HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

MODEL PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN PESISIR UNTUK MENDUKUNG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KARAWANG

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tabel 1.1 Luas Hutan Mangrove di Indonesia Tahun 2002 No Wilayah Luas (ha) Persen

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove


KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

METODE PENELITIAN. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bengkalis

PEMANFAATAN CITRA SATELIT LANDSAT DALAM PENGELOLAAN TATA RUANG DAN ASPEK PERBATASAN DELTA DI LAGUNA SEGARA ANAKAN. Oleh : Dede Sugandi *), Jupri**)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Gambar 3. Peta Resiko Banjir Rob Karena Pasang Surut

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusman a et al, 2003). Hutan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Deteksi Perubahan Garis Pantai Pulau Gili Ketapang Kabupaten Probolinggo

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

PROFILE DINAS PERIKANAN DAN KELAUTAN

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan erat. Selain keunikannya, terdapat beragam fungsi yang dapat dihasilkan

Gambar 6. Peta Kabupaten Karawang

2015 HUBUNGAN SIFAT LAHAN SAWAH DENGAN PRODUKTIVITAS PADI DI KAWASAN PESISIR KECAMATAN PASEKAN KABUPATEN INDRAMAYU

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pesisir memiliki peranan sangat penting bagi berbagai organisme yang berada di

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KAJIAN MORFODINAMIKA PESISIR KABUPATEN KENDAL MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH MULTI SPEKTRAL DAN MULTI WAKTU

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Wilayah pesisir mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel 5) digunakan analisis separabilitas. B

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Data tentang luas tutupan lahan pada setiap periode waktu penelitian disajikan pada

3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN.

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Model Genesi dalam Jurnal : Berkala Ilmiah Teknik Keairan Vol. 13. No 3 Juli 2007, ISSN

BAB 3 PENGOLAHAN DATA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pesisir Pantai. merupakan daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut dimulai dari

I. PENDAHULUAN. degradasi hutan. Hutan tropis pada khususnya, sering dilaporkan mengalami

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3, No. 4, Desember 2012: ISSN :

TINJAUAN PUSTAKA. Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

BAB I PENDAHULUAN. dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi

I. PENDAHULUAN. dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut (Mulyadi dan Fitriani,

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/PRT/M/2015 TENTANG PENGAMANAN PANTAI

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

Oleh. Firmansyah Gusasi

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai fungsi produksi, perlindungan dan pelestarian alam. Luas hutan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam

Gambar 5. Peta Citra Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan :

I. PENDAHULUAN. mangrove. Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan

Transkripsi:

30 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Perubahan penggunaan lahan dianalisis dengan menggunakan peta penggunaan lahan tahun 1994 dan 2012 yang dihasilkan dari interpretasi citra Landsat TM 7 tahun 1994 dan 2012 secara visual. Masing-masing titik tahun citra Landsat TM 7 tersebut diambil pada bulan Maret. Hasil interpretasi citra Landsat TM 7 tahun 2012 telah divalidasi menggunakan titik-titik sampel ground thruth yang kondisinya dilihat berdasarkan citra Ikonos 2010 dan cek lapangan. Validasi yang dilakukan menghasilkan nilai akurasi sebesar 93.33% dan nilai indeks kappa sebesar 0.9018 yang menunjukkan bahwa peta hasil interpretasi citra tersebut layak untuk digunakan dalam penelitian ini. Proses interpretasi citra Landsat TM 7 dilakukan dengan bantuan piranti arcgis 10 dan menghasilkan peta penggunaan lahan pada skala yang mempertimbangkan resolusi spasial dari citra Landsat TM 7 dan kenampakan tutupan lahan secara visual pada citra. Luas Penggunaan Lahan Tahun 1994 dan 2012. Intepretasi secara visual citra Landsat TM 7 pada wilayah penelitian menghasilkan peta dengan 7 (tujuh) kelas penggunaan lahan. Secara alfabetik 7 kelas penggunaan lahan tersebut urutannya adalah: kebun campuran, laut, hutan mangrove, permukiman, sawah, tambak dan tubuh air (sungai dan rawa) dengan informasi luas masing-masing penggunaan lahan disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Luas perubahan penggunaan lahan Penggunaan Lahan (Kode) 1994 2012 ha % ha % Kebun Campuran (kc) 855.9 0.7 706.3 0.5 Laut (lt) 56,672.6 43.2 56,671.8 43.2 Hutan Mangrove (rv) 401.4 0.3 209.7 0.2 Permukiman (pkm) 5,976.0 4.6 6,518.2 5.0 Sawah (sw) 49,224.9 37.6 48,211.5 36.8 Tambak (tb) 17,653.0 13.5 18,465.0 14.1 Tubuh Air (ta) 275.2 0.2 276.6 0.2 Jumlah 131,059.15 100.0 131,059.15 100.0 Tabel 10 menginformasikan beberapa penggunaan lahan mengalami penurunan luas yang cukup signifikan yaitu kebun campuran, hutan mangrove dan sawah. Penggunaan lahan yang mengalami peningkatan adalah permukiman dan tambak. Luas kebun campuran menurun hampir 150 ha atau luasnya menyusut hingga 17.5%. Penyusutan kebun campuran ini terjadi diduga akibat peningkatan kebutuhan lahan untuk permukiman. Hal ini karena jenis tanah yang digunakan

untuk kebun campuran ini juga merupakan tanah yang potensial untuk permukiman. Secara visual dari hasil interpretasi citra Landsat, lahan yang digunakan untuk kebun campuran biasanya terletak di sekitar permukiman sehingga apabila permukiman tersebut berkembang maka lahan kebun campuran tersebut secara otomatis akan terpakai. Hutan mangrove merupakan ekosistem pesisir yang berada di perbatasan antara daratan dan lautan yang salah satu fungsinya adalah menjadi pelindung dari efek negatif interaksi keduanya di wilayah tropis. Kondisi luas hutan mangrove yang menurun akan sangat merugikan karena tentu saja akan menurunkan fungsinya tersebut. Luas hutan mangrove di wilayah penelitian tahun 2012 menyusut 47.8% atau hampir setengah dari luas pada tahun 1994. Angka ini tentu sangat mengkhawatirkan bagi kelangsungan ekosistem hutan mangrove ke depan khususnya di pesisir Kabupaten Karawang. Penggunaan lahan yang paling luas penyusutannya adalah sawah. Luas sawah yang teralihkan mencapai lebih dari 1,013 ha. Semakin luasnya alih fungsi lahan sawah menjadi penggunaan lahan lain, semakin mengancam identitas Kabupaten Karawang sebagai lumbung padi Jawa Barat dan tentu akan berimbas langsung pada ketahanan pangan nasional. Alih fungsi lahan sawah di wilayah pesisir Karawang ini selain akibat dari bertambahnya penduduk juga diduga akibat dari semakin seringnya terjadi puso akibat cuaca dan hama ditambah dengan biaya produksi sawah yang semakin tinggi menjadikan nilai ekonomi sawah semakin kalah dengan penggunaan lahan lain terutama perikanan tambak. Permukiman merupakan salah satu penggunaan lahan yang meningkat luasannya di wilayah penelitian. Luasannya meningkat seluas 542 ha atau ±9% dari tahun 1994 ke 2012. Meningkatnya penduduk di wilayah pesisir mau tidak mau berpengaruh pada meningkatnya luasan penggunaan lahan untuk permukiman karena masih dianggap luasnya lahan sehingga penyebaran permukiman masih bersifat horizontal. Perikanan tambak merupakan salah satu primadona ekonomi di wilayah pesisir Kabupaten Karawang. Tambak udang sempat menjadi sangat maju tingkat produksinya di Kabupaten Karawang. Namun demikian, karena penyakit dan eksploitasi lahan pesisir yang terlalu berlebihan produksi udang semakin menurun dan menyebabkan kebangkrutan petambak pada akhir tahun1990-an. Kebangkitan petambak mulai terjadi terutama setelah dilakukan diversifikasi produk dari udang menjadi bandeng, mas dan produk perikanan lainnya sehingga nilai ekonomi penggunaan lahan tambak kembali meningkat. Hal tersebut menjelaskan peningkatan penggunaan lahan untuk tambak pada rentang waktu antara tahun 1994 dan 2012. Penggunaan lahan tambak luasannya meningkat lebih dari 800 ha atau sebesar 4.5%. Laut dan tubuh air (sungai dan rawa) tidak mengalami perubahan yang signifikan pada rentang tahun 1994 dan 2012. laut hanya mengalami penyusutan luas sebesar 0.8 hektar, hampir 0 persen dari luasannya, demikian juga tubuh air. Grafik yang memperlihatkan secara visual kenaikan dan penyusutan persentase luas penggunaan lahan disajikan pada Gambar 17. 31

