BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di kuasai pepohonan dan mempunyai kondisi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia 123

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO. Risma Fadhilla Arsy

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

PENDAHULUAN Latar Belakang

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha

RIZKY ANDIANTO NRP

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

BAGIAN 1-3. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi. Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

PEMETAAN PERUBAHAN FOREST CANOPY DENSITY DI KPH KUNINGAN

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sumber daya lahan yang terdapat pada suatu wilayah, pada dasarnya

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Data tentang luas tutupan lahan pada setiap periode waktu penelitian disajikan pada

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

PENDAHULUAN. hutan yang luas diberbagai benua di bumi menyebabkan karbon yang tersimpan

LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk daerah perkotaan di negara-negara berkembang,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan aslinya (Hairiah, 2003). Hutan menjadi sangat penting

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

BAB I PENDAHULUAN. Sistem penambangan batubara pada umumnya di Indonesia adalah sistem

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun

Kajian Nilai Indeks Vegetasi Di Daerah Perkotaan Menggunakan Citra FORMOSAT-2 Studi Kasus: Surabaya Timur L/O/G/O

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Oleh : Hernandi Kustandyo ( ) Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI No. 41

Keberadaan lahan gambut selalu dikaitkan dengan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Kondisi lahan gambut yang unik dan khas menjadikan

Latar belakang. Kerusakan hutan. Perlu usaha: Perlindungan Pemantauan 22/06/2012

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

Analisis Perubahan Lahan Tambak Di Kawasan Pesisir Kota Banda Aceh

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Persebaran Lahan Produksi Kelapa Sawit di Indonesia Sumber : Badan Koordinasi dan Penanaman Modal

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar


BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

ZONASI KONDISI KAWASAN HUTAN NEGARA DI DIENG DAN ARAHAN PENGELOLAAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN T U G A S A K H I R. Oleh : INDIRA PUSPITA L2D

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu dari tipe ekosistem yang ada di dunia dan dicirikan melalui suatu liputan hutan yang cenderung selalu hijau disepanjang musim. Hutan hujan tropis merupakan suatu ekosistem yang sangat kompleks dan beragam serta saling berkaitan satu sama lain antara makhluk hidup yang tinggal didalamnya. Perubahan hutan dunia selalu mengalami penurunan dalam hal kerapatan, tegakan dan tipe vegetasi. Perubahan hutan seringkali dicirikan dengan degradasi dan deforestasi. Berdasarkan data FAO tahun 2005 menyatakan bahwa 13 Juta Ha hutan dunia yang lenyap tiap tahunnya. Akibatnya ekosistem juga mengalami kerusakan tiap tahunnya. Secara umum, perubahan hutan selalu terjadi dan semakin merajalela seiring dengan kebutuhan hidup manusia. Turmudi dan Nahib (2015) menyebutkan bahwa dalam jangka 20 tahun di Provinsi Sulawesi Tengah mengalami deforestasi sebesar 5,20% (1990-2000) dan 2,45% (2000-2011). Perubahan hutan tersebut tidak lain karena industri perkayuan, pertanian, perkebunan, permukiman dan sebagainya. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan, luas kawasan hutan Indonesia adalah 124.022.848,67 Ha (Kemenhut, 2014). Kawasan hutan tersebut merupakan hutan tropika terbesar ketiga di dunia setelah Brazil dan Kongo. Oleh karena itu Indonesia dijuluki Megabioversity karena lebih dari 12% merupakan tumbuhan tingkat tinggi yang ada di dunia. Terkait dengan masalah perubahan hutan khususnya di Indonesia, terdapat hal menarik untuk dikaji adalah perubahan hutan di kawasan taman nasional. Taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam baik daratan maupun perairan yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi (Permenhut, 2006). Taman nasional 1

