ANALISIS YURIDIS TERHADAP EKSEKUSI BENDA JAMINAN YANG DIBEBANI HAK TANGGUNGAN PADA DEBITUR PAILIT SALAWATI SUYITNO ABSTRACT

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN EKSEKUSI BENDA JAMINAN YANG TELAH DIBEBANI HAK TANGGUNGAN PADA DEBITUR PAILIT

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004

AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP KREDITOR PREFEREN DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIJAMINKAN DENGAN HAK TANGGUNGAN

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang

BAB IV PEMBAHASAN. A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit. perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam menghasilkan

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

TINJAUAN YURIDIS TENTANG HAK KREDITOR DALAM MELAKSANAKAN EKSEKUSI SELAKU PEMEGANG JAMINAN DENGAN HAK TANGGUNGAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU. Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia

TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1

AKIBAT HUKUM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG TERHADAP STATUS SITA DAN EKSEKUSI JAMINAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004

KEDUDUKAN KREDITUR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN DALAM HAL DEBITUR WANPRESTASI

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR. Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS)

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah

PENGARUH UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DAN UNDANG- UNDANG HAK TANGGUNGAN TERHADAP KEDUDUKAN KREDITUR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN APABILA DEBITUR PAILIT

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

Mengenai Hak Tanggungan. Sebagai Satu-Satunya Lembaga Hak Jaminan atas Tanah

TINJAUAN YURIDIS EKSEKUSI DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN FIDUSIA YANG TIDAK DIDAFTARKAN

BAB I PENDAHULUAN. dapat memenuhi kebutuhannya sebagaimana tersebut di atas, harus. mempertimbangkan antara penghasilan dan pengeluaran.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang

UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004)

WEWENANG KURATOR DALAM PELAKSANAAN PUTUSAN PAILIT OLEH PENGADILAN

BAB I PENDAHULUAN. Jaminan atau agunan yang diajukan atau yang diberikan oleh debitur

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Dalam. rangka upaya peningkatan pembangunan nasional yang bertitik berat

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17

BAB 1 PENDAHULUAN. Nomor 4 Tahun 1996 angka (1). Universitas Indonesia. Perlindungan hukum..., Sendy Putri Maharani, FH UI, 2010.

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

BAB V PEMBAHASAN. Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tulungagung. sebagai barang yang digunakan untuk menjamin jumlah nilai pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu:

Penundaan kewajiban pembayaran utang

BAB II KEADAAN DIAM (STANDSTILL) DALAM HUKUM KEPAILITAN INDONESIA. Konsep keadaan diam atau standstill merupakan hal yang baru dalam

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional, salah satu usaha untuk mewujudkan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya.

BAB I PENDAHULUAN. perubahan terencana dan terarah yang mencakup aspek politis, ekonomi, demografi, psikologi, hukum, intelektual maupun teknologi.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN SEBAGAI HAK JAMINAN. A. Dasar Hukum Pengertian Hak Tanggungan

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN

3 Lihat UU No. 4 Tahun 1996 (UUHT) Pasal 20 ayat (1) 4 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 339

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan

BAB I PENDAHULUAN. Proses perniagaan, apabila debitor tidak mampu ataupun tidak mau

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. keinginan untuk meningkatkan keuntungan yang dapat diraih, baik dilihat dari segi

PELAKSANAAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN PADA PT. BANK. MANDIRI (PERSERO) Tbk. BANDAR LAMPUNG. Disusun Oleh : Fika Mafda Mutiara, SH.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak. benda yang memiliki hubungan langsung dengan benda-benda itu, dapat

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN BERDASARKAN TITLE EKSEKUTORIAL DALAM SERTIFIKAT HAK TANGGUNGAN

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

ANALISIS YURIDIS AKTA KETERANGAN LUNAS YANG DIBUAT DIHADAPAN NOTARIS SEBAGAI DASAR DIBUATNYA KUASA MENJUAL JURNAL. Oleh

BAB I PENDAHULUAN. untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Dalam rangka. merata di segala bidang, salah satunya adalah bidang ekonomi.

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN. Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu jaminan

BAB III AKIBAT HUKUM PERGESERAN TUGAS DAN WEWENANG BANK INDONESIA KE OJK TERHADAP KETENTUAN PASAL 2 AYAT (3) UU NO. 37

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB III HAK KREDITOR ATAS EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA BILAMANA DEBITOR PAILIT

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR. 1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit

BAB I PENDAHULUAN. suatu barang maupun jasa agar menghasilkan keuntungan.

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

Lex Privatum, Vol.II/No. 2/April/2014

PENANGGUHAN EKSEKUSI OBJEK HAK JAMINAN KREDIT DI BANK DARI PERUSAHAAN YANG PAILIT 1 Oleh : Timothy Jano Sajow 2

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDITUR DAN DEBITUR. Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Lex Privatum, Vol. IV/No. 1/Jan/2016

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari

HAK TANGGUNGAN TANAH & BANGUNAN SEBAGAI JAMINAN PELUNASAN UTANG

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN DAN KEPAILITAN. Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta

BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI

BAB I PENDAHULUAN. berarti adanya interaksi berlandaskan kebutuhan demi pemenuhan finansial.

Lex Privatum Vol. V/No. 4/Jun/2017

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR PENERIMA

BAB I PENDAHULUAN. suatu usaha/bisnis. Tanpa dana maka seseorang tidak mampu untuk. memulai suatu usaha atau mengembangkan usaha yang sudah ada.

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Dalam rangka memelihara

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan dana kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana, dalam hal ini bank

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BATASAN RUMAH SUSUN YANG DIJADIKAN AGUNAN PADA BANK. J. Andy Hartanto Universitas Narotama, Surabaya

BAB I PENDAHULUAN. utama sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang bersangkutan

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam

BAB I. tidak dipakai. Sangat sedikit kasus-kasus yang ada saat itu yang mencoba memakai peraturan

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PERBEDAAN ANTARA GADAI DAN FIDUSIA

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan sarana dan prasarana lainnya. akan lahan/tanah juga menjadi semakin tinggi. Untuk mendapatkan tanah

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi segala kebutuhan hidup, akal dan pikiran. Ia memerlukan tangan ataupun bantuan dari pihak lain.

