IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelompok Tani Ternak Rahayu merupakan suatu kelompok peternak yang ada di

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. peternakan seperti telur dan daging dari tahun ke tahun semakin meningkat.

I. PENDAHULUAN. Peningkatan populasi penduduk di Indonesia menyebabkan perkembangan

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, permintaan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dikenal dengan istilah susut tetas. Pengaruh perlakuan terhadap susut tetas

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan pada 28 Mei--28 Juni 2012,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Itik lokal Indonesia dikenal sebagai keturunan itik Indian Runner yang banyak

I. PENDAHULUAN. serta meningkatnya kesadaran akan gizi dan kesehatan masyarakat. Akan

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. banyaknya telur yang menetas dibagi dengan banyaknya telur yang fertil.

1. PENDAHULUAN. Salah satu produk peternakan yang memberikan sumbangan besar bagi. menghasilkan telur sepanjang tahun yaitu ayam arab.

Pengaruh Umur Telur Tetas Itik Mojosari dengan Penetasan Kombinasi terhadap Fertilitas dan Daya Tetas

PERBANDINGAN FERTILITAS SERTA SUSUT, DAYA DAN BOBOT TETAS AYAM KAMPUNG PADA PENETASAN KOMBINASI

PENGARUH UMUR TELUR TETAS PERSILANGAN ITIK TEGAL DAN MOJOSARI DENGAN PENETASAN KOMBINASI TERHADAP FERTILITAS DAN DAYA

III. BAHAN DAN MATERI. Penelitian ini dilaksanakan selama 3 minggu pada Desember 2014 Januari 2015,

PENDAHULUAN. penyediaan daging itik secara kontinu. Kendala yang dihadapi adalah kurang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo

PENDAHULUAN. memenuhi kebutuhan sumber protein. Di Indonesia terdapat bermacam-macam

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ayam arab (Gallus turcicus) adalah ayam kelas mediterain, hasil persilangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. species dari Anas plitirinchos yang telah mengalami penjinakan atau domestikasi

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bumirestu, Kecamatan Palas, Kabupaten

Pengaruh Umur dan Pengelapan Telur terhadap Fertilitas dan Daya Tetas

Penyiapan Mesin Tetas

Sumber pemenuhan kebutuhan protein asal hewani yang cukup dikenal. masyarakat Indonesia selain ayam ialah itik. Usaha beternak itik dinilai

TINJAUAN PUSTAKA. Itik adalah salah satu jenis unggas air ( water fowls) yang termasuk dalam

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada1 Maret--12 April 2013 bertempat di Peternakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. konstruksi khusus sesuai dengan kapasitas produksi, kandang dan ruangan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan pada 1 Maret--5 April 2013

Peningkatan jumlah penduduk diikuti dengan meningkatnya kebutuhan akan. bahan pangan yang tidak lepas dari konsumsi masyarakat sehari-hari.

PENDAHULUAN. semakin pesat termasuk itik lokal. Perkembangan ini ditandai dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA. potensial di Indonesia. Ayam kampung dijumpai di semua propinsi dan di

HASIL DAN PEMBAHASAN. Inseminasi Buatan pada Ayam Arab

Kata kunci: penetasan, telur itik Tegal, dan mesin tetas

I PENDAHULUAN. tidak dapat terbang tinggi, ukuran relatif kecil berkaki pendek.

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang Pengaruh Indeks Bentuk Telur terhadap Daya Tetas dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memperbanyak jumlah daya tetas telur agar dapat diatur segala prosesnya serta

II. TINJAUN PUSTAKA. Kalkun (turkey) adalah jenis unggas darat yang berasal dari kalkun liar yang

HASIL DAN PEMBAHASAN. Total jumlah itik yang dipelihara secara minim air sebanyak 48 ekor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hingga menetas, yang bertujuan untuk mendapatkan individu baru. Cara penetasan

I. PENDAHULUAN. unggas di Sumatera Barat, salah satunya adalah peternakan Itik. Di Nagari Pitalah,

I. PENDAHULUAN. masyarakat menyebabkan konsumsi protein hewani pun meningkat setiap

I. PENDAHULUAN. pengetahuan dan tingkat kesadaran masyarakat tentang kebutuhan gizi

II. TINJAUAN PUSTAKA. arab dengan ayam buras. Ayam arab mulai dikenal oleh masyarakat kira-kira

PENGARUH BANGSA ITIK ALABIO DAN MOJOSARI TERHADAP PERFORMAN REPRODUKSI (REPRODUCTIVE PERFORMANCE OF ALABIO AND MOJOSARI DUCKS) ABSTRACT ABSTAAK

