Annisa Chaula Rahayu,Herman Susetyo*, Paramita Prananingtyas. Hukum Perdata Dagang ABSTRAK

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu

JURNAL BERAJA NITI ISSN : Volume 2 Nomor 10 (2013) Copyright 2013

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

Oleh : A.A. Nandhi Larasati Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana

AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITOR

BAB I PENDAHULUAN. tahun Putusan pailit ini dapat dikatakan menghebohkan, k arena tidak ada yang

BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG KEPADA PENGADILAN NIAGA

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tah

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk.

BAB I PENDAHULUAN. terbukti secara sederhana bahwa persyaratan permohonan

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

2016, No Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, perlu menetapkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang Pedoman Imbalan Jasa bagi

BAB I PENDAHULUAN. penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang-

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang

Winandya Almira Nurinasari, Teddy Anggoro. Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 071/PUU-II/2004

ABSTRACT. Bankruptcy is a general confiscation of all property and the administration

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

BAB I PENDAHULUAN. Kepailitan merupakan suatu sitaan umum atas harta kekayaan debitor yang

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENYELESAIAN PERKARA HUTANG PIUTANG ANTARA BANK CIMB NIAGA DENGAN PT. EXELINDO CELULLAR UTAMA

Kepailitan. Miko Kamal. Principal, Miko Kamal & Associates

TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1

PEMBATALAN PUTUSAN PENGADILAN NIAGA PADA PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT OLEH MAHKAMAH AGUNG TERKAIT DENGAN PUTUSAN PAILIT PT. DIRGANTARA INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

BAB I PENDAHULUAN. dipastikan kapan akan terjadinya. Salah satu cara untuk mengurangi risiko tersebut yaitu

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENGATURAN DAN PENERAPAN PRINSIP PARITAS CREDITORIUM DALAM HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA

Apakah Pailit = Insolvensi? Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS)

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan. adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEWENANGAN PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN YANG DALAM PERJANJIANNYA TERCANTUM KLAUSUL ARBITRASE

ASPEK HUKUM KEPAILITAN PERUSAHAAN ASURANSI SHERLIN INDRAWATI THE / D

KEPAILITAN PERUSAHAAN INDUK TERHADAP PERUSAHAAN ANAK DALAM GRUP

Disusun Oleh : Anugrah Adiastuti, S.H., M.H

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan, baik orang perorangan (natural person) maupun

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI TERTANGGUNG DALAM HAL TERJADI KEPAILITAN SUATU PERUSAHAAN ASURANSI

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan

PUTUSAN No.: 014 PK/N/2000 =============================== DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH AGUNG

SKRIPSI IRAWAN SUSANTO NIM :

TANGGUNG JAWAB KURATOR PADA KEPAILITAN PT. ARTA GLORY BUANA TERHADAP PARA KREDITOR

PUTUSAN Nomor: 021 K/N/2002 =============================== DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH AGUNG

BAB I PENDAHULUAN. yang melanda dunia usaha dewasa ini, dan mengingat modal yang dimiliki oleh

BAB III UPAYA HUKUM DEBITOR PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH KREDITOR

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan.

BAB I PENDAHULUAN. tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya. tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku

PEMBATALAN PUTUSAN PENGADILAN NIAGA OLEH MAHKAMAH AGUNG DALAM HAL TERJADI KESALAHAN PENERAPAN HUKUM PEMBUKTIAN

P U T U S A N Nomor 907 K/Pdt.Sus-Pailit/2017

BAB I PENDAHULUAN. Sengketa merupakan suatu hal yang sangat wajar terjadi dalam kehidupan ini.

=================================

KEPAILITAN PT ASURANSI JIWA BUANA PUTRA YANG IZIN USAHANYA TELAH DICABUT : STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 229 K/PDT

BAB I PENDAHULUAN. diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

No Pembiayaan OJK selain bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara juga berasal dari Pungutan dari Pihak. Sebagai pelaksanaan dari

IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN. Abstrak

DAFTAR PUSTAKA. AbdulKadir Muhammad, 2006, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan III, PT. Citra Aditua Bakti, Bandung.