Bab 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, salah satu

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan sejumlah uang misalnya, dapat meminjam dari orang

BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG KEPADA PENGADILAN NIAGA

Transkripsi:

Salawati Suyitno 1 ANALISIS YURIDIS TERHADAP EKSEKUSI BENDA JAMINAN YANG DIBEBANI HAK TANGGUNGAN PADA DEBITUR PAILIT SALAWATI SUYITNO ABSTRACT Banking credit contract is generally made with hypothecation as a guarantee for paying off a debtor s debt when he is not able to pay off his credit is declared bankrupt by the court s ruling which is final and conclusive, and the creditor as the holder of hypothecation certificate gets legal protection. The research used judicial normative and descriptive analytic method. The research result shows that the regulation on the execution of collateral when a debtor is declared bankrupt by the court s ruling. Procedure of the implementation of executing the collateral is that creditor as the holder of hypothecation certificate has the right to execute the collateral as if there were no bankruptcy, but the creditor has a stay period of 90 (ninety) days to do the execution. After that, he he can do the execution on his own right as if there were no bankruptcy. Keywords: Execution, Collateral, Bankrupt Debtor I. Pendahuluan Dalam pelaksanaan penyaluran kredit dengan jaminan hak tanggungan tersebut kreditur akan melakukan pengikatan jaminan hak tanggungan dengan menggunakan Akta Pemberian Hak TanggunganAPHT) dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang dilakukan oleh debitur selaku pemberi hak tanggungan dan kreditur. 1 Setelah dilakukan pengikatan jaminan hak tanggungan dihadapan PPAT maka APHT tersebut akan didaftarkan di Kantor Pertanahan untuk memperoleh sertipikat hak tanggungan sebagai bukti bahwa tanah dan bangunan tersebut telah berada dalam penguasaan kreditur yang telah diberikan oleh debitur pemberi hak tanggungan hingga pelaksanaan penyaluran kredit tersebut berakhir dengan pelunasan oleh debitur. Sertipikat hak atas tanah yang telah diikat dengan jaminan hak tanggungan tersebut akan diberikan tanda telah dibebani jaminan hak tanggungan oleh Kantor Pertanahan sesuai dengan peringkatnya, sehingga masyarakat umum mengetahui 1 Adrian Sutedi, 2012, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta, hal 21.

Salawati Suyitno 2 bahwa tanah atau bangunan tersebut sedang dalam tahap pembebanan hutang oleh debitur terhadap kreditur. Pengikatan jaminan hak tanggungan dalam memberi pinjaman oleh kreditur kepada debiturnya dalam suatu perjanjian kredit atau pengakuan hutang tidak sepenuhnya aman dari tunggakan atau permasalahan dikemudian hari. Dalam praktek pelaksanaan perjanjian kredit atau pengakuan hutang dengan jaminan hak tanggungan, debitur pemberi hak tanggungan dapat saja tidak mampu lagi untuk melunasi hutang-hutangnya kepada kreditur. Sehingga kreditur melakukan upayaupaya hukum berupa penerbitan surat peringatan sebanyak tiga kali kepada debitur, mengadakan pendekatan secara persuasif kepada debitur atau bahkan memberikan suatu program restrukturisasi atas hutang-hutang debitur dengan memberikan kemudahan pemotongan bunga maupun biaya-biaya administrasi lainnya serta memperkecil bunga kredit agar debitur dapat kembali lancar untuk membayar hutanghutangnya. 2 Jika seluruh upaya hukum telah dilaksanakan oleh kreditur namun pihak debitur tidak juga dapat melaksanakan kewajibannya untuk membayar hutangnya maka kreditur dapat melakukan eksekusi terhadap objek jaminan hak tanggungan dengan menjual objek jaminan hak tanggungan melalui lelang oleh badan lelang atau dengan kesepakatan antara debitur pemberi hak tanggungan dengan kreditur melalui penjualan objek jaminan hak tanggungan di bawah tangan yang tujuannya untuk memperolehharga tertinggi sebagai solusi terbaik bagi para pihak yaitu kreditur dan debitur pemberi hak tanggungan tersebut. 3 Pelaksanaan penjualan objek jaminan hak tanggungan secara di bawah tangan atau melalui badan lelang adalah upaya kreditur untuk mengambil pelunasan piutangnya terhadap debitur pemberi hak tanggungan dan apabila ada sisa dari penjualan objek jaminan hak tanggungan tersebut maka harus dikembalikan kepada debitur, sesuai dengan ketentuan Pasal 6 UUHT No. 4 Tahun 1996 yang menyebutkan bahwa, Apabila debitur cidera janji, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri 2 J. Satrio, 2012, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 11. 3 Rachman Marwali, 2012, Pembatalan APHT Akibat Tidak Berwenangnya Debitur Pemberi Hak Tanggungan, Bumi Aksara, Jakarta, hal 9.

Salawati Suyitno 3 melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Selanjutnya Pasal 20 ayat (1) huruf a dan b UUHT No. 4 Tahun 1996 menyebutkan bahwa: Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UUHT No. 4 Tahun 1996 atau title eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) UUHT No. 4 Tahun 1996, objek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahului daripada kreditur-kreditur lainnya, selanjutnya Pasal 20 ayat (2) UUHT No. 4 Tahun 1996 menyebutkan bahwa, Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan objek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Pasal 21 UUHT No. 4 Tahun 1996 menyebutkan bahwa, Apabila pemberi hak tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperoleh menurut ketentuan undang-undang ini. Ketentuan Pasal 21 UUHT No. 4 Tahun 1996 dapat dikatakan bahwa meskipun debitur pemberi hak tanggungan telah dinyatakan pailit namun terhadap objek hak atas tanah dan bangunan yang telah diikat atau dibebani dengan jaminan hak tanggungan tetap menjadi kewenangan dari pemegang sertipikat hak tanggungan, sehingga objek hak atas tanah yang telah diikat dengan jaminan hak tanggungan tersebut tetap dapat dieksekusi oleh kreditur. 4 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang selanjutnya disingkat dengan Undang-Undang KPKPU berpengaruh besar terhadap lembaga keuangan debitur yang mengalami kesulitan untuk membayar utangnya yang telah jatuh tempo serta mempunyai minimal dua kreditur, maka menurut hukum debitur dapat dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya. Memperhatikan ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa syarat untuk dapat dinyatakan pailit melalui putusan pengadilan adalah: 1. Terdapat minimal 2 (dua) orang kreditur; 4 Sunarmi, 2009, Hukum Kepailitn, USU Press, Medan, hal 16.

