HASIL DAN PEMBAHASAN. Pertanaman Musim Pertama

dokumen-dokumen yang mirip
Lampiran 1 Pengaruh perlakuan terhadap pertambahan tinggi tanaman kedelai dan nilai AUHPGC

HASIL DAN PEMBAHASAN

2 TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan dan Biologi Tanaman Kedelai

Lampiran 1 Deskripsi sifat varietas pembanding (Deptan 2011)

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

Jumlah Hari Hujan Gerimis Gerimis-deras Total September. Rata-rata Suhu ( o C) Oktober '13 23,79 13,25 18, November

BAB V HASIL PENELITIAN. Hasil analisis statistika menunjukkan adaptasi galur harapan padi gogo

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

KACANG HIJAU. 16 Hasil Utama Penelitian Tahun 2013 PERBAIKAN GENETIK

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Tanaman

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN METODE PENELITIAN

UJI DAYA HASIL BEBERAPA GALUR KEDELAI (Glycine max L. Merr) DI MAJALENGKA PADA DUA MUSIM TANAM ALIA ASTUTI

HASIL DAN PEMBAHASAN

gabah bernas. Ketinggian tempat berkorelasi negatif dengan karakter jumlah gabah bernas. Karakter panjang daun bendera sangat dipengaruhi oleh

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil dan pembahasan penelitian sampai dengan ditulisnya laporan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Tanaman Padi

PELAKSANAAN PENELITIAN

PENDAHULUAN. ternyata dari tahun ke tahun kemampuannya tidak sama. Rata-rata

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Sorgum merupakan salah satu jenis tanaman serealia yang memiliki potensi besar

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Sub-famili : Papilionoidae. Sub-genus : Soja

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam

TINJAUAN PUSTAKA. A. Kacang Hijau

Lampiran. Deskripsi Varietas Kedelai Anjasmoro

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan

PRODUKSI BEBERAPA VARIETAS KEDELAI PADA BUDIDAYA JENUH AIR DI LAHAN PASANG SURUT. Munif Ghulamahdi Maya Melati Danner Sagala

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Fisiologi Tanaman Padi

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Tanaman Kedelai Hitam

II. TINJAUAN PUSTAKA. wilayah beriklim sedang, tropis, dan subtropis. Tanaman ini memerlukan iklim

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Pertanian Tanjung Selamat, Kecamatan Tuntungan, Kabupaten Deli Serdang

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. Tanaman kedelai (Glycine max L. Merrill) memiliki sistem perakaran yang

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merr.) merupakan tanaman pangan terpenting ketiga

HASIL DAN PEMBAHASAN

Lampiran 1. Hasil analisis tanah awal

TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) berasal dari daratan Cina, yang kemudian

I. PENDAHULUAN. Produksi kedelai di Indonesia pada tahun 2009 mencapai ton. Namun,

LAMPIRAN. : seleksi persilangan galur introduksi 9837 dengan wilis

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi tegas, kering, berwarna terang segar bertepung. Lembab-berdaging jenis

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. akar-akar cabang banyak terdapat bintil akar berisi bakteri Rhizobium japonicum

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. cendawan MVA, sterilisasi tanah, penanaman tanaman kedelai varietas Detam-1.

Hasil dan pembahasan. A. Pertumbuhan tanaman. maupun sebagai parameter yang digunakan untuk mengukur pengaruh lingkungan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman yang menghendaki tanah yang gembur dan kaya

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH JARAK TANAM TERHADAP HASIL PADI VARIETAS UNGGUL

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Morfologi dan Syarat Tumbuh Tanaman Kedelai. Kedelai merupakan tanaman asli subtropis dengan sistem perakaran terdiri dari

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

KARAKTER MORFOLOGI DAN AGRONOMI PADI VARIETAS UNGGUL

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Padi Gogo

II. TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai sumber utama protein nabati. Kontribusi kedelai sangat

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merr.) merupakan tanaman pangan dan sumber protein

Jurnal Cendekia Vol 12 No 1 Januari 2014 ISSN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pertumbuhan tanaman padi dipengaruhi oleh kondisi lingkungan makro antaralain

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. fenotipe yang diamati menunjukkan kriteria keragaman yang luas hampir pada

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kedelai merupakan komoditas tanaman menjadi sumber protein nabati dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH PENGELOLAAN HARA NITROGEN TERHADAP HASIL PADI VARIETAS UNGGUL

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasinya termasuk rumput-rumputan, berakar serabut, batang monokotil, daun

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat

Lampiran 1. Deskripsi Varietas Rajabasa

I. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pertumbuhan Tanaman. tinggi tanaman dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 1. Rerata Tinggi Tanaman dan Jumlah Daun

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max L. Merrill) merupakan tanaman pangan yang sangat dibutuhkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi tanaman okra adalah sebagai berikut: Tanaman okra merupakan tanaman terna tahunan dengan batang yang tegak.

TINJAUAN PUSTAKA. kedalaman tanah sekitar cm (Irwan, 2006). dan kesuburan tanah (Adie dan Krisnawati, 2007).

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Penentuan Karakter Morfologi Penciri Ketahanan Kekeringan Pada Beberapa Varietas Kedelai

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Percobaan 1 : Pengaruh Pertumbuhan Asal Bahan Tanaman terhadap Pembibitan Jarak Pagar

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Lampiran 1. Deskripsi Kedelai Varietas Grobogan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai

I. PENDAHULUAN. Kedelai ( Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu tanaman penghasil

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah diperkirakan masuk ke Indonesia antara tahun Namun

I. TINJAUAN PUSTAKA. dalam, akar dapat tumbuh hingga sekitar 1 m. Dengan adanya bakteri Rhizobium, bintil

FK = σ 2 g= KK =6.25 σ 2 P= 0.16 KVG= 5.79 Keterangan: * : nyata KVP= 8.53 tn : tidak nyata h= Universitas Sumatera Utara

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Tinggi Tanaman. antara pengaruh pemangkasan dan pemberian ZPT paklobutrazol. Pada perlakuan

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia, termasuk ke dalam jenis tanaman polong-polongan. Saat ini tanaman

V3G1 V3G4 V3G3 V3G2 V3G5 V1G1 V1G3 V1G2 V1G5 V1G4 V2G2 V2G5 V2G3 V2G4

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merill) merupakan salah satu komoditas pangan utama

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB VI PEMBAHASAN. lambat dalam menyediakan unsur hara bagi tanaman kacang tanah, penghanyutan

SELEKSI POTENSI HASIL BEBERAPA GALUR HARAPAN PADI GOGO DI DESA SIDOMULYO KABUPATEN KULON PROGO

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine Max [L.] Merrill) merupakan tanaman pangan yang memiliki

Transkripsi:

HASIL DAN PEMBAHASAN Per Musim Pertama Tinggi Tanaman Tinggi untuk musim pertama terbagi menjadi dua kategori berdasarkan kriteria Deptan (2007) yaitu tinggi (>68 86 cm) untuk Tanggamus, KH 71, Wilis, KH 28 dan sangat tinggi (>86 cm) untuk genotipe lainnya (Tabel 2). Morfologi disajikan pada Gambar 1. WLS TGM SLT AJS KH 10 KH 71 KH 11 KH 28 KH 40 KH 42 KH 44 KH 58 KH 71 Gambar 1 Morfologi kedelai pada penelitian di Majalengka Tinggi semua galur pada percobaan ini lebih tinggi dari varietas Anjasmoro, Tanggamus dan Wilis, tetapi sama jika dibandingkan varietas Slamet. Hal ini menunjukkan bahwa dapat tumbuh baik di Majalengka. Tinggi untuk semua varietas pembanding pada percobaan ini lebih tinggi daripada deskripsi varietas dari Deptan (2011), yaitu varietas Anjasmoro mempunyai tinggi 64-68 cm, varietas Tanggamus 67 cm, varietas Slamet 65 cm, varietas Wilis 40-50 cm dan (Lampiran 1). Salah satu penyebabnya adalah kondisi lingkungan pada percobaan ini sangat mendukung, yaitu curah hujan yang tinggi berkisar 411,53 mm/bulan dan merata (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kec, Jatiwangi 29 Oktober 2010, Lampiran 4 dan 5) sehingga