MAHKAMAH AGUNG. memeriksa permohonan Peninjauan kembali telah mengambil putusan sebagai berikut dalam perkara kepailitan dari;

BAB I PENDAHULUAN. Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 37 tahun 2004,

KEPASTIAN HUKUM OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PROSES KEPAILITAN PERUSAHAAN EFEK

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian

PUTUSAN Nomor: 018 K/N/1999 ================================================= DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

(SKRIPSI) Oleh: Anik Suparti Ningsih

MEKANISME PERMOHONAN PERNYATAAN PAILIT MELALUI PENGADILAN NIAGA I Gede Yudhi Ariyadi A.A.G.A Dharmakusuma Suatra Putrawan

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Alasan Permohonan Kasasi atas Putusan Pernyataan Pailit Pengadilan Niaga

BAB IV PENERAPAN HUKUM KONTRAK DAN KEWENANGAN MENGGUGAT PAILIT DALAM PERJANJIAN KREDIT SINDIKASI (ANALISIS PUTUSAN KASASI NO.

I. PENDAHULUAN. membutuhkan modal karena keberadaan modal sangat penting sebagai suatu sarana

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 4, Tahun 2016 Website :

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini telah menimbulkan banyak

BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU. Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur

Hukum kepailitan mempunyai kekhasan sebagaimana hukum yang lain. Hukum kepailitan mempunyai cara dan prosedur tersendiri dalam mengatur

BAB I PENDAHULUAN. piutang. Debitor tersebut dapat berupa orang perorangan (natural person) dan. terhadap kreditor tak dapat terselesaikan.

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KURATOR DALAM MENJALANKAN TUGAS PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT

BAB I PENDAHULUAN. restrukturisasi dengan musyawarah dan mufakat, atau

KEWENANGAN KURATOR DALAM MENGURUS BOEDEL PAILIT ATAS BANK YANG TERLIKUIDASI (STUDI KASUS ATAS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 671 K/Pdt.

PUTUSAN Nomor 10 PK/N/2000 =============================== DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH AGUNG

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA. apabila proses On Going Concern ini gagal ataupun berhasil dalam

KEWAJIBAN PERSEROAN TERBATAS YANG DINYATAKAN PAILIT TERHADAP HUTANG PAJAK YANG BELUM DIBAYAR (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG

BAB 1 PENDAHULUAN. hal yang paling mendasar yaitu kemampuan untuk bertahan hidup (survive).

Transkripsi:

PUTUSAN PAILIT ATAS PERUSAHAAN ASURANSI DAN AKIBAT HUKUMNYA DI INDONESIA ( KAJIAN YURIDIS ATAS PUTUSAN NO. 10/PAILIT/2002/PN.JKT.PST DAN PUTUSAN MA NO. 021/K/N/2002 ) Annisa Chaula Rahayu,Herman Susetyo*, Paramita Prananingtyas Hukum Perdata Dagang ABSTRAK Kepailitan adalah suatu sita jaminan umum terhadap aset debitor yang tidak mampu lagi membayar utang-utangnya yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Adapun kepailitan terhadap perusahaan asuransi yang pernah ada di Indonesia yang membawa dampak perubahan terhadap Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan yaitu kepailitan terhadap Perusahaan Asuransi Jiwa Manulife Indonesia yang diputus dengan Putusan No. 10/PAILIT/2002/PN.NIAGA.JKT.PST yang kemudian dibatalkan dengan Putusan MA No. 021/K/N/2002. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa prosedur permohonan pailit terhadap PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia tidak sesuai dengan UU No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan khususnya Pasal 67 ayat (5) dan Pasal 70 serta tidak sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 20 ayat (1) UU No. 2 Tahun 1992 tenntang Usaha Perasuransian dimana yang memiliki wewenang untuk meminta pengadilan agar perusahaan asuransi dapat dipailitkan atas dasar kepentingan umum adalah Menteri Keuangan. Adanya perkara kepailitan terhadap PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia menimbulkan akibat hukum yaitu lahirnya UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang hal ini dikarenakan UU No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan masaih terdapat banyak kelemahan dan belum mengakomodir masalah kewenangan Menteri Keuangan untuk mempailitkan perusahaan asuransi. Kata Kunci : Kepailitan, Perusahaan Asuransi, Menteri Keuangan 1