32 45.0 40.0 35.0 30.0 25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 0.0 % 1994 % 2012 Gambar 17. Grafik persentase penggunaan lahan 1994 dan 2012 Perubahan Penggunaan Lahan 1994 dan 2012 Penyusutan dan penambahan luas penggunaan lahan yang terjadi antara tahun 1994 dan 2012 mengindikasikan terjadinya perubahan penggunaan atau alih fungsi lahan. Alih fungsi penggunaan lahan terluas yang terjadi antara tahun 1994 dan 2012 menimpa jenis penggunaan lahan sawah yaitu sebesar 1,194.38 ha sedangkan persentase perubahan lahan yang paling tinggi terjadi pada jenis penggunaan lahan Hutan mangrove yaitu sebesar 87.36 %. Informasi selengkapnya mengenai perubahan penggunaan lahan dan persentasenya antara tahun 1994 dan 2012 tersaji dalam Tabel 11 dan Tabel 12. Tabel 11. Matrik perubahan penggunaan lahan tahun 1994 dan 2012 Penggunaan lahan 1994 Penggunaan lahan 2012 kc lt rv pmk sw tb ta Jumlah ha ha ha ha ha ha ha ha kc 0.00 2.58 0.00 129.09 89.06 0.35 0.00 221.07 lt 0.00 0.00 55.02 1.58 0.00 394.29 1.29 452.18 rv 62.18 82.24 0.00 81.33 1.12 123.84 0.00 350.71 pmk 0.00 12.09 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 12.09 sw 0.00 0.00 0.00 329.41 0.00 862.79 2.18 1194.38 tb 9.25 352.38 103.99 12.83 90.83 0.00 0.00 569.28 ta 0.00 2.11 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2.11 Jumlah 71.43 451.39 159.01 554.23 181.01 1381.27 3.47 2801.82 Ket : kc=kebun campuran, lt=laut, rv=mangrove, pmk-permukiman, sw=sawah, tb=tambak, ta=tubuh air (sungai, rawa)

33 Tabel 12. Matrik persentase perubahan penggunaan lahan Penggunaan lahan 1994 Penggunaan lahan 2012 kc lt rv pmk sw tb ta Jumlah % % % % % % % % kc - 0.30-15.08 10.41 0.04-25.83 lt - - 0.10 - - 0.70 0.002 0.80 rv 15.49 20.49-20.26 0.28 30.85-87.36 pmk - 0.20 - - - - - 0.20 sw - - - 0.67-1.75 0.004 2.43 tb 0.05 2.00 0.59 0.07 0.51 - - 3.22 ta - 0.77 - - - - - 0.77 Ket : kc=kebun campuran, lt=laut, rv=mangrove, pmk-permukiman, sw=sawah, tb=tambak, ta=tubuh air (sungai, rawa) Kebun campuran mengalami alih fungsi lahan kedalam 4 jenis penggunaan lahan lainnya yaitu (1) laut, berhubungan dengan terjadinya abrasi; (2) permukiman yang merupakan pengambil alih fungsi kebun campuran yang terluas yaitu 129.09 ha; (3) sawah, seluas 89.06 ha; dan (4) tambak, sebagai pengambil alih fungsi lahan kebun campuran tersempit yaitu seluas 0.35 ha. Akresi (penambahan daratan) terjadi antara tahun 1994 dan 2012, dimana daratan baru tersebut dimanfaatkan sebagai lahan (1) hutan mangrove, seluas 55.02 ha, hal ini erat hubungannya dengan kegiatan penanaman hutan mangrove yang dilakukan berbagai instansi dan organisasi lingkungan hidup di Kabupaten Karawang dalam rangka upaya pembentukan kembali green belt, (2) permukiman, seluas 1.58 ha, (3) tambak, pemanfaatan yang paling luas dilakukan pada lahan akresi yaitu mencapai lebih dari 394.29 ha, dan (4) tubuh air, akresi yang terjadi di area muara sungai akan segera membentuk bentuk lahan muara yang baru. Pembukaan lahan hutan mangrove yang dilakukan antara tahun 1994 dan 2012 untuk dimanfaatkan menjadi penggunaan lahan lain mencapai hampir 90%. Penggunaan lahan itu antara lain (1) kebun campuran, hal ini terjadi di hutan bakau (hutan mangrove) yang tidak lagi tergenang air sehingga masyarakat memanfaatkannya menjadi kebun campuran seluas 62.18 ha, (2) laut, abrasi telah menghilangkan 82.24 ha lahan hutan mangrove menjadi laut, (3) permukiman, terdapat 81.33 ha lahan hutan mangrove yang dibuka untuk permukiman, (4) sawah, seluas 1.12 ha, dan (5) tambak, merupakan penyebab utama banyak dibukanya hutan mangrove di pesisir Kabupaten Karawang selama ini, sehingga dalam kurun 1994 dan 2012 pembukaan hutan mangrove untuk tambak masih merupakan yang terluas yaitu seluas 123.84 ha. Permukiman merupakan penggunaan lahan yang hampir tidak mengalami perubahan fungsi lahan dari tahun 1994. Perubahan yang terjadipun tidaklah disengaja, melainkan karena abrasi yang menjadikan lahan permukiman seluas 12.09 ha berubah menjadi laut. Alih fungsi lahan sawah di wilayah penelitian yaitu menjadi (1) permukiman, semakin bertambahnya penduduk menjadikan lahan sawah diubah menjadi permukiman seluas 329.41 ha, (2) tambak, meningkatnya minat masyarakat terhadap usaha tambak menjadikan alih fungsi

34 lahan sawah menjadi tambak terjadi seluas 862.79 ha, dan (3) tubuh air, terdapat area lahan pesawahan yang karena berada di daerah rawa apabila musim hujan maka berubah menjadi tubuh air seluas 2.18 ha. Pada tahun 1994, terdapat 569.28 ha luas tambak yang beralih fungsi menjadi penggunaan lahan lain, terutama lahan tambak udang yang bangkrut akibat penyakit yang ditinggalkan oleh pengelolanya. Tambak terbengkalai tersebut sebagian dimanfaatkan oleh masyarakat ataupun pengelolanya menjadi tambak kembali ataupun mengalami alih fungsi menjadi jenis penggunaan lahan yang lain, yaitu (1) kebun campuran, seluas 9.25 ha, (2) permukiman, seluas 12.83 ha, dan (3) sawah, seluas 90.83 ha. Selain itu terdapat juga tambak yang dihijaukan kembali dengan ditanami hutan mangrove seluas 103.99 ha. Namun alih fungsi yang terluas yang terjadi pada tambak adalah diakibatkan oleh abrasi yaitu seluas 352.38 ha tambak berubah menjadi laut dengan penyebab utamanya adalah tidak adanya green belt yang melindungi tambak-tambak tersebut dari gerusan arus dan ombak laut. Gambar 18. Peta perubahan penggunaan lahan 1994 dan 2012 Gambar 18 memperlihatkan bagian barat wilayah penelitian yaitu di Kecamatan Pakisjaya, Batujaya, Tirtajaya dan Cibuaya terjadi perubahan penggunaan lahan yang paling dominan yaitu penggunaan lahan sawah menjadi tambak. Usaha tambak dikecamatan-kecamatan tersebut memang paling banyak dan paling luas dibandingkan dengan kecamatan yang lain, bahkan beberapa tempat di kecamatan-kecamatan tersebut diberi nama tambak, seperti desa Tambaksari dan Tambaksumur yang menunjukkan dominannya area tambak di wilayah tersebut. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi di wilayah timur daerah penelitian yaitu Kecamatan Tempuran, Cilamaya Kulon dan Cilamaya Wetan justru banyak terjadi dari berbagai penggunaan lahan menjadi permukiman. Wilayah ini memang merupakan wilayah dengan jumlah penduduk yang relatif

