BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori Konstruksi Sosial Konsep framing berdasarkan dari Teori Konstruksi Sosial, itulah sebabnya mengapa teori Kontruksi Sosial ini digunakan dalam penelitian ini. Teori Konstruksi Sosial (social construction),di perkenalkan oleh Peter.L.Berger dan Thomas Luckman. Teori Konstruksi Sosial bisa dikatakan berada diantara Teori Fakta Sosial dan Teori Definisi Sosial. Dalam Teori Fakta Sosial, standar yang eksislah yang penting. Tindakan dan persepsi manusia ditentukan oleh struktur yang ada dalam masyarakat. Sedangkan dalam Teori Definisi Sosial manusialah yang yang membentuk masyarakat. Manusia yang membentuk realitas, menyusun institusi dan norma yang ada (Eriyanto, 2002). Menurut Berger, manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis yang melalui tahapan eksternalisasi yang merupakan usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia kedalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Tahapan yang kedua adalah objektivasi yaitu hasil yang dicapai dari eksternalisasi manusia. Manusia juga mempengaruhi realitas sosial yang subyektif melalui proses internalisasi yaitu penyerapan kembali dunia objektif kedalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subyektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia luar. Melalui internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat. Menurut teori ini realitas tidak dibentuk secara ilmiah melainkan dibentuk dan dikostruksi. Setiap orang mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Dalam perspektif konstruksi sosial, seseorang akan mencurahkan ketika bersinggungan dengan kenyataan (eksternalisasi), sebaliknya juga akan dipengaruhi oleh kenyataan objektif yang ada (internalisasi). 13
Sebuah teks berupa berita harus dipandang sebagai konstruksi atas realita. karenanya sangat memungkinkan terjadi peristiwa yang sama dikonstruksi secara berbeda. Berita dalam pandangan konstruksi sosial bukan merupakan peristiwa atau fakta dalam arti yang riil. Teori ini mempunyai penilaian tersendiri bagaimana media, wartawan, dan berita dilihat. Penilaian tersebut antara lain: (Eriyanto, 2002, hal 20-40) Fakta/Peristiwa adalah hasil Konstruksi Menurut kaum konstruksionis realitas itu ada, karena dihadirkan oleh konsep subyektif wartawan. Tidak ada realita yang bersifat obyektif, karena realita tercipta lewat kontruksi dan sudut pandang tertentu. Dan realita itu bisa berbeda-beda tergantung bagaimana pemahaman wartawan dengan sudut pandang mereka masing-masing. Fakta/realitas pada dasarnya dikonstruksi, karena fakta bukanlah sesuatu yang telah ada dan menjadi bahan berita, melainkan diproduksi dan ditampilkan secara simbolik. Itulah mengapa satu fakta bisa menjadi banyak fakta dengan pemahaman yang berbeda-beda. Media adalah agen Konstruksi Dalam pandangan positivis media tidak berperan dalam membentuk realitas melainkan hanya saluran untuk menggambarkan realita/peristiwa yang sedang terjadi dengan riil. Namun pandangan konstruksionis melihat media sebagai sunyek yang mengkontruksi realita lengkap dengan pandangan, bias, dan keterpihakannya. Media secara aktif menafsirkan realitas yang kemudian disajikan kepada khalayak. Media sendiri juga, yang memilih realitas mana yang dicantumkan dan tidak dicantumkan. Berita bukan hasil dari Realitas, melainkan Konstruksi dari Realitas 14
Berbeda dengan pandangan positivis bahwa berita adalah cerminan dari realita, pandangan kontruksionis memahami berita sebagai hasil kontruksi sosial yang melibatkan ideologi, sudut pandang wartawan atau media itu sendiri. Berita bersifat Subyektif/Konstruksi atas Realitas Karena berita merupakan hasil dari konstruksi dan pemaknaan realita, maka sudah tentu berita tidak bisa di nilai dengan ukuran standar yang rigrid. Adanya perbedaan anatara berita dan realitas sebenarnya bukanlah suatu kesalahan melainkan memang begitulah pemaknaan media terhadap realitas tersebut. Berita bersifat subyektif karena ketika meliput peristiwa, wartawan melihat perspektif