Serambi Rumah dan Hotel di Hindia-Belanda dalam Konsep Denotasi dan Konotasi Roland Barthes. Achmad Sunjayadi

dokumen-dokumen yang mirip
KARAKTER SPASIAL BANGUNAN KOLONIAL RUMAH DINAS BAKORWIL KOTA MADIUN

BAB II DATA DAN ANALISA. Sumber data-data untuk menunjang studi Desain Komunikasi Visual diperoleh. 3. Pengamatan langsung / observasi

BAB I PENDAHULUAN. Mega Destatriyana, 2015 Batavia baru di Weltevreden Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.

BAB 2 DATA DAN ANALISA

Hidup Sehat. Peta Konsep. Halaman 1 dari 8

b e r n u a n s a h i jau

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB II DATA DAN ANALISA

Konsep Tata Masa. Parkir. Green area. Green area

BAB IV KONSEP PERANCANGAN

DENAH LT. 2 DENAH TOP FLOOR DENAH LT. 1

Bayanaka Canggu. tentang sebuah rumah peristirahatan di Bali, 2007 oleh: Fransiska Prihadi 1

KISI-KISI PEDOMAN WAWANCARA

BAB V K O N S E P P E R A N C A N G A N

BAB 2 DATA DAN ANALISA

BAB I PENDAHULUAN. Ada beberapa budaya dari Etnis Tionghoa seperti Cheng beng, upacara

Fasilitas Komersial (Area Makan Lantai 1) (2)

BAB 5 KESIMPULAN. 88 Universitas Indonesia. Gereja Koinonia..., Rinno Widianto, FIB UI, 2009

BAB III RUMAH ADAT BETAWI SETU BABAKAN. 3.1 Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan

(Aku Melihatnya & Dia Melihatku)

Menilik Sisi Lain Ibukota di Kota Tua Fatahillah

BAB I PENDAHULUAN. Museum merupakan tempat yang sangat bernilai dalam perjalanan

I. 1. Latar Belakang I Latar Belakang Pengadaan Proyek

BANGUNAN BALAI KOTA SURABYA

GALERI SENI UKIR BATU PUTIH. BAB I.

PERANCANGAN KOMUNIKASI VISUAL PUBLIKASI BUKU SEJARAH YANG TERSIMPAN DALAM MUSEUM FATAHILLAH

HIGHER SCHOOL CERTIFICATE EXAMINATION INDONESIAN 2/3 UNIT (COMMON) LISTENING SKILLS TRANSCRIPT

Trainers Club Indonesia Surabaya Learning Forum episode 28. Rabu 29 Juli 2009 WILLEM ISKANDAR

BAB I PENDAHULUAN. Dalam perjalanan sejarah, pada titik-titik tertentu terdapat peninggalanpeninggalan

HASIL DAN PEMBAHASAN

KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN. perumahan di Kota Sleman dan lahan pertanian masih tetap. penggunaan tanah sebagai pertimbangan utama, juga harus

BABV ADAPTIVE RE-USE. Upaya yang akan dilakukan untuk perencanaan perubahan fungsi bangunan Omah Dhuwur Gallery adalah sebagai berikut:

pada bangunan yang berkembang pada masa Mesir kuno, Yunani dan awal abad

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

BAB IV TINJAUAN KHUSUS

KOPI DI CANGKIR PELANGI..

BAB 5 KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN. dengan lingkungannya yang baru.

BAB 4 KESIMPULAN. Universitas Indonesia. Bntuk dan..., Albertus Napitupulu, FIB UI, 2009

LAMPIRAN 3 ANGKET KUESIONER RUMAH KOS IDAMAN MAHASISWA

DENAH LINGKUNGAN RUMAH DAN SEKOLAH

Lampiran 1 PEDOMAN WAWANCARA ANALISIS STRATEGI BISNIS KELUARGA PADA KEDAI KOPI MASSA KOK TONG DI PEMATANGSIANTAR DALAM MENINGKATKAN LOYALITAS

BAB VII RENCANA. 7.1 Mekanisme Pembangunan Rusunawa Tahapan Pembangunan Rusunawa

KEHIDUPAN ORANG JEPANG. tertentu saja. Misalnya pada waktu sejin shiki (hari kedewasaan), kekkon shiki (hari

BAB VI HASIL RANCANGAN. dalam perancangan yaitu dengan menggunakan konsep perancangan yang mengacu

2.2 Tinjauan Gaya Neo Klasik Eropa dan Indonesia Sejarah Gaya Arsitektur Neo Klasik

Lalu, Ada Makam Hoo Tjien Siong

Country Living. Juni 2017

sesudah adanya perjanjian Wina dan terutama dibukanya terusan Suez. Hal

LAMPIRAN. Ziesel (1981) didalam bukunya mengatakan bahwa : they do. How do activities relate to one another spatially. And how do spatial

SAINS ARSITEKTUR II BANGUNAN ARSITEKTUR YANG RAMAH LINGKUNGAN MENURUT KONSEP ARSITEKTUR TROPIS. Di susun oleh : Di Susun Oleh :

BAB III KONSEP PERANCANGAN

BAB 2 EKSISTING LOKASI PROYEK PERANCANGAN. Proyek perancangan yang ke-enam ini berjudul Model Penataan Fungsi

Dimana saja tempat yang bisa dikunjungi di surabaya?