35 lebih banyak dibandingkan dengan wilayah lain sehingga kehidupannya lebih dinamis dan memicu pertambahan penduduk yang lebih tinggi. Abrasi dan Akresi Pembahasan mengenai perubahan penggunaan lahan di wilayah pesisir tentu tidak lepas dari proses fisik yang terjadi di lautan. Kekuatan ombak dan arus laut sangat berpengaruh pada garis pantai, terutama apabila daratan yang berbatasan dengan laut tersebut merupakan pantai dengan berbahan dasar lembut seperti lumpur atau lumpur berpasir yang mudah berpindah. Pantai dengan dasar tersebut biasanya ditumbuhi vegetasi mangrove (Woodroffe 1992) yang membantu menjaga kestabilan sedimen (Thampanya et al. 2006). Jika sedimen/tanah daratan pantai tidak stabil maka dengan mudah akan terbawa arus dan ombak sehingga berpindah ke tempat lain. Kejadian tersebut mengakibatkan kondisi yang disebut abrasi (erosi pesisir) dan akresi (sedimentasi pesisir/penambahan daratan). Kondisi abrasi dan akresi secara nyata terjadi di wilayah pesisir Kabupaten Karawang. Pemberitaan mengenai kerugian akibat abrasi dan akresi sudah sering terdengar. Permukiman, infrastruktur, lahan usaha tambak dan lainnya tergerus menjadi lautan sehingga kerugian yang dialami masyarakat sudah sangat memprihatinkan. Secara visual sebenarnya akan lebih mudah mengetahui kondisi abrasi dan akresi ini melalui penginderaan jauh, seperti yang terjadi antara tahun 1994 dan 2012 yang disajikan pada Gambar 19. Tabel 13. Luas abrasi dan akresi tahun 1994 dan 2012 per kecamatan Kecamatan Kondisi Abrasi (ha) Akresi (ha) Pakisjaya 69.28 8.90 Batujaya 0.00 24.50 tirtajaya 60.72 70.97 Cibuaya 162.10 23.50 Pedes 12.48 12.80 Cilebar 85.24 93.17 Tempuran 15.35 64.84 Cilamaya kulon 18.71 1.32 Cilamaya wetan 27.52 152.20 Abrasi dan akresi yang terjadi sedikit merubah panjang garis pantai wilayah pesisir Karawang, dari panjang 78.16 km pada tahun 1994 menjadi 78.35 km di tahun 2012 yang berarti memendek sepanjang 186 meter. Tabel 13 menginformasikan, pada kurun waktu tahun 1994 dan 2012 abrasi terparah terjadi di Kecamatan Cibuaya yakni seluas 162 hektar. Sedangkan akresi atau penambahan daratan paling luas terjadi di Kecamatan Cilamaya wetan. Kecamatan Cilebar merupakan kecamatan dengan wilayah pesisir paling labil dimana akresi dan abrasi di kecamatan tersebut terjadi cukup luas.

36 1 2 Legenda 2012 1994 3 4 1. Pakis 2. Cibuaya 3. Cilebar darat darat darat laut 1994 1994 1994 laut laut laut darat 2012 2012 2012 laut darat darat laut 4. Cilamaya Wetan 1994 Gambar 19. Garis pantai tahun 1994 dan 2012 2012

37 Gambar 20. Kondisi abrasi dan akresi di sekitar bangunan break water Perpindahan sedimen yang mengakibatkan terjadinya akresi dan abrasi juga dapat disebabkan oleh kegiatan anthropogenik (manusia sebagai penyebab) seperti penebangan hutan, penghijauan, dan konstruksi perairan seperti dam, jetty dan pemecah gelombang (Hogart 2001). Hal inilah yang terindikasi menjadi penyebab terjadinya akresi dan abrasi di Kecamatan Cilebar, yang diketahui melalui hasil interpretasi citra Landsat TM 7 dengan dibantu citra Ikonos seperti yang tarlihat pada Gambar 20. Gambar tersebut mengindikasikan terjadinya abrasi dan akresi akibat adanya bangunan pemecah gelombang (break water) yang menjorok ke laut. Hasil pengecekan lapangan membuktikan keberadaan pemecah gelombang tersebut berada di antara wilayah yang terkena abrasi dan akresi. Daerah disebelah barat pemecah gelombang mengalami abrasi sedangkan daerah sebelah timur mengalami akresi. Hasil pengolahan peta menunjukkan daerah yang mengalami abrasi daratannya terkikis ±200 meter ke arah darat antara tahun 1994 dan 2012, sebaliknya di daerah yang mengalami akresi terjadi penambahan daratan sepanjang ±200 meter ke arah laut. Pembangunan pemecah gelombang dan bangunan-bangunan laut lainnya di wilayah pesisir yang tidak memperhitungkan aspek oseanografi terbukti telah berpengaruh langsung pada kondisi fisik dari lahan pesisir. Jika kestabilan lahan yang diinginkan untuk konsep perencanaan penggunaan lahan tentu bangunan laut yang menyebabkan abrasi maupun akresi ini cukup merugikan. Secara keseluruhan luas abrasi dan akresi yang terjadi di wilayah penelitian hampir seimbang yaitu masing-masing 451.4 ha dan 452.2 ha. Lahan terluas yang mengalami abrasi adalah lahan tambak yaitu seluas 352.4 ha. lahan baru akibat terjadinya akresi sebagian besar juga dimanfaatkan menjadi tambak.

38 Tabel 14. Luas abrasi dan akresi per penggunaan lahan Abrasi (ha) kebun campuran 2.6 Hutan mangrove 82.2 Permukiman 12.1 laut 451.4 Tambak 352.4 tubuh air 2.1 Akresi (ha) Hutan mangrove 55.0 Laut 452.2 permukiman 1.6 tambak 394.3 tubuh air 1.3 Lahan permukiman yang tergusur oleh terjadinya abrasi seluas 12.1 ha. Banyaknya permukiman yang didirikan tepat dipinggir pantai membuat resiko kerugian akibat abrasi semakin tinggi. Sementara itu terjadinya akresi memicu konflik perebutan lahan baru. Aturan pemerintah mengenai sempadan pantai masih belum terimplementasi di lapangan sehingga lahan yang berbatasan langsung dengan laut masih banyak yang dimiliki oleh masyarakat dan dimanfaatkan sebagai lahan budidaya. Dampak dari pemanfaatan zona pantai sebagai wilayah permukiman dan budidaya menjadikan kerugian dari terjadinya abrasi dan akresi masih sulit teratasi. Informasi selengkapnya mengenai luas abrasi dan akresi yang terjadi per-penggunaan lahan di wilayah penelitian dalam rentang waktu tahun 1994 dan 2012 disajikan pada Tabel 14. Inkonsistensi Penggunaan Lahan Pesisir Tahun 2012 dengan RTRW Peta penggunaan lahan wilayah pesisir Kabupaten Karawang tahun 2012 dibandingkan dengan peta RTRW pesisir Kabupaten Karawang untuk mengetahui inkonsistensi yang terjadi pada peruntukan penggunaan lahan oleh RTRW dan kondisi penggunaan lahan sesungguhnya (aktual). Setelah dibandingkan, ternyata terlihat adanya inkonsistensi pada beberapa peruntukkan lahan dengan luasan yang diinformasikan oleh Tabel 15. Tabel 15 memperlihatkan, selain digunakan untuk sawah (80%), area pertanian lahan basah pada aktualnya juga digunakan sebagai hutan mangrove (0.05%), permukiman (11%), kebun campuran (1.1%) tubuh air (0.02%) dan tambak (7.92%). Hal ini menunjukkan bahwa meskipun konsistensi masih tinggi namun penggunaan lahan untuk permukiman di kawasan pertanian sudah mulai meluas. Area yang diperuntukkan sebagai Kawasan Lindung Hutan Mangrove yang berada di wilayah Kecamatan Pakisjaya, Batujaya, Tirtajaya dan Cibuaya, hanya 0.8 % yang masih sesuai dengan aktual, selebihnya digunakan untuk penggunaan lahan yang lain terutama tambak. Hal ini sangat memprihatinkan khususnya jika dilihat dari sisi lingkungan, karena Hutan mangrove merupakan ekosistem penunjang kehidupan yang sangat penting di wilayah pesisir beriklim tropis.