Salawati Suyitno 4 2. Debitur tidak membayar lunas sedikitnya 1 (satu) utang; 3. Utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih. 5 Pasal 15 ayat (1) UUKPKPU menyebutkan dalam, putusan pailit harus diangkat seorang Kurator dan Hakim Pengawas yang ditunjuk oleh Pengadilan. Dalam hal debitur, kreditur atau pihak yang berwenang mengajukan permohonan pailit tidak mengajukan usul pengangkatan Kurator, maka Pengadilan menunjuk Balai Harta Peninggalan selaku Kurator. Pernyataan putusan pailit seorang debitur dilakukan oleh Hakim Pengadilan Niaga dengan suatu putusan (vonnis) dan tidak dengan suatu ketetapan (beschikking). Hal ini disebabkan suatu putusan menimbulkan suatu akibat hukum baru, sedangkan ketetapan tidak menimbulkan akibat hukum baru tetapi hanya bersifat deklarator saja. Pernyataan pailit menimbulkan akibat hukum baru seperti: 1. Debitur yang semula berwenang mengurus dan menguasai hartanya menjadi tidak berwenang mengurus dan mnguasai hartanya. 2. Terhadap perikatan yang dibuat sesudah ada putusan pernyataan pailit, maka perikatan tersebut tidak dapat dibayar dengan harta pailit. 3. Terhadap tuntutan atas harta pailit yang ditujukan terhadap debitur pailit, hanya dapat diajukan dengan mendaftarkannya untuk dicocokkan dalam verifikasi. 4. Terhadap eksekusi pelaksanaan putusan pengadilan atas kekayaan debitur pailit dihentikan seketika dan sejak itu tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan termasuk juga menyandera debitur pailit. 5. Pasal 32 UUKPKPU menyebutkan akibat kepailitan, terhadap uang paksa (dwangsom) tidak di bayar. 6. Terhadap perjanjian timbal balik yang kemungkinan dilakukan oleh debitur sebelum pailit. 7. Terhadap perjanjian sewa menyewa, menurut pasal 38 UUKPKPU. 8. Pasal 39 UUKPKPU mengatur tentang akibat pailit terhadap perjanjian kerja yaitu pekerja yang bekerja pada debitur pailit dapat memutuskan hubungan kerja dan di pihak lain, Kurator dapat memberhentikannnya dengan mengindahkan jangka waktu menurut persetujuan atau perundang-undangan. Perlu diperhatikan, 5 Man HS Sastawidjaja, 2006, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang, Bandung, ALUMNI, hal 89.

Salawati Suyitno 5 bahwa hubungan kerja tersebut dapat diputuskan paling singkat 45 hari sebelumnya. Di samping itu, sejak tanggal putusan pernyataan pailit, upah yang terutang sesudah atau sebelum pernyataan putusan pailit diucapkan merupakan utang harta pailit. 9. Terhadap harta warisan, Pasal 40 UUKPKPU menerangkan bahwa terhadap harta warisan yang diterima debitur selama kepailitan, maka Kurator tidak boleh menerimanya. 6 10. Terhadap status hukum objek jaminan yang dibebani oleh hak jaminan berupa gadai, fidusia, hipotik dan hak tanggungan, UU KPKPU mengatur dalam ketentuan Pasal 55 ayat (1) yang menyebutkan bahwa dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap kreditur pemegang gadai, fidusia, hipotik dan hak tanggungan dapat mengeksekusi haknya seolah olah tidak terjadi kepailitan. Ketentuan Pasal 55 UUKPKPU sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 21 UUHT yang mengakui hak seperatis dari pemegang hak jaminan sebagaimana ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pencantuman ketentuan Pasal 55 ini sangat penting bagi kepentingan dan perlindungan kepada debitur separatis. 7 Selanjutnya Pasal 56 ayat (1) UUKPKPU yang menyebutkan bahwa, Hak eksekusi kreditur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan debitur pailit atau kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu 90 hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Pasal 56 ayat (2) UU KPKPU juga menyebutkan bahwa, Penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku terhadap tagihan kreditur untuk memperjumpakan utang (set off). Pasal 56 ayat (3) UU KPKPUmenyebutkan bahwa, Selama jangka waktu penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kurator dapat menggunakan harta pailit berupa benda tidak bergerak maupun benda bergerak atau menjual harta pailit yang berupa benda bergerak yang berada dalam penguasaan Kurator dalam rangka kelangsungan usaha 6 Ibid, hal 101 117. 7 Sutan Remi Sjahdeni, 2009, Sejarah, Asas dan Teori Hukum Kepailitan Memahami Undang Undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran, Jakarta, Prenadamedia Group, hal 397.