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Menara Kudus. (Wikipedia, 2013)

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

JURNAL UNIVERSITAS GUNADARMA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN HOTEL RESORT DI WISATA PANTAI ALAM INDAH. Disusun Oleh :

BAB 4 KESIMPULAN. Nonton bareng..., Rima Febriani, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pariwisata Indonesia merupakan salah satu sektor yang mempengaruhi

SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 6 MALANG

PERANCANGAN TAPAK II DESTI RAHMIATI, ST, MT

HASIL PERANCANGAN ... BAB IV. 4.1 Deskripsi Umum Projek

BAB II URAIAN TEORITIS MENGENAI MUSEUM

Setiap orang pasti mempunyai gagasan

BAB 1 KONDISI KAWASAN KAMPUNG HAMDAN

Denah Lingkungan Rumah dan Sekolah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anies Taufik Anggakusumah, 2013

Rumah Baca sebagai Representasi Pemikiran Arsitektur Achmad Tardiyana

Paket Wisata di Bali 5 Hari 4 Malam : Edisi Keluarga Ceria

BAB IV PENGAMATAN PERILAKU

Arsitektur Modern Indonesia (1940-Abad 20) BY: Dian P.E Laksmiyanti, S.T, M.T

JAM SEBAGAI STARTING POINT DALAM PEMBELAJARAN SUDUT DI SEKOLAH DASAR. Oleh Shahibul Ahyan

The Greatness of Design and. Designer. Heroes of the month. Karl Lagerfeld s New Store. Houses in CEBU Milan. Yuni Jie

BAB 1. Pendahuluan. Negara Indonesia selain terkenal dengan Negara kepulauan, juga terkenal dengan keindahan alam dan kekayaan hutan.

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

IV. ANALISIS KARYA. di kota Surakarta. Penulis tertarik memvisualisasikan tradisi upacara minum teh

Kandy City Sri Lanka. dataran tinggi Kandy. Saat ini kota Kandy menjadi ibu kota administratif dan kota suci Central Province, Sri Lanka.

BAB IV KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

Soedjono-Tresno Private High School (STPHS) (I)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Ketentuan dalam pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Sirkulasi Bangunan Rumah Tinggal Kampung Kauman Kota Malang

BAB IV PEMBAHASAN Pembahasan Data Hasil Observasi Dari data hasil observasi dapat dibahas sebagai berikut:

KAJIAN OBJEK ARSITEKTUR JAWA TIMUR

LAMPIRAN. Lampiran 1. Rencana Tapak Seluruh Kompleks Istana Kepresidenan Bogor. Sumber: Bag. Teknik Istana Bogor, 2012

SUMBU POLA RUANG DALAM RUMAH TINGGAL DI KAWASAN PECINAN KOTA BATU

BAB II MENEMUKENALI SPESIFIKASI TIRTA UJUNG DI KARANGASEM

Batu City Tour. Jatim Park 1 dikelilingi hawa pegunungan yang segar, banyak permainan dan hiburan yang dapat dipilih.

BAB V KONSEP DAN RANCANGAN RUANG PUBLIK (RUANG TERBUKA)

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Statistik Kunjungan Wisatawan ke Indonesia Tahun Tahun

Teknis Menggambar Desain Interior

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V KONSEP PERANCANGAN

Penggunaan Konsep Barisan Fibonacci dalam Desain Interior dan Arsitektur

HIGHER SCHOOL CERTIFICATE EXAMINATION. Indonesian Beginners. (Section I Listening) Transcript

GENDER DALAM TERITORI

BAB VI HASIL RANCANGAN. wadah untuk menyimpan serta mendokumentasikan alat-alat permainan, musik,

MUSEUM AFFANDI YOGYAKARTA

BAB pagi 2 dini hari Kegiatan. Makan, minum, bersantai, bertemu teman. Menengah ke atas Fasilitas

KAWASAN CAGAR BUDAYA KOTABARU YOGYAKARTA. Theresiana Ani Larasati

BAB V KONSEP PERANCANGAN. tema perancangan dan karakteristik tapak, serta tidak lepas dari nilai-nilai

Berkas Pedoman untuk Penyedia Kamar Inap

Transkripsi:

Serambi Rumah dan Hotel di Hindia-Belanda dalam Konsep Denotasi dan Konotasi Roland Barthes Achmad Sunjayadi Pendahuluan Serambi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) merupakan beranda atau selasar yang agak panjang, bersambung dengan induk rumah. Biasanya terletak lebih rendah daripada induk rumah. Sedangkan beranda merupakan ruang beratap terbuka yang tidak berdinding di bagian samping atau depan rumah, biasanya dipakai untuk tempat duduk santai sambil makan angin. Kata beranda berasal dari veranda atau verandah yang diambil dari bahasa Portugis varanda. Secara etimologi kata ini diperkenalkan dari India yang merupakan kombinasi antara kata bahar yang berarti di luar dan andar yang artinya di dalam. Bentuk kombinasi bahar-andar atau baharanda mengalami proses anglisasi menjadi veranda yang berarti sebuah ruangan baik di dalam maupun di luar. Serambi merupakan bagian dari bangunan di Hindia-Belanda yang mendapatkan pengaruh budaya. Dalam perkembangannya serambi di rumah-rumah di Hindia-Belanda pada awalnya memiliki fungsi tertentu yang sifatnya domestik. Kelak, serambi juga digunakan oleh hotel-hotel sebagai salah satu fasilitas yang dinikmati oleh publik. Dalam artikel ini dibahas perkembangan fungsi dan berbagai kegiatan di serambi dari masa VOC hingga Hindia-Belanda berdasarkan pengaruh budaya Indis terhadap fungsi bangunan yang dikaitkan dengan konsep denotasi dan konotasi Roland Barthes dengan menitikberatkan pada fungsi pada salah satu bagian bangunan rumah yaitu serambi. Makna serambi atau beranda rumah di Hindia-Belanda berdasarkan konsep denotasi dan konotasi Roland Barthes Pada awalnya (sekitar abad 17) bentuk rumah-rumah yang dibangun dan ditinggali oleh orangorang Belanda di Hindia-Belanda serupa dengan rumah-rumah di Belanda. Terutama rumahrumah yang berada dalam benteng di Batavia, maupun di kota-kota lainnya. Bangunan rumah

tersebut berupa bangunan berlantai satu atau dua dengan dinding samping yang menempel dengan bangunan di sebelahnya. Pada masa itu di Batavia ada peraturan bangunan yang mewajibkan penggunaan bata untuk bangunan di dalam kota karena bahaya kebakaran (Blackburn 2011: 23). Rumah-rumah yang terbuat dari batu tersebut tidak semua memiliki serambi. Apabila kita melihat denah rumah di dalam kastil Batavia sekitar 1698 (gambar 1) dan foto rumah di Spinhuisgracht Batavia (sekarang Jalan Petak Asem dan Tiang Bendera II) terlihat tidak adanya serambi (gambar 2). Gambar 1. Denah dua rumah untuk Opperkoopman di Kastil Batavia sekitar 1698 ( sumber: www.atlasmutualheritage.nl) Bila melihat denah rumah di atas yang berbentuk segi empat, mengacu pada McLuhan (1994 [1964]), dapat dikatakan merupakan rumah pada masyarakat modern karena masyarakat modern adalah masyarakat yang stabil, berbeda dengan masyarakat nomaden (Dant 1999: 62). Gambar 2. Rumah Oud Hollands di Spinhuisgracht Batavia sekitar 1920-an (Koleksi KITLV)

Tidak banyak rumah batu pada masa VOC yang memiliki serambi. Apalagi jika rumah tersebut tidak memiliki halaman. Namun, apabila sebuah rumah memiliki serambi maka tempat itu merupakan tempat yang paling digemari oleh penduduk Batavia pada masa VOC. Di tempat inilah kebanyakan warga Eropa maupun penduduk pribumi bersantai, melewatkan waktu senggang mereka. Apalagi orang Eropa menyukai area terbuka di depan rumah. Demikian pula halnya dengan para mardijker, warga etnis Asia lain serta para pelancong yang baru tiba dengan kapal (Soekiman 2000:141; Niemeijer 2005: 168; Blackburn 2011:23). Menurut Niemeijer kata serambi lebih sering muncul dalam dokumen-dokumen notaris dibandingkan veranda (beranda). Hal ini mungkin disebabkan karena penamaan yang lebih baru (Niemeijer 2005:375). Sementara itu Mingaars (2005:612) memberikan gambaran serambi/beranda sebagai berikut: Rumah-rumah kuno Indis biasanya memiliki atap yang ditopang dengan pilar-pilar. Bagian beratap antara pilar dan dinding disebut serambi depan, serambi samping dan belakang. Luasnya tergantung dari rumahnya tetapi setiap rumah memiliki sebuah serambi depan. Bagian ini merupakan tempat orang di kursi malas, berlindung dari matahari, menerima tamu. Aktivitas yang dilakukan orang di serambi adalah duduk-duduk santai sambil mengobrol berbagai hal dan persoalan, memperbincangkan beraneka peristiwa atau menggunjingkan berbagai kelakuan orang dan sahabat. Mereka yang berjalan-jalan di Batavia pada malam hari pada masa itu, pasti melewati sejumlah serambi yang penuh sesak dengan orang yang sibuk berceloteh (Niemeijer 2005:168 ). Seperti pengalaman Joan Bitter yang baru datang dari Belanda pada 1675. Pada suatu malam tahun 1683 ia berkesempatan pergi menjenguk anak-anaknya di malam hari, dia harus melewati begitu banyak orang yang duduk atau berseliweran di serambi dan jalan (Blusse 1997 : 160) Pada masa VOC serambi merupakan pos ronda ideal, lokasi yang strategis untuk tempat pengamatan karena selain letaknya yang bersinggungan langsung dengan derap kehidupan di jalan umum juga membatasi ranah kehidupan pribadi. Serambi juga merupakan tempat untuk dapat duduk santai di luar, apalagi rumah-rumah batu pada masa itu letaknya in de rij (berderet) dan tidak memiliki halaman (lihat gbr. 2). Sehingga tempat masuk utama ke dalam rumah-rumah Batavia melalui serambi yang biasanya merupakan emperan sempit memanjang, sambung menyambung di depan dereten rumah. Biasanya di atas emperan dibuat atap sederhana yang ditopang tiang-tiang kayu dan ada juga yang dilengkapi dengan pagar kayu sederhana. Emperan