Abstrak Inggris Bankruptcy is a general sequestration of the assets of the debtor are no longer able to pay its debts have matured and can be billed in accordance with Article 2 paragraph (1) of Law No. 37 Year 2004 on Bankruptcy and Suspension of Payment. The bankruptcy of the insurance company ever in Indonesia, which brings the impact of changes to the Law. 4 Year 1998 on the bankruptcy of the Bankruptcy Insurance Company Manulife Indonesia terminated by Decision No. 10/PAILIT/2002/PN.NIAGA.JKT.PST were subsequently canceled by the Supreme Court No.. 021/K/N/2002. Based on these results it can be concluded that the bankruptcy procedure against PT. Life Insurance Manulife Indonesia is not in accordance with Law no. 4 of 1998 on Bankruptcy in particular Article 67 paragraph (5) and Article 70, and not in accordance with the provisions contained in Article 20 paragraph (1) of Law no. 2 of 1992 about Insurance Business which has the authority to request the court to be bankrupt insurance company on the grounds of public interest is the Minister of Finance. The existence of the bankruptcy case against PT. Life Insurance Manulife Indonesia legal consequences that birth Law. 37 Year 2004 on Bankruptcy and Suspension of Payment this is because the Law no. 4 of 1998 on Bankruptcy masaih there are many disadvantages and yet accommodate the authority of the Minister of Finance to issue liquidation of insurance company. Keywords: Bankruptcy, Insurance Companies, Finance Minister 2

PENDAHULUAN Dalam hal kepailitan perusahaan asuransi, ada beberapa perkara kepailitan terhadap perusahaan asuransi yang telah diputus pada Pengadilan Niaga. Salah satunya yaitu Putusan Pengadilan Negeri Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 10/PAILIT/2002/PN.NIAGA.JKT.PS T tanggal 13 Juni 2002 yang menyatakan bahwa PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (PT. AJMI) pailit. Adanya permohonan pernyataan pailit terhadap PT. AJMI ini disebabkan karena adanya alasan bahwa PT. AJMI tidak membayar deviden keuntungan perusahaan tahun 1998. Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Paul Sukran S.H sebagai Pemohon yang berkedudukan sebagai kurator dari perusahaan yang sudah dinyatakan pailit sebelumnya, yaitu PT. Dharmala Sakti Sejahtera, Tbk (PT. DSS) dimana PT. DSS ini memiliki 40% saham dari PT. AJMI pada tahun 1998. Setelah PT. DSS pailit, saham PT. AJMI miliknya dilelang dan dibeli oleh manulife. Adapun pertimbangan Pemohon pernyataan pailit dalam kasus ini adalah. Dalam akta perjanjian Usaha Patungan pada pasal X menyatakan bahwa diantara pemegang saham, dalam memperoleh laba dan telah mendapatkan suatu surplus untuk dibagikan kepada para pemegang saham untuk tahun pembukuan perusahaan yang manapun (sebagaimana dapat dilihat dalam Laporan Keuangan yang telah diaudit sehubungan dengan tahun pembukuan yang bersangkutan), semua pihak akan mengatur agar PT. AJMI membayar deviden sedikitnya sama dengan 30% dari jumlah surplus yang melebihi Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) secepat mungkin dianggap praktis setelah laporan dibuat. Berdasarkan Laporan Keuangan tahun buku 1999 dan 1998 yang dibuat oleh ERNST YOUNG selaku editor independen, yaitu Consolidated Financial Statement December 31, 1999 and 1998 telah ditentukan bahwa PT. AJMI telah mendapat surplus dari keuntungan sebesar Rp. 186.306.000.000,-. 3