19 tidak kekurangan air selama pertumbuhannya. Curah hujan yang tinggi mengakibatkan pertumbuhan vegetatif kedelai optimal sehingga pertumbuhan generatif dan pembentukan polong menjadi optimal. Dengan meningkatnya kadar air di dalam tanah absorbsi dan transportasi unsur hara maupun air dalam tanah akan lebih baik sehingga pertumbuhan akan lebih baik (Sumarno & Manshuri 2007). Menurut Calvino at al. (1999) dengan meningkatnya curah hujan lebih dari 300 mm/bulan pada periode pengisian polong dapat meningkatkan hasil kedelai. Hal ini berbeda dengan Deptan (2010) bahwa kedelai tumbuh optimal pada daerah dengan curah hujan 100-200 mm/bulan. Tabel 2 Rataan tinggi, jumlah cabang, jumlah buku subur, jumlah buku tidak subur, jumlah polong hampa, jumlah polong isi, jumlah biji dan produksi biji musim pertama Genotipe Tinggi (cm) Jumlah cabang per Jumlah buku subur per Jumlah buku tidak subur per Jumlah polong isi per Jumlah polong hampa per Jumlah biji per Produksi biji per (g) KH 8 88,7 bcd 2,9 b 11,1 abc 1,6 def 65,2 ab 3,5 abc 129,2 ab 24,7 ab KH 9 86,5 bc 3,4 bcde 11,9 bcd 1,5 cdef 72,5 abc 5,7 cd 146,4 abc 30,5 bc KH 10 87,5 bc 3,0 bc 12,0 bcd 1,3 bcde 67,6 abc 3,7 abc 135,3 ab 25,4 ab KH 11 87,8 bc 2,8 b 10,8 ab 1,3 abcde 69,7 abc 3,5 abc 138,0 abc 26,6 ab KH 28 84,6 bc 3,4 bcde 11,3 abc 1,9 f 74,9 abc 4,5 abc 143,7 abc 27,8ab KH 31 96,9 efg 2,1 a 11,4 abc 1,9 f 57,6 a 3,5 abc 116,8 a 22,8 a KH 35 86,9 bc 3,8 de 12,2 cde 1,1 abcd 85,7 c 3,0 ab 174,3 cd 30,9 bcd KH 38 92,9 cde 5,1 f 10,2 a 1,1 ef 73,3 abc 3,0 ab 144,9 abc 29,3 abc KH 40 97,6 efg 4,0 e 13,4 efg 0,9 ab 110,6 def 3,4 abc 208,5 de 37,9 efg KH 42 105,0 g 3,5 bcde 14,3 g 1,5 cdef 102,2 d 3,9 abc 201,5 de 37,4 ef KH 44 96,6 def 3,9 e 14,3 g 1,3 abcde 123,6 ef 6,9 d 229,8 e 44,0 g KH 55 86,9 bc 3,9 e 10,9 abc 1,3 bcde 107,6 de 3,2 abc 214,3 e 35,6 cde KH 58 103,1 fg 3,8 de 13,6 fg 1,5 cdef 108,4 de 4,0 abc 207,7 de 38,6 efg KH 71 84,1 ab 3,5 bcde 10,7 ab 1,5 cdef 81,5 bc 2,2 a 161,8 bc 30,2 bc Anjasmoro 88,8 bcd 3,2 bcd 11,1 abc 1,7 ef 72,2 abc 2,4 a 143,7 abc 23,4 a Slamet 103,0 fg 4,8 f 14,5 g 1,2 abcde 125,6 f 3,6 abc 266,6 f 42,3fg Tanggamus 76,4 a 4,8 f 12,1 bcde 0,8 a 154,8 g 4,3 abc 309,9 g 36,9 def Wilis 84,1 ab 5,1 f 12,8 def 1,0 abc 143,3 g 5,1 bcd 308,4 g 36,9 def Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama adalah tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan dengan taraf kesalahan 5% Selain curah hujan, temperatur juga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kedelai mulai fase vegetatif sampai berbunga (Akmal 1999), suhu rata-rata untuk musim pertama yaitu 27,1 C (Lampiran 6 dan 7), masih dalam kisaran suhu optimum pertumbuhan kedelai 25 C 30 C (Deptan 2010). Selain curah hujan dan temperatur, intensitas penyinaran musim pertama rata-rata 50% (BMKG Kec, Jatiwangi 29 Oktober 2010, Lampiran 8 dan 9) yang merupakan

20 penyinaran dalam kisaran optimum sehingga pertumbuhan menjadi maksimal. Intensitas penyinaran antara 45% sampai 85% menyebabkan peningkatan fotosintesis sehingga meningkatkan pertumbuhan (tinggi dan lebar daun) (Bunce et al. 1977). Jumlah Cabang Jumlah cabang galur KH 38 sama dengan varietas pembanding Slamet, Tanggamus, dan Wilis tetapi lebih banyak jika dibandingkan galur lain yang diuji dan varietas pembanding Anjasmoro (Tabel 2). Jumlah cabang merupakan salah satu karakter penunjang produksi biji karena berpengaruh terhadap jumlah buku subur, jumlah buku total, jumlah polong isi, jumlah polong per dan jumlah biji. Jumlah cabang pada kedelai mempengaruhi jumlah polongnya, karena cabang yang banyak mempunyai jumlah buku yang banyak, dan masing-masing buku dapat menghasilkan bunga yang pada akhirnya dapat membentuk polong. Jumlah cabang dipengaruhi oleh banyaknya fotosintat yang dihasilkan oleh daun-daun dan organ-organ yang membutuhkan karbohidrat untuk pertumbuhan dan respirasinya. Percabangan berkurang pada kondisi rindang dan cabang tidak terbentuk apabila daun dari buku yang sama dihilangkan (Musa 1978). Jumlah Buku Pada musim pertama galur KH 42, KH 44, dan varietas Slamet mempunyai jumlah buku subur yang relatif sama tetapi lebih tinggi jika dibandingkan terhadap varietas pembanding Anjasmoro, Wilis, Tanggamus dan galur lain yang diuji (Tabel 2). Jumlah buku tidak subur merupakan jumlah buku yang tidak menghasilkan polong. Jumlah buku tidak subur galur KH 8, KH 9, KH 28, KH 31, KH 38, KH 42, KH 58, KH 71, dan varietas Anjasmoro relatif sama tetapi lebih banyak daripada varietas pembanding Wilis, Tanggamus, dan Slamet (Tabel 2).

21 Jumlah Polong Galur KH 40 dan KH 44 mempunyai jumlah polong isi tidak berbeda dengan varietas pembanding Slamet tetapi lebih sedikit daripada varietas pembanding Wilis dan Tanggamus dan lebih banyak daripada varietas Anjasmoro dan lebih banyak daripada galur lainnya (Tabel 2). Varietas Tanggamus dan Wilis mempunyai jumlah polong yang paling tinggi sehingga kedua varietas ini mempunyai jumlah biji bernas yang lebih banyak dibandingkan varietas Anjasmoro, Slamet dan galur yang diuji. Banyaknya biji yang dihasilkan antar genotipe tidak berpengaruh langsung pada produksi biji karena jumlah biji bukan satu-satunya parameter yang berpengaruh. Ukuran biji juga menentukan produksi biji. Jumlah polong hampa galur KH 44 relatif sama dengan KH 9 dan varietas Wilis tetapi lebih banyak dibandingkan varietas pembanding lainnya maupun galur lainnya. Kehampaan polong dapat mempengaruhi produksi biji per. Kehampaan polong ini disebabkan oleh hama dan penyakit, kesuburan tanah dan intensitas cahaya matahari (Deptan 2011) serta keadaan air (Evita 2010). Jika faktor-faktor yang menyebabkan kehampaan ini dapat diatasi maka KH 44 dan KH 9 dapat meningkat produksi bijinya. Galur KH 71 dan varietas pembanding Anjasmoro mempunyai jumlah polong hampa yang paling sedikit dibandingkan dengan galur lain yang di uji maupun varietas pembanding lain. Jumlah Biji Jumlah biji per semua galur yang diuji lebih sedikit jika dibandingkan varietas pembanding Tanggamus dan Wilis. Jumlah biji yang banyak pada varietas Tanggamus dan Wilis tidak menyebabkan produksi per yang paling tinggi karena ukuran biji berdasarkan bobot 100 biji lebih kecil jika dibandingkan galur yang diuji. Ukuran biji berkorelasi negatif dengan jumlah polong isi, jumlah polong dan jumlah biji (Tabel 3). Hal ini berarti semakin besar ukuran biji semakin kecil jumlah polong isi, jumlah polong, dan jumlah biji. Penelitian yang telah dilakukan Adie (1992) menunjukkan bahwa bobot 100 biji (ukuran biji) dan jumlah polong isi merupakan karakter yang mempunyai peranan penting dalam mempengaruhi hasil biji kedelai. Ukuran biji

22 cenderung lebih kecil apabila jumlah polong banyak, karena terjadi kompetisi antar biji untuk mendapatkan fotosintat (Susanto dan Adie 2006). Produksi Biji Per Tanaman Produksi biji per pada musim pertama berkorelasi positif dengan komponen bukan produksi yaitu tinggi, jumlah buku subur, jumlah buku, dan jumlah cabang. Produksi biji per juga berkorelasi positif dengan komponen produksi yaitu jumlah polong, jumlah polong isi dan jumlah biji kecuali terhadap ukuran biji (Tabel 3). Hal ini berarti bahwa peningkatan produksi tidak dipengaruhi oleh ukuran biji. Pada penelitian ini produksi biji per berkorelasi tinggi dengan jumlah polong isi dan jumlah biji per. Penelitian Adie (1992) menunjukkan bahwa bobot 100 biji dan jumlah polong isi merupakan karakter yang mempunyai peranan penting dalam mempengaruhi produksi biji, walaupun kedua sifat tersebut berkorelasi negatif. Penelitian Paserang (2003) juga menunjukkan bahwa produksi biji berkorelasi tinggi dengan jumlah biji dan jumlah polong isi. Terdapat korelasi positif antara jumlah buku terhadap produksi biji. Semakin banyak jumlah buku semakin tinggi produksi biji per. Board et al. (1997) menyatakan bahwa terdapat korelasi positif antara produksi biji kedelai dengan jumlah buku subur. Tabel 3 Korelasi antar karakter kuantitatif pada musim pertama Karakter TT JC JS JB JI JP JB UB JC 0,010 JS 0,616 ** 0,131 ** JB 0,711 ** 0,098 * 0,935 ** JI 0,007 0,560 ** 0,322 ** 0,239 ** JP 0,005 0,562 ** 0,330 ** 0,247 ** 0,996 ** JB -0,01 0,570 ** 0,306 ** 0,223 ** 0,964 ** 0,958 ** UB 0,024-0,258-0,295 * -0,185-0,504 ** -0,507 ** -0,552 ** PB 0,123 ** 0,491 ** 0,365 ** 0,303 ** 0,853 ** 0,852 ** 0,848 ** -0,094 Keterangan: * berkorelasi pada alpha 5%; **berkorelasi pada alpha 1% TT: Tinggi, JC: Jumlah cabang per, JS: Jumlah buku per, JI: Jumlah polong isi per, JP: Jumlah polong per, JB: Jumlah biji per, UB: Ukuran biji, PB: Produksi biji per