yang agak besar dengan mudah menjadi serambi depan rumah (voorgalerij) yang cukup luas untuk menampung orang banyak (Soekiman 2000:141; Niemeijer 2005:168) Serambi yang agak sempit pun dapat dijadikan tempat untuk bercengkrama. Para pria asyik mengisap pipa, menenggak arak atau segelas anggur dari Tanjung Harapan. Sedangkan para wanita sibuk menikmati teh sambil mencicipi kue-kue kering lalu mengunyah sirih dan pinang untuk menyegarkan mulut (Niemeijer 2005:169) Untuk serambi yang agak luas (besar) biasanya menjadi tempat duduk untuk para tamu karena mengacu kepada kebiasaan di Timur, para tamu jarang sekali diperbolehkan masuk ke dalam rumah. F de Haan dalam Oud Batavia (1922) mengatakan bahwa serambi dengan berbagai kegiatannya berasal dari gaya hidup khas Holland (Belanda). Memang pembagian ruang di banyak rumah, khususnya di Batavia mungkin merupakan ciri khas Belanda tetapi serambi beserta berbagai aktivitasnya merupakan ciri khas Asia. Di kebanyakan rumah warga Cina juga ada serambi yang juga berfungsi sebagai tempat bersantai. Dalam daftar warisan warga Cina ditemukan pula barang-barang yang lazim dipakai untuk menghias serambi seperti kandang burung, aneka guci dan bangku-bangku bambu (Niemeijer 2005:169). Barang-barang lainnya yang juga menghiasi serambi rumah-rumah warga Cina adalah lukisan, lampu gantung, hiasan dinding (lihat gambar 3). Barang-barang yang masuk dalam daftar warisan tersebut menurut Kopytoff (1986) memiliki biografi. Barang-barang yang masuk daftar warisan tersebut mungkin saja berasal dari nenek moyang mereka di daratan Cina yang awalnya memiliki fungsi sebagai perabot rumah tangga biasa (bangku, guci) lalu benda-benda itu dibawa ke Nusantara menjadi benda yang diwariskan turun-menurun dan sangat bernilai serta memiliki makna bagi keluarga tersebut. Sehingga dapat dikatakan tidak hanya manusia yang memiliki kehidupan sosial, benda pun memiliki kehidupan sosial (Woodward 2007:103).

Gambar 3. Rumah warga Cina di Molenvliet West Batavia (Jl. Hayam Wuruk-Gajah Mada) sekitar 1860-1865 (sumber: koleksi KITLV) Meskipun sebagai salah satu pusat tempat kehidupan sosial, serambi merupakan tempat pribadi (domestik) yang tidak dapat dimasuki begitu saja. Apabila seorang tetangga mengumbar lelucon atau penghinaan yang keterlaluan, seringkali yang merasa tersinggung berteriak dari serambinya, menantang si pembual lancang itu berkelahi di jalan karena berkelahi di serambi dianggap sebagai pelanggaran yang jauh lebih berat ketimbang berkelahi di jalan (Niemeijer 2005: 169) Bila pada sore dan malam hari, para pria mendominasi serambi maka pada siang hari, biasanya para wanita lah yang banyak beraktivitas di serambi. Para nyonya kulit putih, nyonya indo dan para wanita pribumi menghabiskan waktu dengan duduk santai di bawah atap serambi. Di sini dapat dikatakan serambi menjadi tempat gender space (ruang gender) berdasarkan time (waktu). Dari tempat yang strategis itu mereka dapat mengawasi para budak dengan lebih ketat sambil mengobrol dengan tetangga. Oleh karena itu tidak mengherankan jika orang yang baru pertama kali menginjakkan kaki di Batavia pada masa itu dan berjalan melewati deretan rumah sering berkata dalam hati betapa para nyonya di Batavia tidak punya kegiatan lain selain sibuk mengawasi dan memerintah para budak (Niemeijer 2005:170) Mengenai para wanita yang melakukan kegiatan di serambi, Nicolaus de Graaf bergumam mereka [para wanita] menuntut agar dilayani seperti puteri-puteri raja dan beberapa yang memiliki banyak budak mengharuskan budak-budak itu menjaga serta melayani mereka sepanjang siang dan malam bagaikan anjing (Warnsinck 1930:13)