Salawati Suyitno 6 debitur, dalam hal telah diberikan perlindungan yang wajar bagi kepentingan kreditur dan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Dari ketentuan tersebut di atas dapat dikatakan, terdapat ketidak konsistenan dengan asas hukum pada umumnya serta asas hukum jaminan pada khususnya. Pasal 55 ayat 1 UUKPKPU terdapat kata seolah-olah dapat menimbulkan multitafsir. Yang dimaksud dengan multi tafsir di sini adalah hak eksekusi kreditur sebagaimana disebutkan dalam Pasal 55 ayat (1) UUKPKPU dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan Debitur pailit atau Kurator, ditangguhkan untuk paling lama 90 (sembilan puluh) sejak putusan pernyataan pailit diucapkan. 8 II. Metode Penelitian Dalam penelitian ini metode merupakan unsur paling utama dan didasarkan pada fakta dan pemikiran yang logis sehingga apa yang diuraikan merupakan suatu kebenaran. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu pada teori-teori, doktrin-doktrin, norma-norma, asas-asas (prinsip-prinsip), kaidah-kaidah yang berkaitan jaminan Hak Tanggungan yang termuat di dalam ketentuan UUHT No. 4 Tahun 1996, dan Hukum Kepailitan yang termuat di dalam UU KPKPU No. 37 Tahun 2004 dimana pelaksanaan eksekusi objek jaminan hak tanggungan oleh kreditur pemegang hak tanggungan dilaksanakan pada saat debitur pemberi hak tanggungan dinyatakan pailit oleh suatu keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analisis, maksudnya adalah dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis dilakukan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh dan akan dilakukan secara cermat bagaimana menjawab permasalahan dalam menyimpulkan suatu solusi sebagai jawaban dari permasalahan tersebut. 9 Dalam penelitian, jenis data yang digunakan dibedakan antara data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber utama, data sekunder mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian 8 Pasal 56 ayat 1 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 9 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Normatif, UI Press, Jakarta, hal 30.

Salawati Suyitno 7 yang berwujud laporan dan sebagainya. 10 Berdasarkan sifat penelitian tersebut di atas, data yang dikumpulkan berasal dari data sekunder. Data sekunder dalam hal ini dibagi menjadi 3 bagian yaitu: a. Bahan hukum primer, yaitu bahan yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim dipengadilan. 11 Sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini adalah antara lain: 1) Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan; 2) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran hutang; 3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; 4) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang fungsinya memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan Undang-Undang, buku-buku, artikel, pendapat pakar hukum, maupun hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini. c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang berfungsi memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang berupa bahan hukum pustaka, seperti kamus hukum, majalah, surat kabar, jurnal hukum, laporan ilmiah dan situs-situs internet yang dijadikan bahan bagi penelitian ini, bila ada dan sepanjang memuat informasi yang relevan terhadap penulisan penelitian ini. 12 Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara: 1. Penelitan kepustakaan (library research). Tinjauan kepustakaan adalah suatu langkah (review) sitesis bahan kepustakaan, mencakup kegiatan yang sistematik 10 Amiruddin dan Zainal Asikin, 2006, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo, Persada, Jakarta, hal 30. 11 Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal 79. 12 Nomensen Sinamo, 2010, Metode Penelitian Hukum dalam Teori dan Praktek, Bumi Intitama Sejahtera, Jakarta, hal 16.

Salawati Suyitno 8 dalam mengidentifikasi, mencari, menganalisa, mempelajari serta mengevaluasi dokumen/literatur yang memuat informasi yang berkaitan dengan masalah. 13 2. Pada penelitian hukum, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, meliputi surat-surat pribadi, buku-buku dan dokumendokumen resmi. 3. Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah meliputi penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual. Dapat berupa peraturan Perundangundangan dan karya ilmiah, kasus-kasus yang terjadi melalui putusan dan penetapan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. III. Hasil Penelitian dan Pembahasan A. PENGATURAN HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN EKSEKUSI BENDA JAMINAN YANG TELAH DIBEBANI HAK TANGGUNGAN PADA DEBITUR PAILIT 1. Tinjauan Umum Tentang Hukum Jaminan Hak Tanggungan Menurut UUHT No. 4 Tahun 1996 Menurut Pasal 1 ayat (1) UUHT disebutkan pengertian Hak Tanggungan, yang dimaksud dengan Hak Tanggungan adalah Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak berikut bendabenda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya. Di dalam hukum jaminan hak tanggungan terdapat ketentuan-ketentuan yang dijadikan pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan hukum jaminan hak tanggungan tersebut. Adapun unsur-unsur yang tercantum dalam pengertian Hak Tanggungan adalah: 14 1. Hak Jaminan yang dibebankan hak atas tanah yaitu hak penguasaan khusus yang diberikan kepada kreditur yang memberikan wewenang baginya untuk menjual 13 M. Arif Nasution, 2008, Metodologi Penelitian, Fisip USU Press, Medan, hal 65. 14 Habib Adjie, 2006, Hak Tanggungan sebagai Lembaga Jaminan atas Tanah, Mandar Maju, Bandung, hal 43.

Salawati Suyitno 9 lelang tanah yang secara khusus sebagai agunan piutangnya apabila debitur cedera janji dan mengambil hasil penjualannya baik seluruh atau sebagian hasilnya untuk pelunasan hutangnya walaupun tanah tersebut telah berpindah kepada pihak lain (droit de suite) dengan hak mendahului dari kreditur lainnya (droit de preference). 2. Hak atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan suatu kesatuan dengan tanah itu. Kreditur mempunyai wewenang untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan agunan, tetapi bukan untuk dikuasai secara fisik dan digunakan, melainkan untuk menjualnya jika debitur wan prestasi. 3. Untuk pelunasan hutang tertentu yaitu hak tanggungan tersebut dapat membereskan hutang debitur kepada kreditur. 4. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya, lazimnya disebut droit de preference. 15 Jaminan hak tanggungan sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan. Syarat-syarat tanah dan bangunan yang dapat dibebani dengan jaminan hak tanggungan adalah sebagaimana diuraikan dalam pembahasan di bawah ini. 1. Obyek Jaminan Hak Tanggungan Untuk dapat dibebani hak jaminan atas tanah, obyek hak tanggungan yang bersangkutan harus memenuhi 4 syarat, yaitu: a. dapat dinilai dengan uang; b. termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum karena harus memenuhi syarat publisitas; c. mempunyai sifat dapat dipindahtangankan; d. memerlukan penunjukan oleh undang-undang. 16 Adapun obyek dari hak tanggungan adalah hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan yaitu: a. Hak milik; b. Hak guna usaha; 15 Salim HS, 2011, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 96-97. 16 Ibid, hal 104.