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN TERHADAP FERTILITAS, SUSUT TETAS, DAYA TETAS DAN BOBOT TETAS TELUR AYAM ARAB

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Kondisi Umum Kandang Local Duck Breeding and Production Station

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. 3.1 Alat Penelitian Adapun alat-alat yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dengan metode-metode mengajar lainnya. Metode ini lebih sesuai untuk mengajarkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Aves, ordo Anseriformes, famili Anatidae, sub famili Anatinae, tribus Anatinae

PELUANG BISNIS PENETASAN TELUR ITIK

Irawati Bachari, Iskandar Sembiring, dan Dedi Suranta Tarigan. Departemen Perternakan Fakultas Pertanian USU

PENDAHULUAN. salah satunya pemenuhan gizi yang berasal dari protein hewani. Terlepas dari

Gambar 1. Itik Alabio

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April November 2016 di Desa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam pembibit atau parent stock (PS) adalah ayam penghasil final stock

I. PENDAHULUAN. Pembangunan peternakan dari tahun ke tahun semakin pesat dengan

I. PENDAHULUAN. dengan susunan asam amino lengkap. Secara umum telur ayam ras merupakan

BAB I PENDAHULUAN. khususnya akan kebutuhan daging unggas maupun telur yang kaya akan sumber

TINJAUAN PUSTAKA. Kelas: Osteichtyes, Ordo: Perciformes, Famili: Eleotritidae, Genus: Butis

Perbandingan Fase Produksi Telur Kalkun Terhadap Fertilitas, Susut Tetas, Daya Tetas, dan Bobot Tetas

I. PENDAHULUAN. Ternak itik yang berkembang sekarang merupakan keturunan dari Wild

I. PENDAHULUAN. Ketersediaan telur yang tidak mengenal musim, keunggulan gizi dari telur dan

SeminarNasional Peternakan dan Veteriner ARGONO R. SET10K0 1 dan ISTIANA 2

I PENDAHULUAN. lokal adalah salah satu unggas air yang telah lama di domestikasi, dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penetasan telur ada dua cara, yaitu melalui penetasan alami (induk ayam)

PENGARUH BOBOT TELUR TERHADAP FERTILITAS, SUSUT TETAS, DAYA TETAS, DAN BOBOT TETAS TELUR KALKUN

BAB 1 PENDAHULUAN. Tingginya kebutuhan masyarakat akan daging ayam membuat proses

Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu Vol. 3(4): , November 2015

PENGARUH UMUR INDUK ITIK DAN SPECIFIC GRAVITY TERHADAP DAYA TETAS DAN MORTALITAS EMBRIO

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ayam Lokal

Penelitian ini telah dilakukan selama 2 bulan pada bulan Februari-Maret di Laboratorium Patologi, Entomologi dan Mikrobiologi, dan Laboratorium

TUGAS AKHIR PERANCANGAN DAN PENGEMBANGAN MESIN TETAS TELUR

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Puyuh

PELUANG DAN POTENSI USAHA TERNAK ITIK DI LAHAN LEBAK ABSTRAK

Gambar 3. Kondisi Kandang yang Digunakan pada Pemeliharaan Puyuh

I. PENDAHULUAN. unggas yang lain. Itik mampu mempertahankan produksi telur lebih lama

II. TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan salah satu jenis unggas air (Waterfolws) dan dikenal dengan nama

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

USAHA PENETASAN ITIK ALABIO SISTEM SEKAM YANG DIMODIFIKASI DI SENTRA PEMBIBITAN KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA

Peluang Usaha Pengembangan Bebek Peking (telur, DOD/Day Old Duck dan pedaging) Oleh : Wawan Gunawan,A.Md (THL TBPP Kec.