Sementara itu rumah-rumah yang berada di luar benteng berbeda. Rumah-rumah tersebut lebih besar dan memiliki halaman atau kebun yang luas. Sebelum VOC bubar pada 1799, memang banyak warga intramuros (benteng) yang pindah ke wilayah yang ketika itu masih termasuk ommelanden yaitu Molenvliet, Noordwijk, Rijswijk bahkan sampai ke Weltevreden. Penyebab perpindahan itu adalah kondisi intramuros yang buruk dan menyebarnya epidemi malaria, tifus dan disentri. 1 Rumah-rumah yang mereka tinggali dikenal dengan landhuis. Kita mengenalnya dengan istilah pesanggrahan. Apabila kita perhatikan gambar-gambar, foto-foto pada masa itu atau jika bangunan-bangunan itu masih ada hingga kini akan jelas terlihat perbedaannya antara bangunan dalam benteng dan di luar benteng. Gaya bangunan landhuizen yang terletak di luar benteng berbentuk campuran yaitu tipe rumah Belanda dengan rumah pribumi Jawa. Gaya bangunan campuran itu dikenal dengan gaya Indis (Soekiman 2000:137). Gaya bangunan landhuis bersifat simetris dengan ruang tengah sebagai pusat kegiatan dan beratap cungkup (Sachari 2007:91) Gambar 4. Landhuis Kampung Makassar sekitar tahun 1930-an (sumber: koleksi KIT Amsterdam) Dalam konteks orang-orang Belanda yang datang ke Nusantara, awalnya mereka membangun dengan orientasi budaya Belanda. Bahkan pada bangunan-bangunan tertentu corak bangunannya mirip dengan rumah para pedagang kaya di kota-kota di Belanda seperti Baarn atau Hilversum (Soekiman 2000:137). Lalu mereka membangun rumah dengan menyesuaikan sesuai dengan 1 Untuk gambaran tentang kesehatan di Batavia pada abad ke-18 lihat P.H. van den Brug Malaria en malaise; de VOC in Batavia in de achttiende eeuw (Amsterdam: de Bataafse Leeuw, 1994)

iklim tropis di Nusantara. Menurut Amos Rapaport dalam House and Culture (1969:61) iklim, konstruksi dan bahan adalah faktor modifikasi sekunder dalam menentukan bentuk yang membatasi pilihan. Namun, faktor penentu utama dalam membangun sebuah rumah adalah budaya membangun rumah (Dant 1999:64) Seperti halnya serambi rumah warga Cina, pada serambi landhuis, terutama rumah-rumah di perkebunan ditemukan pula berbagai barang dan perabotan. Seperti kursi malas, meja, pot bunga, kandang burung dan hiasan-hiasan dinding lainnya (lihat gambar 5). Adanya bermacam-macam aktivitas dan benda dan perabotan di serambi dapat dikatakan bahwa salah satu bagian dari bangunan rumah (di sini serambi) berisi aturan dan konvensi dari budaya tertentu demikian pula dengan manusia dan benda-benda yang dimiliki ternyata memiliki biografi (benda warisan). Aturannya adalah serambi merupakan tempat bersantai, bukan tempat untuk makan dan pada masa VOC terdapat konvensi bahwa pada sore dan malam hari serambi digunakan oleh para pria dan pada siang hari digunakan oleh wanita yang juga berfungsi sebagai pos pengawas untuk mengawasi para budak mereka. Gambar 5. Serambi/beranda di sebuah rumah perkebunan sekitar 1870-1900 (sumber: Koleksi KIT Amsterdam) Serambi yang dalam bangunan rumah berada di bagian depan, mengacu pada konsep Goffman (1969) tentang wilayah depan dan belakang mengilustrasikan suatu divergensi mendasar dalam aktivitas sosial-spasial. Ruang bagian depan merupakan tempat di mana kita seolah-olah berada dalam pertunjukan di atas panggung publik segala aktivitas yang dibuatbuat, formal dan dapat diterima secara sosial (Barker 2009:308). Mungkin, pengecualian aktivitas di serambi pada masa VOC di mana cacian dan makian serta pertengkaran kerap terjadi.

Demikian halnya dengan benda-benda yang dipajang dan ditampilkan di serambi oleh pemiliknya yang dapat menggambarkan identitas status pemiliknya. Hal tersebut dapat kita lihat dari sekitar 200 foto mulai akhir abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20 (koleksi KITLV) yang menggunakan serambi (depan) di Hindia sebagai obyek atau latar belakang. Serambi di rumah dapat dianalisis dengan menggunakan konsep denotasi dan konotasi dari Roland Barthes. Konsep denotasi adalah memaknai sesuatu yang sudah dikenal secara umum. Sedangkan konotasi merupakan pengembangan makna. Makna tersebut adalah makna baru yang diberikan oleh pemakai tanda sesuai dengan keinginan, latar belakang pengetahuan, atau konvensi baru yang ada dalam masyarakat (Hoed 2007:12) Mengacu pada konsep denotasi Roland Barthes, maka serambi dapat dijelaskan sebagai sebuah ruangan terbuka yang terletak di bagian depan rumah sebagai tempat bersantai, tempat untuk menerima tamu. Apabila mengacu pada konsep konotasi Barthes, maka serambi dapat memiliki makna lain yaitu sebagai tempat pengintaian, tempat untuk mengamati. Letak serambi yang strategis membuat serambi tidak hanya sebagai tempat bersantai keluarga. Serambi juga digunakan sebagai semacam pos pengawasan kehidupan sosial (kontrol sosial). Bahkan pada masa lalu serambi merupakan tempat bagi mereka sambil mengunyah sirih dan pinang, sibuk berceloteh, bergunjing bahkan mengumbar caci-maki. Makna konotasi lain dari serambi adalah sebagai tempat untuk menunjukkan siapa sebenarnya pemilik rumah tersebut (status sosial). Ini dikaitkan dengan benda-benda yang diletakkan di serambi. Makna serambi atau beranda hotel di Hindia-Belanda Selain mendapati beranda atau serambi yang terletak di rumah-rumah tinggal, kelak orang juga menjumpai serambi di hotel-hotel. Hal ini disebabkan beberapa bangunan hotel yang sebelumnya berfungsi sebagai rumah atau tempat tinggal. Misalnya pada 1840 di sebuah rumah tertua di Rijswijk dibuat sebuah hotel, Hotel der Nederlanden oleh J.P.Faes. Dahulu rumah itu merupakan tempat tinggal Raffles, pada 1846 memiliki nama Palace Royale disamping juga menyandang nama Hotel Amsterdam dan pada 1856 diberi nama Java Hotel (Kelling 1929:741)

