BAB I PENDAHULUAN. semenjak diberlakukannya Undang-Undang N0. 22 tahun 1992 yang di revisi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Menurut data dari Badan Pusat Statistik Jawa Barat dalam konferensi pers

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah, yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tujuan ekonomi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Sidik et al, 2002) UU No.12 tahun 2008

BAB 1 PENDAHULUAN. Pusat mengalami perubahan, dimana sebelum reformasi, sistem pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitan. Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 Pasal 1 angka 5 memberikan definisi

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. reformasi dengan didasarkan pada peraturan-peraturan mengenai otonomi daerah.

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. Reformasi tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, bentuk

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan negara maupun daerah. sumber daya alamnya sendiri. Sumber dana bagi daerah antara lain terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang dijadikan pedoman

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. Proses globalisasi pemerintahan pada daerah Indonesia di tahun 2001

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Selama pemerintahan orde baru sentralisasi kekuasaan sangat terasa dalam

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN. oleh krisis ekonomi yang menyebabkan kualitas pelayanan publik terganggu dan

BAB I PENDAHULUAN. eksternalitas, mengoreksi ketidakseimbangan vertikal, mewujudkan pemerataan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sejalan dengan menguatnya

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang. menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004.

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB I PENDAHULIAN. Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang

BAB 1 PENDAHULUAN. diartikan sebagai hak, wewenwang, dan kewajiban daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, desentralisasi fiskal mulai hangat dibicarakan sejak

BAB I PENDAHULUAN. berdampak pada berbagai aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara. Hal ini diindikasikan dengan telah diterbitkannya Undangundang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB 1 PENDAHULUAN. disebutanggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Baik untuk

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. provinsi terbagi atas daerah-daerah dengan kabupaten/kota yang masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia ini adalah suatu negara yang menganut daerah otonom.

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB I PENDAHULUAN. disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik untuk

BAB I PENDAHULUAN. sektor publik yang nantinya diharapkan dapat mendongkrak perekonomian rakyat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB I PENDAHULUAN. pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai

BAB I PENDAHULUAN. setiap anggaran tahunan jumlahnya semestinya relatif besar. publik. Beberapa proyek fisik menghasilkan output berupa bangunan yang

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

BAB I PENDAHULUAN. perubahan di berbagai aspek kehidupan. Salah satu dari perubahan tersebut adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. upaya-upaya secara maksimal untuk menciptakan rerangka kebijakan yang

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan atas pertimbangan

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. penduduk perkotaan dan penduduk daerah maka pemerintah membuat kebijakan-kebijakan sebagai usaha

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi ciri yang paling menonjol dari hubungan keuangan antara pemerintahan

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP ALOKASI BELANJA DAERAH PADA PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Transfer antar pemerintah tersebut bahkan sudah menjadi ciri

BAB I PENDAHULUAN. Pada era keterbukaan sekarang ini maka reformasi sektor publik yang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak terjadinya reformasi pada tahun 1998, kondisi pemerintahan cenderung dinamis. Bermunculan terobosan baru dalam pola pemerintahan yang berlaku di Indonesia. Termasuk yang berkaitan dengan pola hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Bila sebelumnya pemerintah daerah hanya memiliki kewenangan yang terbatas karena pola yang dianut adalah pola sentralisasi, maka semenjak diberlakukannya Undang-Undang N0. 22 tahun 1992 yang di revisi menjadi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Pola hubungan yang cenderung sentralisasi ini berubah pada pola desentralisasi yang memberikan kewenangan lebih besar kepada daerah dalam mengatur pemerintah daerah (Departemen Keuangan, 2004). Kebijakan desentralisasi yang selanjutnya lebih dikenal dengan kebijakan otonomi daerah ini lahir karena melihat perkembangan kondisi didalam negeri yang menunjukan keinginan dari rakyat akan keterbukaan informasi publik dan kemandirian daerah dalam melaksanakan roda pemerintahan. Selain itu kondisi dunia secara global pun mengindikasikan semakin kuatnya arus globalisasi yang tentunya menuntut adanya daya saing yang kuat antar tiap negara. Upaya penguatan daya saing negara secara umum dapat dicapai bila pemerintah daerahnya memiliki kemampuan yang baik dalam mengembangkan potensi yang ada didaerah sehingga dapat 1