TINJAUAN PUSTAKA. Itik adalah salah satu jenis ungags air ( water fawls) yang termasuk dalam

Pengaruh Umur Induk dan Specific...Netty Siboro PENGARUH UMUR INDUK ITIK DAN SPESIFIC GRAVITY TERHADAP KARAKTERISTIK TETASAN

I. PENDAHULUAN. Secara umum, ternak dikenal sebagai penghasil bahan pangan sumber protein

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Rose (1997), ayam diklasifikasikan ke dalam:

III. BAHAN DAN METODE KERJA. Penelitian ini dilaksanakan pada April 2014 di Peternakan Itik Eko Jaya dan

1. Pendahuluan. 2. Kajian Pustaka RANCANG BANGUN ALAT PENETAS TELUR SEDERHANA MENGGUNAKAN SENSOR SUHU DAN PENGGERAK RAK OTOMATIS

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. hidup sampai penelitian berakhir adalah 13 ekor jantan dan 10 ekor betina Itik

TINJAUAN PUSTAKA. (Gallus gallus gallus) dan Ayam Hutan Merah Jawa ( Gallus gallus javanicus).

1. PENDAHULUAN. pengetahuan dan tingkat kesadaran masyarakat tentang kebutuhan gizi

PENGARUH SEX RATIO AYAM ARAB TERHADAP FERTILITAS, DAYA TETAS, DAN BOBOT TETAS

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan di Pusat Pembibitan Puyuh Fakultas Peternakan

Performans Pertumbuhan Itik Talang Benih Jantan dan Betina yang Dipelihara secara Intensif

I. PENDAHULUAN. peternakan pun meningkat. Produk peternakan yang dimanfaatkan

BAB II LANDASAN TEORI

Lampiran 1 Gambar cara pengukuran, corak dan pola warna bulu itik Alabio

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS AYAM BALI DENGAN POLA SELEKSI PRODUKSI

[Pemanenan Ternak Unggas]

PEMBIBITAN DAN PENETASAN

I. PENDAHULUAN. Protein hewani memegang peran penting bagi pemenuhan gizi masyarakat. Untuk

EVALUASI TELUR TETAS ITIK CRp (CIHATEUP X RAMBON) YANG DIPELIHARA PADA KONDISI MINIM AIR SELAMA PROSES PENETASAN

KARAKTERISTIK POLA PEMBIBITAN ITIK PETELUR DI DAERAH SENTRA PRODUKSI

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah telur Itik Rambon dan

Transkripsi:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Kelompok Ternak Kelompok Tani Ternak Rahayu merupakan suatu kelompok peternak yang ada di Desa Sidodadi, Kecamatan Way Lima, Kabupaten Pesawaran, Propinsi Lampung. Kelompok ini adalah Pusat Pembibitan Unggas Pedesaan (Village Breeding Center) Desa Sidodadi yang terbagi menjadi 3 kelompok: Rahayu I, Rahayu II, dan Rahayu III. Kelompok Rahayu III merupakan kelompok pembibitan itik yang di ketuai oleh Bapak M. Yasri yang digunakan sebagai tempat penelitian ini. Penetasan ini bermula dari ide Bapak Yasri yang ingin mengembangkan populasi ternak itik di Desa Sidodadi sehingga beliau mengajukan sebuah proposal ke suatu instansi untuk pengadaan bibit itik dan mesin tetas. Dari hasil proposal tersebut diperoleh bibit itik 550 ekor dan 4 unit mesin tetas yang kemudian dibagi ke setiap kelompok. Bapak Yasri mulai melakukan penetasan pada 2010. Mesin tetas yang ada di tempat Bapak Yasri yaitu mesin tetas semi otomatis dengan kapasitas 1.000 butir yang terdiri dari 12 rak dan setiap rak berukuran 70x40 cm, dengan sumber pemanas menggunakan lampu pijar. Mesin tetas dapat dilihat pada Gambar 2.

35 Gambar 2. Mesin tetas Dari ketiga kelompok peternak yang ada di Desa Sidodadi, kelompok Bapak Yasri dan Bapak Agus (Rahayu II) yang hingga saat ini masih tetap aktif menjalankan usaha penetasanya. Dari awal terbentuk hingga sekarang anggota Kelompok Peternak Rahayu III berjumlah 30 orang. Sistem pemeliharaan itik yang diterapkan di kelompok peternak rahayu III yaitu sistem semi intensif. Umur itik tegal yang dipelihara berkisar antara 8 bulan sampai 1 tahun. Rasio perkawinan jantan dan betina yaitu 1:7 sampai 1:10 ekor. Ransum yang digunakan terdiri dari jagung, dedak, kepala ikan dan keong. Dengan perbandingan jagung, dedak, dan kepala ikan 1:3:0,1. Untuk keong takaran pemberiannya menggunakan ember, 1 ember untuk sehari atau menyesuaikan tergantung ketersediaan.

