaitu hari ke-4 sampai dengan hari ke- 10 nilai DO cenderung naik. Kenaikan nilai DO paling mencolok dimulai pada hari ke-5 sampai dengan ke-7 dan terus mengalami kenaikan setiap harinya hingga hari ke-10. Hal ini disebabkan karena tumbuhan kayu apu telah melakukan proses biofilter melalui akar yang dimilikinya secara maksimal sehingga memudahkan mikrob perombak untuk mendegradasi bahan organik pada limbah cair penyamakan kulit. Terpenuhinya kebutuhan akan amonia dan nitrogen hasil perombakan bahan organik oleh mikrob perombak, bagi tumbuhan kayu apu semakin mempercepat proses keluarnya tunas akar yang baru sehingga mempercepat proses penyaringan atau pengikatan bahan organik dan anorganik pada limbah cair penyamakan kulit. Hal ini berdampak pada peningkatan jumlah oksigen yang dihasilkan oleh tumbuhan kayu apu. Oksigen dipenuhi oleh tumbuhan kayu apu melalui proses fotosintesis yang didistribusikan melalui akar-akar yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan oksigen bagi mikrob perombak. Ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Sugiharto (1987), bahwa secara alami oksigen terlarut berasal dari proses fotosintesis tumbuh-tumbuhan air. Kenaikan nilai DO juga disebabkan karena proses perombakan oleh mikrob perombak diperkirakan juga telah berlangsung sempurna sehingga jumlah oksigen yang diperlukan sedikit. Perubahan nilai DO juga dipengaruhi oleh jumlah padatan terlarut (TSS) didalam air limbah, semakin besar jumlah padatan terlarut maka semakin rendah jumlah oksigen terlarut dalam air limbah tersebut. TSS akan mempengaruhi proses difusi oksigen dari udara ke dalam air limbah sehingga jika TSS nilainya tinggi, maka nilai DO menjadi rendah. Nilai DO juga berhubungan dengan nilai BOD, semakin tinggi nilai BOD dari suatu limbah maka semakin rendah nilai DO-nya. Hal ini dapat terjadi karena jika nilai BOD tinggi maka kebutuhan oksigen untuk menguraikan bahan-bahan organik dan anorganik dalam limbah cair juga tinggi, sehingga kandungan oksigen terlarutnya akan menurun. Berdasarkan keputusan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, air yang mempunyai nilai oksigen terlarut kurang dari 4 mg/l dapat dikatakan tercemar atau tidak layak untuk dibuang secara langsung ke lingkungan. Setelah mendapatkan perlakuan menggunakan tumbuhan kayu apu sebagai biofilter pada waktu detensi 10 hari diperoleh nilai DO rata-rata sebesar 4,54 mg/l. Nilai ini telah memenuhi baku mutu air limbah yang ditetapkan oleh pemerintah. 15