23 Galur KH 44 memiliki produksi biji sama dengan varietas Slamet, KH 58 dan KH 40, dan lebih tinggi dibanding varietas pembanding Tanggamus, Wilis, Anjasmoro, dan juga galur lain yang diuji (Tabel 2). Seluruh galur yang diuji cenderung memiliki produksi yang lebih tinggi dibandingkan varietas Anjasmoro kecuali KH 31. Varietas Anjasmoro merupakan varietas unggul nasional yang paling banyak digunakan untuk bahan baku tahu dan tempe (Ristek 2008). Tingginya hasil dari galur-galur harapan ini kemungkinan disebabkan oleh jumlah cabang, jumlah buku subur, jumlah buku, dan tinggi (Tabel 2). Hasil uji kontras orthogonal menunjukkan bahwa secara umum keempat belas galur mempunyai rata-rata produksi biji tiap (31,6 g) yang sama dengan rata-rata keempat varietas pembanding (34,9 g) tetapi lebih tinggi daripada varietas anjasmoro (23,4 g), sama dengan varietas Wilis (36,9 g) dan Tanggamus (36,9 g) dan lebih kecil daripada varietas slamet (42,3 g) (Lampiran 11). Sepuluh galur mempunyai produksi biji lebih tinggi dari varietas Anjasmoro adalah KH 9, KH 28, KH 35, KH 38, KH 40, KH 42, KH 44, KH 55, KH 58, dan KH 71. Sedangkan galur lainnya berproduksi sama dengan varietas Anjasmoro. Dibandingkan varietas Slamet, galur KH 44 mempunyai produksi biji lebih tinggi dan galur KH 40, KH 42 dan KH 58 berproduksi biji sama dengan varietas Slamet. Dibandingkan varietas tanggamus, galur KH 44 mempunyai produksi biji lebih tinggi dan galur KH 28, KH 40, KH 42, KH 55, KH 58, dan KH 71 berproduksi sama dengan varietas Tanggamus. Galur KH 44 mempunyai produksi biji yang lebih tinggi dibandingkan dengan varietas Wilis, dan galur KH 28, KH 35, KH 40, KH 42, KH 55, KH 58, KH 71 mempunyai produksi sama dengan varietas Wilis (Tabel 4). Produksi Biji Per Petak Berdasarkan pengamatan di lapang, ukuran petak sawah rata-rata di Majalengka 15 m x 10 m, karena terdapat parit dan pematang sekitar 0,5 meter sehingga lahan efektif yang ditanami adalah 85%, maka dugaan produksi tiap hektar untuk semua genotipe merupakan 85% dari produksi keseluruhan (Tabel 5).

24 Tabel 4 Perbandingan produksi biji per (g) antara galur (1) dengan varietas pembanding (2) pada musim pertama (2) Anjasmoro Slamet Tanggamus Wilis (1) 23,4 42,3 36,9 36,9 KH 8 24,7 = < < < KH 9 30,6 > < < < KH 10 25,4 = < < < KH 11 26,7 = < < < KH 28 27,9 > < = = KH 31 22,9 = < < < KH 35 30,9 > < = = KH 38 29,4 > < < = KH 40 37,9 > = = = KH 42 37,5 > = = = KH 44 44,0 > > > > KH 55 35,6 > < = = KH 58 38,6 > = = = KH 71 30,3 > < = = Tabel 5 Populasi per petak, produksi biji per petak, ukuran biji pada musim pertama Genotipe Petakan tidak terkoreksi Petakan terkoreksi Ukuran biji Jumlah *) Produksi biji (g) Produksi biji (ton/ha) Jumlah Produksi biji (g) Produksi biji (ton/ha) (g/100biji) KH8 353 4076,3 bcd 2,35 357 4122,5 abc 2,4 21,7 de KH9 340 3811,7 abc 2,20 357 4002,3 ab 2,3 22,8 e KH10 324 4594,3 de 2,65 357 5062,3 de 2,9 21,4 cde KH11 327 4206,7 cde 2,43 357 4592,6 bcd 2,7 22,7 e KH28 318 4191,0 cde 2,42 357 4704,9 cd 2,7 21,7 de KH31 357 3905,7 abc 2,26 357 3905,7 a 2,3 21,7 de KH35 227 4718,0 de 2,72 357 7419,9 g 4,3 21,0 cde KH38 345 4103,0 cd 2,37 357 4245,7 abc 2,5 22,8 e KH40 278 4613,7 de 2,66 357 5924,7 f 3,4 21,2 cde KH42 262 4195,7 cde 2,42 357 5716,9 f 3,3 22,4 e KH44 159 4278,0 cde 2,47 357 9605,3 i 5,6 21,5 de KH55 344 3946,0 bc 2,28 357 4095,1 abc 2,4 19,0 cd KH58 200 4603,0 de 2,66 357 8216,4 h 4,7 20,7 cde KH71 337 4237,7 cde 2,45 357 4489,2 abcd 2,6 20,7 cde Anjasmoro 267 4178,0 cde 2,41 357 5586,3 ef 3,2 18,5 c Slamet 173 3566,3 ab 2,22 357 7359,4 g 4,3 15,4 b Tanggamus 299 3847,3 abc 2,06 357 4593,6 bcd 2,6 12,6 a Wilis 285 3411,3 a 1,97 357 4273,1 abc 2,5 14,4 ab Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama adalah tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan dengan taraf kesalahan 5%, *) Jumlah sebelum panen Berdasarkan jumlah yang tidak terkoreksi galur KH 10, KH 11, KH 28, KH 35, KH 40, KH 42, KH 44, KH 71 dan varietas Anjasmoro mempunyai produksi per petak sama dan cenderung lebih tinggi dibandingkan

25 dengan genotipe lain. Urutan produksi tiap petak tidak terkoreksi ini berbeda dengan urutan produksi per petak yang terkoreksi dengan menggunakan jumlah yang sama. Berdasarkan jumlah yang terkoreksi, galur KH 44 mempunyai produksi per petak paling tinggi dibandingkan dengan varietas pembanding maupun dengan genotipe lain. Hal ini terjadi karena jumlah berbeda. Tingginya produksi per petak terkoreksi sangat dipengaruhi oleh jumlah yang tumbuh. Pada petakan yang jumlah nya sedikit maka produksi per petakan terkoreksinya lebih tinggi dibandingkan dengan petakan yang jumlah nya banyak (Tabel 5). Hasil ini juga didukung oleh pengamatan pada contoh (Tabel 2) dimana KH 44 mempunyai produksi biji per yang paling tinggi. Hal ini terjadi karena persaingan dalam mendapatkan nutrisi, air dan sinar matahari antar yang jumlahnya sedikit lebih rendah daripada yang jumlahnya banyak. Berdasarkan deskripsi dari Deptan (2011) varietas Anjasmoro mempunyai produksi biji per hektar 2,25-2,3 ton/ha, varietas Slamet 2,26 ton/ha, varietas Tanggamus 1,22 ton/ha dan varietas Wilis 1,6 ton/ha yang lebih rendah daripada produksi tiap hektar pada percobaan ini. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi lingkungan pada percobaan ini sangat mendukung. Keasaman tanah pada penelitian ini cukup baik untuk pertumbuhan kedelai yaitu 5,0-5,9 (Lampiran 2). Menurut Sumarno dan Manshuri (2007) ph tanah berdasarkan H 2 O yang baik untuk pertumbuhan kedelai di Indonesia berkisar antara 5,5-7,0. Kadar P (Posfor) dalam penelitian ini sangat tinggi yang berkisar 65,3 (Lampiran 2). Menurut Hardjowigeno (2010), kadar P tanah dapat digolongkan menjadi empat yaitu sangat rendah (<10), rendah (10-20), sedang (21-40), tinggi (41-60) dan sangat tinggi (>60). Hal ini menunjukkan bahwa di Majalengka mempunyai kadar P yang sangat tinggi. Posfor berpengaruh terhadap pembungaan, pembuahan dan pembentukan polong (Simanjuntak 2005). Hara P merupakan unsur pelengkap dalam pembentukan protein, enzim dan inti sel, bahan dasar untuk membantu proses assimilasi dan respirasi serta merangsang pertumbuhan akar (Lambers et al. 1998)