36 Pada awal usahanya Pak Yasri menetaskan telur itik 100% dilakukan di mesin tetas dan tingkat keberhasilannya hanya mencapai 30%, beliau terus mencoba hingga tingkat keberhasilan penetasan tersebut semakin meningkat yaitu mencapai 50%. Telur itik yang ditetaskan berasal dari anggota kelompok yang telah terkumpul sebelumnya kemudian dibawa ke rumah Bapak Yasri untuk ditetaskan. Pada 2011 muncul ide dari Pak Yasri untuk melakukan penetasan kombinasi yaitu telur dieramkan terlebih dahulu di entok kemudian dilanjutkan ke mesin tetas. Biasanya Pak Yasri memakai 7 atau 10 hari waktu mengeramkan telur ke entok. Berdasarkan metode tersebut menurut Pak Yasri daya tetas telur bisa mencapai 90% dan tingkat keberhasilan jika dieramkan selama 10 hari di entok mendapatkan hasil yang lebih bagus jika dibandingkan dengan 7 hari. Kegiatan penetasan ini dilakukan untuk memperbanyak populasi ternak anggota kelompok serta untuk memenuhi kebutuhan DOD (Day Old Duck) di pasaran. Telur tetas yang digunakan saat ini lebih sering berasal dari peternak daerah sekitar seperti Gedong Tataan karena telur milik anggota terkadang belum bisa memenuhi permintaan DOD yang ada. Untuk pemasaran, para konsumen memesan DOD langsung dengan Bapak Yasri dan mengambilnya ke rumah dengan harga per ekor Rp.5.000. Sistem pembagian hasil yang dilakukan oleh kelompok yaitu setiap 10 butir telur yang ditetaskan 1 butir diberikan untuk kas dan untuk biaya pemakaian listrik ditanggung oleh kelompok. B. Pengaruh Perlakuan terhadap Fertilitas Telur Fertilitas merupakan faktor utama yang menentukan keberhasilan dalam usaha penetasan karena hanya telur yang fertil yang dapat menghasilkan DOD. Rata-

37 rata fertilitas telur itik mojosari selama penelitian adalah 95 dan 96,25% seperti tertera pada Tabel 2. Tabel 2. Rata-rata fertilitas telur itik mojosari Ulangan Fertilitas P1 P2...(%)... 1 100,00 100,00 2 100,00 100,00 3 75,00 75,00 4 100,00 100,00 5 100,00 100,00 6 100,00 50,00 7 100,00 100,00 8 100,00 100,00 9 100,00 100,00 10 50,00 100,00 11 100,00 100,00 12 100,00 100,00 13 100,00 100,00 14 100,00 100,00 15 100,00 100,00 16 100,00 100,00 17 75,00 100,00 18 100,00 100,00 19 100,00 100,00 20 100,00 100,00 Jumlah 1.900,00 1.925,00 Rata-rata 95,00 96,25 Keterangan : P1 : Pengeraman dengan entok selama 7 hari kemudian dilanjutkan ke dalam mesin tetas. P2 : Pengeraman dengan entok selama 10 hari kemudian dilanjutkan ke dalam mesin tetas. Hasil uji t-student menunjukkan bahwa perlakuan pengeraman telur di entok 7 dan 10 hari yang kemudian dilanjutkan ke mesin tetas berbeda tidak nyata