Salawati Suyitno 10 c. Hak guna bangunan; d. Hak Pakai, baik hak maupun hak atas Negara e. Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman dan hasil karya yang telah ada atau akan ada merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan merupakan hak milik pemegang hak pembebanannya dengan tegas dan dinyatakan dalam akta pemberian hak atas tanah yang bersangkutan. 17 2. Subyek Jaminan Hak Tanggungan Dalam perjanjian pemberian hak jaminan atas tanah dengan hak tanggungan, ada dua pihak yaitu pihak yang memberikan hak tanggungan dan pihak yang menerima hak tanggungan tersebut. a. Pemberi Hak Tanggungan b. Pemegang Hak Tanggungan 3. Proses Pembebanan Hak Tanggungan Proses Pembebanan Hak Tanggungan didahului dengan diadakannya perjanjian hutang piutang antara debitor dan kreditor, yang merupakan perjanjian pokoknya, seperti perjanjian kredit atau perjanjian pinjam uang atau perjanjian lainnya yang menimbulkan hubungan pinjam meminjam uang antara kreditor dengan debitor. 18 2. Akibat Putusan Pailit Terhadap Benda Jaminan menurut Undang- Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran (PKPU) a. Akibat Putusan Pailitan Sita umum dilakukan adalah sita konservatoir yang bertujuan untuk kepentingan bersama para kreditur. Sesuai dengan pada Pasal 1132 KUH Perdata bahwa tujuan dari kepailitan adalah untuk membagi seluruh kekayaan pailit debitur yang dilakukan oleh Kurator kepada krediturnya dengan memperhatikan hak mereka masing masing. Yang dimaksud kekayaan disini adalah semua barang dan hak atas kebendaan yang dapat diuangkan (ten gelde kunnen worden gemaakt). 17 Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. 18 Arie S. Hutagalung, 2002, Serba Aneka Masalah Tanah Dalam Kegiatan ekonomi, Suatu Kumpulan Karangan, Cetakan Kedua, Badan Penerbit Fakultas Hukum Uniersitas Indonesia, Depok, hal 220.

Salawati Suyitno 11 Kepailitan itu juga berlaku terhadap semua harta kekayaan debitur yang berada di luar negeri. Terhadap harta kekayaan debitur yang berada di luar negeri ini dapat dilakukan sita umum dengan memperhatikan asas teritorialitas. 19 Undang-Undang Kepailitan mengatur pihak-pihak yang dapat mengajukan kepailitan yaitu: a. atas permohonan debitur sendiri b. atas permintaan seorang atau lebih kreditur c. oleh kejaksaan atas kepentingan umum d. Bank Indonesia dalam hal debitur merupakan lembaga Bank e. Oleh Badan Pengawas Pasar Modal dalam hal debitur merupakan Perusahaan Bursa Efek. 20 b. Penangguhan (Stay) dalam Hukum Kepailitan Munir Fuady mengatakan bahwa stay adalah cool down period atau legal moratorium. Penangguhan eksekusi ini terjadi karena hukum tanpa dimintakan sebelumnya oleh Kurator. 21 Tujuan penangguhan tersebut antara lain: 1) untuk memperbesar kemungkinan tercapainya perdamaian; atau 2) untuk memperbesar kemungkinan mengoptimalkan harta pailit atau 3) untuk memungkinkan kurator melaksanakan tugasnya secara optimal. 22 Stay diberlakukan kepada semua kreditur separatis kecuali terhadap kreditur yang haknya timbul dari perjumpaan hutang (set-off) serta terhadap kreditur yang piutangnya dijamin dengan uang tunai. Menurut Pasal 57 (ayat 2), kreditur dapat memohon agar stay diangkat dimana permohonan tersebut disampaikan kepada Kurator. 23 Jika kurator menolak penangguhan tersebut debitur atau pihak ketiga dapat mengajukan permohonan tersebut kepada hakim pengawas. Hakim pengawas dalam waktu paling lambat 1 (satu) hari setelah permohonan dimaksud diterima wajib memerintahkan Kurator untuk segera memanggil dengan surat tercatat atau melalui 19 Sunarmi, ibid., hal 84. 20 Pasal 2 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 21 Muni Fuady, op.cit, hal 103. 22 Penjelasan Pasal 56 ayat 1 Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 23 Pasal 57 ayat 1 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Salawati Suyitno 12 kurir kreditur dan pihak ketiga sebagaimana dimaksud untuk didengar pada sidang pemeriksaan atas permohonan tersebut. Hakim pengawas wajib memberikan penetapan atas permohonan tersebut dalam waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah permohonan sebagaimana dimaksud diajukan kepada hakim pengawas. 24 B. PROSEDUR DAN TATA CARA PELAKSANAAN EKSEKUSI BENDA JAMINAN YANG TELAH DIIKAT DENGAN HAK TANGGUNGAN PADA DEBITUR PAILIT BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG 1. Akibat Hukum Putusan Pailit Putusan pailit mulai berlaku sejak pukul 00.00 waktu setempat. Bila sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan telah dilaksanakan transfer dana melalui bank atau lembaga selain bank pada tanggal putusan, transfer tersebut wajib diteruskan. Demikian pula bila sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan telah dilaksanakan transaksi efek di Bursa Efek maka transaksi tersebut wajib diselesaikan. (Pasal 24 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004). 25 Dengan diucapkannya putusan pernyataan pailit maka Hakim Pengawas mempunyai peranan penting yang bertugas mengawasi pekerjaan kurator dalam rangka melakukan tugas pengurusan dan pemberesan. Tindakan pengawasan yang dilakukan Hakim Pengawas dituangkan dalam bentuk penetapan dan atau dalam berita acara rapat. Debitur demi hukum kehilangan hak menguasai dan mengurus kekayaannya (Persona Standi InYudicio), artinya debitor pailit tidak mempunyai kewenangan atau tidak bisa berbuat bebas atas harta kekayaan yang dimilikinya. Pengurusan dan penguasaan harta kekayaan debitor dialihkan kepada kurator atau Balai Harta Peninggalan yang bertindak sebagai kurator yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas. Namun demikian, sesudah pernyataan kepailitan ditetapkan debitor masih dapat mengadakan perikatan-perikatan. Hal ini akan mengikat bila perikatanperikatan yang dilakukannya tersebut mendatangkan keuntungan keuntungan debitor. Hal tersebut ditegaskan didalam Pasal 25 Undang-undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 yang menentukan bahwa semua perikatan debitor pailit yang 24 Titik Tejaningsih, op.cit., hal 96. 25 Sunarmi, op.cit., hal 85.