26 Ukuran Biji Ukuran biji untuk musim pertama terbagi menjadi dua kategori berdasarkan kriteria Deptan (2007) yaitu ukuran biji sedang (10-12 g) untuk varietas Tanggamus dan ukuran biji besar ( 14 g) untuk genotipe lainnya. Menurut Suhartina (2005) Slamet dan Wilis merupakan varietas berbiji kecil, tetapi pada penelitian ini varietas Slamet dan Wilis termasuk berbiji besar. Hal ini kemungkinan disebabkan suburnya tanah dan curah hujan yang cukup. Seluruh galur yang diuji memiliki ukuran biji relatif sama (19,0-22,8 g/100 biji) dan lebih besar dibandingkan varietas pembanding Anjasmoro, Slamet, Wilis dan Tanggamus. Ukuran biji besar disukai pengrajin tempe karena meningkatkan volume tempe, sehingga ukuran biji kedelai merupakan faktor penentu kualitas tempe terutama bobot dan volume tempe (Ginting et al. 2009). Ukuran biji yang besar diduga karena terpusatnya hasil fotosintesis pada pengisian biji, karena seluruh galur yang diuji memiliki tipe pertumbuhan determinate (terbatas) yang pertumbuhannya terhenti pada fase R1 sehingga dialihkan untuk pengisian biji. Variasi dari sumber lingkungan dapat mempengaruhi pola pertumbuhan seperti halnya luas daun dan remobilisasi nitrogen dalam jumlah besar juga sangat menetukan proses pengisian biji (Harmida 2010). Ukuran biji juga berhubungan dengan lamanya panen, semakin lama umur panen semakin besar ukuran biji dalam 24 galur yang berbeda (Yullianida 2006). Varietas-varietas baru mempunyai kecenderungan berdaya hasil tinggi dan berukuran biji besar (Suhartina 2005). Hasil uji kontras orthogonal menunjukkan bahwa secara umum ukuran biji (g/100 biji) keempat belas galur yang diuji (21,56 g) lebih besar daripada varietas pembanding Wilis (14,4 g), Tanggamus (12,6 g), Anjasmoro (18,6 g), Slamet (15,4 g) (Lampiran 11). Semua galur lebih besar dari varietas pembanding Anjasmoro kecuali KH 55, KH 58, dan KH 71 sama dengan varietas pembanding Anjasmoro. Seluruh galur mempunyai ukuran biji lebih besar daripada varietas Slamet, Tanggamus dan Wilis (Tabel 6, Gambar 2). Dengan meningkatnya ukuran biji galur harapan dibandingkan varietas Slamet sebagai salah satu tetuanya berarti

27 bahwa hasil persilangan antara kultivar Slamet dan Nokhonsawon telah memperbaiki salah satu sifat varietas Slamet secara genetik. Tabel 6 Perbandingan ukuran biji (g/100 biji) antara galur (1) dengan varietas Pembanding (2) pada musim pertama (2) Anjasmoro Slamet Tanggamus Wilis (1) 18,6 15,4 12,6 14,4 KH 8 21,8 > > > > KH 9 22,9 > > > > KH 10 21,4 > > > > KH 11 22,8 > > > > KH 28 21,8 > > > > KH 31 21,7 > > > > KH 35 21,1 > > > > KH 38 22,8 > > > > KH 40 21,2 > > > > KH 42 22,4 > > > > KH 44 21,6 > > > > KH 55 19,0 = > > > KH 58 20,7 = > > > KH 71 20,7 = > > > A B C Gambar 2 Perbandingan ukuran biji antara A. varietas Slamet, B. varietas Anjasmoro, C. galur KH 42 Umur Panen Pada musim tanam pertama semua genotipe dipanen pada umur 90 hari. Panen dilakukan secara serentak karena disesuaikan dengan musim panen padi, apabila terlambat panen dibandingkan panen padi maka hama padi akan mengganggu kedelai sehingga akan mengakibatkan kedelai gagal panen.

28 Masa reproduktif yang lama dapat meningkatkan hasil kedelai melalui peningkatan jumlah polong dan buku produktif (Board et al. 1997). Seluruh genotipe mengalami perlambatan waktu panen, dan hal ini berhubungan dengan mundurnya fase awal pembungaan seluruh galur (Lampiran 11). Lebih lambatnya waktu panen diduga karena pada musim pertama curah hujan tinggi. Hal yang sama terjadi pada penelitian yang dilaporkan Nurlianti et al. (2003) pada kondisi yang berhujan basah (rata-rata diatas 20 mm/hari pada bulan januari 2007) dan berintensitas cahaya yang rendah (di bawah 200 kcal/cm 2 /hari) pada stadia pemasakan biji akan memperlambat waktu panen. Deraan curah hujan pada fase reproduktif atau selama stadia dari R1 hingga R8 dapat menunda proses pematangan biji, memperpanjang saat masak fisiologis atau pertumbuhan vegetatifnya (Syatrianti et al. 2008). Umur Mulai Berbunga Umur berbunga merupakan sifat yang dikendalikan oleh gen, cukup mantap dan stabil pada lingkungan yang berbeda (Arsyad et al 2007). Umur mulai berbunga menentukan genjah atau dalamnya umur. Umur mulai berbunga seluruh galur pada musim tanam pertama lebih cepat jika dibandingkan dengan varietas pembanding berkisar antara 33,4 HST 40,16 HST (Lampiran 11). Pada musim pertama KH 10, KH 11, KH 28, KH 40, dan KH 42, umur mulai berbunganya lebih cepat dibandingkan genotipe lainnya. Per Musim Kedua Tinggi Tanaman Tinggi pada musim kedua terbagi menjadi dua kategori berdasarkan kriteria Deptan (2007) yaitu sedang (>50-68 cm) untuk Anjasmoro, Wilis, KH 71, KH 9, Tanggamus dan tinggi (>68-86 cm) untuk genotipe lainnya (Tabel 7). Varietas Tanggamus, Slamet dan Wilis dari percobaan ini mempunyai batang yang lebih tinggi daripada yang di deskripsikan oleh Deptan (2011) (Lampiran 1). Hal ini menunjukkan bahwa kondisi lingkungan pada percobaan ini sangat mendukung untuk pertumbuhan batang.

29 Secara umum tinggi pada musim kedua lebih rendah jika dibandingkan dengan pada musim pertama. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena curah hujan musim pertama lebih tinggi jika dibandingkan musim kedua. Penelitian yang dilaporkan Suyamto dan Adisarwanto (2006) menunjukkan bahwa tinggi pada pengairan optimal rata-rata 82,8 cm dan akan menurun 23% pada kondisi tercekam kekeringan. Terganggunya pertumbuhan akibat cekaman kekeringan menekan pertumbuhan vegetatif kedelai yang dicerminkan oleh berkurangnya luas daun, tinggi dan menurunnya laju pertumbuhan akibat berkurangnya efisiensi fotosintesis (Levit 1980). Tabel 7 Rataan tinggi, jumlah cabang, jumlah buku subur, jumlah buku tidak subur, jumlah polong hampa, jumlah polong isi, jumlah biji dan produksi biji musim kedua Genotipe Tinggi (cm) Jumlah cabang per Jumlah buku subur per Jumlah buku tidak subur per Jumlah polong hampa per Jumlah polong isi per Jumlah biji per Produksi biji per (g) KH 8 75,1 def 1,8 a 12,2 defg 1,6 de 2,4 abc 56,6 a 108,6 abc 17,7 abcd KH 9 66,1 b 2,3 abc 10,2 abc 0,7 abc 3,7 cdef 65,1 abcde 133,8 def 20,4 cdef KH 10 76,0 def 2,4 abc 11,7 cdef 1,2 bcd 2,6 bcd 62,9 abcd 118,1 abcd 20,2 cdef KH 11 74,7 def 2,7 bcde 11,8 cdef 1,4 cde 2,8 bcd 67,3 abcde 129,9 cdef 20,0 cdef KH 28 72,8 cde 2,7 bcde 11,7 cdef 0,9 abcd 5,2 fg 61,3 abc 120,6 abcde 18,7 abcd KH 31 68,0 bc 3,8 g 10,3 abc 0,5 ab 3,0 bcde 64,9 abcde 115,0 abcd 19,0 bcde KH 35 79,4 fg 2,1 ab 12,5 efg 0,8 abc 5,4 g 59,2 ab 115,8 abcd 18,3 abcd KH 38 72,1 cd 3,4 fg 9,8 ab 0,4 a 2,8 bcd 68,1 bcde 126,4 bcdef 19,4 bcde KH 40 78,0 efg 2,5 abcd 11,5 cdef 0,9 abcd 2,0 ab 71,5 cdefg 129,7 cdef 21,0 def KH 42 83,4 g 2,4 bcd 12,4 efg 0,7 abc 3,9 cdef 78,4 fg 139,9 efg 23,0 f KH 44 81,7 g 2,1 ab 13,2 fgh 0,9 abcd 4,1 defg 70,6 cdef 132,1 def 22,2 ef KH 55 76,0 def 2,9 cdef 11,6 cdef 1,0 abcd 4,5 fg 61,8 abc 112,7 abcd 17,5 abc KH 58 83,2 g 2,3 abc 14,1 h 0,8 abc 3,8 cdef 74,7 efg 126,4 bcdef 19,9 cdef KH 71 65,3 b 2,3 bcde 10,6 abcd 0,7 abc 3,1 bcde 57,0 a 107,0 ab 17,0 abc Anjasmoro 59,0 a 2,4 abc 13,6 gh 1,9 e 1,1 a 57,2 a 101,1 a 17,3 abc Slamet 82,1 g 3,1 def 11,3 bcde 0,7 abc 2,8 bcd 63,6 abcd 130,0 cdef 15,4 a Tanggamus 67,7 bc 3,3 efg 13,1 fgh 1,1 abcd 1,9 ab 72,5 defg 144,2 fg 15,3 a Wilis 59,7 a 3,5 fg 9,4 a 0,7 abc 2,9 bcd 81,0 g 154,4 g 16,1 ab Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama adalah tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan dengan taraf kesalahan 5% Jumlah Cabang Jumlah cabang galur KH 31, KH 38 relatif sama dengan varietas pembanding Tanggamus dan Wilis tetapi lebih tinggi jika dibandingkan dengan varietas Anjasmoro dan Slamet dan juga galur lainnya. Galur KH 8 mempunyai jumlah cabang paling sedikit dibandingkan galur lain maupun varietas pembanding lainnya.