39 Tabel 15. Inkonsistensi RTRW dengan penggunaan lahan aktual LU 2012 Perairan Laut Pertanian lahan basah Rencana Tata Ruang Wilayah Pesisir Karawang Kawasan Lindung Hutan mangrove Perumahan pedesaan sungai dan danau tambak ha % ha % ha % ha % ha % ha % ha Jumlah lt 56,672 100.00 - - - - - - - - - - 56,672 sw - - 42,404 79.91 104 1.19 2,071 86.68 - - 3,633 36.43 48,211 rv - - 26 0.05 70 0.80 - - - - 114 1.14 210 pkm - - 5,840 11.00 60 0.69 250 10.47 - - 368 3.69 6,518 kc - - 585 1.10 74 0.85 - - - - 47 0.47 706 ta - - 12 0.02 - - - - 265 100.00 - - 277 tb - - 4202 7.92 8,384 96.46 68 2.85 - - 5,811 58.27 18,465 Jumlah 56,672 100.00 53,068 100.00 8,692 100.00 2,389 100.00 265 100.00 9,973 100.00 131,059 Inkonsistensi lahan yang diperuntukkan bagi perumahan pedesaan cukup tinggi. 86.68 % kawasan tesebut masih dipergunakan untuk sawah dan 2.85% untuk tambak. Hal ini menandakan wilayah pesisir kabupaten Karawang masih memberikan ruang bagi pertambahan penduduk. Lebih dari 50% kawasan tambak konsisten dengan aktual penggunaannya. Namun demikian penggunaan kawasan ini untuk sawah cukup tinggi yaitu sebesar 36.43% dari kawasannya. Sisanya pada aktual digunakan untuk permukiman, kebun campuran dan hutan mangrove. Secara keseluruhan inkonsistensi penggunaan lahan aktual tahun 2012 terhadap RTRW pesisir kabupaten Karawang terjadi sebesar 19.5%, hal ini berarti lebih dari 80% keseluruhan luas area wilayah pesisir Kabupaten Karawang, penggunaan lahannya masih sesuai dengan peruntukkannya dalam RTRW pesisir. Nilai tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah masih konsisten terhadap RTRW. Analisis Penggunaan Lahan Sesuai Secara Fisik. Penggunaan Lahan Sesuai Secara Fisik Kesesuaian lahan merupakan salah satu faktor yang dapat berpengaruh pada perubahan penggunaan lahan (Eastman 2003). Berdasarkan data atribut yang dianalisis dari peta land system yang dikeluarkan oleh Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), lahan wilayah pesisir dapat dikelompokan menjadi beberapa satuan lahan, dengan masing masing satuan lahan memiliki kondisi fisik lahan yang sama dan sesuai terhadap satu atau beberapa penggunaan lahan. Secara geografis satuan lahan tersebut diperlihatkan pada Gambar 21. Data-data atribut peta yang terdiri dari landform, taksonomi tanah, litologi, lereng dan iklim, membagi peta menjadi 3 (tiga) satuan lahan dengan kesesuaian fisik penggunaan lahan yang berbeda yaitu (1) Hutan mangrove; (2) Permukiman, Kebun Campuran dan Hutan mangrove; dan (3) Sawah, Kebun Campuran, Permukiman dan Hutan mangrove. Tambak tidak termasuk sebagai penggunaan lahan yang sesuai pada satuan lahan 1, karena walaupun kondisi fisik satuan lahan

40 tersebut sepertinya mendukung, namun ada satu pembatas yang membuat penggunaan lahan untuk tambak tidak sesuai dilakukan pada satuan lahan tersebut. Faktor pembatas itu adalah jenis tanah Sulfaquent yang merupakan tanah dengan bahan sulfidik pada kedalaman kurang dari 50 cm (Hardjowigeno 2003). Penggalian kolam tambak pada kondisi tanah tersebut dikhawatirkan akan membuat terpaparnya bahan sulfidik yaitu pirit (FeS 2 ) ke udara sehingga memicu terjadinya proses oksidasi dan membentuk asam sulfat dan jarosit yang merupakan zat beracun bagi tumbuhan. Gambar 21. Peta Kesesuaian Fisik Lahan (sumber : Peta land system) Peta kesesuaian fisik lahan di wilayah penelitian kemudian diekstraksi menjadi 12 komposisi penggunaan/penutupan lahan berdasarkan kesesuaian fisik lahan. Ke-12 komposisi ini selanjutnya digunakan sebagai 12 alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai, dimana tiap satuan lahannya hanya memiliki satu penggunaan lahan dan ditambah dengan satuan lahan untuk tubuh air (sungai dan rawa) dan laut. Alternatif Komposisi Penggunaan Lahan Sesuai Secara Fisik Pada penelitian ini terdapat lima satuan lahan dalam tiap alternatif Penggunaan Lahan Sesuai yang dihasilkan dari ekstraksi peta kesesuaian fisik lahan berdasarkan peta land system dimana tiga diantaranya terdiri dari kombinasi penggunaan lahan yang sesuai berdasarkan peta kesesuaian fisik lahan, sedangkan dua lainnya adalah satuan lahan yang ditambahkan berdasarkan penutupan lahan aktual yaitu tubuh air yang merupakan perairan darat (sungai dan rawa) dan laut. Komposisi penggunaan lahan berdasarkan kesesuaian fisik dalam tiap alternatif disajikan dalam Tabel 16.

41 Tabel 16. Alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai Alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai kesesuaian penggunaan lahan 1 2 3 4 5 6 Hutan mangrove Hutan mangrove Hutan mangrove Hutan mangrove Hutan mangrove Hutan mangrove Hutan mangrove Permukiman, kebun campuran dan Permukiman Kebun Campuran Hutan mangrove Permukiman Kebun Campuran Hutan mangrove Hutan mangrove sawah, kebun campuran, permukiman Sawah Sawah Sawah kebun Campuran kebun Campuran kebun Campuran dan Hutan mangrove Tubuh Air (sungai, rawa) Tubuh Air Tubuh Air Tubuh Air Tubuh Air Tubuh Air Tubuh Air Laut Laut Laut Laut Laut Laut Laut Kappa dengan land use aktual 2012 0.8557* 0.8511 0.8499 0.627 0.6227 0.6216 Lanjutan Tabel 16. kesesuaian penggunaan lahan Alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai 7 8 9 10 11 12 Hutan mangrove Hutan mangrove Hutan mangrove Hutan mangrove Hutan mangrove Hutan mangrove Hutan mangrove Permukiman, kebun campuran dan Permukiman Kebun Campuran Hutan mangrove Permukiman Kebun Campuran Hutan mangrove Hutan mangrove sawah, kebun campuran, permukiman Permukiman Permukiman Permukiman Hutan mangrove Hutan mangrove Hutan mangrove dan Hutan mangrove Tubuh Air (sungai, rawa) Tubuh Air Tubuh Air Tubuh Air Tubuh Air Tubuh Air Tubuh Air Laut Laut Laut Laut Laut Laut Laut Kappa dengan land use aktual 2012 0.6495 0.6452 0.6441 0.6253 0.621 0.6199 * Alternatif yang memiliki nilai kappa untuk kompabilitas dengan kondisi aktual tahun 2012 tertinggi. 41

42 Berdasarkan kompatibilitas dengan kondisi penggunaan/penutupan lahan aktual tahun 2012, alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai 1 memiliki nilai kappa yang tertinggi yaitu 0.8557. Nilai kappa tersebut menentukan alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai 1 sebagai alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai yang akan digunakan sebagai input kesesuaian (suitability) dalam proses validasi model prediksi penggunaan lahan. Sebaran geografis jenis penggunaan/penutupan lahan pada alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai 1 tersaji dalam Gambar 22. Gambar 22. Peta alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai 1 Secara visual terlihat bahwa alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai 1 memang merupakan alternatif yang komposisi jenis penggunaan/penutupan lahannya paling kompatibel dengan kondisi aktual tahun 2012. Seperti pada kondisi aktual, sawah mendominasi bagian selatan wilayah penelitian dengan area permukiman berada di tengah bagian timur. Sehingga wajar jika nilai kappa yang dihasilkan paling tinggi.