sebagai kawasan pelestarian alam memiliki fungsi yang berbeda-beda yaitu sebagai Cagar Biosfer, World Heritage Sites dan Ramsar Sites. Taman Nasional Lore Lindu adalah salah satu taman nasional di Indonesia yang merupakan lokasi perlindungan hayati atau cagar biosfer yang terletak di Provinsi Sulawesi Tengah. Tipe hutan yang dimiliki Taman Nasional Lore Lindu meliputi hutan hujan dataran rendah, hutan hujan pegunungan, hutan rawa dataran tinggi dan savanna (TNC, 2001), sedangkan dalam hal fauna, Taman Nasional Lore Lindu merupakan habitat alami burung serta mamalia endemik di Pulau Sulawesi (Profil Taman Nasional Lore Lindu, 2014). Zonasi kawasan Taman Nasional Lore Lindu dibagi menjadi zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, zona rehabilitasi dan zona khusus serta enclave besoa dan enclave lindu. Enclave tersebut merupakan kawasan yang dimanfaatkan untuk kehidupan penduduk di kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Seiring dengan pertumbuhan jumlah dan kebutuhan penduduk di dalam dan sekitar kawasan Taman Nasional Lore Lindu serta di zona enclave yang terkait dengan aktivitas masyarakat mengakibatkan degradasi hutan yang tidak dapat dihindari. Masyarakat di beberapa desa yang berbatasan langsung dengan kawasan taman nasional cenderung menjadikan kawasan hutan lindung sebagai sumber perekonomian untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Aktivitas yang terjadi baik berupa pembalakan liar dan pencurian kayu, rotan, pemburuan satwa juga pembukaan lahan budidaya pertanian dan perkebunan (Antarabengkulu.com., 2013). Oleh karena berbagai kegiatan masyarakat di sekitar kawasan Taman Nasional Lore Lindu sangat mempengaruhi ekosistem yang ada. Dengan perkembangan teknologi yang semakin cepat sehingga dapat menghasilkan suatu ilmu dan metode yang dianggap mampu mengidentifikasi berbagai permasalahan. Penginderaan jauh merupakan salah satu hasil dari perkembangan teknologi tersebut. Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi mengenai suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan alat tanpa suatu kontak langsung (Lillesand & Kiefer., 1979). Aplikasi penginderaan jauh memiliki peran penting dalam membantu proses pemantauan perubahan hutan khususnya komposisi 2

struktural hutan serta pemetaan tipe vegetasi. Pengukuran luas perubahan hutan secara periodik dapat diperoleh dengan aplikasi penginderaan jauh serta mampu memberikan akurasi terbaik (Miller et al., 1998). Dengan penginderaan jauh maka informasi terkait fenomena geosfer secara cepat dapat diperoleh dan dianalisis secara sistematik. Salah satu analisis digital terkait transformasi spektral adalah model Forest Cover Density (FCD). Danoedoro (2012) menjelaskan bahwa FCD merupakan pengembangan transformasi spektral dalam estimasi kerapatan dan struktur vegetasi hutan tropis. Model FCD dikembangkan oleh Rikimaru pada tahun 2002 yang kemudian menjadi model pemetaan vegetasi yang digunakan oleh International Timber Trade Organization (ITTO). Aplikasi FCD merupakan suatu transformasi spektral yang dapat digunakan dalam kajian pemetaan hutan di Indonesia, terbukti dengan berbagai penelitian yang ada di Indonesia. Selain itu Indonesia yang merupakan negara dengan iklim tropis yang memiliki komposisi dan luas hutan yang cenderung tinggi. Model FCD memanfaatkan berbagai saluran citra penginderaan jauh dari spektral biru hingga spektral termal yang terdapat pada citra satelit Landsat. Hasil model FCD merupakan informasi kerapatan hutan serta komposisi struktural vegetasi. Pemanfaatan citra Landsat multitemporal juga mampu menghasilkan informasi perubahan komposisi struktural vegetasi. Selain itu dengan menggunakan integrasi spasial antara citra multispektral dan data elevasi diharapkan mampu mengidentifikasi komposisi struktural dan tipe vegetasi dengan baik. Selanjutnya hubungan antara akurasi hasil model FCD dan model komposisi struktural dan tipe vegetasi di kawasan Taman Nasional Lore Lindu dapat diketahui. Berdasarkan latar belakang diatas, maka pemanfaatan citra penginderaan jauh khususnya aplikasi model FCD yang terintegrasi dengan data elevasi menarik untuk dikaji dalam kajian perubahan komposisi struktural dan tipe vegetasi dalam hal ini adalah di sebagian kawasan Taman Nasional Lore Lindu. 3