30 Jumlah cabang pada musim kedua berkorelasi positif terhadap jumlah polong isi, jumlah polong, jumlah biji dan produksi biji (Tabel 8). Hal ini berarti bahwa jumlah cabang mempengaruhi banyaknya jumlah polong isi, jumlah polong, jumlah biji dan produksi biji. Jumlah Buku Pada musim tanam kedua galur KH 44, KH 58, mempunyai jumlah buku subur yang sama dibandingkan varietas Anjasmoro dan Wilis, dan lebih tinggi dari varietas Tanggamus, Slamet dan galur lain. Jumlah buku tidak subur semua genotipe lebih sedikit daripada varietas Anjasmoro. Jumlah buku tidak subur yang banyak dapat menyebabkan rendahnya produksi kedelai karena polong yang terbentuk sedikit. Jumlah Polong Jumlah polong isi galur KH 40, KH 42, KH 58 adalah relatif sama dengan varietas Wilis dan Tanggamus, dan lebih tinggi daripada varietas Anjasmoro, Slamet dan galur lainnya. Galur KH 28, KH 35, KH 44, KH 55 memiliki jumlah polong hampa yang relatif sama, dan lebih tinggi jika dibandingkan varietas Anjasmoro, Wilis, Tanggamus, Slamet dan galur lainnya. Walaupun mempunyai jumlah polong hampa banyak, KH 44 mempunyai produksi yang tinggi. Galur KH 40 dan KH 8 mempunyai jumlah polong hampa yang paling rendah tetapi relatif sama dengan varietas Anjasmoro dan Tanggamus. Jumlah Biji Jumlah biji galur yang diuji yaitu KH 42 relatif sama dengan varietas Wilis dan Tanggamus, tetapi lebih banyak dari pada galur lain dan varietas pembanding Slamet dan Anjasmoro (Tabel 7). Jumlah biji berkorelasi kuat terhadap jumlah polong dan jumlah polong isi (Tabel 8). Hal ini menunjukkan bahwa jumlah polong isi menentukan banyaknya jumlah biji per.

31 Produksi Biji Per Tanaman Pada musim kedua galur KH 42 memiliki produksi biji per relatif sama dengan galur KH 58, KH 44, KH 40, KH 9, KH 10 dan KH 11 tetapi memiliki produksi biji lebih tinggi dibandingkan varietas pembanding dan galur lainnya (Tabel 7). Seluruh galur cenderung mempunyai produksi biji per yang lebih tinggi dibandingkan varietas pembanding Anjasmoro (kecuali galur KH 71) dan varietas pembanding lainnya. Produksi biji per pada musim kedua berkorelasi terhadap komponen bukan produksi tinggi dan jumlah cabang kecuali jumlah buku dan buku subur, juga terhadap komponen produksi yaitu jumlah polong, jumlah polong isi, jumlah biji kecuali terhadap ukuran biji (Tabel 8). Tabel 8 Korelasi antar karakter kuantitatif pada musim kedua Karakter TT JC JS JB JI JP JB UB JC -0,140 ** JS 0,188 ** -0,212 ** JB 0,173 ** -0,243 ** 0,940 ** JI 0,164 ** 0,351 ** -0,183 ** -0,220 ** JP 0,182 ** 0,347 ** -0,184 ** -0,221 ** 0,989 ** JB 0,104 * 0,326 ** -0,199 ** -0,227 ** 0,704 ** 0,702 ** UB 0,176-0,039 0,248 0,223-0,031-0,038-0,189 PB 0,228 ** 0,205 ** -0,148 ** -0,177 ** 0,659 ** 0,652 ** 0,695 ** 0,245 Keterangan: * berkorelasi pada alpha 5%, **berkorelasi pada alpha 1% TT: Tinggi, JC: Jumlah cabang per, JS: Jumlah buku per, JI: Jumlah polong isi per, JP: Jumlah polong per, JB: Jumlah biji per, UB: Ukuran biji, PB: Produksi biji per Hal ini berarti peningkatan produksi tidak mempengaruhi ukuran biji, jumlah buku tidak subur, dan jumlah buku subur. Sama halnya dengan musim pertama, pada pengamatan musim kedua, produksi biji per berkorelasi kuat terhadap jumlah polong isi dan jumlah biji per. Penelitian yang dilakukan oleh Arsyad et al. (2007) menunjukkan bahwa perbedaan hasil antar galur terutama berhubungan dengan tinggi dan ukuran biji. Berdasarkan hasil uji kontras orthogonal secara umum keempat belas galur mempunyai rata-rata produksi biji tiap (19,6 g) lebih tinggi daripada ratarata keempat varietas pembanding (16,1 g) dan lebih tinggi daripada varietas anjasmoro (17,3 g), Wilis (16,2 g), Tanggamus (15,4 g) dan slamet (15,4) (Lampiran 12).

32 Tujuh galur mempunyai produksi biji lebih tinggi adalah KH 9, KH 10, KH 11, KH 40, KH 42, KH 44, dan KH 58, dibandingkan varietas Anjasmoro. Sedangkan galur KH 8, KH 28, KH 31, KH 35, KH 38, berproduksi sama dengan varietas Anjasmoro. Dibandingkan varietas Slamet, galur KH 9, KH 10, KH 11, KH 40, KH 42, KH 44, KH 55, KH 58, KH 71 mempunyai produksi biji lebih tinggi, sedangkan dengan galur lainnya berproduksi sama (Tabel 9). Tabel 9 Perbandingan produksi biji per (g) antara galur (1) dengan varietas pembanding (2) (2) Anjasmoro Slamet Tanggamus Wilis (1) 17,3 15,4 15,4 16,2 KH 8 17,7 = = = = KH 9 20,5 > > > > KH 10 20,2 > > > > KH 11 20,1 > > > > KH 28 18,7 = = = = KH 31 19,0 = = = = KH 35 18,3 = = = = KH 38 19,4 = = = = KH 40 21,0 > > > > KH 42 23,1 > > > > KH 44 22,3 > > > > KH 55 17,5 = > = = KH 58 19,9 = > > > KH 71 17,1 = > = = Dibandingkan varietas tanggamus, galur KH 9, KH 10, KH 11, KH 40, KH 42, KH 44, KH 55, dan KH 58, mempunyai produksi biji lebih tinggi sedangkan dengan galur lainnya berproduksi sama. Galur KH 9, KH 10, KH 11, KH 40, KH 42, KH 44, dan KH 58, mempunyai produksi biji yang lebih tinggi dibandingkan dengan varietas Wilis, dan galur lainnya mempunyai produksi sama. Produksi Biji Per Petak Genotipe KH 58 mempunyai produksi per petak paling tinggi dibandingkan dengan varietas pembanding maupun galur lainnya (Tabel 10). Urutan produksi tiap petak ini berbeda dengan urutan dugaan produksi tiap hektar berdasarkan petakan yang sudah terkoreksi. Berdasarkan jumlah yang sama dalam satu petak, galur KH 71 mempunyai produksi tiap hektar paling tinggi dengan

