BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pelepasan logam berat ke lingkungan dapat disebabkan oleh beberapa proses seperti pembuangan limbah dari proses penyepuhan, pertambangan, dan electroplating yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan dan sangat berbahaya bagi kesehatan makhluk hidup (Ge dkk., 2012). Adanya logam berat dalam kadar yang tinggi sangat berbahaya bagi lingkungan dan keberlangsungan hidup makhluk di bumi. Efek toksisitas dari logam berat dalam jangka waktu panjang sangat berbahaya bagi kesehatan dan dapat menyebabkan penyakit kronis. Udhayakumari dkk. (2015) menyatakan kandungan Cu 2+ dan Al 3+ dalam jumlah yang besar pada tubuh dapat menyebabkan kerusakan organ dan meningkatkan gangguan resiko penyakit saraf seperti penyakit Alzheimer. Kadar Pb 2+ sangat berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan meski dalam kadar rendah dan juga dapat merusak sistem saraf jika terakumulasi dalam jaringan halus dan tulang dalam jangka waktu lama (Gilbert dan Lasley, 2007). Mengingat tingginya bahaya logam bagi lingkungan dan kesehatan sehingga dibutuhkan suatu metode untuk mendeteksi kadar logam berat di lingkungan. Banyak metode yang digunakan untuk mendeteksi adanya kandungan logam berat di lingkungan. Metode analisis logam yang biasanya sering digunakan seperti fotometri dan elektrometri dinilai kurang efisien karena membutuhkan preparasi sampel yang khusus sehingga membutuhkan waktu analisis yang lama. Selain itu metode-metode tersebut juga membutuhkan instrumentasi yang mahal. Metode lain yang lebih murah, mudah dan lebih ramah lingkungan adalah deteksi menggunakan senyawa chemosensor sebagai reagen dalam metode kolorimetri (Khaodee dkk., 2015). Chemosensor adalah suatu senyawa untuk mendeteksi suatu analit yang menyebabkan terjadinya suatu perubahan sinyal yang dapat diamati secara langsung (Peng dkk., 2013). Salah satu metode pada chemosensor adalah chemosensor kolorimetri. Chemosensor kolorimetri merupakan salah satu metode 1
2 yang didasarkan pada perubahan intensitas warna larutan yang dapat diamati secara langsung akibat adanya interaksi senyawa sensor dengan analit. Menurut Bamfield (2001) senyawa organik yang mengalami perubahan struktur akan menghasilkan perubahan warna yang dapat disebabkan karena adanya pengaruh asam-basa (acidichromism), cahaya (photochromism), panas (thermochromism), ph larutan (halochromism), pelarut (solvatochromism), ion (ionochromism) dan listrik (electrochromism). Senyawa chemosensor terdiri dari dua bagian yaitu sisi aktif dan sisi sinyal. Sisi aktif mempunyai kemampuan untuk berinteraksi dengan analit melalui beberapa interaksi seperti interaksi ikatan hidrogen (Huang dkk., 2011), interaksi asam basa lewis (Alighiri, 2010 dan Anggraini, 2012), interaksi dengan logam pusat membentuk senyawa kompleks (Bamfield, 2010) dan interaksi kovalen (Cho dkk., 2008). Sisi aktif pada senyawa chemosensor biasanya terikat secara kovalen dengan sisi sinyal secara inter maupun antar molekul. Sisi sinyal terdiri dari gugus kromofor dengan ikatan rangkap terkonjugasi yang bertanggung jawab terhadap terjadinya perubahan warna (Shao dkk., 2011). Suatu senyawa chemosensor kation biasanya mempunyai sisi aktif berupa gugus pendonor pasangan elektron bebas seperti gugus hidroksil ( ), karbonil (C=O), sulfur (C=S), nitro (N=O) dan lain sebagainya. Gugus aktif ini berfungsi sebagai donor pasangan elektron bebas terhadap kation sehingga dapat membentuk suatu ikatan kovalen membentuk senyawa kompleks (Smyk dkk., 2008). Adanya interaksi sisi aktif dengan kation menyebabkan terjadinya perubahan warna dan pergeseran pada spektra UV-Vis. Warna muncul dikarenakan molekul menyerap cahaya tampak pada panjang gelombang tertentu yang kemudian ditransmisikan. Perubahan warna terjadi karena adanya delokalisasi elektron pada sisi sinyal akibat interaksi antara sisi ikat dengan analit. Purwono dan Mahardiani (2009) menyatakan perubahan warna yang kuat dapat disebabkan karena adanya deprotonasi elektron yang akan memperpanjang sistem delokalisasi sehingga panjang gelombang bergeser ke arah batokromik. Salah satu bahan alam yang melimpah dan mudah didapatkan di Indonesia dan dapat dimanfaatkan sebagai senyawa chemosensor adalah kubis merah (Brassica oleraceae L var. capitata forma alba). Aplikasi penggunaan kubis merah