1.2 Perumusan Masalah Taman Nasional Lore Lindu termasuk dalam formasi hutan dalam zona iklim daerah tropika yang terletak di ketinggian sekitar 100 hingga 2500 mdpl. Akibat dari karakteristik tersebut maka komposisi ekosistem dari Taman Nasional Lore Lindu juga cenderung beragam mulai dari hutan pamah tropika hingga hutan pegunungan. Ekosistem yang beragam tersebut merupakan tempat tinggal bagi beberapa flora dan fauna yang khas dari pulau Sulawesi. Kondisi komposisi struktural vegetasi di kawasan Taman Nasional Lore Lindu cenderung mengalami degradasi. Perambahan dan perubahan penggunaan lahan semakin marak terjadi di sebagian wilayah kawasan. Hal ini menarik untuk dikaji melalui aplikasi penginderaan jauh khususnya model FCD yang mampu menghasilkan informasi komposisi struktural vegetasi di kawasan tersebut. Inventarisasi sumberdaya kehutanan dengan menggunakan metode penginderaan jauh umumnya berupa formula indeks vegetasi. Indeks vegetasi mampu memberikan informasi kerapatan vegetasi dengan kombinasi beberapa saluran citra satelit. Selain itu model yang dapat digunakan dalam inventarisasi sumberdaya kehutanan adalah model Forest Cover Density (FCD). Model FCD mempunyai keunggulan dibandingkan dengan indeks vegetasi. Keunggulan model FCD yaitu klasifikasi kerapatan vegetasi yakni berupa komposisi struktural vegetasi yang diperoleh dari empat indeks penyusun model FCD. Model Forest Cover Density (FCD) merupakan transformasi spektral dengan menggunakan citra satelit Landsat dalam analisis biofisik. Model tersebut terdiri dari empat indeks yaitu indeks vegetasi (AVI), indeks tanah (BI), indeks bayangan (SI) dan indeks suhu (TI). Pemanfaatan data citra satelit khususnya model Forest Cover Density (FCD) telah dilakukan oleh beberapa peneliti, contohnya adalah Sukarna (2009) yang mengungkapkan bahwa model FCD mampu mengidentifikasi kerapatan horizontal dan vertikal tutupan hutan. Selain itu model FCD secara multitemporal juga mampu mendeteksi suksesi hutan (Yulianto, 2010). Beberapa penelitian lainnya terkait perubahan hutan dengan pemantauan citra satelit mengungkap bahwa perubahan hutan tersebut sebaiknya dikaji secara temporal. Do-Hyung et al. 4

(2014) mengemukakan kecenderungan perubahan hutan secara temporal dibutuhkan untuk memahami hubungan sebab dan akibat dari perubahan serta menduga efektivitas kebijakan penggunaan lahan. Teknik pengolahan citra satelit mampu terintegrasi melalui berbagai sumber data sebagai acuan untuk mendeteksi, memetakan dan memantau sumberdaya kehutanan (Forkou & Frimpong., 2012). Eckert et al. (2011) menyatakan bahwa deforestasi dan degradasi serta stok karbon dapat dianalisis melalui data citra satelit multitemporal. Identifikasi kerapatan hutan umumnya masih menggunakan indeks vegetasi contohnya NDVI. Indeks vegetasi cenderung hanya mampu memberikan informasi kerapatan horizontal vegetasi sehingga belum dianggap akurat untuk identifikasi komposisi struktural vegetasi. Oleh karena itu identifikasi komposisi struktural dengan model FCD merupakan metode yang dianggap lebih baik dalam ekstraksi informasi komposisi struktural vegetasi dibandingkan indeks vegetasi. Meskipun begitu masih perlu kajian khususnya kemampuan model FCD dalam identifikasi komposisi struktural vegetasi di Taman Nasional Lore Lindu. Saat ini dalam survei inventarisasi dan pemantauan kondisi fisik kawasan, pengelola Taman Nasional Lore Lindu masih menggunakan survei terestrial disertai dengan pengamatan langsung dari udara. Selain itu jangka waktu dalam inventarisasi dan pemantauan kondisi fisik kawasan khususnya kondisi vegetasi tidak ditentukan dengan pasti sehingga ketersediaan data dalam periode tertentu menjadi terbatas. Berbeda dengan survei terestrial yang cenderung membutuhkan waktu dan biaya yang cukup besar, aplikasi citra penginderaan jauh umumnya cukup akurat dalam identifikasi komposisi struktural vegetasi. Hal tersebut memberikan asumsi bahwa pemanfaatan penginderaan jauh lebih efisien terkait waktu dan biaya terlebih jika menggunakan kajian multitemporal. Identifikasi komposisi struktural dan tipe vegetasi dengan menggunakan kombinasi citra penginderaan jauh multispektral dan data elevasi merupakan salah satu keunggulan dari pemanfaatan penginderaan jauh. Kombinasi antara dua data tersebut bertujuan menghasilkan informasi objek vegetasi yang lebih beragam khususnya komposisi vegetasi. Selain itu terdapat hal menarik untuk dikaji yakni 5