33 varietas pembanding maupun dengan genotipe lain. Hal ini terjadi karena KH 71 tumbuh pada petakan yang mempunyai kerapatan yang relatif rendah. Seperti pada musim pertama bahwa lahan yang efektif di tanami adalah 85%, varietas Anjasmoro pada percobaan ini mempunyai produksi yang lebih rendah daripada potensinya (Deptan 2011, Lampiran 3), tetapi untuk ketiga varietas pembanding lainnya berpotensi lebih tinggi pada percobaan ini dibandingkan dengan potensinya. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum kondisi lingkungan pada percobaan ini sangat mendukung. Tabel 10 Populasi per petak, produksi biji per hektar dan ukuran biji pada musim kedua Genotipe Petakan tidak terkoreksi Petakan terkoreksi Ukuran Jumlah Produksi Produksi biji *) biji (g) (g) Produksi biji (ton/ha) Jumla h tanam an Produksi biji (ton/ha) biji (g/100biji) KH8 232 4101,7 b 2,4 287 5074,0 def 2,9 16,8 bcde KH9 216 3593,7 ab 2,1 287 4774,9 cdef 2,8 15,5 b KH10 280 3539,0 ab 2,0 287 3627,5 ab 2,1 17,8 cdef KH11 252 3433,0 ab 1,9 287 3909,8 abc 2,3 17,0 bcde KH28 243 3878,3 ab 2,2 287 4580,6 bcdef 2,7 15,9 bc KH31 238 3884,3 ab 2,2 287 4684,1 cdef 2,7 19,5 f KH35 253 3203,7 a 1,9 287 3634,2 ab 2,1 16,5 bcd KH38 188 3521,3 ab 2,0 287 5375,7 ef 3,1 18,4 def KH40 269 4081,3 b 2,4 287 4354,4 abcde 2,5 15,7 b KH42 228 3741,3 ab 2,2 287 4709,5 cdef 2,7 17,3 bcde KH44 241 4064,7 b 2,4 287 4840,5 cdef 2,8 17,5 bcde KH55 236 3508,0 ab 2,0 287 4266,1 abc 2,5 16,0 bc KH58 246 4111,6 b 2,4 287 4796,9 cdef 2,8 17,3 bcde KH71 206 3961,0 ab 2,3 287 5518,5 f 3,2 18,7 ef Anjasmoro 202 3480,7 ab 2,0 287 4945,3 cdef 2,9 16,6 bcd Slamet 253 3825,7 ab 2,2 287 4449,5 abcde 2,6 12,3 a Tanggamus 287 3442,3 ab 1,9 287 3442,3 a 1,9 10,8 a Wilis 243 3767,3 ab 2,2 287 4339,8 abcde 2,5 10,7 a Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama adalah tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan dengan taraf kesalahan 5%, *) jumlah sesudah dipanen Ukuran Biji Berdasarkan kriteria Deptan (2007), pada musim kedua genotipe terbagi menjadi dua kategori yaitu yang berbiji sedang (10-12 g) yaitu varietas Tanggamus, Wilis, Slamet dan yang berbiji besar ( 14 g) untuk genotipe lainnya. Galur KH 31 mempunyai ukuran biji relatif sama dengan KH 38, KH 71, KH 10 dan lebih besar daripada varietas Anjasmoro, Wilis, Tanggamus, Slamet juga seluruh galur lainnya. Ukuran biji ditentukan oleh potensial genetik kedelai dan masih bisa berubah oleh kondisi lingkungan (Liu et al. 2010). Hasil

34 biji merupakan total fotosintat yang disimpan dalam biji, dan besarnya merupakan hasil perkalian antara laju akumulasi bahan kering di biji dengan periode pengisian biji dan jumlah biji (Harmida 2010). Analisis ragam gabungan antar musim menunjukkan bahwa terdapat interaksi antar musim dan genotipe sehingga analisis data dilanjutkan dengan uji kontras orthogonal, dilakukan pada produksi biji per dan ukuran biji. Secara umum ukuran biji (g/100 biji) keempat belas galur lebih besar yaitu 17,2 g/ 100 biji dari varietas pembanding Wilis (10,8 g/100 biji), Slamet (12,3 g/100 biji), Tanggamus (10,8 g/100 biji), dan sama dengan varietas pembanding Anjasmoro (16,6 g/100 biji) (Lampiran 12). Seluruh galur mempunyai biji yang besar karena seleksi sebelumnya dilakukan berdasarkan produksi dan ukuran biji (Suharsono et al. 2006, 2007; Jambormias et al. 2009). Galur KH 31, KH 38, KH 71, berbiji lebih besar daripada varietas Anjasmoro sedangkan galur lainnya sama dengan varietas Anjasmoro. Seluruh galur mempunyai ukuran biji lebih besar daripada varietas Slamet, Tanggamus dan Wilis (Tabel 11). Dengan meningkatnya ukuran biji galur harapan dibandingkan varietas Slamet sebagai salah satu tetuanya berarti bahwa hasil persilangan antara kultivar Slamet dan Nakhonsawan telah memperbaiki salah satu sifat varietas Slamet secara genetik. Tabel 11 Perbandingan ukuran biji (g/100 biji) antara galur (1) dengan varietas pembanding (2) (2) Anjasmoro Slamet Tanggamus Wilis (1) 16,6 12,3 10,8 10,8 KH 8 16,8 = > > > KH 9 15,5 = > > > KH 10 17,9 = > > > KH 11 17,0 = > > > KH 28 15,9 = > > > KH 31 19,5 > > > > KH 35 16,5 = > > > KH 38 18,5 > > > > KH 40 15,7 = > > > KH 42 17,4 = > > > KH 44 17,5 = > > > KH 55 16,0 = > > > KH 58 17,3 = > > > KH 71 18,7 > > > >

35 Umur Panen Pada musim kedua, seluruh genotipe mempunyai umur panen adalah antara 80 HST dan 85 HST. Galur KH 40 mempunyai umur panen paling kecil yaitu 80 HST, sedangkan galur KH 8, KH 55, KH71, dan KH 9 mempunyai ukuran panen yang lebih tinggi. Berdasarkan umur panen kedelai dibedakan menjadi sangat genjah (<70 HST), genjah (70-79 HST), medium (80-85 HST), dalam (86-90 HST) dan sangat dalam (>90 HST) (Deptan 2007). Pada musim kedua ini semua galur maupun pembandingnya termasuk medium/sedang karena berumur sekitar 80 85 HST. Waktu panen musim kedua lebih cepat dibanding musim pertama kemungkinan disebabkan curah hujan pada musim kedua yang lebih rendah dibandingkan musim pertama. De sausa et al. (1997) melaporkan bahwa perlakuan kekeringan yang hanya diairi sampai umur berbunga (40 hari) mengakibatkan umur lebih genjah, ukuran biji lebih kecil, produksi menurun dengan perbedaan sangat nyata dibanding pengairan optimal. Selain curah hujan, lama penyinaran matahari juga mempengaruhi umur panen, karena kedelai termasuk hari pendek, tu adalah dapat berbunga apabila disinari cahaya 10 jam sampai 12 jam (Lambers et al. 1998). Hari yang panjang akan memperpanjang fase perkembangan vegetatif dan generatif (Sumarno dan Manshuri 2007). Umur panen yang lebih cepat juga diduga karena umur berbunga kedelai lebih cepat. Pada cabai juga demikian, umur berbunga cabai lebih cepat dapat menyebabkan umur panen lebih cepat (Syukur et al. 2010). Wiliam et al. (1995) melaporkan bahwa pada kedelai, umur panen pada musim kemarau (curah hujan rendah) relatif lebih cepat dibandingkan dengan musim hujan (curah hujan tinggi). Umur Mulai Berbunga Umur mulai berbunga seluruh galur pada musim tanam kedua lebih cepat jika dibandingkan dengan varietas pembanding, dan galur KH 35, KH 42, KH 44 dan KH 58 berbunga lebih cepat dibandingkan genotipe lainnya (Lampiran 11). Jika dibandingkan antara musim tanam pertama dan musim tanam kedua, maka umur mulai berbunga musim tanam kedua lebih cepat dibandingkan musim

36 tanam pertama. Hal ini diduga karena curah hujan pada musim tanam kedua lebih rendah daripada musim pertama. Umur berbunga yang makin lama menyebabkan memiliki fase vegetatif panjang karena hasil metabolisme didistribusikan ke tempat lain, salah satunya ke batang (Susanto dan Adie 2008). Masa vegetatif yang lama dapat meningkatkan tinggi yang berhubungan dengan produksi biji kedelai dan melalui peningkatan jumlah polong dan buku produktif (Board et al. 1997). Susanto dan Adie (2006) dalam penelitiannya di Probolinggo, umur berbunga yang cepat dapat menurunkan hasil. Penurunan hasil tersebut diakibatkan oleh percepatan proses senescence dan pemendekan periode pengisian polong (de Sousa et al. 1997). Selain curah hujan, temperatur musim kedua (27,6 C) lebih tinggi jika dibandingkan musim pertama (27,1 C). Temperatur berhubungan dalam menentukan waktu berbunga dan pembentukan polong. Suhu hangat dapat mempercepat pembungaan dan pembentukan polong kedelai dan sebaliknya, suhu yang lebih dingin akan menghambat kedua proses tersebut (Adie et al. 2006). Pengelompokan Genotipe Berdasarkan Produksi dan Ukuran Biji Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 13), karakter produksi biji per dan ukuran biji antar genotipe berbeda nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa karakter tersebut dapat digunakan sebagai pembeda antar kelompok. Pengelompokan galur kedelai berdasarkan kedua karakter tersebut menghasilkan tiga kelompok, baik pada musim pertama maupun musim kedua, sedangkan gabungan dua musim tanam menghasilkan tiga kelompok. Ke-18 genotipe pada musim pertama, dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok (Gambar 3 A). Kelompok satu terdapat pada kuadran 1, mempunyai ciri-ciri produksi biji per lebih dari varietas Anjasmoro dan ukuran biji besar, terdiri dari 15 genotipe adalah KH 8, KH 9, KH 10, KH 11, KH 28, KH 35, KH 38, KH 40, KH 42, KH 44, KH 55, KH 58, KH 71 varietas Slamet dan Wilis. Kelompok dua terdapat pada kuadran 2, mempunyai ciri-ciri produksi biji per kurang dari varietas Anjasmoro dan ukuran biji besar, terdiri dari satu genotipe adalah KH 31.