TSS ( (Total Suspended Solid) Nilai padatan tersuspensi sebelum perlakuan sebesar 502,74 mg/l. Limbah cair penyamakan kulit yang telah mengalami perlakuan menggunakan tumbuhan kayu apu sebagai biofilter nilai padatan tersuspensinya secara umum mengalami penurunan. Lamanya waktu detensi berpengaruh nyata terhadap penurunan nilai TSS oleh tumbuhan kayu apu pada media limbah cair penyamakan kulit (α=5%). (ppm) TSS 600 500 400 300 200 100 0 Nilai Rerata TSS 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Waktu Detensi (Hari) Gambar 4. Grafik nilai TSS effluent limbah cair penyamakan kulit Berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat bahwa nilai TSS padatan tersuspensi (TSS) mengalami penurunan. Waktu detensi berpengaruh nyata terhadap penurunan nilai TSS. Semakin lama waktu detensi yang ada maka semakin kecil nilai padatan terlarutnya. Hal ini disebabkan mikrob perombak terus menerus melakukan aktivitas perombakan. Aktivitas tersebut memerlukan waktu untuk mendegradasi bahan organik yang ada pada limbah cair penyamakan kulit. Akar tumbuhan kayu apu memerlukan waktu untuk menyaring atau mengikat bahan anorganik yang ada pada limbah cair penyamakan kulit. Bahan organik dan anorganik yang ada pada limbah cair penyamakan kulit terlebih dahulu disaring atau diikat oleh akar tumbuhan kayu apu guna memudahkan mikrob perombak untuk mendegradasinya. Tumbuhan kayu apu melakukan pemisahan terhadap zat yang dapat mengendap dan zat yang tersuspensi, dimana pengurangan kadar bahan padat terlarut terjadi di daerah akar tumbuhan kayu apu. Banyaknya akar tumbuhan kayu apu dan mikrob perombak yang berasosiasi dipermukaan akarnya membuat tumbuhan kayu apu mampu menyerap sangat banyak bahan padat terlarut dalam air limbah penyamakan kulit. Kemampuan akar tumbuhan kayu apu yang dapat melakukan pemisahan terhadap zat yang dapat mengendap dan zat yang tersuspensi semakin memudahkan bagi mikrob perombak untuk mendegradasi bahan organik pada limbah cair penyamakan kulit yang nantinya hasil perombakannya dapat digunakan sebagai nutrisi bagi pertumbuhan kayu apu. Penurunan nilai TSS pada limbah cair penyamakan kulit setelah diberi perlakuan akan meningkatkan kualitas limbah tersebut. Nilai TSS terendah didapatkan pada waktu detensi 10 hari, yaitu sebesar 199,51 mg/l dan telah memenuhi syarat baku mutu limbah cair golongan III yang telah ditetapkan oleh pemerintah yaitu sebesar 200 mg/l. Kadar kromium k (Cr) Nilai kadar kromium awal sebelum diberi perlakuan adalah 3,61 mg/l. Kadar kromium limbah cair penyamakan kulit setelah diberi perlakuan menggunakan tumbuhan kayu apu sebagai biofilter mengalami penurunan yang cukup signifikan. Waktu detensi berpengaruh nyata terhadap penurunan kadar kromium oleh tumbuhan kayu apu pada media limbah cair penyamakan kulit (α=5%). Berdasarkan Gambar 5, secara umum nilai kadar kromium limbah cair penyamakan kulit mengalami penurunan. Waktu detensi berpengaruh terhadap penurunan kadar kromium. Semakin lama waktu detensi yang ada maka semakin kecil kadar kromium. Hal ini disebabkan karena kadar kromium yang ada pada air limbah telah disaring atau diikat oleh akar tumbuhan kayu apu. 16

Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 10 No. 1 (April 2009) 10-18 (ppm) Chrom 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 Nilai Rerata Chromium 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Waktu Detensi (Hari) Gambar 5. Grafik kadar kromium effluent limbah cair penyamakan kulit Akar seperti bulu berbentuk labirinlabirin yang lembut dan ringan, berwarna putih, ungu dan hitam yang menyebar dengan akar pokok yang panjangnya dapat mencapai 90 mm mampu mengikat kadar bahan padat terlarut yang sangat banyak. Hal ini memudahkan bagi mikrob perombak untuk mendegradasi bahan organik yang telah tersaring atau terikat oleh akar tumbuhan kayu apu menjadi senyawa yang lebih sederhana sebagai sumber nutrisi bagi pertumbuhan kayu apu. Nilai TSS terendah didapatkan pada waktu detensi 10 hari, yaitu sebesar 0,92 mg/l dan telah memenuhi baku mutu air limbah yang ditetapkan oleh pemerintah. Efektivitas Penggunaan kayu apu sebagai biofilter untuk menurunkan bahan organik dan anorganik pada parameter ph, BOD, DO, TSS dan kadar kromium pada limbah cair penyamakan kulit lebih efektif dibandingkan dengan tumbuhan enceng gondok. Berdasarkan Tabel 1, tumbuhan kayu apu lebih efektif dibandingkan dengan tumbuhan enceng gondok sebagai biofilter pada pengolahan limbah cair penyamakan kulit pada parameter ph, BOD, DO, TSS dan kadar lromium. Hal ini dikarenakan kelebihan yang dimiliki tumbuhan kayu apu yaitu memiliki akar seperti bulu berbentuk labirin-labirin yang lembut dan ringan, berwarna putih, ungu dan hitam yang banyak dan menyebar dengan akar pokok yang panjangnya dapat mencapai 90 mm. Selain itu, perkembangbiakan dengan tunas vegetatif panjangnya bisa mencapai 60 cm dan relatif cepat serta pemeliharaannya juga relatif mudah sangat berpengaruh pada penurunan bahan organik dan anorganik pada limbah cair penyamakan kulit. Banyaknya akar tumbuhan kayu apu dan mikrob perombak yang berasosiasi dipermukaan akarnya membuat tumbuhan kayu apu mampu menyerap sangat banyak bahan padat terlarut dalam air limbah penyamakan kulit. Kemampuan akar tumbuhan kayu apu yang dapat melakukan pemisahan terhadap zat yang dapat mengendap dan zat yang tersuspensi semakin memudahkan bagi mikrob perombak untuk mendegradasi bahan organik pada limbah cair penyamakan kulit yang nantinya hasil perombakannya dapat digunakan sebagai nutrisi bagi pertumbuhan kayu apu. Semakin cepat proses penyaringan atau pengikatan oleh akar tumbuhan kayu apu dan pendegradasian bahan organik oleh mikrob perombak, semakin cepat pula waktu detensi yang dibutuhkan untuk proses perbaikan kualitas limbah cair penyamakan kulit agar sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh pemerintah. Waktu detensi optimum yang diperlukan oleh tumbuhan kayu apu untuk proses biofilter pada limbah cair penyamakan kulit yaitu 10 hari lebih cepat dibandingkan dengan tumbuhan enceng gondok yaitu 14 hari. Hal ini dikarenakan kelebihan yang dimiliki tumbuhan kayu apu mempermudah pengikatan atau penyaringan bahan organik dan anorganik pada limbah cair penyamakan kulit sehingga waktu detensi yang diperlukan oleh mikrob perombak untuk mendegradasi bahan organik pada limbah cair penyamakan kulit juga semakin singkat dibandingkan dengan tumbuhan enceng gondok. Hal ini juga semakin meningkatkan nilai efektivitas tumbuhan kayu apu dibandingkan dengan tumbuhan enceng gondok. 17