hubungan antara akurasi hasil klasifikasi dengan model komposisi struktural dan tipe vegetasi. Dimana hubungan antar kedua faktor tersebut dapat mempunyai hubungan yang erat dan sebaliknya. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat diformulasikan masalah penelitian ini sebagai berikut: 1. Aplikasi model FCD yang tidak mempertimbangkan faktor topografi maupun menggunakan koreksi terrain perlu diterapkan untuk identifikasi komposisi struktural vegetasi di sebagian Taman Nasional Lore Lindu 2. Perlunya pemanfaatan citra penginderaan jauh khususnya citra multitemporal karena selama ini di Taman Nasional Lore Lindu dalam identifikasi komposisi struktural vegetasi terkait perubahannya masih menggunakan metode survei terestrial yang cenderung tidak efisien. 3. Akurasi hasil klasifikasi tidak selalu mempunyai hubungan yang erat dengan model komposisi struktural dan tipe vegetasi. Oleh karena itu analisis hubungan antara dua variabel tersebut perlu untuk dikaji lebih lanjut. 1.3 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan masalah diatas, maka pertanyaan dari penelitian ini adalah: 1. Bagaimana perbandingan kemampuan citra Landsat pada model Forest Cover Density (FCD) tanpa koreksi terrain dan dengan koreksi terrain untuk memetakan komposisi struktural vegetasi di sebagian Taman Nasional Lore Lindu? 2. Bagaimana tingkat perubahan kelas komposisi struktural vegetasi di sebagian Taman Nasional Lore Lindu? 3. Bagaimana hubungan antara akurasi klasifikasi dengan model komposisi struktural dan tipe vegetasi berdasarkan elevasi di sebagian Taman Nasional Lore Lindu? 6

1.4 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis kemampuan citra Landsat pada model Forest Cover Density (FCD) tanpa koreksi terrain dan dengan koreksi terrain untuk memetakan komposisi struktural vegetasi di sebagian Taman Nasional Lore Lindu. 2. Mengkaji tingkat perubahan kelas komposisi struktural vegetasi di sebagian Taman Nasional Lore Lindu. 3. Menganalisis hubungan antara akurasi klasifikasi dengan model komposisi struktural dan tipe vegetasi berdasarkan elevasi di sebagian Taman Nasional Lore Lindu 1.5 Manfaat Manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Memberikan perbandingan informasi metode pengolahan citra digital Landsat menggunakan model Forest Cover Density (FCD) tanpa koreksi terrain dan dengan koreksi terrain untuk mengidentifikasi komposisi struktural vegetasi. 2. Menyajkan hasil identifikasi tingkat perubahan kelas komposisi struktural di sebagian kawasan Taman Nasional Lore Lindu serta mengidentifikasi tipe vegetasi dengan integrasi citra penginderaan jauh. 3. Sebagai suatu sumbangan dalam bidang penelitian dan pengembangan terkait identifikasi kondisi vegetasi menggunakan studi penginderaan jauh yang diharapkan sebagai acuan dalam inventarisasi vegetasi di Taman Nasional Lore Lindu. 1.6 Keaslian Penelitian Sumberdaya kehutanan dapat dianalisis melalui beberapa metode baik secara terrestrial maupun dengan aplikasi penginderaan jauh. Analisis dan pantauan objek komposisi struktural vegetasi dapat diperoleh melalui pemanfaatan penginderaan jauh berbasis model Forest Cover Density (FCD). 7