2 digunakan untuk peningkatan kualitas pembangunan daerah. Maka dari itu tujuan program otonomi daerah sendiri adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar daerah dan meningkatkan kualitas pelayanan publik agar lebih efisien dan responsif terhadap kebutuhan, potensi maupun karakteristik di daerah masing -masing. Hal ini ditempuh melalui peningkatan hak dan tanggung jawab pemerintah daerah untuk mengelola rumah tangganya sendiri (Bastian 2006). Tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah. Kebijakan pemberian otonomi daerah merupakan langkah strategis dalam dua hal. Pertama, otonomi daerah dan desentralisasi merupakan jawaban atas permasalahan lokal bangsa Indonesia berupa ancaman disintegrasi bangsa, kemiskinan, ketidakmerataan pembangunan, rendahnya kualitas hidup masyarakat, dan masalah pembangunan sumber daya manusia. Kedua, otonomi daerah dan desentralisasi merupakan langkah strategis bangsa Indonesia untuk menyosngsong era globalisasi ekonomi dengan memperkuat basis perekonomian (Mardiasmo, 2009). Diberlakukannya sistem otonomi daerah di Indonesia, oleh sebab itu pemerintah daerah memiliki hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengelola sendiri pengelolaan pemerintahannya. Berdasarkan Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tersebut mengartikan otonomi daerah sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan

3 masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Depatemen Keuangan, 2004). Pelaksanaan otonomi daerah yang menitikberatkan pada daerah kabupaten dan kota ditandai dengan adanya penyerahan sejumlah kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (Pemda. Pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk menentukan alokasi sumber daya yang dimiliki untuk belanja-belanja daerah dengan menganut asas kepatuhan, kebutuhan, dan kemampuan daerah. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), merupakan rencana keuaangan tahunan pemda yang dibahas dan disetujui oleh Pemda dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan ditetapkan dengan peraturan daerah. APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah yang merupakan pedoman bagi pemda dalam memberikan pelayanan kepada publik dalam masa satu tahun anggaran (Kusnandar dan Dodik 2012). Otonomi daerah pemerintah dituntut untuk lebih mandiri dalam masalah keuangannya. Meskipun begitu dalam pelaksanaan otonomi daerah pemerintah pusat tetap memberi dana bantuan melalui transfer dana perimbangan keuangan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Tujuan dari transfer adalah mengurangi kesenjangan fiscal antar pemerintah dan menjamin tercapainya standar pelayanan publik minimum di seluruh negeri (sidik dkk, 2002). Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang dijadikan pedoman pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan kepada publik. Di Indonesia,

4 anggaran daerah biasa disebut dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Seluruh penerimaan dan pengeluaran Pemerintah Daerah baik dalam bentuk uang, barang dan jasa pada tahun anggaran yang harus dianggarkan dalam APBD (Kawedar dkk, 2008). Menurut PP Nomor 58 Tahun 2005, APBD merupakan rencana keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetatpkan denngan persatuan daerah (Departemen Keuangan, 2005). Menurut Permendagri No. 13 Tahun 2006 daerah memiliki kewenangan untuk menentukan alokasi sumber daya ke dalam belanja-belanja dengan menganut asas keadilan, kepatuhan, dan manfaat untuk daerah (Menteri Dalam Negeri, 2006). Tuntutan untuk mengubah struktur belanja menjadi semakin kuat, khususnya pada daerah-daerah yang mengalami kapasitas fisiknya rendah (Halim, 2004). Penyerahan berbagai kewenangan dari pemerintah ke pemda disertai dengan penyerahan dana pengalihan masalah pembiayaan. Sumber pembiayaan yang penting bagi pemda adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang komponennya adalah penerimaan yang berasal dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi darah sebagai perwujudan asas desentralisasi (Yani, 2009). Undang-Undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah yaitu Undang- Undang No. 12 Tahun 2008 yang merupakan perubahan kedua atas Undang-Undang No. 32 serta Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 yang mengatur tentang