Gambar 6. Hotel des Indes sekitar 1880 (koleksi KITLV Leiden) Beberapa bangunan yang pada periode berikutnya berfungsi sebagai hotel pada awalnya merupakan bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal milik pribadi. Seperti Hotel Ernst di Batavia yang dibangun pada 1745-1767. Lalu difungsikan sebagai hotel tahun 1860 dengan memakai nama Ernst yang mengacu pada pemiliknya yaitu Moeder (Ibu) Ernst. Pada 1890, nama hotel tersebut diganti menjadi Hotel Wisse (Merilles 2000:116). Demikian pula dengan Hotel der Nederlanden di Rijswijk (Jalan Veteran) yang dibangun tahun 1794 dan merupakan rumah pribadi milik Pieter Tency yang kemudian dijual kepada salah seorang anggota Raad van Indië (Dewan Hindia), W.H. van Ijsseldijk. Selanjutnya rumah itu dibeli oleh Raffles pada 1811 lalu kembali dijual kepada pemerintah Hindia-Belanda pada 1816. Pemilik selanjutnya, Johannes Petrus Faes mengubah bangunan tersebut menjadi Hotel Place Royale pada 1840. Baru pada 1846 bangunan tersebut menyandang nama Hotel der Nederlanden (Merilles 2000:130). Di sinilah terjadi transformasi fungsi bangunan yang awalnya dimaksudkan sebagai tempat tinggal rumah menjadi hotel. Bangunan rumah direnovasi dan diperbaharui menjadi bangunan hotel (Dant 1999: 67)

Gambar 7. Hotel der Nederlanden sekitar 1860-1872 (sumber: koleksi KITLV) Kesan mengenai fungsi serambi di hotel diungkapkan oleh Charles Walter Kinloch alias Bengal Civilian yang mengunjungi Jawa pada 1852, memberikan kesannya tentang beranda. Ia melihat seorang pria duduk di beranda hotel pada tengah hari dengan mengenakan pakaian sore (Kinloch 1987:37) Pelancong lainnya yaitu Justus van Maurik dari Amsterdam (1897:167) yang menginap di sebuah hotel di Hindia-Belanda pada akhir abad ke-19 menuliskan kesannya mengenai serambi: Kamar-kamar untuk menginap sebagian besar berada di bangunan panjang, bangunan samping rendah yang bersisian di bawah satu atap, yang terletak di sisi bangunan utama, terkadang dibatasi dengan dinding rendah dari potongan kayu kecil yang membuat kita tak dapat melihat orang lain di sebelah, tapi dapat mendengar apa pun. Beranda atau serambi depan di ruang tamu dan ruang duduk penginapan itu dilengkapi dengan beberapa kursi malas, sebuah meja kecil dan lampu gantung. Ketika kita melihat antara jam lima dan enam sore di sepanjang beranda, jika hotel penuh dapat dilihat pameran bermacam-macam kaki telanjang keluar dari celana-celana tidur para pria yang menginap. Mereka duduk berbaring di kursi malam/malas, sampai salah satu dari mereka menarik diri, mengenakan sandal dan berjalan menuju kamar mandi. Dari gambaran van Maurik mengenai perabotan yang ada di serambi hotel yaitu kursi malas, meja kecil, dan lampu gantung, kita mengetahui adanya kesamaan dengan perabotan di serambi rumah. Berbeda dengan fungsi perabotan di serambi rumah yang mungkin ingin menunjukkan identitas pemilik rumah, perabotan di serambi hotel lebih pada fungsi untuk bersantai. Kesan mengenai serambi juga diperoleh oleh Augusta de Wit. Ketika itu ia menginap di sebuah hotel di Batavia. Ia menulis bahwa beranda merupakan tempat yang baik di hotel untuk berlindung dari panas siang hari. Ia pun dapat bercakap-cakap dengan orang pribumi sambil minum es jeruk (1987:18)