37 A. 45 KH 44 SLAMET produksi biji per (g) 40 TANGGAMUS 35 30 25 WILIS KH 55 ANJASMORO KH 58 KH 40 KH 42 KH 35 KH 9 KH 71 KH 38 KH 28 KH 11 KH 10 KH 8 KH 31 20 12 14 16 18 ukuran biji (g/100 biji) 20 22 24 B. produksi biji per (g) 24 23 22 21 20 19 18 17 16 WILIS TANGGAMUS SLAMET KH 42 KH 44 KH 40 KH 9 KH 10 KH 11 KH 58 KH 38 KH 31 KH 28 KH 35 KH 8 KH 55 ANJASMORO KH 71 15 10 12 14 16 ukuran biji (g/100 biji) 18 20 C. 34 KH 44 32 produksi biji per (g) 30 28 WILIS 26 TANGGAMUS 24 SLAMET KH 55 KH 42 KH 40 KH 58 KH 9 KH 35 KH 38 KH 71 KH 28 KH 11 22 KH 10 KH 8 KH 31 20 ANJASMORO 12 13 14 15 16 17 Ukuran Biji (g/100 biji) 18 19 20 21 Gambar 3 Pengelompokan 18 genotipe berdasarkan produksi dan ukuran biji A: musim pertama, B: musim kedua, C: gabungan musim pertama dan kedua

38 Kelompok tiga terdapat pada kuadran 4, mempunyai ciri-ciri produksi biji per lebih dari varietas Anjasmoro dan ukuran biji sedang, terdiri dari satu genotipe yaitu varietas Tanggamus. Pada musim kedua, ke-18 genotipe dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok (Gambar 3 B). Kelompok satu terdapat pada kuadran 1, mempunyai ciri-ciri produksi biji per lebih dari varietas Anjasmoro dan ukuran biji besar, terdiri dari 13 genotipe adalah KH 8, KH 9, KH 10, KH 11, KH 28, KH 31, KH 35, KH 38, KH 40, KH 42, KH 44, KH 55, KH 58. Kelompok dua terdapat pada kuadran 2, mempunyai ciri-ciri produksi biji per kurang dari varietas Anjasmoro dan ukuran biji besar, terdiri dari satu genotipe adalah KH 71. Kelompok tiga terdapat pada kuadran 3, mempunyai ciri-ciri produksi biji per kurang dari varietas Anjasmoro dan ukuran biji sedang, terdiri dari tiga genotipe yaitu varietas Tanggamus, Slamet dan Wilis. Pada gabungan dua musim tanam, ke-18 genotipe dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok (Gambar 3 C). Kelompok satu terdapat pada kuadran 1, mempunyai ciri-ciri produksi biji per lebih dari varietas Anjasmoro dan ukuran biji besar, terdiri dari 14 genotipe adalah KH 8, KH 9, KH 10, KH 11, KH 28, KH 31, KH 35, KH 38, KH 40, KH 42, KH 44, KH 55, KH 58, dan KH 71. Kelompok dua terdapat pada kuadran 4, mempunyai ciri-ciri produksi biji per lebih dari varietas Anjasmoro dan ukuran biji sedang, terdiri dari tiga genotipe adalah Tanggamus, Slamet, dan Wilis. Berdasarkan ketiga pengelompokan ini KH 40, KH 42, KH 44 dan KH 58 merupakan genotipe yang unggul sehingga keempat galur ini berpotensi untuk di daftarkan menjadi varietas nasional. Keempat galur tersebut berada dalam satu kelompok dengan ciri-ciri produksi lebih tinggi dari keempat varietas pembanding dan ukuran biji besar karena berasal dari nomor seleksi yang sama pada F2 dan F3, berarti mengindikasikan bahwa faktor genetik berpengaruh (Lampiran 14). Interaksi Antar Musim dan Daya Adaptasi Produksi kedelai sangat dipengaruhi musim, genotipe dan interaksi antara genotipe dengan musim. Proporsi besarnya keragaman, secara berurutan disebabkan oleh faktor lingkungan, genotipe, dan interaksi genotipe x lingkungan.

39 Keadaan demikian sering terjadi pada analisa gabungan data hasil percobaan kedelai (Sumarno et al, 1983). Interaksi genotipe dengan lingkungan berguna untuk menentukan wilayah adaptasi suatu genotipe di lingkungan tertentu, menentukan adaptabilitas dan stabilitas suatu genotipe (Sneller et al. 1997) dan mengukur peran faktor lingkungan terhadap potensi genetik suatu genotipe (Vargas et al. 1998; Rao et al. 2002). Secara keseluruhan produksi biji per pada musim pertama lebih tinggi jika dibandingkan musim kedua. Hal ini kemungkinan disebabkan pada musim pertama curah hujan mencukupi (Lampiran 4 dan 5), sehingga kedelai tumbuh dengan baik terutama pada saat pengisian polong. Produksi biji di Majalengka lebih tinggi jika dibanding di daerah lainnya, bahkan produksi biji pada musim tanam kedua masih lebih tinggi dibandingkan di Bogor yang dilaporkan Atmaji (2005) pada uji daya hasil pendahuluan. Tanaman kedelai membutuhkan air terutama pada saat pertumbuhan vegetatif, pembungaan dan pengisian polong (Adie 1992). Pada musim kedua penelitian ini saat pertumbuhan vegetatif, pembentukan bunga dan pengisian polong, terjadi kekurangan air karena tidak cukup hujan dibandingkan musim pertama (Lampiran 4 dan 5). Pada periode pertumbuhan vegetatif 15-21 HST curah hujan total pada musim kedua adalah 13,58 mm lebih rendah dibanding musim pertama yaitu 51,7 mm. Pada periode pembungaan 25 40 HST pada musim kedua curah hujan total adalah 73,5 mm lebih rendah dari pada musim pertama adalah 329,8 mm. Pada periode pembentukan polong 50 70 HST curah hujan total pada musim kedua adalah 73 mm lebih rendah daripada musim pertama yaitu 184,9. Menurut Fattah et al. (2005) yang melakukan penelitian di Towalidah, pertumbuhan kedelai yang terhambat pada saat fase vegetatif sampai fase generatif (pembentukan polong) akibat kurangnya ketersediaan air menyebabkan penurunan produksi. Selanjutnya Kuswantoro & Arsyad (2001) bila saat pengisian polong, kedelai mengalami kekurangan air akan mempengaruhi produksi yang dicapai. Terjadinya kekurangan air pada jaringan walaupun dalam periode singkat dapat menurunkan aktivitas fotosintesis dan metabolisme yang berakibat langsung pada penurunan hasil (Nur et al. 2006).

40 Analisis ragam gabungan antar musim menunjukkan bahwa terdapat interaksi antar musim dan genotipe sehingga analisis data dilanjutkan dengan uji kontras orthogonal, dilakukan pada produksi biji per dan ukuran biji. Pada gabungan dua musim tanam empat galur mempunyai produksi biji lebih tinggi adalah KH 40, KH 42, KH 44, dan KH 58, dibandingkan rata-rata keempat varietas pembanding. Sedangkan galur KH 31 berproduksi lebih rendah dan galur lainnya sama dengan rata-rata keempat varietas pembanding (Tabel 12). Ukuran biji (g/100 biji) keempat belas galur lebih besar dari pada rata-rata keempat varietas pembanding (Tabel 12). Tabel 12 Perbandingan produksi biji tiap (g) antara galur (1) dengan varietas pembanding (2) dan antara ukuran biji (g/100 biji) galur dengan varietas pembanding gabungan dua musim tanam (1) (2) produksi biji per (g) keempat varietas pembanding 25,5 ukuran biji (g/100 biji) 13,9 KH 8 21,2 Sama 19,3 > KH 9 25,5 Sama 19,2 > KH 10 22,8 Sama 19,7 > KH 11 23,4 Sama 19,9 > KH 28 23,3 Sama 18,8 > KH 31 20,9 < 20,6 > KH 35 24,6 Sama 18,8 > KH 38 24,4 Sama 20,6 > KH 40 29,5 > 18,5 > KH 42 30,3 > 19,9 > KH 44 33,2 > 19,5 > KH 55 26,6 Sama 17,5 > KH 58 29,3 > 19 > KH 71 23,7 Sama 19,7 > keempat varietas pembanding Hasil analisis ragam gabungan produksi per memperlihatkan bahwa musim, genotipe dan interaksi genotipe dengan musim mempunyai pengaruh yang nyata terhadap semua peubah yang diamati (tinggi, jumlah cabang, jumlah buku subur, jumlah buku tidak subur, jumlah polong isi, jumlah biji, produksi biji per dan ukuran biji) kecuali jumlah polong hampa tiap (Lampiran 13). Dengan demikian tingkat produksi kedelai akan sangat tergantung pada musim dan genotipe seperti juga telah dilaporkan