5 perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, mejelaskan bahwa pemerintah daerah akan mentransfer dana perimbangan kepada pemerintah daerah untuk pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah (Departemen Keuangan, 2004). Dana perimbangan terdiri dari Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan bagian daerah dari bagi hasil pajak pusat. Masing-masing dana perimbangan memiliki fungsi berbeda-beda, yaitu bahwa dana bagi hasil berperan sebagai penyeimbang fiskal anatara pusat dan daerah dari pajak yang dibagihasilkan. Dana alokasi umum berperan sebagai pemerata fiskal antar daerah di Indonesia dan Dana Alokasi Khusus Berperan sebagai dana yang didasarkan pada kebijakan yang bersifat darurat (Saragih, 2003). Dana Alokasi Umum merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, demikian juga halnya dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Optimalisasi penerimaan Pendapatan Asli Daerah hendaknya didukung upaya pemerintah Daerah dengan meningkatkan kualitas layanan Publik (Mardiasmo, 2002). Terdapat perbedaan respon yang ditimbulkan oleh Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli atas Dana Alokasi Umum itu sendiri, seperti yang diungkapkan oleh (Saragih, 2003) yaitu bahwa berbagai penafsiran tersebut diantaranya :

6 a. Dana Alokasi Umum merupakan hibah yang diberikan pemerintah pusat tanpa ada pengembalian. b. Dana Alokasi Umum tidak perlu dipertanggungjawabkan karena DAU merupakan konsekuensi dari penyerahan kewenangan atau tugas-tugas umum pemerintah ke daerah. c. Dana Alokasi Umum harus dipertanggungjawabkan, baik ke masyarakat lokal maupun ke pusat, karena DAU berasal dari APBN. Dana Alokasi Khusus merupakan bagian dari Dana perimbangan yang menjadi sumber pendapatan Daerah berdasarkan Undang-Undanng No. 33 Tahun 2004. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, Dana Alokasi Khusus diartikan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Besaran DAK ditetapkan setiap tahun dalam APBN (Departemen Keuangan, 2004). Kebijakan desentralisasi fiskal memunculkan beberapa fakta yaitu maraknya kasus korupsi oleh Kepala Daerah dan anggota DPRD hampir di seluruh daerah. Selanjutnya pemekaran daerah yang terjadi dan kemudian adanya tumpang tindih peran pemerintah daerah akibat ketidakpastian dalam pengelolaan dana perimbangan (Feui, 2011). Kompleksnya proses transfer dana dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah seperti dana perimbangan membuat proses pembangunan di daerah tidak optimal dan belum tmapak pemisahan antara sumber penerimaan daerah (PAD)

7 dengan sumber penerimaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) (Pikiran Rakyat Online, 2013) Halim dan Abdullah (2004) menemukan bahwa sumber pendapatan daerah berupa PAD dan dana perimbangan berpengaruh terhadap belanja daerah secara keseluruhan. Meskipun proposi PAD maksimal hanya sebersar 10% dari total pendapatan daerah, kontribusinya terhadap pengalokasian anggaran cukup besar, terutama bila dikaitkan dengan kepentingan politis. Pemerintah daerah harus pintar dalam mengatur sumber-sumber pendapatan tersebut unutk Belanja Modal, karena Belanja Modal merupakan prasyarat utama dalam memberikan pelayanan publik oleh pemerintah daerah, untuk itu pengalokasian anggaran Belanja Modal harus sesuai dengan prioritas anggaran dan pelayanan publik yang dapat meberikan dampak jangka panjang secara finansial. Walikota Bandung sebelumnya Dada Rosada mengatakan secara sosial dan ekonomi, kota Bandung menjadi kota metropolitan. Seiring dengan pertumbuhan sosial ekonomi dan lingkungan kota Bandung, terjadi peningkatan kebutuhan pembangunan yang lebih besar. Namun, kebutuhan pembangunan tersebut memang tidak sebanding dengan pengembangan APBD kota Bandung (wartaekonomi.co.id). Salah satu tugas penting dari pemerintahan daerah adalah menyediakan dan membangun infrastruktur publik melalui alokasi Belanja Modal pada APBD. Belanja Modal merupakan belanja pemerintah daerah yang mempunyai pengaruh penting terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah dan akan meningkatkan pergerakkan roda perekomian daerah.