Kesan lain mengenai serambi depan diberikan oleh Alleta Jacobs. Ia menulis pengalamannya pada 1913 di Batavia. Ketika ia tiba di Batavia, ia menginap di sebuah hotel. Berikut kesannya: Biarkan aku bercerita dulu, bagaimana kami tinggal di Batavia karena kehidupan hotel di sini dalam banyak sudut pandang berbeda dengan di Eropa. Kami duduk berdua di rumah kecil yang disebut pavilyun. Di dalamnya kami memiliki kamar tidur besar, sejuk yang termasuk juga kamar bagian dalam dan serambi depan. Dari serambi depan kami memiliki pemandangan luas menghadap Koningsplein. Jangan kira lapangan ini dapat dibandingkan dengan lapangan di Amsterdam. Di sini, sebuah lapangan hijau yang dapat dikatakan luas dengan sapi-sapi dan binatang lainnya. Di seberangnya terdapat jalan kerikil yang ramai dan lebar, yang memisahkan kami dengan lapangan itu, penduduk Batavia berbaris di depan mata kami. Dengan tenang kami duduk di atas kursi malas di serambi depan, kami punya cukup waktu untuk berfikir dan dengan cara yang mudah mempelajari kehidupan di sini. (1913:.416-423) Gambar 8. Serambi di hotel Des Indes Batavia 1910 sumber: koleksi KIT Amsterdam Berkaitan dengan serambi, salah satu aktivitas yang dilakukan di serambi terutama serambi hotel adalah tidur siang. Aktivitas yang tidak dilakukan di serambi rumah pada masa VOC. Salah seorang pelancong asal Belanda Justus van Maurik (1897) menceritakan pendapatnya mengenai tidur siang usai menikmati rijsttafel di hotel: Usai rijsttafel, tidur siang. Sesuatu yang nyaman bagi mereka yang dapat memanfaatkannya! (Maurik 1897: 8). Tidur siang dilakukan oleh para tamu hotel di serambi hotel. Maurik yang juga melakukan aktivitas itu memberikan kesannya: dan kelambanan yang nyaman menyergapku, membuatku terkenang pada tidur siang di kursi hotel di bawah serambi. (Maurik 1897:156). Aktivitas tidur siang berlangsung hingga pukul empat sore. Maurik menceritakan situasi ramai suatu siang dari kamarnya. Orang-orang berbaris sambil terburu-buru dengan handuk dan

sandal ke kamar mandi. Mereka berjalan melewati jendela kamar Maurik. Setelah itu para tamu duduk lagi di serambi sambil menikmati teh pada pukul lima. Pengalaman tidur siang serupa diceritakan pula oleh Augusta de Wit. Setelah menikmati hidangan rijsttafel, para tamu meninggalkan meja makan. Dia diberitahu oleh salah seorang pelayan bahwa waktunya untuk tidur siang. Menurut de Wit tidur siang merupakan sesuatu yang baru bagi para pendatang baru di Hindia-Belanda (Wit 1987:24-25) Eliza Scidmore, pelancong perempuan dari Amerika (1984:30) dan Jan Poortenaar (1989:35), seorang seniman sekaligus pelancong dari Belanda juga menceritakan kebiasaan tidur siang di serambi hotel. Sama halnya dengan Maurik, menurut Scidmore tidur siang berlangsung hingga empat sore setelah menikmati rijsttafel. Setelah tidur siang, mandi dan minum teh untuk menyegarkan diri. Sementara Poortenaar menggambarkan situasi selama tidur siang. Para pria mengenakan piyama dan duduk di kursi goyang. Seperti halnya serambi rumah, serambi hotel juga kerap menjadi obyek atau latar belakang foto antara lain Hotel Malga Cirebon, Hotel Wisse Batavia, Hotel Des Indes Batavia, Hotel Berestein Madiun, Hotel Morbeck Pasuruan, Hotel Bali Denpasar (koleksi KITLV) serta untuk obyek kartu pos antara lain serambi Grand Hotel Selabatoe Sukabumi, Grand Hotel Java Batavia, Hotel Des Indes Batavia, Hotel Slier Solo, Hotel Marinus Jansen Malang, Hotel Centrum Fort de Kock, Hotel Du Pavillon Semarang, Hotel Banjarmasin (Haks 2004) Makna serambi di hotel mengacu pada konsep denotasi dan konotasi Barthes dapat dikatakan hampir sama dengan makna serambi di rumah. Makna denotasi dari serambi di hotel adalah sebuah ruangan terbuka yang terletak di bagian depan bangunan (hotel), seperti halnya serambi di rumah juga sebagai tempat bersantai. Serambi di hotel mendapatkan makna konotasi sebagai salah satu fasilitas yang ditawarkan oleh hotel kepada para tamu (turis) yaitu sebagai tempat menikmati tidur siang, khususnya seusai menyantap rijsttafel. Setelah menyegarkan diri (mandi) para tamu dapat menikmati kopi atau teh di serambi. Para tamu (turis) yang sudah cukup lama tinggal di suatu hotel dapat pula mengintai, mengawasi para tamu yang baru datang. Serta menikmati kebingungan para tamu baru tersebut dengan fasilitas hotel seperti kamar mandi dan suara hewan kecil, seperti tokek, cicak.