Model FCD mulai diperkenalkan pada tahun 2002 sebagai salah satu metode transformasi spektral dalam pengolahan citra penginderaan jauh. Dengan kombinasi beberapa indeks yang mempunyai karakter masing-masing dapat menghasilkan klasifikasi komposisi struktural vegetasi yang akurat. Penelitian terkait aplikasi model Forest Cover Density (FCD) cenderung selalu dilakukan dari tahun ketahun. Beberapa penelitian terkait model FCD baik untuk pengukuran dan pemantauan hutan dilakukan oleh beberapa peneliti di berbagai lokasi antara lain di Luzon, Sumatra, Australia, Filipina, Kalimantan dan Jawa. Perbedaan yang dapat ditemukan dari beberapa penelitian sebelumnya yaitu tentang kondisi vegetasi yang diamati berbeda serta lokasi yang berbeda pula. Akan tetapi asumsi terhadap model FCD digunakan pada hutan tropis dengan heterogenitas vegetasi Rikimaru et al. (2002) melakukan penelitian untuk mengembangkan teknik analisis terkait biofisik dengan pemanfaatan data citra penginderaan jauh. Penelitian ini menghasilkan suatu model Forest Cover Density (FCD) yang menggunakan kombinasi empat indeks dalam mengklasifikasikan kerapatan hutan. Beberapa indeks tersebut menggunakan kombinasi saluran tampak serta inframerah. Baynes (2007) melakukan penelitian untuk yang membedakan antara hutan asli dengan hutan yang telah dikonversi menjadi perkebunan. Sukarna (2009) melakukan riset terkait pemodelan floristik hutan rawa dengan integrasi pada bentang lahan dengan menggunakan data citra multiresolusi. Yulianto (2010) melakukan kajian karakteristik spektral secara multitemporal pada citra penginderaan jauh untuk memantau suksesi hutan gambut. Tohir et al. (2014) melakukan penelitian untuk mengetahui hubungan FCD dengan LAI serta kerapatan tegakan secara multitemporal. Perbedaan dengan penelitian sejenis sebelumnya adalah penelitian ini mengkaji tentang pengaruh koreksi terrain terhadap ektraksi komposisi struktural vegetasi. Selain itu perbedaan lainnya adalah penggunaan teknik integrasi citra multispektral dan data elevasi untuk identifikasi perubahan komposisi struktural dan tipe vegetasi. Berikut perbedaan penelitian terdahulu yang sejenis dengan penelitian yang akan dilakukan yang akan disajikan pada Tabel 1. 8

Tabel 1. Perbandingan Penelitian Sejenis NO JUDUL/ TAHUN PENELITI LOKASI TUJUAN METODE HASIL 1. Tropical Forest Cover Density Mapping. 2002 A.Rikimaru, P.S. Roy, S. Miyatake Luzon dan Sumatra Mengembangkan analisis biofisik untuk menghasilkan model FCD menggunakan analisis citra satelit Landsat Model Forest Cover Density (FCD) - Model FCD dengan empat komponen: vegetasi, tanah terbuka, suhu dan bayangan - Karakteristik dari tiap kombinasi indeks yang dipakai dalam model FCD 2. Using FCD Mapper Software and Landsat Images to Assess Forest Cover Density in Landscapes in Australia and The Philipines. 2007 Jack Baynes Australia dan Filipina - Mengkaji korelasi FCD dengan LAI - Mengkaji korelasi FCD dengan parameter hutan dengan cara model biofisik Analisis model Forest Cover Density (FCD) dengan pengukuran langsung terhadap tegakan vegetasi (hutan dan perkebunan) - FCD memiliki hubungan yang kuat dengan tegakan dan kerapatan vegetasi - Karakteristik pantulan saluran 4 landsat tidak konsisten dalam membedakan hutan dengan perbedaan tinggi tajuk. - FCD mampu menganalisis deforestasi atau konversi dari hutan asli menjadi perkebunan 3. Kajian Spektral Citra Landsat 7 ETM+ untuk Pemodelan Floristik Hutan Rawa di Kawasan Taman Nasional Sebangau Provinsi Kalimantan Tengah. 2009. Raden Mas Sukarna Kalimantan Tengah - Mengkaji variasi nilai spektral pada model FCD untuk klasifikasi struktur hutan rawa serta mengkaji model hubungan matematis FCD dengan nilai indeks luas kanopi hutan sebagai model estimasi struktur hutan rawa - Perolehan model distribusi floristik hutan pada satuan bentang lahan berdasarkan integrasi spasial variasi struktur hutan dengan tipe lahan rawa Analisis model Forest Cover Density (FCD), Pemodelan matematis FCD, serta Pemodelan floristik hutan rawa - Pemodelan kerapatan horizontal dan vertikal hutan rawa gambut - Hubungan antara nilai FCD dengan Canopy Area Index hutan - Model estimasi struktur rawa hutan - Model distribusi floristik hutan rawa berdasarkan satuan bentang lahan. 9