43 Model Prediksi Perubahan Penggunaan Lahan Konversi Vektor ke Raster Interpretasi penggunaan lahan dan hasil Analisis penggunaan lahan sesuai secara fisik pada pembahasan sebelumnya, semuanya menghasilkan peta berbasis data vektor. Kedua hasil analisis tersebut selanjutnya akan digunakan sebagai data spasial input pemodelan. Sementara itu, pemodelan dengan pendekatan CA- Markov dijalankan dengan input yang mengharuskan data berbasis raster, oleh karenanya konversi bentuk data vektor ke bentuk data raster mutlak diperlukan. Konversi vektor ke raster dilakukan pada ukuran raster 30 x 30 selain karena sumber data hasil interpretasi adalah citra Landsat TM 7, juga karena konversi data vektor ke ukuran raster 30 x 30 telah terbukti lebih efektif dan efisien (Munibah 2008). Tabel 17 menunjukkan bahwa perbedaan luasan data vektor dan data raster pada seluruh file yang dikonversi sama sekali tidak signifikan. Hal ini menunjukkan data raster yang dihasilkan dapat mewakili data vektornya sehingga tidak akan menyebabkan bias data yang fatal ketika digunakan pada proses simulasi model prediksi dengan pendekatan CA-Markov. Tabel 17. Perubahan luasan data vektor dan raster Penggunaan lahan aktual 1994 aktual 2012 vektor raster % vektor raster % Laut 56,673 56,673 100 56,672 56,670 100 Sawah 49,225 49,226 100 48,211 48,214 100 Hutan mangrove 401 401 100 210 213 99 Permukiman 5,976 5,973 100 6,518 6,516 100 Kebun Campuran 856 858 100 706 709 100 Tubuh Air (sungai,rawa) 275 278 99 277 280 99 Tambak 17,653 17,650 100 18,465 18,459 100 Rata2 131,059 131,059 99.8 131,059 131,061 99.6 Matriks Probabilitas dan Area Transisi (Markov Chain). Matriks probabilitas dan area transisi yang dihasilkan dengan menjalankan modul Markov dalam piranti Idrisi, merupakan salah satu input untuk pemodelan dengan pendekatan CA-Markov, selain dari penggunaan lahan tahun awal dan kesesuaian lahan. Pada modul ini, dilihat pola perubahan penggunaan lahan pada tahun 1994 (sebagai tahun awal) sampai tahun 2012. Proses ini menghasilkan matrik probabilitas dan area transisi seperti yang disajikan pada Tabel 18 dan Tabel 19. Matrik yang dihasilkan modul Markov ini merupakan faktor sejarah pola perubahan penggunaan yang terjadi antara tahun 1994 dan 2012 tahun dengan rentang waktu 18 tahun. Pemodelan untuk memprediksi penggunaan lahan dengan pendekatan CA-Markov mengasumsikan perubahan penggunaan lahan yang akan terjadi dalam rentang tertentu di waktu yang akan datang diduga sedikit banyak dipengaruhi oleh pola perubahan penggunaan lahan yang telah terjadi dalam rentang waktu yang sama ke belakang.

44 Tabel 18. Matrik probabilitas penggunaan lahan tahun 1994 dan 2012 Tahun 2012 Kelas 1 : lt 2 :sw 3 : rv 4 : pm 5 : kc 6 : ta 7 : tb 1 : lt 0.9920 0.0000 0.0010 0.0000 0.0000 0.0000 0.0070 2 :sw 0.0000 0.9758 0.0000 0.0067 0.0000 0.0000 0.0175 3 : rv 0.2034 0.0025 0.1303 0.2040 0.1536 0.0000 0.3063 1994 4 : pmk 0.0020 0.0000 0.0000 0.9980 0.0000 0.0000 0.0000 5 : kc 0.0028 0.1032 0.0000 0.1499 0.7436 0.0000 0.0005 6 : ta 0.0081 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.9919 0.0000 7 : tb 0.0199 0.0051 0.0059 0.0007 0.0005 0.0000 0.9678 Ket : kc=kebun campuran, lt=laut, rv=mangrove, pmk-permukiman, sw=sawah, tb=tambak, ta=tubuh air (sungai, rawa) Tabel 19. Matrik transition area penggunaan lahan tahun 1994 dan 2012 Tahun jumlah sel 2012 Jumlah sel 1994 Kelas 1 : lt 2 :sw 3 : rv 4 : pm 5 : kc 6 : ta 7 : tb 1 : lt 624632 0 617 18 0 17 4378 2 :sw 0 522732 0 3587 0 24 9366 3 : rv 481 6 308 482 363 0 724 4 : pmk 143 0 0 72261 0 0 0 5 : kc 22 813 0 1181 5858 0 4 6 : ta 25 0 0 0 0 3084 0 7 : tb 4086 1049 1218 151 106 0 198494 Ket : kc=kebun campuran, lt=laut, rv=mangrove, pmk-permukiman, sw=sawah, tb=tambak, ta=tubuh air (sungai, rawa) Angka-angka matrik pada tabel sebelumnya, menunjukan peluang dari suatu kelas penggunaan lahan akan berubah menjadi penggunaan lahan lain. Nilai yang mendekati satu menunjukan semakin tingginya peluang suatu penggunaan lahan untuk berubah menjadi penggunaan lahan pasangan kolom atau barisnya. Matrik transition area merupakan salah satu input yang akan digunakan untuk menjalankan modul CA-Markov untuk memprediksi penggunaan lahan pada rentang 18 tahun ke depan. Hasil matrik probabilitas pada Tabel 18 dan 19 menunjukkan bahwa laut, permukiman dan tubuh air merupakan kelas penggunaan lahan yang paling stabil dan sangat kecil peluangnya untuk berubah. Sawah juga secara keseluruhan persen peluang perubahannya sangat kecil. Namun jika dilihat dari jumlah piksel, sawah memiliki peluang cukup luas untuk berubah menjadi permukiman dan tambak. Kebun campuran cukup berpeluang untuk berubah menjadi sawah dan permukiman. Sementara itu kelas penggunaan lahan yang paling rentan perubahan adalah hutan mangrove.