8 Infrastruktur dan sarana prasarana yang memadai, membuat masyarakat dapat melakukan aktivitas sehari-harinya secara aman dan nyaman, yang akan berpengaruh pada tingkat produktivitas yang semakin meningkat. Dengan adanya infrastruktur yang memadai,akan menarik investor untuk membuka usaha di daerah tersebut. Dengan bertambahnya belanja modal, maka akan berdampak pada periode yang akan datang, yaitu produktivitas masyarakat meningkat dan bertambahnya investor akan meningkatkan pendapatan asli daerah (Abimayu, 2005). Pembangunan infrastruktur, seperti yang dikatakan Anggota DPR RI, Yudi Widiana Adia pemkot Bandung lebih mengandalkan dana transfer daerah dari pusat untuk membangun sarana dan infrastruktur untuk publik. Sebagai contoh pembangunan jalan layang atau infrastruktur transportasi publik yang merupakan bagian dari belanja dan dimana belanja modal merupakan bagian dari belanja langsung (tribunnews.com). Belanja modal yang merupakan sumber pembiayaan pembangunan infrastruktur dan penambahan aset daerah, kian hari semakin merosot. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Penelitian dan Pengembangan Kompas menunjukkan semakin banyak kabupaten/kota yang tidak memiliki dana lebih untuk melakukan pembangunan di wilayahnya. Pada tahun 2011 berdasarkan laporan Indonesia Budget Center (IBC) jumlah kabupaten/kota dengan persentase Belanja Modal diatas 50% dari total belanja daerah hanya berjumlah 7 (tujuh) kabupaten/kota. Pengeluaran APBD tiap tahunnya rata-rata lebih banyak dialokasikan untuk Belanja Pegawai 42%, lalu diikuti Belanja Modal 27%, Belanja Barang dan Jasa 18% serta 13% untuk

9 lainnya (hibah, bansos, bunga). Pada tahun 2007 Belanja Pegawai yang semula Rp.129,0 trilyun (39%) meningkat menjadi Rp. 198,1 trilyun (45%) pada 2010 dari total APBD nasional. Hal tersebut berbanding terbalik dengan alokasi Belanja Modal pembangunan daerah yang mengalami penurunan, dimana 2007 dialokasikan Rp. 102,5 trilyun (31%) turun menjadi Rp. 95,8 trilyun (22%) pada 2010. Hal yang sama juga terjadi pada alokasi APBD di provinsi Jawa Barat 2003-2010. Pengeluaran APBD Jawa Barat tiap tahunnya rata-rata lebih banyak dialokasikan untuk Belanja Pegawai (55,24%), lalu diikuti Belanja Modal (22,58%), Belanja Barang dan Jasa (20,74%) serta (1,44%) untuk lainnya (hibah, bansos, bunga). Belanja Pegawai terus mengalami peningkatan tiap tahunnya. Pergeseran ini ditujukan untuk peningkatan investasi modal dalam bentuk asset tetap, yaitu peralatan, bangunan, infrastruktur, dan harta tetap lainnya (Rifai, 2013). Anggaran Belanja Modal dalam APBD yang merupakan pengeluaran dalam rangka pembentukan modal serta aset daerah sangat penting peranannya dalam upaya peningkatan infrastruktur dan sarana prasarana yang pada gilirannya akan berdampak pada peningkatan pelayanan publik. Menurut Bappenas, 80% anggaran daerah habis dipakai untuk membayar belanja pegawai negeri sipil. Idealnya anggaran daerah 30% untuk belanja rutin dan 70% untuk belanja pembangunan. Artinya anggaran belanja modal di daerah masih harus terus ditingkatkan (Bappenas, 2012). Di satu sisi, daya serap anggaran belanja modal untuk membiayai infrastruktur di daerah ternyata sangat rendah (Rifai, 2013).