4. Kajian Kemampuan Model FCD Berbasis Citra Landsat ETM untuk Memantau Suksesi Hutan Rawa Gambut Di Kalteng. 2010 Santosa Yulianto Kalimantan Tengah - Mengkaji karakteristik spektral transformasi model FCD dari setiap tipe vegetasi penutup hutan rawa gambut. - Menguji akurasi nilai estimasi kerapatan tajuk dan hasil klasifikasi tipe vegetasi penutup dengan model FCD serta menghitung besar luas dan laju suksesi hutan rawa gambut secara multi-temporal Analisis multitemporal citra Landsat 7 ETM+ dengan model Forest Cover Density (FCD) - Peta estimasi FCD multi temporal - Peta tipe vegetasi penutup hutan rawa gambut multi temporal - Peta suksesi hutan rawa gambut multitemporal - Akurasi nilai estimasi kerapatan tajuk dan akurasi hasil klasifikasi tipe vegetasi penutup hutan - Karakteristik spektral FCD untuk setiap tipe vegetasi penutup hutan 5. Pemetaan Perubahan Kerapatan Kanopi Hutan di Hutan Rakyat, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. 2014 Nugrahadi Ramadhan Tohir, Lilik Budi Prasetyo, Agus Priyono Kartono Jawa Barat - Mengidentifikasi perubahan tutupan kanopi hutan multitemporal - Mengidentifikasi hubungan antara FCD dengan LAI, LBDT dan kerapatan tegakan hutan terhadap degradasi hutan Analisis multitemporal dengan model Forest Cover Density (FCD) serta hubungan regresi dengan indeks vegetasi - Degradasi hutan dapat terdeteksi oleh FCD selama beberapa tahun terakhir akibat dari pertambahan penduduk - Analisis regresi antara FCD dengan LAI, kerapatan tegakan serta LBDT menghasilkan koefisien determinasi (r²) dengan nilai 0.71 6 Kajian Perubahan Komposisi Struktural dan Tipe Vegetasi dengan Model Forest Cover Density (FCD) di Sebagian Taman Nasional Lore Lindu, Provinsi Sulawesi Tengah. 2017 Muhammad Ismail Sulawesi Tengah - Menganalisis kemampuan citra Landsat pada model Forest Cover Density (FCD) tanpa koreksi terrain dan dengan koreksi terrain untuk memetakan komposisi struktural vegetasi - Mengkaji tingkat perubahan kelas komposisi struktural vegetasi - Menganalisis hubungan antara akurasi klasifikasi dengan model komposisi struktural dan tipe vegetasi berdasarkan elevasi Analisis multitemporal dengan model Forest Cover Density (FCD) serta integrasi data elevasi - Peta komposisi struktural vegetasi sebagian Taman Nasional Lore Lindu - Peta perubahan komposisi struktural vegetasi tahun 2002 dan tahun 2015 sebagian Taman Nasional Lore Lindu - Hubungan akurasi klasifikasi dengan model komposisi struktural dan tipe vegetasi berdasarkan elevasi menghasilkan nilai korelasi (r) sebesar -0.43 dan nilai determinasi (r²) sebesar 0.18 10