45 Sejak menjamur dan meningkatnya usaha pertambakan di wilayah pesisi Kabupaten Karawang, pembukaan lahan Hutan mangrove untuk kepentingan pertambakan sering dilakukan, oleh karenanya luas lahan Hutan mangrove semakin sempit. Hal ini belum termasuk penebangan pohon-pohon Hutan mangrove untuk dijadikan material bangunan dan bahan bakar. Kondisi ini terlihat dalam perbandingan luas Hutan mangrove pada tahun 1994 dan 2012 dimana Hutan mangrove merupakan jenis penggunaan/penutupan lahan yang trend penurunannya terlihat paling signifikan. Pembobotan Input Kesesuaian Lahan Nilai kappa kompatibilitas alternatif-alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai terhadap aktual penggunaan lahan 2012 yang telah dilakukan pada pembahasan sebelumnya, telah menentukan alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai 1 sebagai input kesesuaian dalam simulasi prediksi penggunaan lahan tahun 2012 untuk validasi model. Peta alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai 1 ini kemudian difungsikan sebagai referensi dalam pengalokasian suatu lahan (Munibah 2008). Tiap satuan penggunaan lahan dipecah kedalam peta pembobotan kesesuaian lahan. Jumlah tipe penggunaan lahan yang dibuat peta pembobotannya disesuaikan dengan jumlah tipe penggunaan lahan aktual tahun 2012. Gambar 23. Pembobotan kesesuaian lahan dalam piranti lunak Idrisi Tiap peta pembobotan kesesuaian lahan memiliki satuan lahan yang di kelaskan kedalam 2 kelas yaitu sesuai (S) yang diberi bobot 2 dan tidak sesuai (N) yang diberi bobot (1). Peta-peta pembobotan kesesuaian lahan tersebut kemudian digabungkan menjadi satu file dengan ekstensi raster group file (.rgf) dalam modul collection editor untuk dapat dijadikan input dalam modul CA-Markov

46 pada piranti Idrisi. Peta-peta pembobotan kesesuaian lahan dari alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai 1 secara visual disajikan pada Gambar 23. Validasi Model Validasi dilakukan dengan menjalankan simulasi celullar automata- Markov (CA-Markov) menggunakan input yang telah dipersispkan pada pembahasan sebelumnya yaitu matriks transition area, kesesuaian lahan dan penggunaan lahan tahun 1994 sebagai tahun dasar. Filter yang digunakan untuk simulasi ini adalah filter 5 x 5 yang merupakan penterjemah dari konsep ketetanggaan. Hasil simulasi tersebut adalah peta prediksi 2012. Validasi dilakukan dalam beberapa jumlah iterasi sehingga menghasilkan beberapa peta prediksi. Tiap peta prediksi tahun 2012 yang dihasilkan kemudian dibandingkan dengan penggunaan lahan 2012 aktual untuk mendapatkan peta prediksi dengan nilai kappa tertinggi pada jumlah iterasi yang paling efisien. Pada penelitian ini jumlah iterasi dilakukan dari mulai 3 hingga 15. Nilai kappa bergerak naik pada iterasi 5 lalu stabil hingga iterasi 10. Nilai kappa menurun pada iterasi 12 dan selanjutnya tidak bergerak naik kembali. Secara visual, grafik nilai kappa validasi disajikan pada Gambar 24. Gambar 24. Grafik nilai kappa pada tiap iterasi Gambar 24 menunjukkan break of slope (perubahan yang nyata) dari nilai kappa yang dihasilkan (Munibah 2008), terjadi pada jumlah iterasi 5, 7 dan 10 dengan nilai kappa yang menunjukkan kompatibilitas antara penggunaan lahan 2012 hasil prediksi dan penggunaan lahan 2012 aktual sebesar 0.9816. Semakin banyak jumlah iterasi maka waktu yang dibutuhkan dalam menjalankan simulasi semakin lama. Oleh karena itu, pertimbangan waktu iterasi digunakan untuk memilih iterasi 5 sebagai iterasi yang paling efisien diantara jumlah iterasi lain dengan nilai kappa tertinggi untuk ditentukan sebagai jumlah iterasi yang akan digunakan dalam model prediksi.

47 Prediksi Perubahan Lahan Tahun 2030 Hasil validasi dengan nilai kappa 0.9816 menunjukkan modul Celullar Automata (CA)-Markov dalam piranti lunak Idrisi 32 dapat digunakan untuk membangun model prediksi penggunaan lahan masa depan. Modul Markov pada penelitian ini menggunakan penggunaan/penutupan lahan tahun 1994 dan 2012 sebagai input dengan rentang waktu 18 tahun, sehingga prediksi yang dapat dilakukan dengan tahun dasar 2012 adalah untuk penggunaan lahan tahun 2030. Tabel 20. Nilai kappa tiap skenario Skenario Prediksi Penggunaan Lahan tahun 2030 Nilai Overall Kappa Skenario1 0.8600 Skenario2 0.8597 Skenario3 0.8597 Skenario4 0.8601 Skenario5 0.8597 Skenario6 0.8598 Skenario7 0.8597 Skenario8 0.8596 Skenario9 0.8597 Skenario10 0.8600 Skenario11 0.8596 Skenario12 0.8596 Alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai yang berjumlah 12 alternatif, masing-masing kemudian dibuat file dengan ekstensi raster group file (.rgf) untuk dijadikan input kesesuaian (suitability) dalam model prediksi penggunaan lahan untuk tahun 2030. Input lainnya adalah penggunaan lahan tahun 2012 sebagai tahun dasar dan matriks transition area hasil modul Markov. Model prediksi dengan pendekatan CA-Markov tersebut kemudian dijalankan dengan filter 5x5 sehingga menghasilkan 12 skenario prediksi penggunaan lahan tahun 2030. Skenario-skenario tersebut kemudian dibandingkan dengan peta RTRW Pesisir Kabupaten Karawang untuk dicari skenario mana yang paling kompatibel dengan Peta RTRW. Hasilnya disajikan pada Tabel 20. Skenario 4 merupakan skenario prediksi penggunaan lahan tahun 2030 yang memiliki kompatibilitas tertinggi terhadap peta RTRW pesisir Kabupaten Karawang. hal ini ditunjukkan dengan nilai kappa tertinggi dibandingkan skenario yang lain yaitu sebesar 0.8601. Kompatibilitas penggunaan lahan hutan mangrove pada skenario prediksi 4 terhadap peta RTRW lebih tinggi dibandingkan skenario prediksi yang lain. Hal ini menjadi penyebab menonjolnya nilai kappa skenario prediksi 4. Nilai kappa yang tertinggi dari skenario prediksi 4 selanjutnya menjadikan skenario ini sebagai Peta Prediksi Penggunaan Lahan Potensial Tahun 2030. Secara spasial peta tersebut disajikan pada Gambar 25.

48 PL 2030 Gambar 25. Peta prediksi penggunaan lahan potensial tahun 2030. Tabel 21. Perbandingan luas penggunaan lahan 2012 dan hasil prediksi 2030 PL 2012 kc lt rv pmk sw tb ta Jumlah ha % ha % ha % ha % ha % ha % ha % ha % kc 528 74.5 1 0.001 31 14.4 - - - - 10 0.05 0.1 0.03 570 0.43 lt 1 0.19 56,579 99.8 2 1.14 11 0.16 - - 51 0.28 1 0.29 56,645 43.2 rv - - 12 0.02 124 58.1-0 - - 58 0.31 - - 193 0.15 pmk 108 15.2 - - 39 18.2 6,506 99.8 321 0.67 17 0.09 - - 6,991 5.33 sw 71 10 - - 1 0.42 - - 47,139 97.77 3 0.02 - - 47,214 36 tb 0.3 0.04 78 0.14 16 7.74 - - 752 1.56 18,320 99.3 - - 19,167 14.6 ta - - - - - - - - 2 0.005 - - 279 99.7 281 0.21 Jumlah 709 100 56,670 100 213 100 6,516 100 48,214 100 18,459 100 280 100 131,061 100 Ket : kc=kebun campuran, lt=laut, rv=mangrove, pmk-permukiman, sw=sawah, tb=tambak, ta=tubuh air (sungai, rawa) Tabel 21 memperlihatkan bahwa perubahan luas dari tahun 2012 ke tahun 2030 yang terprediksikan terjadi pada seluruh penggunaan lahan kecuali tubuh air (sungai dan rawa) yang relatif stabil. Jenis penggunaan lahan yang mengalami peningkatan adalah permukiman dan tambak, sedangkan yang lainnya luas penggunaan lahannya menurun. Abrasi dan akresi diprediksi masih signifikan terjadi pada tahun 2030. Tabel 21 juga memperlihatkan bahwa jenis penggunaan lahan yang mengalami perubahan yang terluas antara tahun 2012 dan 2030 diprediksikan