3 belum terlalu banyak dilakukan di Indonesia kecuali sebagai pelengkap salad dan pewarna makanan alami karena mempunyai warna yang khas yaitu berwarna merah keunguan. Kubis merah merupakan bahan alam yang mengandung sejumlah zat bioaktif seperti antosianin, flavonol dan glukosinolat (Wiczkowski dkk., 2013). Kubis merah memiliki warna merah keunguan yang menunjukkan bahwa kubis merah mengandung kadar pigmen antosianin yang tinggi. Pigmen antosianin utama yang terkandung di dalam kubis merah adalah sianidin-3-diglukosida-5-glukosida (Wiczkowski dkk., 2013). Antosianin ini memiliki sifat unik yaitu menunjukkan warna yang berbeda pada rentang ph yang sangat luas (Chandrasekhar dkk., 2012) sehingga kubis merah ini memiliki potensi sebagai senyawa chemosensor. Sisi aktif HO 7 6 Sisi sinyal O + A C 4 5 2' 2 3 3' B 6' 4' 5' Gambar I. 1 Struktur turunan antosianin (sianidin) yang dapat digunakan sebagai senyawa chemosensor Kemampuan senyawa antosianin sebagai senyawa chemosensor kation dikarenakan adanya gugus orto-dihidroksil ( ) pada cincin B senyawa antosianin (Gambar I.1). Gugus hidroksil sebagai gugus pendonor pasangan elektron mampu berinteraksi dengan beberapa kation melalui ikatan kovalen koordinasi yang akan menghasilkan perubahan warna disertai pergeseran pada spektra UV-Vis (Smyk dkk., 2008). Selain itu, gugus orto-dihidroksil merupakan sisi aktif antosianin yang sensitif terhadap ph larutan yang menyebabkan struktur antosianin akan mengalami perubahan struktur dengan berubahnya ph larutan. Dalam larutan antosianin berada dalam bentuk 5 spesies berbeda yang berada dalam kesetimbangan yaitu dalam bentuk flavilium kation merah, basa karbinol yang tidak berwarna, basa quinoidal yang berwarna biru, anion basa quinoidal yang berwarna ungu dan kalkon yang mempunyai warna kuning (Bondre dkk., 2012). Struktur
4 antosianin dalam kubis merah yang berperan sebagai senyawa chemosensor ditunjukkan dalam Gambar I.1. Penelitian tentang sintesis senyawa chemosensor telah banyak dilakukan, salah satunya Fan dkk. (2014) berhasil menyintesis senyawa turunan chromone yang dapat digunakan sebagai senyawa chemosensor kolorimetri untuk deteksi logam Al 3+. Logam Al 3+ dapat membentuk kompleks khelat karena adanya gugus karbonil (C=O) pada senyawa chromone yang menyebabkan terjadi perubahan warna dari tidak berwarna menjadi kuning dan pergeseran spektra UV-Vis ke arah batokromik. Penelitian lain dilakukan Lin dkk. (2013) yang menyintesis senyawa turunan kumarin dan aplikasinya untuk mendeteksi logam secara kolorimetri. Hasil penelitian menunjukkan senyawa turunan kumarin memiliki sensitivitas dan selektivitas yang baik terhadap logam Cu 2+. Adanya situs aktif seperti gugus C=S dan C=O dalam senyawa turunan kumarin memiliki afinitas yang tinggi terhadap logam Cu 2+ sehingga senyawa tersebut dapat digunakan sebagai chemosensor untuk deteksi logam Cu 2+ secara kolorimetri dengan perubahan warna larutan dari coklat menjadi hijau dan terjadi pergeseran panjang gelombang pada spektra UV-Vis ke arah hipsokromik. Purwono dan Mahardiani (2009) telah menguji senyawa 4-alil-2-metoksi- 6-hidroksiazobenzena yang disintesis dari eugenol sebagai indikator titrasi asam basa. Hasil pengujian menunjukkan bahwa senyawa 4-alil-2-metoksi-6- hidroksiazo-benzena mengalami perubahan warna dari kuning menjadi merah pada rentang ph 8,8-11,1. Perubahan warna terjadi karena perubahan struktur akibat adanya penambahan asam dan basa. Penambahan basa menyebabkan kesetimbangan bergeser karena terbentuk ion quinoidal yang menyebabkan terjadinya delokalisasi elektron sehingga terjadi perubahan warna larutan. Sebagian besar senyawa chemosensor diperoleh dari hasil sintesis dari bahan kimia yang tidak mudah dan memerlukan biaya sintesis yang tidak murah. Selain itu, metode sintesis senyawa chemosensor dianggap kurang ramah lingkungan karena hasil limbah buangannya dapat mencemari lingkungan. Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan metode isolasi antosianin dari kubis merah yang dapat menghasilkan senyawa chemosensor yang baik dari bahan alam yang
5 melimpah untuk menghemat biaya yang akan digunakan sebagai indikator titrasi asam-basa dan sensor kation secara kolorimetri. I.2 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang akan dicapai pada penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengisolasi dan mengidentifikasi senyawa antosianin dari kubis merah 2. Melakukan uji potensi senyawa antosianin sebagai indikator titrasi asam-basa 3. Melakukan uji potensi senyawa antosianin sebagai sensor kation 1.3 Manfaat Penelitian Dari penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan nilai guna dari kubis merah yang dapat digunakan sebagai indikator alami untuk titrasi asam-basa, dan sensor kation. Selain itu diharapkan penelitian ini juga akan meningkatkan manfaat bahan alam secara luas dikarenakan bahan alam ini tidak terlalu bahaya, murah, tersedia dengan mudah dan lebih ramah lingkungan dibandingkan produk hasil sintesis.