10 Sebagai contoh, dalam APBD Tahun 2010 anggaran belanja modal ternyata hanya terserap 39,5% atau kurang dari setengahnya dari total yang dianggarkan (Kompasiana, 4 November 2012). Padahal belanja modal memiliki dampak berganda (multiplier effect) yang cukup signifikan terhadap pelayanan publik di daerah karena diwujudkan berupa proyek-proyek pembangunan baik berupa pembangunan fisik, gedung, jalan, irigasi, pendidikan, kesehatan maupun pembangunan infrastruktur lainnya (Rifai, 2013). Berdasarkan penelitian empiris yang dilakukan oleh Holtz Eakin et.all., (1985) menyatakan bahwa terdapat keterkaitan sangan erat anatara transfer dari pemerintah pusat dengan belanja pemerintah daerah. Secara spesifik, mereka menegaskan bahwa variable-variabel kebijakan pemerintah daerah dalam jangka pendek disesuakan (adjusted) dengan transfer yang di terima, sehingga memungkinkan terjadinya respon yang non-linier dan asymmetric. Hasil penelitian Mawarni dkk (2013) memberikan bukti empiris bahwa secara simultan PAD dan DAU berpengaruh positif terhadap belanja modal pada kabupaten/kota di Provinsi Aceh. Sedangkan secara parsial PAD berpengaruh positif, sementara DAU berpengaruh negatif terhadap belanja modal pada kabupaten/kota di Provinsi Aceh. Setyowati & Suparwati (2012) juga meneliti hal yang sama dengan adanya perbedaan variable tetapi masih salaing berkaitan. Hasil penelitian tersebut menyatkan bahwa Dana Alokasi Umum terbukti berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia melalui pengalokasian Belanja Modal, dan Pendapatan Asli

11 Daerah terbukti berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia melalui pengalokasian Belanja Modal. Berdasarkan uraian latar belakang diatas, yang bahwasannya kebijakan belanja modal harus melihat pada kemampuan keuangan pemerintah daerah dalam membiayai belanja modal, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai pengaruh sumber penerimaan terhadap belanja modal dan menuangkan dalam skripsi yang berjudul Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Belanja Modal (Studi Kasus Pada Pemerintah Daerah Kota Bandung Tahun Anggaran 2010-2014). 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan penulis, dapat diidentifikasi permasalahan sebagai berikut: 1. Seberapa besar PAD,DAU, DAK berpengaruh secara simultan terhadap Belanja Modal pada Pemerintah Daerah Kota Bandung tahun 2010-2014 2. Sebrapa besar Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh terhadap belanja Modal pada Pemerintah Daerah Kota Bandung tahun 2010-2014 3. Seberapa besar Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh terhadap Belanja Modal pada Pemerintah Daerah Kota Bandung tahun 2010-2014 4. Seberapa besar Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh terhadap Belanja Modal pada Pemerintah Daerah Kota Bandung tahun 2010-2014

12 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) terhdapa Belanja Modal pada Pemerintah Daerah Kota Bandung tahun 2010-2014 secara simultan. 2. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhdapa Belanja Modal pada Pemerintah Daerah Kota Bandung tahun 2010-2014. 3. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) terhdapa Belanja Modal pada Pemerintah Daerah Kota Bandung tahun 2010-2014. 4. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Dana Alokasi Khusus (DAK) terhdapa Belanja Modal pada Pemerintah Daerah Kota Bandung tahun 2010-2014. 1.4 Kegunaan Penelitian Dari hasil penelitian ini penulis mengharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Bagi Penulis Sebagai pembelajaran awal dalam melakukan penelitian, juga menambah pengetahuan dan pemahaman wawasan ilmu ekonomi akuntasi dan

13 melangkapi syarat dalam menempuh Ujian Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Universitas Widyatama. 2. Bagi Pemerintah Daerah Penelitian ini diharapkan memberikan masukan kepada pemerintah daerah untuk memanfaatkan dana transfer dari pemerintah pusat dan pendapatan asli daerah secara proposional. 3. Bagi Peneliti Lain Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi, bahan rujukan dan referensi bagi pengembangan dan pengkajian konsep tentang bagaimana pengaruh hubungan antara DAU dan PAD terhadap Belanja Modal. Penelitian ini juga bermanfaat untuk kemungkinan penelitian topik-topik yang berkaitan,baik yang bersifat lanjutan, melengkapi, maupun menyempurnakan. 4. Bagi Pembaca Sebagai informasi yang berguna khususnya mengenai informasi yang berkaitan dengan akuntansi keuangan dan untuk menambah bahan referensi sehingga akan bermanfaat dalam penelitian selanjutnya.