Salawati Suyitno 13 dilakukan sesudah pernyataan pailit tidak dapat dibayar dari harta pailit itu, kecuali bila perikatan-perikatan tersebut mendatangkan keuntungan bagi harta pailit 26. 2. Prosedur dan Tata Cara Pelaksanaan Eksekusi Benda Jaminan Yang Telah Diikat Dengan Hak Tanggungan Pada Debitur Pailit Berdasarkan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Sejak tanggal putusan pailit ditetapkan harta pailit seketika itu berada di bawah penguasaan kurator untuk dilakukan pengurusan dan pemberesan, 27 yang dapat bertindak sebagai kurator bukan saja Badan Harta Peninggalan (BHP), tetapi juga Expert Partikulir atau pihat swasta yangsekarang mengambil oper peranan sebagai Kurator itu. 28 Proses pengaturan hukum khususnya tindakan eksekusi benda jaminan setelah debitur dinyatakan pailit adalah; pengamanan dan penyegelan harta pailit oleh Kurator, proses pencocokan piutang dan kegiatan verifikasi lainnya, penawaran damai terhadap kreditur, penyelesaian dan pembagian hasil eksekusi harta pailit oleh kurator. Sejak dinyatakan pailit, maka pengurusan harta debitur diserahkan kepada kurator, karena debitur dianggap tidak cakap mengelola hartanya, dan tugas pertama yang dilakukan adalah atas kuasa Hakim Pengawas kurator akan mengamankan harta debitur. 29 Sejak Pengangkatannya, Kurator harus melaksanakan semuaupaya untuk mengamankan harta pailit dan menyimpan semuasurat, dokumen, uang, perhiasan, efek dan surat berharga lainnyadengan memberikan tanda terima. Mengamankan harta pailit dapat dilakukan dengan berbagai upaya termasuk menyimpan semua surat-surat berharga (efek) dan dokumen, uang, dan perhiasan lainnya, dan disahkan dengan memberikan tanda buktiterima. 26 Pasal 25 Undang Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 27 Pasal 16 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang kepalitan dan penundaan keajiban pembayaran utang menyeburkan Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggalputusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali. (2) Dalam hal putusan pernyataan pailit dibatalkan sebagai akibat adanya kasasi atau peninjauan kembali,segala perbuatan yang telah dilakukan oleh Kurator sebelum atau pada tanggal Kurator menerimapemberitahuan tentang putusan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 tetap sah danmengikat Debitor. 28 Arya Suriadi, 2011, Kepailitan di Negeri Pailit, Imtermasa, Jakarta, hal 53. 29 Pasal 98 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang menyebutkan sejak mulai pengangkatannya, Kurator harus melaksanakan semua upaya untuk mengamankan harta pailit danmenyimpan semua surat, dokumen, uang, perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya dengan memberikantanda terima.

Salawati Suyitno 14 Selanjutnnya dengan alasan untuk keamanan harta pailit, Kurator melalui hakim pengawas, dapat meminta melakukan penyegelan terhadapharta debitur kepada Pengadilan yang dilakukan oleh juru sita di tempat harta tersebut berada dengan dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi yang salah satunya adalah wakil dari pemerintah setempat. 30 Sebelum melakukan penyegelan terhadap harta pailit, maka pencatatan harta pailit itu harus sudah jelas semuanya, untuk itu Kurator sebelumnya sudah membuat pencatatan harta pailit, sehingga semua pencatatan yang dilakukan Kurator di lapangan harus dimasukkan semuanya dalam pencatatatan harta pailit, dan dapat melakukannya dibawah tangan atas persetujuan hakim pengawas. Untuk sementara pembuatan pencatatan harta pailit oleh Kurator, dari pihak kreditur dihadiri oleh anggota panitia kreditur. 31 C. EKSEKUSI BENDA JAMINAN YANG DIBEBANI HAK TANGGUNGAN PADA DEBITUR PAILIT 1. Kendala-Kendala Yang Dihadapi Oleh Kreditur Separatis Dalam Mengeksekusi Objek Hak Tanggungan Pada Debitur Pailit Dalam Pasal 6 UUHT No. 4 Tahun 1996 disebutkan bahwa, Apabila debitur cidera janji, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Selanjutnya menurut Pasal 21 UUHT No. 4 Tahun 1996 menyebutkan bahwa, Apabila pemberi hak tanggungan dinyatakan pailit, pemegang hak tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketentuan UUHT No. 4 Tahun 1996. Dalam proses pengurusan dan pemberesan harta pailit dijumpai beberapa hal berkaitan dengan Daftar Pembagian yang diusulkan oleh Kurator kepada Hakim Pengawas selanjutnya disetujui dengan Penetapan Hakim Pengawas tentang Penetapan Daftar Pembagian. Apabila para pihak tidak menerimanya, maka mereka dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan yang akan diputus oleh Majelis Hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Niaga. Ternyata dalam Penetapan 30 Pasal 99 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 31 Pasal 100 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Salawati Suyitno 15 Hakim Pengawas maupun Majelis Hakim tersebut di dapat hal yang tidak sesuai dengan Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, yaitu kreditur seperatis tidak mendapatkan secara utuh hasil penjualan lelang akan tetap masih harus berbagi dengan kreditur lainnya yang kedudukannya bukan kreditur seperatis. 32 Ketentuan yang secara limitatif diatur dalam Undang-Undang No.37 Tahun 2004 diterobos dalam praktek. Penyelesaian pembagian harta pailit kepada pada debitur menjadi berbeda daripada yang diatur dalam Undang-Undang. Dalam Pasal 56 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terdapat hambatan untuk melaksanakan hak eksekusi yang diberikan oleh UUHT No. 4 Tahun 1996 tersebut yaitu dengan adanya penundaan serta pembatasan waktu terhadap pelaksanaan eksekusi objek jaminan Hak Tanggungan tersebut maka hak eksekusi dari kreditur separatis tidak serta merta dapat langsung dilaksanakan seketika itu juga saat debitur telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga, karena disebutkan bahwa hak eksekusi kreditur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam pengawasan debitur pailit atau kurator ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal pernyataan pailit tersebut diucapkan. 33 Kreditur seperatis yang memiliki hak jaminan baik yang diikat oleh hak tanggungan, fidusia, hipotik (sekarang hak tanggungan) dan gadai berdasarkan Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang berhak mengeksekusi barang jaminannya seolah-olah tidak terjadi kepailitan, namun didalam prakteknya, apabila debitur pailit maka kreditur harus melapor dan mendaftarkan objek jaminan yang diikat oleh Hak Tanggungan, Fidusia, Gadai dan Hipotek pada kurator agar jaminan piutang tersebut diakui oleh Pengadilan, hal ini berlaku untuk semua jenis kreditur termasuk kreditur 32 Titik Tejaningsih, 2015, Perlindungan Hukum Terhadap Kreditor Saparatis Dalam Pengurusan Dan Pemberesan Harta Pailit, Disertasi Program Doktor (S-3) Ilmu Hukum Program Pascasarjana, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, hal. 134 hal 36. 33 Rahayu Hartini, 2012, Hukum Kepailitan, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang,