38 (P>0,05) terhadap fertilitas telur itik mojosari (Tabel 11). Hal ini berarti bahwa perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh terhadap fertilitas telur itik mojosari. Fertilitas telur itik mojosari yang tidak nyata pada pengeraman 7 dan 10 hari di entok yang kemudian dilanjutkan ke mesin tetas diduga disebabkan oleh kondisi embrio telur pada saat dieramkan di entok baik 7 maupun 10 hari sama-sama berkembang dengan baik karena entok secara alami akan mengatur suhu, kelembapan, serta pemutaran telur sesuai kebutuhan embrio. Pada umur 7 dan 10 hari perkembangan embrio juga sama-sama telah melewati masa kritis pertama meskipun umur 10 hari pertumbuhan organ dalam dan jaringan luar terbentuk lebih sempurna dibandingkan dengan umur 7 hari. Namun, perbedaan hari tersebut tidak terlalu jauh sehingga tidak memengaruhi kondisi embrio pada saat dimasukkan ke dalam mesin tetas. Tidak nyatanya perlakuan juga diduga disebabkan oleh kualitas pejantan, umur induk, produksi, dan kualitas pakan yang digunakan selama dalam penelitian relatif sama dan cukup baik. Hal ini sesuai dengan Yuwanta (1983) bahwa fertilitas dipengaruhi oleh kualitas pejantan, umur induk, produksi, dan kualitas pakan. Hasil penelitian Rusandih (2001) menunjukkan bahwa kemampuan jantan yang rendah untuk mengawini betina serta kualitas sperma dan sel telur yang dihasilkan dari itik yang berumur muda (6 bulan) cenderung menghasilkan fertilitas yang rendah. Pada penelitian ini itik jantan dan betina yang digunakan masing-masing berumur 15 dan 12 bulan dan umur induk pertama kali bertelur yaitu umur 6 bulan sehingga itik tidak terlalu muda dan menghasilkan nilai fertilitas yang cukup

39 tinggi. Ransum yang diberikan untuk pejantan dan induk juga sama yaitu terdiri dari dedak, konsentrat, serta keong dengan perbandingan dedak dan konsentrat 3:1. Pemberian per hari yaitu 200 g/ekor. Menurut Whendrato dan Madya (1998), konsumsi ransum rata-rata itik mojosari per hari yaitu 130--170 g jadi pemberian tersebut cukup baik karena tidak kurang dari jumlah konsumsi ratarata. Selain faktor-faktor di atas, tidak berbedanya perlakuan pengeraman diduga disebabkan oleh faktor nongenetis (lingkungan) misalnya pengaturan suhu dan kelembapan mesin tetas. Suhu dan kelembapan di dalam mesin tetas telah diatur yaitu masing-masing berkisar antara 38--39 o C dan 60--70%. Pengaturan tersebut telah disesuaikan dengan kondisi alami entok dalam mengerami telur sehingga embrio dapat tumbuh dengan baik dan menghasilkan fertilitas yang tidak berbeda antara perlakuan 7 maupun 10 hari pengeraman di entok yang kemudian dilanjutkan ke mesin tetas. Nilai fertilitas pada penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian Rohaeni, et al., (2005) tentang penetasan telur itik alabio yang ditetaskan dengan sistem sekam yang dimodifikasi (menggunakan mesin tetas 1--15 hari kemudian dilanjutkan dengan metode sekam hingga menetas) di Sentra Pembibitan Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Fertilitas yang dihasilkan berkisar antara 70--99% dengan rata-rata 95%.

40 C. Pengaruh Perlakuan terhadap Susut Tetas (Weight Loss) Rata-rata susut tetas telur itik mojosari selama penelitian berkisar antara 8,30 dan 8,11% seperti tertera pada Tabel 3. Hasil uji t-student menunjukan bahwa perlakuan pengeraman telur di entok 7 dan 10 hari yang kemudian dilanjutkan ke mesin tetas berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap susut tetas telur itik mojosari (Tabel 13). Hal ini berarti bahwa perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh terhadap susut tetas telur itik mojosari. Tabel 3. Rata-rata susut tetas (weight loss) telur itik mojosari Ulangan Susut tetas P1 P2...(%)... 1 7,16 11,66 2 8,04 8,49 3 12,75 7,20 4 8,85 7,90 5 8,11 7,95 6 8,05 8,20 7 7,02 6,79 8 7,92 7,61 9 7,37 6,51 10 7,33 5,77 11 8,08 6,87 12 7,54 8,11 13 7,46 8,44 14 7,04 6,74 15 7,70 8,69 16 8,10 9,20 17 9,74 8,59 18 9,59 8,85 19 8,40 10,43 20 9,75 8,27 Jumlah 166 162,27 Rata-rata 8,30 8,11