49 terjadi pada penggunaan lahan untuk sawah yang berubah menjadi tambak dan permukiman. Hal ini dimungkinkan karena jumlah penduduk di wilayah pesisir tentu akan meningkat seiring kegiatan ekonomi yang juga terus meningkat terutama di bidang perikanan tambak, sehingga kebutuhan ruang untuk tambak dan permukiman juga akan meningkat. Perubahan penggunaan lahan diprediksi banyak terjadi di wilayah Cilamaya Kulon, Tempuran dan Cilamaya Wetan. Ketiga kecamatan tersebut merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk terpadat dibandingkan kecamatan yang lain. Perubahan sawah menjadi tambak tejadi hampir di seluruh wilayah perbatasan kedua penggunaan lahan tersebut. Secara spasial prediksi perubahan lahan disajikan pada Gambar 26. Gambar 26. Peta prediksi perubahan penggunaan lahan tahun 2012-2030. Arahan Kebijakan yang Mendukung RTRW Pesisir Kabupaten Karawang. Inkonsistensi Hasil Prediksi dengan RTRW Peta prediksi penggunaan lahan potensial tahun 2030 dapat dijadikan pertimbangan dalam menentukan arahan kebijakan apa saja yang dapat diusulkan untuk diberlakukan dalam rangka mendukung RTRW pesisir Kabupaten Karawang. Terlebih dahulu harus dilihat konsistensi dari implementasi pola ruang RTRW pada prediksi penggunaan lahan tahun 2030 dengan membandingkan secara spasial peta RTRW pesisir dengan Peta prediksi penggunaan lahan potensial tahun 2030. Perbandingan tersebut menghasilkan nilai kappa 0.8601

50 dengan inkonsistensi sebesar 19.8%. Hal ini berdasarkan standar penilaian kappa menurut Jensen (1996) masih dapat diterima. Artinya peta prediksi penggunaan lahan potensial tahun 2030 tersebut secara alami dan tanpa adanya arahan kebijakan khusus masih konsisten dengan peta RTRW pesisir Kabupaten Karawang. Tabel 22, memberi informasi yang cukup mengenai inkonsistensi yang terjadi pada tiap jenis penggunaan lahan. Pada kondisi aktual laut, meskipun masih terjadi akresi dan abrasi, namun perairan laut masih memiliki konsistensi yang tinggi. Pertanian lahan basah (sawah) juga memiliki konsistensi yang cukup dengan 78.81% peruntukan lahan basah masih digunakan sebagai sawah pada tahun 2030. Walaupun demikian, pada tahun 2030 diprediksikan lahan yang diperuntukkan untuk pertanian lahan basah masih banyak yang dimanfaatkan untuk permukiman dengan area yang cukup luas yaitu 6,243.85 hektar. Perencanaan lahan ruang untuk kawasan lindung Hutan mangrove adalah yang paling memprihatinkandengan hanya 1.05% saja yang sesuai. Pada tahun 2030 diprediksikan 96.86% dari lahan yang diperuntukkan untuk hutan mangrove, aktualnya dimanfaatkan untuk pertambakan. Minat masyarakat pada usaha perikanan tambak yang cukup tinggi menjadikan masyarakat mengabaikan sisi ekologi lingkungan. Hutan mangrove yang sebenarnya sangat bernilai dan memiliki jasa lingkungan yang tinggi, tidak terlalu diperhatikan oleh masyarakat keberadaannya. Akresi dan abrasi juga diprediksi masih akan terjadi dengan melihat terjadinya inkonsistensi luasan lautan dengan penggunaan lahan yang lain pada tahun 2030. Abrasi terutama masih mengancam kawasan tambak dan hutan mangrove. Peruntukan lahan pada RTRW untuk sawah mengalami inkonsistensi yang cukup luas sehingga mencapai lebih dari 10 ribu hektar masih digunakan untuk permukiman dan tambak. Hal ini dimungkinkan karena pertambahan penduduk dan persaingan nilai ekonomi dari usaha pertanian sawah dan tambak selalu terjadi di wilayah pesisir. Peruntukan lahan RTRW untuk perumahan desa juga mengalami inkonsistensi. Sebanyak 2,020.96 lahan kawasan perumahan desa masih berupa sawah di tahun 2030. Pada tahun 2030 juga diprediksikan peruntukkan lahan RTRW untuk tambak sebanyak 33.53% dari keseluruhan lahan masih dipergunakan untuk penggunaan lahan sawah. Kondisi wilayah pesisir Karawang yang landai dan memiliki sistem pengairan yang cukup menjadikan fluktuasi perubahan penggunaan lahan antara dua jenis penggunaan lahan ini terjadi.

51 Tabel 22. Matriks konsistensi peta RTRW dan Peta prediksi potensial 2030 PL 2030 Perairan Laut Pertanian lahan basah Rencana Tata Ruang Wilayah Pesisir Karawang Kawasan Lindung Hutan mangrove Perumahan pedesaan sungai dan danau tambak Jumlah ha % ha % ha % ha % ha % ha % ha lt 56,586.77 99.84 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 30.16 0.30 56,616.94 sw 0.00 0.00 41,836.81 78.81 30.16 0.35 2,020.96 84.81 0.00 0.00 3,348.15 33.53 47,236.08 rv 0.00 0.00 0.00 0.00 90.49 1.05 0.00 0.00 0.00 0.00 90.49 0.91 180.98 pmk 0.00 0.00 6,243.85 11.76 60.33 0.70 301.64 12.66 0.00 0.00 392.13 3.93 6,997.94 kc 0.00 0.00 422.29 0.80 90.49 1.05 0.00 0.00 0.00 0.00 60.33 0.60 573.11 ta 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 271.47 100.00 0.00 0.00 271.47 tb 90.49 0.16 4,584.86 8.64 8,385.46 96.86 60.33 2.53 0.00 0.00 6,062.87 60.73 19,184.00 Jumlah 56,677.27 100.00 53,087.81 100.00 8,656.93 100.00 2,382.92 100.00 271.47 100.00 9,984.13 100.00 131,060.52 51

52 Inkonsistensi yang terjadi pada peta prediksi penggunaan lahan tahun 2030 terhadap RTRW selanjutnya dikelaskan kembali menjadi 3 kelas yaitu (1) Konsisten, (2) Bisa dikonsistenkan dan (3) Mutlak tidak konsisten. Kelas konsisten adalah untuk area dengan penggunaan lahan yang sesuai dengan peruntukkan RTRW. Kelas yang bisa dikonsistenkan adalah untuk area-area dengan penggunaan lahan yang masih bisa dirubah atau dialih fungsikan satu sama lain yaitu untuk penggunaan lahan sawah, tambak, mangrove dan kebun campuran. Sedangkan untuk kelas yang mutlak tidak konsisten adalah area-area yang terjadi abrasi dan akresi dan area yang peruntukkan RTRW-nya untuk penggunaan lahan lain namun digunakan untuk permukiman Gambar 27. Peta kelas inkonsistensi prediksi PL 2030 terhadap RTRW Berdasarkan pengkelasan tadi didapati area dengan kelas konsisten seluas 80.19%, area dengan kelas bisa dikonsistenkan seluas 12.98%, dan area dengan kelas yang mutlak tidak konsisten hanya seluas 6.83% dari luas keseluruhan. Berdasarkan pengkelasan tersebut, peta prediksi penggunaan lahan 2030 secara alami masih dapat mendukung peta RTRW dengan wilayah inkonsistensi mutlak hanya sebesar 6.83%. Secara visual pengkelasan inkonsistensi peta prediksi penggunaan lahan potensial 2030 terhadap RTRW disajikan dalam Gambar 27. RTRW pesisir Kabupaten Karawang diprediksikan masih konsisten pada tahun 2030. Namun demikian, inkonsistensi yang terjadi pada beberapa penggunaan lahan, perlu diusahakan untuk dikurangi. Oleh karena itu dilakukan analisis kebijakan untuk menghasilkan arahan-arahan kebijakan yang dapat diterapkan agar penggunaan lahan dimasa yang akan datang lebih konsisten terhadap RTRW pesisir.