41 oleh Arsyad et al. (2006). Hasil yang sama juga terjadi pada cabai (Syukur et al. 2010), jagung manis (Hastini et al. 2008), dan singkong (Dixon et al. 1999). Menurut Rao dan Willey (1980) pada hakekatnya genotipe yang memiliki keragaman hasil yang kecil di beberapa lingkungan dan musim digolongkan sebagai genotipe yang stabil. Terdapat beberapa metode untuk menjelaskan dan mengintrepretasikan tanggap genotipe terhadap variasi lingkungan, salah satunya model additive main effect multiplicative interaction (AMMI), seperti yang telah dilakukan oleh Misra et al. (2009) pada millet (Eleusine coracana), dan Sujiprihati et al. (2006) pada jagung manis. Model AMMI merupakan suatu model gabungan dari pengaruh aditif pada analisis ragam dan pengaruh multiplikasi pada analisis komponen utama, sehingga mampu menjelaskan pengaruh genotipe dan interaksi genotipe x lingkungan dengan menggunakan pendekatan analisis komponen utama (Nur et al. 2007). Galur kedelai dengan skor KU (komponen utama) produksi biji tiap > 0 memperlihatkan respons positif (beradaptasi baik) pada musim pertama, sedangkan yang memiliki skor KU produksi biji tiap < 0 memperlihatkan respon positif pada musim kedua, begitu juga sebaliknya. Galur yang mempunyai jarak paling dekat dengan titik perpotongan nol dianggap memiliki adaptasi yang baik pada musim pertama dan musim kedua (Samonte et al. 2005). Berdasarkan analisis AMMI, KH 44, Wilis, Slamet, Tanggamus, KH 55, KH 58, KH 40 sesuai ditanam pada musim pertama, mempunyai produksi biji per lebih tinggi dari rata-rata produksi per, sedangkan Anjasmoro, KH 8, KH 31, KH 38, KH 10, KH 11, KH 28, KH 9 sesuai ditanam pada musim kedua mempunyai produksi biji per lebih kecil dari rata-rata produksi biji per (Gambar 4). Sedangkan galur KH 42, KH 35, KH 71 sesuai ditanam pada dua musim tanam. Galur KH 44 mempunyai produksi per yang lebih tinggi daripada produksi rata-rata tetapi hanya cocok ditanam pada musim pertama, sedangkan galur KH 42 mempunyai produksi per yang lebih tinggi dari rata-rata produksi per dan dapat beradaptasi baik ditanam

42 pada dua musim tanam. Galur KH 71 dan KH 35 meskipun beradaptasi baik di dua musim tanam tetapi produksi per di bawah rata-rata walaupun lebih tinggi daripada varietas Anjasmoro (Gambar 4). Genotipe yang hasilnya cenderung baik bila diadaptasikan pada daerah tertentu dapat dipertimbangkan untuk dilanjutkan pengujiannya dengan tujuan untuk mendapatkan varietas unggul spesifik lokasi, seperti KH 44 yang merupakan genotipe yang tidak beradaptasi baik (spesifik lingkungan) pada dua musim tanam tapi dapat beradaptasi pada musim tanam pertama. Terdapat beberapa keuntungan yang diperoleh dari varietas unggul spesifik wilayah antara lain: (1) efisiensi penggunaan dana dan waktu, (2) memperbanyak varietas unggul baru yang dilepas dan dapat menjadi unggulan suatu wilayah, (3) peningkatan produksi akan meningkatkan produkvitas nasional, (4) dapat menekan harga bibit/benih, (5) dapat terbentuk regional buffering yang sangat diperlukan untuk meredam meluasnya hama dan penyakit, (6) memberikan pilihan alternatif varietas yang cukup bagi petani, dan (7) memanfaatkan potensi kekayaan alam dengan baik (Baihaki & Wicaksana (2005). 4 3 M1 KU Produksi biji tiap 2 1 0-1 -2 KH8 Anjasmoro KH31 KH71 KH35 KH28 KH38 KH9 KH11 KH10 Tanggamus Wilis KH55 Slamet KH58 KH40 KH42 KH44-3 M2 Mean = 25,6 g -4 20.0 22.5 25.0 27.5 30.0 Produksi biji tiap (g) 32.5 35.0 Gambar 4 Biplot pengaruh interaksi model AMMI1 untuk data produksi biji tiap Genotipe yang stabil didukung oleh fenotipe dari karakter pertumbuhan dan komponen hasil yang lain seperti tinggi, jumlah cabang, jumlah buku subur, jumlah polong isi, dan jumlah biji. Genotipe KH 42 memiliki jumlah buku

43 subur dan buku tidak subur yang tidak stabil namun tidak mempengaruhi kestabilan hasilnya, karena komponen lain, terutama jumlah biji dan jumlah polong isi tergolong stabil. Karakter Kualitatif Karakter kualitatif diamati hanya dalam satu musim, hal ini disebabkan karena hanya dikendalikan oleh sedikit gen sehingga akan sama untuk musim pertama dan musim kedua. Semua galur yang diuji mempunyai warna bunga ungu sama dengan varietas pembanding Anjasmoro, Wilis, Tanggamus dan Slamet (Lampiran 15, dan Lampiran 16). Berdasarkan deskripsi IBPGR (1984), dan Deptan (2007), semua galur memiliki tipe tumbuh determinate. Varietas pembanding Anjasmoro, Slamet dan Wilis juga memiliki tipe tumbuh determinate, sedangkan Tanggamus tipe tumbuhnya semi determinate. Kedelai tipe determinate mengakumulasi 70%-80% bobot kering sebelum berbunga, tipe indeterminate relatif lebih lama periode juvenilnya dibanding tipe determinate (Sinha 1977). Hasil penelitian Susanto dan Adie (2008) menyimpulkan bahwa varietas kedelai yang berdaya hasil tinggi dicirikan oleh sifat tipe tumbuh determinate, distribusi cahaya dalam tajuk baik, serta memiliki periode pengisian biji efektif yang panjang dan laju pengisian biji tinggi. Sebagian besar galur memiliki warna bulu batang coklat muda yaitu KH 8, KH 9, KH 11, KH 28, KH 35, KH 38, KH 40, KH 42, KH 58, KH 71 sama dengan varietas pembanding Tanggamus dan coklat tua yaitu KH 11, KH 40 KH 55 sama dengan varietas pembanding Slamet dan Wilis. Varietas pembanding Anjasmoro mempunyai warna bulu batang putih (Lampiran 15 dan 16). Tipe percabangan galur adalah tegak (KH 8, KH 35, KH 40, KH 42, KH 44, KH 55 KH 58) dan agak tegak (KH 9, KH 10, KH 11, KH 28, KH 31, KH 38, KH 71), sedangkan varietas pembanding Anjasmoro, Slamet, dan Tanggamus tipe percabangannya tegak, dan Wilis tipe percabangannya agak tegak. Tipe percabangan kedelai pada umumnya tegak tapi di China tipe percabangan kedelainya agak tegak (Sinha 1977).

44 Galur memiliki bentuk daun lanset yaitu KH 8, KH 9,KH 31, KH 40, KH 55, KH 58, KH 71 sama dengan varietas pembanding Wilis dan Tanggamus. Galur lainnya memiliki bentuk daun oval meruncing yaitu KH 10, KH 11, KH 28, KH 38, KH 42, KH 44 sama dengan varietas pembanding Anjasmoro dan Slamet. Bentuk daun pada kedelai diduga memiliki efek pleitropi terhadap beberapa komponen hasil. Daun lancip cenderung mempunyai jumlah polong dan hasil yang lebih tinggi daripada bentuk daun oval. Bentuk daun oval minimal dikendalikan oleh satu gen yang bersifat dominan mengikuti segregasi Mendel dengan nisbah 3 : 1 pada generasi F2 (Susanto dan Adie 2008). Kategori ukuran daun berdasarkan deskripsi IBPGR (1984) dan Deptan (2007) adalah kecil (luas daun < 70 cm 2 ), sedang (luas daun antara 71 sampai 149 cm 2 ) dan lebar (luas daun lebih dari 150 cm 2 ). Galur KH 8, KH 9, KH 10,KH 11, KH 28, KH 31, KH 38, KH 55 memiliki ukuran daun kecil, sama dengan varietas pembanding Slamet, Wilis dan Tanggamus. Sedangkan galur lainnya memiliki daun berukuran sedang sama dengan varietas pembanding Anjasmoro. Tanaman kedelai berdaun sedang sampai lebar menyerap sinar matahari lebih banyak daripada yang berdaun kecil. Namun keunggulan berdaun kecil adalah sinar matahari akan lebih mudah menerobos di antara kanopi daun sehingga memacu pembentukan bunga. Kategori intensitas warna hijau daun berdasarkan deskripsi IBPGR (1984) dan Deptan (2007) adalah hijau muda, hijau dan hijau tua. Semua galur memiliki intensitas warna daun hijau sama halnya dengan varietas pembanding kecuali varietas pembanding Wilis yang intensitas daunnya adalah hijau tua. Galur KH 8, KH 9, KH 10, KH 11, KH 28, KH 31,KH 35, KH 38, KH 55, KH 71 memiliki intensitas warna coklat yang kuat pada polongnya sama dengan varietas pembanding Slamet, sedangkan galur yang diuji yaitu KH 40, KH 42, KH 44, KH 58 mempunyai intensitas warna coklat sedang pada polongnya, sama dengan varietas pembanding Wilis dan Tanggamus, berbeda dengan varietas pembanding Anjasmoro yang memiliki intensitas warna coklat lemah pada polongnya. Kategori bentuk biji berdasarkan deskripsi IBPGR (1984) dan Deptan (2007) adalah bulat, bulat pipih, lonjong, lonjong pipih. Galur yang memiliki