Berdasarkan hal tersebut diatas dan dengan mengacu kepada Pasal X Akta Perjanjian Usaha Patungan, maka menurut Pemohon, PT. DSS sebagai pemegang saham sebanyak 40% berhak mendapat pembagian deviden beserta bunganya sebesar 40% x Rp. 55.891.800.000,- yaitu sebesar Rp. 22.356.720.000,- (dua puluh dua juta tiga ratus lima puluh enam tujuh ratus dua puluh ribu rupiah). Total kewajiban Termohon kepada Pemohon setelah utang deviden itu ditambah dengan bunga yang belum dibayarkan sejak 01 Januari 2000 sampai dengan 30 April 2002 (2 tahun 4 bulan) dengan perhitungan bunga sebesar 20% pertahun adalah berjumlah Rp. 32.789.856.000,00 (tiga puluh dua miliar tujuh ratus delapan puluh sembilan juta delapan ratus lima puluh enam ribu rupiah). Termohon dengan berbagai alasan berusaha untuk menghindar dari kewajiban membayar deviden tersebut yang telah diupayakan penagihannya oleh Pemohon. Kasus permohonan pailit terhadap PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (AJMI) perkara No. 10 /PAILIT /2002 /PN.NIAGA.JKT.PST yang dimohonkan pailit oleh pemegang sahamnya yaitu PT. Dharmala Sakti Sejahtera (DSS) yang kemudian dibatalkan dengan Putusan MA No. 021/K/N/2002, merupakan salah satu contoh kasus yang mana perusahaan tersebut dipailitkan tetapi perusahaan tersebut masih berada dalam keadaan solven. METODE Metode pendekatan yang dipergunakan oleh penulis dalam penulisan hukum ini adalah yuridis normatif. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji secara teoritis-normatif mengenai prinsip-prinsip dan norma/ pengaturan hukum kepailitan di Indonesia serta penerapannya. Spesifikasi penelitian yang akan digunakan dalam penulisan hukum ini adalah deskriptif analisis. Dikarenakan metode yang penulis ambil dalam penulisan hukum adalah yuridis normatif maka data yang digunakan adalah data sekunder yang mencakup : 1. Bahan hukum primer yaitu bahanbahan hukum yang mengikat terdiri dari : 1.1 Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan; 4

1.2 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU; 1.3 Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian 2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer diantaranya abstrak, hasil-hasil penelitian dan hasil karya dari kalangan hukum. 3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, diantaranya kamus hukum (Black s Law Dictionary). Metode analisa yang dipergunakan oleh penulis adalah metode kualitatif. Data yang terkumpul melalui kegiatan pengumpulan data pada akhirnya akan dianalisis dan diinterpretasikan untuk menjawab atau memecahkan masalah penelitian. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Prosedur Permohonan Pailit Atas PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia. Dalam UUK No. 4 tahun 1998 jo PERPU No. 1 Tahun 1998 tentang Kepailitan yang berbunyi debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan Putusan Pengadilan yang berwenang sebagaimana yang dimaksud pasal 2, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya. Dengan berdasar pada pasal 1 ayat 1 UUK No. 4 Tahun 1998 tersebut maka dapat dibuktikan adanya unsur-unsur pokok yang harus dibuktikan dalam setiap permohonan pailit dan unsur-unsur yang dimaksud adalah : - Debitor mempunyai dua atau lebih kreditur ; - Debitor tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih ; Bahwa sebelum majelis hakim membuktikan unsur-unsur dalam pasal 1 ayat 1 UUK No. 4 Tahun 1998 yang berhubungan dengan permohonan Pemohon terlebih dahulu majelis akan mempertimbangkan apakah permohonan Pemohon tersebut dapat diterima oleh Majelis tanpa adanya suatu izin dari Menteri Keuangan untuk mengajukan 5