41 Keterangan : P1 : Pengeraman dengan entok selama 7 hari kemudian dilanjutkan ke dalam mesin tetas. P2 : Pengeraman dengan entok selama 10 hari kemudian dilanjutkan ke dalam mesin tetas. Perlakuan tidak berbeda nyata pada P1 dan P2 terhadap susut tetas karena susut tetas dipengaruhi oleh suhu, kelembapan, dan tebal kerabang. Sedangkan pada perlakuan P1 dan P2 baik suhu, kelembapan, dan tebal kerabang yang digunakan relatif sama. Kerabang telur yang terlalu tebal menyebabkan telur kurang terpengaruh oleh suhu penetasan sehingga penguapan air dan gas sangat kecil. Telur yang berkerabang tipis mengakibatkan telur mudah pecah sehingga tidak baik untuk ditetaskan (Rasyaf, 1998). Pada penelitian ini telah dipilih telur-telur yang kerabangnya relatif sama tidak terlalu tebal dan tidak terlalu tipis dan cara melihat tebal atau tipisnya kerabang yaitu dengan melihat warna kulit telur. Dipilih telur yang memiliki warna kerabang yang tidak terlalu tua atau terlalu muda karena seperti yang dikatakan oleh Kurtini (1988), telur yang kerabangnya tebal yaitu telur yang warna kulitnya terlalu tua sedangkan yang tipis yaitu yang warnanya terlalu muda. Telur yang warnanya lebih tua memiliki tebal kulit telur yang lebih tebal (0,46 mm) dibandingkan dengan warna yang sedang (0,43 mm), dan warna yang terang (0,39 mm). Penyusutan berat telur selama masa pengeraman menunjukkan adanya perkembangan dan metabolisme embrio, yaitu dengan adanya pertukaran gas vital oksigen dan karbon dioksida serta penguapan air melalui kerabang telur (Peebles dan Brake, 1985). Menurut Tullet dan Burton (1982), penyusutan berat telur diakibatkan oleh pengaruh suhu dan kelembapan selama masa pengeraman. Suhu

42 yang tinggi di dalam mesin tetas mengakibatkan perbedaan suhu antara embrio dan mesin tetas (Suarez, et al., 1996). Semakin tinggi suhu maka kelembapan menjadi rendah dan telur akan mengalami pengeluaran panas yang lebih besar melalui evaporasi. Menurut Buhr dan Wilson (1991), kelembapan memiliki hubungan terbalik dengan persentase kehilangan berat telur. Kelembapan 43% mengakibatkan kehilangan berat telur sebesar 0,60%, kelembapan 55% mengakibatkan kehilangan berat telur sebesar 0,54% dan kelembapan 69% mengakibatkan kehilangan berat telur sebesar 0,40%. Untuk kisaran normal penyusutan berat telur ayam selama proses penetasan yang dianjurkan yaitu 12--14% (North dan Bell, 1990). Pada penelitian ini nilai susut tetas masih dalam kisaran normal karena tidak terlalu rendah dari yang dianjurkan oleh North dan Bell (1990) tersebut. Nilai susut tetas pada penelitian ini juga tidak jauh berbeda dari hasil penelitian yang dilaporkan oleh Weis, et al., (2011) yang menyatakan bahwa rata-rata susut tetas telur itik manila selama 20 hari yaitu sebesar 9.94±1.86%. Suhu dan kelembapan di dalam mesin tetas pada penelitian ini telah diatur yaitu berkisar antara 38--39 o C dan 60--70%. Namun berdasarkan catatan harian, suhu dan kelembapan berkisar antara 38--40 o C dan 60--68% (Tabel 9). Keadaan ini masih dalam kisaran normal yang bisa ditoleransi oleh embrio di dalam telur sehingga tidak menyebabkan perbedaan yang nyata masing-masing perlakuan. Menurut Rasyaf (1998), suhu yang dibutuhkan untuk menetaskan telur itik yaitu sekitar 100--101,1 o F (37,78--38,39 o C).