53 Arahan Kebijakan Inkonsistensi peruntukan penggunaan lahan RTRW pesisir pada prediksi penggunaan lahan yang akan terjadi di tahun 2030, dijadikan pertimbangan untuk membuat arahan-arahan kebijakan yang dapat dilakukan untuk mengurangi inkonsistensi tersebut. Beberapa kondisi yang menonjol terjadi pada prediksi perubahan penggunaan lahan antara tahun 2012 dan 2030 menjadi dasar arahanarahan kebijakan yang akan dibuat. Kondisi-kondisi tersebut adalah : (1) masih terjadinya abrasi dan akresi di wilayah pesisir; (2) persentase hilangnya luasan mangrove di wilayah pesisir yang tinggi; dan (3) alih fungsi sawah yang semakin luas terjadi di wilayah pesisir. Arahan-arahan kebijakan untuk mencegah terjadinya tiga kondisi tersebut harus memiliki dasar peraturan dan perundangan yang kuat dan telah berlaku. Arahan-arahan kebijakan yang diharapkan dapat diterapkan antara lain sebagai berikut : Arahan kebijakan pertama adalah arahan kebijakan mengimplementasikan area sempadan pantai. Arahan kebijakan ini diharapkan mampu untuk mengurangi terjadinya abrasi dan akresi di wilayah pesisir Kabupaten Karawang. Pada penjelasan pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang disebutkan bahwa area sempadan pantai merupakan kawasan lindung. Sedangkan Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, mendefinisikan sempadan pantai sebagai daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Pasal 31 pada Undang-Undang 27 tahun 2007 tersebut juga mengamanahkan kepada pemerintah daerah untuk menetapkan batas sempadan pantai sesuai dengan keperluan perlindungan dan karakteristik pantai. Perlindungan dalam hal ini adalah terhadap gempa bumi, tsunami, abrasi, dan bencana akibat aktifitas lautan. Sempadan pantai juga di implementasikan untuk melindungi ekosistem pesisir. Gambar 28. Penggunaan lahan tahun 2012 dengan sempadan.

54 Sempadan pantai yang diterapkan (Gambar 28) nantinya diharapkan dapat dihijaukan dengan ditanami mangrove. seluruh area pantai di pesisir Kabupaten Karawang dapat ditanami oleh mangrove berdasarkan karakteristik sedimen. Keberadaan mangrove pada area sempadan nantinya diharapkan dapat berpengaruh pada berkurangnya abrasi dan akresi yang terjadi. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Thampanya et al (2006) telah membuktikan keberadaan mangrove dapat mengurangi terjadinya abrasi. Arahan kebjakan kedua adalah melakukan rehabilitasi hutan mangrove. Daerah yang direhabilitasi adalah satuan lahan pada peta kesesuaian fisik lahan yang hanya sesuai untuk mangrove. Kebijakan ini dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu pertama dengan mengembalikan langsung fungsi lahan menjadi hutan mangrove, dan kedua dengan menerapkan sistem silvofishery atau wanamina. Kebijakan rehabilitasi hutan mangrove dengan pendekatan yang kedua lebih mungkin diterapkan. Hal ini karena hampir seluruh lahan yang hanya sesuai untuk mangrove tersebut, pada kenyataannya difungsikan sebagai tambak. Oleh karenanya usaha rehabilitasi secara langsung dengan pendekatan pertama tentu akan mengalami penolakan dari masyarakat yang sudah tergantung pada usaha tambak untuk menunjang ekonominya. Kenyataan ini didukung oleh Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 70/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan, dimana disebutkan bahwa pada wilayah kawasan lindung mangrove yang ketergantungan masyarakatnya sangat tinggi terhadap budidaya ikan dapat dikembangkan pola silvofishery. Silvofishery atau juga disebut wanamina merupakan kegiatan tambak yang dikombinasikan dengan tanaman mangrove (Gambar 29). Tanaman mangrove dalam sistem wanamina bukan sekedar bagian dari penyelamatan lingkungan namun juga memiliki fungsi yang bermanfaatan bagi kegiatan tambak itu sendiri. Mangrove adalah habitat asli dari ikan/udang yang dibudidayakan dalam tambak air payau sehingga keberadaanya di dalam sistem tambak tentu saja disukai oleh obyek tambak sehingga pertumbuhannya lebih maksimal. Konversi mangrove berlebihan dapat mengurangi produktivitas tambak hingga 70% (Jamil 2007). Oleh karenanya sistem silvofishery ini selain dapat mengembalikan penghijauan juga dapat menjaga produktivitas para petani tambak. Gambar 29. Ilustrasi sistem silvofishery (Bengen 2004)

55 Area yang menjadi sasaran arahan kebijakan sistem silvofishery ini merupakan satuan lahan pada peta land system yang hanya sesuai bagi hutan mangrove namun kondisi aktualnya tambak (Gambar 30). Arahan kebijakan rehabilitasi mangrove dengan pendekatan sistem silvofishery ini menjadi jalan tengah yang positif untuk dilakukan, karena tidak perlu mengganggu aktivitas usaha tambak masyarakat. Gambar 30. Rehabilitasi hutan mangrove di area sesuai hutan mangrove Arahan kebijakan ketiga adalah perlindungan terhadap konversi penggunaan lahan sawah untuk menghindari berkurangnya luas penggunaan sawah. Perlindungan lahan sawah dari konversi ini dasar peraturannya adalah Undang-Undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan ditambah dengan peraturan turunannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Berkelanjutan. Peraturan-peraturan itu hadir disebabkan oleh makin disadarinya kepentingan menjamin penyediaan pangan bagi masyarakat. Padi yang merupakan hasil dari sawah adalah makanan pokok bangsa kita dan Karawang merupakan salah satu Kabupaten produsen padi yang penting di negara kita. Alih fungsi lahan sawah berarti berkurangnya produksi padi yang berimbas langsung pada persediaan pangan untuk rakyat. Secara kualitatif inkonsistensi total yang terjadi pada tahun penggunaan lahan pada tahun 2012 lebih sedikit dibandingkan penggunaan lahan prediksi tahun 2030. Salah satu faktor penyebabnya adalah menurunnya luasan sawah. Oleh karena itu tidak melakukan konversi sawah juga merupakan arahan kebijakan yang layak dimunculkan untuk mendukung RTRW. Arahan kebijakan keempat adalah penerapan ketiga arahan kebijakan sekaligus secara spasial. Melakukan tiga arahan kebijakan diatas diharapkan

56 kebijakan terbaik untuk dilakukan di wilayah pesisir Kabupaten Karawang untuk mengatasi seluruh kondisi-kondisi yang dipermasalahkan diatas berkaitan dengan perubahan penggunaan lahan antara tahun 2012 dan 2030. Prediksi Dampak Kebijakan terhadap Inkonsistensi RTRW Pesisir Tahun 2030 Berdasarkan Hasil Simulasi Pemodelan CA-Markov. Arahan-arahan kebijakan yang telah dibuat kemudian disimulasikan dengan pemodelan CA-Markov dengan input penggunaan lahan tahun dasar peta penggunaan lahan tahun 2012 yang telah di modifikasi berdasarkan kebijakan yang dibuat. Peta prediksi yang dihasilkan pada tiap arahan kebijakan kemudian dibandingkan dengan peta RTRW untuk mengetahui kelas konsistensi dan nilai kappa indeksnya. Hasilnya adalah sebagai berikut : 1) Arahan kebijakan mengimplementasikan area sempadan pantai. Simulasi implementasi sempadan pantai dilakukan untuk melihat efektifitas sempadan sebagai arahan kebijakan yang dapat mengurangi abrasi. Simulasi dilakukan dengan membuat prediksi penggunaan lahan tahun 2030 dengan dasar tahun 2012 yang telah diberi area sempadan 100 meter dari garis pantai dengan penggunaan lahan mangrove (Gambar 28). Hasilnya menunjukkan implementasi sempadan tersebut mengurangi luasan abrasi dan akresi yang terjadi antara tahun 2012 dan 2030 (Tabel 23) dengan peta prediksi yang dihasilkan terlihat pada Gambar 31. Gambar 31. Peta prediksi penggunaan lahan 2030 untuk arahan kebijakan implementasi sempadan pantai