Penutup Fungsi serambi di rumah tinggal di Batavia pada masa kolonial merupakan tempat bersantai melewati waktu senggang dengan memperbincangkan berbagai hal. Selain sebagai tempat bersantai serambi juga digunakan sebagai semacam pos pengawasan kehidupan sosial (kontrol sosial). Meskipun sebagai pusat bagi kehidupan sosial, pada masa VOC dan Hindia-Belanda tempat ini merupakan tempat pribadi (domestik) yang tidak dapat dimasuki begitu saja Bila pada sore dan malam hari, para pria mendominasi serambi maka pada siang hari, biasanya para wanita lah yang banyak beraktivitas di serambi. Para nyonya kulit putih, nyonya indo dan para wanita pribumi menghabiskan waktu dengan duduk santai di bawah atap serambi. Di sini tidak ada pembedaan gender dalam memanfaatkan serambi di rumah. Pembedaan hanya pada waktu. Serambi mengalami transformasi dari yang fungsinya untuk privat (pribadi) menjadi salah satu fasilitas hotel yang dapat dinikmati oleh umum. Pada beberapa hotel, serambi diberi sekat-sekat untuk memisahkan antara satu kamar dengan kamar lainnya atau serambi yang berada di bagian denpan hotel. Fungsi serambi di hotel di Batavia pada masa kolonial juga sebagai tempat bersantai tetapi dikaitkan dengan salah satu fasilitas hotel yaitu tempat beristirahat pada siang hari (tidur siang) sesudah menikmati hidangan rijsttafel. Dari sudut pandang gender, dibandingkan dengan serambi di rumah, tidak ada pembedaan waktu antara pria dan wanita dalam memanfaatkan serambi hotel. Mereka sama-sama dapat menikmati tidur siang di serambi hotel hingga waktu mandi sore tiba. Serambi pada rumah tinggal dan hotel mengacu pada konsep denotasi dan konotasi Barthes memiliki makna yang hampir sama. Makna sebagai tempat bersantai dan pos pengawasan juga dimiliki oleh serambi pada rumah tinggal maupun serambi hotel. Perbedaannya, serambi di rumah tinggal dihiasi dengan perabot dan benda-benda yang menunjukkan identitas pemiliknya, sedangkan serambi di hotel lebih pada fungsi sebagai tempat beristirahat. Pada masa kini hotel yang memiliki serambi hanya ditemukan di hotel-hotel untuk liburan (berbentuk cottage) atau hotel kelas melati. Biasanya hotel-hotel berbintang di kota besar tidak memiliki serambi. Hotel-hotel tersebut memiliki balkon dan jika kita perhatikan para tamu hotel jarang memanfaatkan balkon tersebut untuk tidur siang seperti pada masa Hindia-Belanda.

Daftar Pustaka Barker, Chris. (2009). Cultural Studies. Teori dan Praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana Blackburn, Susan.(2011). Jakarta :Sejarah 400 tahun. Depok: Masup Jakarta Blusse, Leonard. (1997). Bitters Bruid. Een koloniaal huwelijksdrama in de gouden eeuw. Amsterdam: Balans Brug, P.H. van den. (1994). Malaria en malaise; de VOC in Batavia in de achttiende eeuw. Amsterdam: de Bataafse Leeuw Dant, Tim (1999). Material Culture in The Social World. Buckingham-Philadelphia: Open University Press Haan, F. de (1922). Oud Batavia: Gedenkboek uitgegeven door het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen naar aanleiding van het driehonderdjarig bestaan der stad in 1919. Batavia; Kolff Haks, Leo dan Steven Wachlin (2004) Indonesia 500 Early Postcards. Singapura: Archipelago Hodder, Ian (1994) The Interpretation of Documents and Material Culture dalam N.K.Denzin dan Y.S.Lincoln (eds) Handbook of Qualitative Research, hal. 393-402. London: Sage. Hoed, Benny H. (2007) Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Jacobs, Alleta (1913) Reisbrieven uit Afrika en Azie, benevens eenige brieven uit Zweden en Noorwegen. Tweede deel, Almelo: Hilarius Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008). Pusat Bahasa Edisi keempat. Jakarta: Gramedia Maurik, Justus van. (1897). Indrukken van een totok. Amsterdam: van Holkema & Warendorf. Merilles, Scott. (2000). Batavia in Nineteenth Century Photographs. Singapore: Archipelago Press Mingaars, Peter (ed.) (2005). Indische lexicon: Indische woorden in de Nederlandse literatuur. Amsterdam: Hes & De Graaf Niemeijer, Hendrik E. (2005). Batavia: een koloniale samenleving in de zeventiende eeuw. Amsterdam: Balans Poortenaar, Jan (1988). An Artist in Java and other island of Indonesia. Singapore: Oxford University Press

Sachari, Agus. (2007). Budaya Visual Indonesia. Membaca Makna Perkembangan Gaya Visual Karya Desain di Indonesia abad ke-20. Jakarta: Erlangga Soekiman, Djoko. (2000). Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa.Abad XVIII-Medio Abad XX. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya Warnsinck, J.C.M. (ed). (1930). Reisen van Nicolaus de Graaff. Gedaan naar alle gewesten des Werelds Beginnende 1639 tot 1687 incluis - Oost Indise Spiegel. s Gravenhage Wit, Augusta de. (1987). Java: Facts and Fancies. [cetakan pertama 1905]. Singapura: Oxford University Press. Woodward, Ian. (2007). Understanding Material Culture. London: Sage Publication www.atlasmutualheritage.nl diakses 22 Oktober 2012 www.kitlv.nl diakses 24 Oktober 2012