43 D. Pengaruh Perlakuan terhadap Daya Tetas Rata-rata daya tetas telur itik mojosari selama penelitian berkisar antara 72,92 dan 74,17% seperti tertera pada Tabel 4. Hasil uji t-student menunjukkan bahwa perlakuan pengeraman telur di entok 7 dan 10 hari yang kemudian dilanjutkan ke mesin tetas berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap daya tetas telur itik mojosari (Tabel 15). Hal ini berarti bahwa perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh terhadap daya tetas telur itik mojosari. Daya tetas dihitung dengan membandingkan jumlah telur yang menetas dengan jumlah seluruh telur yang fertil. Semakin tinggi jumlah telur yang fertil dari jumlah telur yang ditetaskan akan dihasilkan persentase daya tetas yang tinggi pula (North dan Bell, 1990). Tidak nyatanya pengaruh perlakuan terhadap daya tetas pada penelitian ini kemungkinan disebabkan oleh fertilitas yang tidak berbeda nyata. Namun jika dilihat dari nilai fertilitas yang cukup tinggi baik pada P1 maupun P2 sedangkan nilai daya tetas yang relatif rendah hal ini kemungkinan disebabkan oleh pada perlakuan P1 dan P2, telur telah terkontaminasi oleh mikroba selama pengeraman di entok. Kontaminasi tersebut kemungkinan berasal dari sarang yang kotor serta kondisi entok yang kurang bersih sewaktu entok kembali ke sarang setelah turun untuk makan dan mendinginkan tubuh. Sesuai dengan yang diungkapkan oleh Setiadi, et al., (1992) bahwa kebersihan induk entok berpengaruh pada perkembangan embrio yang menyebabkan daya tetas menjadi rendah dan daya tetas masih dapat ditingkatkan apabila faktor kebersihan induk diperhatikan.

44 Tidak berpengaruhnya perlakuan terhadap daya tetas telur itik mojosari kemungkinan juga disebabkan oleh tidak berbedanya perlakuan terhadap susut tetas, karena susut tetas merupakan salah satu faktor yang memengaruhi daya tetas. Semakin besar susut tetas kemungkinan akan mengakibatkan embrio gagal menetas akibat dehidrasi karena penguapan yang terlalu besar sedangkan susut tetas yang terlalu kecil kemungkinan embrio tidak bermetabolisme. Tabel 4. Rata-rata daya tetas telur itik mojosari Ulangan Daya tetas P1 P2...(%)... 1 25,00 50,00 2 50,00 75,00 3 66,67 66,67 4 100,00 100,00 5 75,00 100,00 6 75,00 100,00 7 75,00 0,00 8 50,00 75,00 9 75,00 50,00 10 50,00 66,67 11 100,00 33,33 12 100,00 100,00 13 75,00 75,00 14 75,00 100,00 15 100,00 100,00 16 50,00 100,00 17 66,67 66,67 18 75,00 75,00 19 75,00 75,00 20 100,00 75,00 Jumlah 1.458,34 1.483,34 Rata-rata 72,92 74,17

45 Keterangan : P1 : Pengeraman dengan entok selama 7 hari kemudian dilanjutkan ke dalam mesin tetas. P2 : Pengeraman dengan entok selama 10 hari kemudian dilanjutkan ke dalam mesin tetas. Pada penelitian ini rata-rata susut tetas masih dalam kisaran yang tidak terlalu tinggi atau terlalu rendah meskipun rata-rata susut tetas masih di bawah kisaran yang dianjurkan oleh North dan Bell (1990) yaitu 12--14% untuk telur ayam selama di setter (1--18 hari). Selain fertilitas dan susut tetas faktor lain yang kemungkinan memengaruhi tidak nyatanya perlakuan terhadap daya tetas antara lain yaitu kebersihan telur, kerabang telur, suhu dan kelembapan, serta pemutaran telur. Telur yang kotor tidak dapat digunakan untuk penetasan karena terkontaminasi oleh bakteri (Rose, 1997). Lyons (1998) juga menyatakan bahwa mikroorganisme dapat menyebabkan daya tetas jelek dan banyak telur busuk. Telur yang digunakan pada penelitian ini telah dipilih yang bersih dan sebelum dieramkan telah dibersihkan dengan desinfektan. Telur juga telah dipilih yang memiliki kerabang tidak terlalu tebal atau terlalu tipis. Suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan gangguan syaraf, jantung, pernapasan, dan ginjal serta akan menyebabkan membran embrio mengering sehingga membunuh embrio, sedangkan suhu yang rendah pada penetasan menyebabkan pertumbuhan yang tidak proporsional (Lyons, 1998). Meskipun pengeraman di induk kemungkinan akan menghasilkan daya tetas yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengeraman menggunakan mesin tetas, namun karena pengaturan suhu dan kelembapan di dalam mesin tetas relatif sesuai dengan kondisi alami di induk dan pada saat di induk baik P1 maupun P2 mendapatkan