permohonan pernyataan pailit tersebut, atau dengan kata lain apakah untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap perusahaan asuransi harus seizin dari Menteri Keuangan walaupun hal tersebut tidak diajukan dalam eksepsi. Dalam pertimbangannya majelis hakim menyatakan bahwa dalam pasal 20 ayat 1 UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang berbunyi dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam peraturan kepailitan dalam hal terdapat pencabutan ijin usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 18, maka Menteri berdasarkan kepentingan umum dapat memintakan kepada Pengadilan agar perusahaan yang bersangkutan dinyatakan pailit. Merujuk kembali pada pasal 20 ayat (1) UU No. 2 Tahun 1992 tersebut ternyata tidak ada perkecualian untuk menerapkan Undang- Undang Kepailitan terhadap perusahaan perasuransian kecuali apabila perusahaan asuransi itu telah dinyatakan dicabut ijin usahanya dan untuk kepentingan umum baru diperlukan ijin dari Menteri Keuangan. Dengan uraian diatas maka hal tersebut menurut majelis hakim telah bersesuaian pula dengan pasal 1 ayat 1 PERPU No. 1 Tahun 1998 yang dalam pasal 1 UUK tersebut tidak tercantum suatu perusahaan asuransi sebagai pengecualian seperti halnya dengan bank maupun perusahaan efek. Adapun dalam perkara ini, berdasarkan pertimbangannya yang dihubungkan satu dengan yang lain berikut surat bukti maka majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam putusannya Nomor 10/PAILIT/PN.NIAGA/JKT.PST tertanggal 13 Juni 2002 telah mengabulkan permohonan kepailitan yang diajukan oleh Pemohon Pailit dalam hal ini adalah kurator PT. Dharmala Sakti Sejahtera kepada Termohon Pailit PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia. Dengan adanya Putusan Pailit Nomor 10/PAILIT/PN.NIAGA/JKT.PST tertanggal 13 Juni 2002 tersebut, PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia yang tidak menerima putusan tersebut kemudian mengajukan gugatan Kasasi ke Mahkamah Agung secara lisan pada tanggal 19 Juni dan 20 Juni 2002. Terhadap perkara kepailitan PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia tersebut dengan keberatan yang telah disampaikan oleh Pemohon Kasasi I dan Pemohon Kasasi II yang digunakan sebagai dasar permohonan kasasi, maka Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusannya No. 021/K/N/2002 tanggal 5 6

Juli 2002 menyatakan mengabulkan permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi dan membatalkan putusan Pengadilan Niaga No. 10 / PAILIT / 2002 / PN. NIAGA.JKT.PST pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tanggal 13 Juni 2002. Adapun pertimbangan hukum Mahkamah Agung dalam perkara kasasi tersebut adalah sebagi berikut : 1 a. Mengenai keberatan kasasi dari pemohon Kasasi bahwa Judex factie telah salah menerapkan hukum dengan tida menerapkan ketentuan pasal 67 ayat (5) Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 dan salah menerapkan Pasal 70 Undang-Undang No. 4 Tahun 1998. b. Terhadap keberatan kasasi yang menyatakan Judex factie tidak menerapkan ketentuan hukum yang tercantum dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, Mahkamah Agung berpendapat bahwa keberatan inipun dapat dibenarkan, karena judex factie telah salah dalam menerapkan hukum. Adanya putusan Mahkamah Agung No. 021/K/N/2002 tanggal 5 Juli 2002 yang membatalkan Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No. 10 / PAILIT / 2002 / PN.NIAGA.JKT.PST tanggal 13 Juni 2002 memperlihatkan adanya persamaan sekaligus perbedaan cara pandang kedua badan peradilan tersebut yang menyangkut perkara kepailitan PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia. Adapun persamaan pandangan dua badan peradilan tersebut adalah menyangkut halhal sebagai berikut : 2 1. Bahwa pemohon kepailitan PT. AJMI yaitu Paul Sukran, S.H., adalah selaku kurator dari PT. DSS yang berkepentingan untuk mengurus / membereskan dan mengumpulkan harta pailit. 2. Bahwa sengketa kepailitan tersebut bersumber pada perselisihan pembayaran deviden tahun buku 1999 dari PT. AJMI berikut bungabunganya kepada PT. DSS yang mengklaim sebagai pemegang saham pada PT. AJMI sebesar 40% atau setara dengan Rp. 32.789.856.000,00. 3. Bahwa PT. AJMI pada tahun 1999 berdasarkan pada laporan keuangan yang telah di audit oleh auditor independent per 31 Desember 1999, telah memperoleh kelebihan aktivanya sebesar Rp. 186.306.000.000,00. 1 Bagus Irawan, S.H., M.H, Aspek-Aspek Hukum Kepailitan; Perusahaan; dan Asuransi, hlm. 165 2 Ibid, hlm.167 7