Tabel 1. Perbandingan nilai efektivitas tumbuhan kayu apu dengan tumbuhan enceng gondok (dalam %) Waktu Detensi Tumbuhan Kayu Apu Tumbuhan Enceng Gondok ph BOD DO TSS Krom ph BOD DO TSS Krom 1 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2 14.53 2.13 9.85 3.26 0.38 2.20 1.44 3.58 3.80 1.13 3 10.35 4.21 15.69 8.39 1.14 4.16 2.49 9.16 5.40 2.26 4 3.74 2.49 15.32 7.43 9.57 3.67 3.75 13.14 6.67 4.52 5 9.47 0.27 2.55 0.23 22.22 13.23 4.70 16.73 8.34 6.03 6 17.84 3.25 29.92 10.16 34.86 28.18 2.09 11.55 0.12 9.43 7 42.95 30.01 54.37 55.17 50.95 45.83 0.92 0.39 1.46 19.62 8 56.16 66.67 71.53 63.95 66.66 58.08 8.54 12.74 24.17 31.32 9 76.43 100.02 90.87 98.74 93.86 72.05 17.08 25.09 27.83 36.98 10 99.33 100.65 119.70 100.16 103.06 73.03 24.45 37.84 33.96 47.16 11 33.57 38.96 58.56 49.34 52.83 12 96.56 49.32 70.91 92.19 66.79 13 98.28 80.42 90.03 99.01 94.33 Ket: 14 99.26 100.02 101.59 100.04 101.50 1) Nilai ph, BOD, DO, TSS dan kadar krom dari tumbuhan Kayu Apu pada waktu detensi ke-11 sampai ke-14 tidak di analisis karena pada waktu detensi ke-10 sudah diperoleh nilai ph, BOD, DO, TSS dan Chrom yang optimal sesuai baku mutu yang ditetapkan pemerintah. 2) Data eceng gondok dari Effendi (1988) KESIMPULAN Tumbuhan kayu apu sebagai biofilter pada limbah cair penyamakan kulit dapat menurunkan nilai ph mencapai 39,25%; nilai BOD 67,05%, nilai TSS 60,31%; kadar kromium 74,51% dan menaikkan nilai DO mencapai 72,24%. Waktu detensi optimum yang diperlukan oleh tumbuhan kayu apu untuk menurunkan nilai ph, BOD, TSS, kandungan Chromium dan menaikkan nilai DO pada limbah cair penyamakan kulit adalah 10 hari. Penggunaan tumbuhan kayu apu sebagai biofilter pada kajian waktu detensi lebih efektif dibandingkan dengan tumbuhan enceng gondok. Nilai efektivitas tumbuhan kayu apu pada waktu detensi 10 hari pada parameter ph mencapai 99,33%; BOD mencapai 100,65%, DO mencapai 119,70%; TSS mencapai 100,16% dan Chromium mencapai 103,66%. DAFTAR PUSTAKA Effendi, U. 1988. Netralisasi Limbah Cair Industri Penyamakan Kulit Secara Biofiltrasi dengan Menggunakan Enceng Gondok. Agrivita. 11 (2): 35-36 Ginting. 1992. Mencegah dan Mengendalikan Pencemaran Industri. Sinar Harapan, Jakarta Sugiharto. 1987. Dasar-dasar Pengelolaan Air Limbah. Universitas Indonesia Press, Jakarta 18

Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 10 No. 1 (April 2009) 10-18 9

10