Salawati Suyitno 16 separatis dan konkuren. Dan wajib menyerahkan kepada kurator dalam jangka waktu tertentu. 34 2. Kedudukan Kreditur Pemegang Sertipikat Hak Tanggungan Pada Debitur Pailit Dalam hubungannya terhadap hak eksekusi yang didahulukan untuk kreditur seperatis, terdapat ketentuan dalam Undang-Undang Kepailitan No. 37 Tahun 2004 yang dirasakan memberikan batasan dalam pelaksanaan eksekusi tersebut yang diatur dalam Pasal 56 Undang-Undang KPKPU No. 37 Tahun 2004 yang menentukan sebagai berikut: 35 1. Hak eksekusi kreditur dan hak pihak ketiga sebagaimana dijelaskan pada Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang KPKPU No. 37 Tahun 2004 untuk menuntut hartanya dalam boedel pailitditangguhkan hingga 90 (Sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan pailit diucapkan. 2. Penangguhan tersebut tidak berlaku terhadap kreditur yang hutangnya dijamin dengan uang tunai dan hak kreditur untuk memperjumpakan hutang. 3. Selama jangka waktu penangguhan kurator berhak untuk menggunakan harta pailit berupa benda bergerak dan benda tidak bergerak yang berada dalam penguasaan kurator untuk kelangsungan usaha debitur dan telah diberikan perlindungan yang wajar untuk kepentingan kreditur dan pihak ketiga. 3. Eksekusi Benda Jaminan yang Dibebani Hak Tanggungan Pada Debitur Pailit Didalam konteks eksekusi objek jaminan hak tanggungan milik debitur yang telah dinyatakan pailit oleh suatu pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, maka ketentuan khusus (lex specialis) yang berlaku dalam pelaksanaan eksekusi tersebut adalah Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Didalam pelaksanaan eksekusi objek jaminan hak tanggungan milik debitur yang telah dinyatakan pailit oleh keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut maka proses eksekusi dilakukan dengan cara eksekusi lelang. Namun sebelum proses eksekusi lelang dilakukan, Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 masih memberikan ruang yang cukup 34 Pasal 56 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 35 Pasal 56 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Salawati Suyitno 17 untuk sebuah perdamaian antara para pihak yang bersengketa dalam hal ini antara pihak kreditur dan debitur. Waktu yang disediakan untuk perdamaian adalah paling lambat 8 (delapan) hari sebelum rapat pencocokan piutang di kepaniteraan pengadilan setempat. Dan bisa ditunda sampai rapat berikut yangtanggalnya ditetapkan oleh Hakim Pengawas paling lambat 21 (dua puluhsatu). 36 Untuk dapat mengusulkan agar perusahaan debitur pailitdilanjutkan maka harus berdasarkan ketentuan; disetujui oleh kredituryang mewakili lebih dari ½ (satu perdua) dari semua piutang yang diakuidan diterima dengan sementara, yang tidak dijamin dengan hak gadai,jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaanlainnya. Apabila ini terjadi, maka dengan sendirinya demi hukum hartapailit berada dalam keadaan insolvensi. 37 Dalam hal pembagian hasil eksekusi, kreditur pemegang hak jaminan pada prinsipnya mendapat kedudukan didahulukan dibandingkandengan kreditur lainnya. Kedudukan didahulukan diatur juga dalam Pasal 1133 ayat (1) KUH Perdatamenyebutkan bahwahak untuk didahulukan diantara orang-orang berpiutang terbit dari hak istimewa, dari gadai dan dari hipotik. Dimanaapabila debitur wansprestasi (ingkar janji), kreditur pemegang hak tanggungan akan mempunyai hak yang didahulukan dalam pelunasan piutangnya dibandingkan dengan kreditur lain yang tidak memegang haktanggungan. Sifat pemenuhan piutang yang didahulukan ini disebut dengan kreditur seperatis/preferen. Sebaliknya kreditur yang tidak mempunyai hak yang didahulukan, dimana diantara kreditur-kreditur ini mempunyai kedudukan yang samaantara yang satu sama lainnya yang tidak memegang hak tanggungan, disebut dengan kreditur konkuren. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Pengaturan hukum dalam pelaksanaan eksekusi benda jaminan yang telah dibebani hak tanggungan dimana debitur telah dinyatakan pailit termuat di dalam ketentuan Pasal 6 dan Pasal 21 UUHT No. 4 Tahun 1996 dan Pasal 56 ayat 1 36 Pasal 147 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 37 Pasal 180 ayat 1 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Salawati Suyitno 18 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, dimana kreditur pemegang sertipikat hak tanggungan berhak melakukan eksekusi terhadap objek jaminan hak tanggungan seolah-olah tidak terjadi kepailitan. 2. Prosedur dan tata cara pelaksanaan eksekusi benda jaminanan yang telah diikat dengan hak tanggungan apabila debitur telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap berdasarkan Undang-Undang KPKPU adalah sejak debitur dinyatakan pailit maka kreditur tetap memiliki hak preferen untuk melakukan eksekusi terhadap objek jaminan hak tanggungan tersebut seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Apabila objek jaminan hak tanggungan tersebut telah dieksekusi berdasarkan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, maka dilakukan pelelangan terhadap objek jaminan hak tanggungan tersebut di badan pelelangan umum. Hasil pelelangan objek jaminan hak tanggungan tersebut terlebih dahulu diutamakan terhadap pembayaran utang debitur kepada kreditur pemegang sertipikat hak tanggungan tersebut. 3. Kedudukan kreditur pemegang sertipikat hak tanggungan apabila debitur telah dinyatakan pailit oleh suatu keputusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap adalah kreditur pemegang sertipikat hak tanggungan dapat melakukan eksekusi terhadap haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Ketentuan ini konsisten dengan ketentuan Parate Executie dalam Hukum jaminan atas benda agunan yang dibebankan Hak Tanggungan, hipotik, gadai dan fidusia dan kreditur pemegang hak retensi. Kedudukan kreditur separatis pasca pailit tetap mengacu kepada Pasal 55 dan Pasal 244 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, yakni kreditur separatis ditempatkan diluar dari kepailitan karena sifat dari objek jaminan hak tanggungan yang memberi hak kepada kreditur pemegang sertipikat hak tanggungan untuk mengkesekusi sendiri objek jaminannya. B. Saran 1. Pengaturan hukum tentang eksekusi objek jaminan hak tanggungan memiliki harmonisasi antara UUHT No. 4 Tahun 1996 dan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang KPKPU sehingga dalam pelaksanaan eksekusi oleh kreditur pemegang sertipikat hak tanggungan tidak mengalami hambatan dan kendala sebagai kreditur preferen yang dijamin hak-haknya dalam UUHT No. 4