4. Bahwa PT. AJMI tidak membayar uang deviden tahun 1999 tersebut kepada PT. DSS. Adapun perbedaan pandangan dari dua badan peradilan tersebut adalah sebagai berikut : a. Bahwa Pengadilan Niaga berpendapat bahwa kedudukan pemohon pailit sebagai Kreditor adalah sah untuk mengajukan permohonan kepailitan di muka pengadilan. Walau untuk menghadap di muka pengadilan kurator harus terlebih dahulu mendapat izin dari hakim pengawas, (Pasal 67 ayat (5) Undang-Undang No. 4 Tahun 1998), tetapi berdasarkan Pasal 70 Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tidak adanya kuasa dari hakim pengawas dalam hal ini bahwa kuasa itu diperlukan atau tidak, ketentuan yang termuat dalam Pasal 75 dan 76 tidak mempengaruhi sahnya perbuatan yang dilakukan oleh kurator. Perihal kewajiban meminta nasihat dari panitia Kreditor berdasarkan Pasal 70 Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 kurator tidak terikat oleh nasihat panitia Kreditor. Mahkamah Agung berpendapat bahwa untuk melakukan pengurusan dan atau pemberesan harta pailit, untuk menghadap dimuka pengadilan, kurator harus terlebih dahulu mendapat izin dari hakim pengawas sebagaimana ditentukan dalam Pasal 67 ayat (5) Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 b. Pengadilan Niaga berpendapat sengketa pembagian deviden PT. AJMI dengan PT. DSS dapat dibuktikan dengan mudah dan sederhana melalui bukti-bukti yang diajukan para pihak, sehingga dapat diselesaikan menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 1998. Mahkamah Agung berpendapat pemeriksaan perkara ini tidak dapat dilakukan secara sederhana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) Undang- Undang No. 4 Tahun 1998, sebab harus dibuktikan terlebih dahulu sengketa tentang apakah memang terdapat deviden tahun 1999 dari PT. AJMI serta sengketa saham antara PT. AJMI dengan perusahaan RGA yang harus diselesaikan menurut Undang- Undang No. 1 Tahun 1995 melalui sengketa perkara gugatan biasa di Pengadilan Negeri. B. Akibat Hukum dari Putusan No. 10/PAILIT/2002/PN.NIAGA.JKT.P ST dan PUTUSAN MA No. 021/K/N/2002 di Indonesia 8