46 pengaturan suhu dan kelembapan yang relatif sama karena induk yang digunakan juga relatif sama sehingga menyebabkan perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap daya tetas. Frekuensi pemutaran telur juga memengaruhi daya tetas. Penelitian Daulay, et al., (2008) menunjukan bahwa perlakuan frekuensi pemutaran telur 8 kali/hari menghasilkan daya tetas tertinggi dibandingkan dengan perlakuan dengan frekuensi pemutaran 2; 4; dan 6 kali/hari. Pada penelitian ini pemutaran telur masing-masing perlakuan hanya dilakukan 3 kali/hari. Namun keadaan ini telah memenuhi standar seperti yang di kemukakan oleh Widyarti (1998) yang menyatakan bahwa pemutaran telur itik dilakukan paling sedikit tiga atau sampai empat kali sehari semalam. Daya tetas pada penelitian ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian Rohaeni, et al., (2005) tentang penetasan telur itik alabio yang ditetaskan dengan sistem sekam yang dimodifikasi (menggunakan mesin tetas 1--15 hari kemudian dilanjutkan dengan metode sekam hingga menetas) di Sentra Pembibitan Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Daya tetas yang diperoleh berkisar antara 50--70% dengan nilai rata-rata 66,12%. E. Pengaruh Perlakuan terhadap Bobot Tetas Rata-rata bobot tetas telur itik mojosari selama penelitian adalah 42,20 dan 41,15g seperti tertera pada Tabel 5. Hasil uji t-student menunjukkan bahwa perlakuan pengeraman telur di entok 7 dan 10 hari yang kemudian dilanjutkan ke mesin tetas berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap bobot tetas telur itik mojosari (Tabel 17).

47 Hal ini berarti bahwa perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh terhadap bobot tetas telur itik mojosari. Tabel 5. Rata-rata bobot tetas telur itik mojosari Ulangan Bobot tetas P1 P2...(g)... 1 43,79 40,95 2 47,93 44,70 3 42,07 42,21 4 45,61 43,52 5 42,49 43,30 6 41,65 42,39 7 42,41 0,00 8 43,33 47,37 9 43,73 45,74 10 41,80 40,64 11 37,31 39,71 12 41,30 42,80 13 38,01 40,63 14 41,13 42,81 15 43,84 43,70 16 40,68 44,01 17 41,18 44,01 18 44,49 45,06 19 38,71 45,03 20 42,54 44,46 Jumlah 844 823,04 Rata-rata 42,20 41,15 Keterangan : P1 : Pengeraman dengan entok selama 7 hari kemudian dilanjutkan ke dalam mesin tetas. P2 : Pengeraman dengan entok selama 10 hari kemudian dilanjutkan ke dalam mesin tetas. Bobot tetas dipengaruhi oleh susut tetas telur selama penetasan. Pada penelitian ini menunjukkan pengaruh yang tidak nyata antara perlakuan pengeraman selama

48 7 dan 10 hari di induk yang kemudian dilanjutkan ke mesin tetas terhadap susut tetas, sehingga bobot tetas juga menjadi tidak berbeda nyata. Selain itu, bobot tetas itik memiliki hubungan erat dengan bobot telurnya, semakin besar bobot telur maka anak itik yang menetas semakin besar (Gunawan, 2001). Hal ini didukung oleh hasil penelitian Hermawan (2000) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang sangat nyata (P<0,01) antara bobot telur dan bobot tetas. Pada penelitian ini rata-rata bobot telur yang digunakan masing-masing perlakuan yaitu 67,27 dan 66,70 g antara kedua perlakuan hanya sedikit sekali perbedaan bobotnya dan masih dalam kisaran yang normal. Hal ini didukung oleh pernyataan Kortlang (1985) yang menyatakan bahwa bobot telur itik yang baik untuk ditetaskan antara 65--75 g dengan bentuk yang normal sehingga hal ini menyebabkan perlakuan tidak berbeda nyata terhdap bobot tetas telur itik mojosari.