Salawati Suyitno 19 Tahun 1996. 2. Diharapkan prosedur dan tata cara pelaksanaan eksekusi objek jaminan hak tanggungan bagi kreditur pemegang sertipikat hak tanggungan tidak mengalami prosedur yang berbelit-belit sehingga menyulitkan bagi kreditur pemegang sertipikat hak tanggungan dalam memperoleh kembali piutangnya yang sudah dijamin oleh UUHT No. 4 Tahun 1996 meskipun debitur pemberi hak tanggungan tersebut telah dinyatakan pailit oleh suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. 3. Hak-hak kreditur pemegang sertipikat hak tanggungan dijamin sepenuhnya dalam prosedur pelaksanaan pengambilan kembali objek hak tanggungan yang telah berada di kekuasaan kurator dalam suatu budel pailit dan pemegang sertipikat hak tanggungan hendaknya tetap memiliki keleluasaan dalam mengeksekusi objek jaminan hak tanggungan saat debitur wanprestasi sebagai pelunasan piutangnya meskipun debitur telah berada dalam keadaan pailit dan insolvensi. V. DAFTAR PUSTAKA Buku: Adjie, Habib, 2006, Hak Tanggungan sebagai Lembaga Jaminan atas Tanah, Mandar Maju, Bandung. Ali, Zainuddin, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Hartini, Rahayu, 2012, Hukum Kepailitan, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang. HS, Salim, 2011, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Hutagalung, Arie S., 2002, Serba Aneka Masalah Tanah Dalam Kegiatan ekonomi, Suatu Kumpulan Karangan, Cetakan Kedua, Badan Penerbit Fakultas Hukum Uniersitas Indonesia, Depok. Marwali, Rachman, 2012, Pembatalan APHT Akibat Tidak Berwenangnya Debitur Pemberi Hak Tanggungan, Bumi Aksara, Jakarta. Nasution, M. Arif, 2008, Metodologi Penelitian, Fisip USU Press, Medan.

Salawati Suyitno 20 Sastawidjaja, Man HS, 2006, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang, Bandung, ALUMNI. Satrio, J., 2012, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Citra Aditya Bakti, Bandung. Sinamo, Nomensen, 2010, Metode Penelitian Hukum dalam Teori dan Praktek, Bumi Intitama Sejahtera, Jakarta. Sjahdeni, Sutan Remi, 2009, Sejarah, Asas dan Teori Hukum Kepailitan Memahami Undang Undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran, Jakarta, Prenadamedia Group. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Normatif, UI Press, Jakarta. Sunarmi, 2009, Hukum Kepailitn, USU Press, Medan. Suriadi, Arya, 2011, Kepailitan di Negeri Pailit, Imtermasa, Jakarta. Suted, Adrian i, 2012, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta. Tejaningsih, Titik, 2015, Perlindungan Hukum Terhadap Kreditor Saparatis Dalam Pengurusan Dan Pemberesan Harta Pailit, Disertasi Program Doktor (S-3) Ilmu Hukum Program Pascasarjana, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Zainal Asikin dan Amiruddin, 2006, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo, Persada, Jakarta. Peraturan Perundang-Undangan Pasal 1 ayat 1 Undang Undang No. 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan. Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)