Tidak adanya definisi yang jelas mengenai konsep suatu utang dimana hal tersebut dapat menimbulkan perbedaan penafsiran mengenai definisi utang itu yang pada akhirnya menimbulkan ketidak pastian hukum ini menjadi salah satu kelemahan dari Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan. Kekurangan lainnya adalah tidak dimasukkannya perusahaan asuransi sebagai perusahaan yang kepailitannya melalui lembaga otoritas yang berwenang dalam hal ini Departemen Keuangan. Banyaknya kelemahankelemahan yang terkandung dalam Undang-Undang Kepailitan menyebabkan kepailitan tersebut disimpangkan dari tujuan yang sebenarnya dari kepailitan. 3 Sebagaimana hal-hal yng telah diuraikan diatas maka untuk mengatasi berbagai kelemahan dari Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan maka lahirlah Undnag-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan 3 Dr. M. Hadi Shubhan, S.H., M.H.,C.N, Hukum Kepailitan (Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan), hlm. 11 Kewajiban Pembayaran Utang yang selanjutnya akan disebut dengan UUK- PKPU. Sisi positif lahirnya udang-undang baru kepailitan UUK-PKPU ini adalah adanya penambahan Pasal 2 ayat (5) yang menyatakan bahwa dalam hal debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dibidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. Hal tersebut juga sama halnya dengan Pasal 223 yang menyatakan bahwa dalam hal debitor adalah Bank, Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpangan dan Penyelesaian, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, dan Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, maka yang dapat mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang adalah lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (3), Ayat (4), dan Ayat (5). Sudah seharusnya UUK-PKPU mengakomodir masalah insolvensi sebagai salah satu syarat kepailitan. Jadi bahwa salah satu syarat untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap 9

kreditor selain debitor memiliki lebih dari satu kreditor, maka keadaan debitor tersebut juga harus dalam keadaan insolven. Berdasarkan adanya kenyataan bahwa insolvensi menjadi syarat penting yang belum diakomodir pada Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU maka dapat disimpulkan bahwa rumusan Pasal 2 ayat (1) UUK- PKPU belum sejalan dengan asas hukum kepailitan secara global. Bahwa seharusnya rumusan Pasal 2 ayat (1) tersebut harus mensyaratkan pula mengenai bahwa sebagain besar utangutangnya yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih tidak mampu dibayar. Artinya, debitor harus dalam keadaan insolven atau telah berada dalam keadaan tidak mampu dan berhenti membayar utang-utangnya kepada para kreditornya. A. KESIMPULAN 1. Prosedur Permohonan Pailit Atas PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia. Permohonan pailit atas PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Putusan No. 10 / PAILIT /2002 / PN.NIAGA.JKT.PST karena permohonan pailit telah memenuhi syarat kepailitan sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) UU No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan. Dan dalam Putusan Mahkamah Agung No. 021/K/N/2002 berpendapat bahwa untuk melakukan pemberesan harta pailit dan untuk menghadap pengadilan, kurator harus terlebih dahulu mendpat ijin dari hakim pengawas sesuai dengan Pasal 67 ayat (5) dan Pasal 70 UU No. 4 Tahun 1998. Dan dalam pemeriksaan terhadap perkara kepailitan PT. Asuransi Jiwa Manulife harus dilakukan secara sederhana sesuai dengan Pasal 6 ayat (3) UU No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan. 2. Akibat Hukum dari Putusan No. 10/PAILIT/2002/PN. NIAGA.JKT.PST dan PUTUSAN MA No. 21/K/N/2002 di Indonesia. Tidak adanya definisi yang jelas mengenai konsep definisi utang menimbulkan ketidak pastian hukum, ini menjadi salah satu kelemahan dari Undang-Undang No. 4 10

Tahun 1998 tentang Kepailitan. Kekurangan lainnya adalah tidak dimasukkannya perusahaan asuransi sebagai perusahaan yang kepailitannya melalui lembaga otoritas yang berwenang dalam hal ini Departemen Keuangan Oleh DAFTAR PUSTAKA Bagus Irawan, S.H., M.H, Aspek- Aspek Hukum Kepailitan; Perusahaan; dan Asuransi. Dr. M. Hadi Shubhan, S.H., M.H.,C.N, Hukum Kepailitan (Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan. karena itu maka lahirlah Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang selanjutnya akan disebut dengan UUK-PKPU. 11