dan pertimbangan subjektif, jadi secara tidak langsung opini pasti ada dan tidak dapat dihilangkan dari sebuah berita. Wartawan agen Konstruksi Realitas Jurnalis yang baik adalah jurnalis yang mampu memindahkan realitas kedalam berita. Sesuai atau tidaknya berita dengan realitas itu sangan tergantung kepada wartawan. Akan tetapi dalam konstruksionis, wartawan merupakan agen konstruksi yang tidak hanya melaporkan fakta tetapi juga memaknai peristiwa. Wartawan tidak bisa menyembunyikan pilihan moral dan keterpihakannya, karena dalam proses peliputan dan penulisan suatu peristiwa, secara sengaja atau tidak sengaja wartawan menggunakan persepsinya dalam memahami masalah.sehingga realitas yang tidak beraturan ditulis dan dimaknai sehingga dipahami oleh khalayak. Etika, Pilihan Moral, dan Keberpihakan Wartawan adalah bagian integral dalam Produksi Berita 15
Nilai, etika, dan keberpihakan wartawan tidak dapat dipisahkan dari proses peliputan dan pelaporan suatu peristiwa. Karena pada dasarnya semua kerja jurnalistik merupakan proses yang subyektif, sebab tidak hanya melibatkan fakta, namun juga keinginan yang semuanya menyiratkan hal-hal yang berbau subyektif. Nilai, Etika, dan Pilihan Moral Peneliti menjadi bagian integral dalam Penelitian Salah satu sifat dasar dari penelitian yang bertipe konstruksionis adalah pandangan yang menyatakan peneliti bukanlah sunyek yang bebas nilai. Pilihan etika, moral, dan keberpihakan peneliti menjadi bagian yang sukar dihilangkan dari proses penelitian. Peneliti memiliki berbagai nilai dan pandangan ataupun keberpihakan yang berbeda-beda. Bisa jadi obyek penelitian yang sama akan menghasilkan temuan yang berbeda dari masing-masing peneliti. 2.2 Teori Analisis Framing Teori ini akan menjadi dasar pengerjaan penelitian karena dalam teori ini akan dijelaskan secara rinci mengenai definisi analisis framing dan aspek apa saja yang terdapat di dalamnya,efek yang di timbulkan dari framing, dan model analisis framing yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini. Dalam teori ini menjelaskan bahwa pemahaman seseorang dipengaruhi oleh pengalaman dan lingkungan sekitarnya. 2.2.1 Definisi Framing 16
Akhir-akhir ini, konsep framing telah digunakan secara luas dalam literatur komunikasi. Secara sederhana, framing dapat dianalogikan seperti kita sedang memotret. Misalnya kita hendak memotret sebuah mobil, objek yang menjadi fokus perhatian adalah bagian interior dari mobil tersebut. Padahal kita tahu bahwa mobil meliputi bagian interior, ekterior, mesin dan bagian lainnya. Namun, yang menjadi fokus perhatian adalah bagian interior. Sisi bagian depan, tepatnya pada dashboard mobil, lebih diperlihatkan ketimbang interior pada bagian lain. Saat mengambil gambar ini, fotografer memiliki maksud dan tujuan sendiri. Ada sesuatu yang hendak ia tonjolkan sehingga orang yang melihat foto ini diarahkan tepat sesuai dengan keinginan dari si fotografer, tanpa harus melihat sisi atau bagian lain dari mobil tersebut. Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak dibawa ke mana berita tersebut. Seperti halnya seorang fotografer dalam memilih objek gambar dan memotretnya sesuai dengan angle yang ia inginkan. Robert M. Entman (Sobur, 2009) lebih lanjut mendefinisikan framing sebagai seleksi dari berbagai aspek realitas yang diterima dan membuat peristiwa itu lebih menonjol dalam suatu teks komunikasi. Dalam banyak hal itu berarti menyajikan secara khusus definisi terhadap masalah, interpretasi sebab akibat, evaluasi moral, dan tawaran penyelesaian sebagaimana masalah itu digambarkan. Meskipun berbeda dalam penekanan dan pengertian, ada titik singgung utama dari definisi framing tersebut. Framing adalah pendekatan untuk melihat bagaimana realitas itu dibentuk dan dikonstruksi oleh media. Proses pembentukan dan konstruksi realitas itu, hasil akhirnya adalah adanya bagian tertentu dari realitas yang lebih menonjol dan lebih mudah dikenal. Akibatnya, khalayak lebih mudah mengingat aspek-aspek tertentu yang disajikan secara menonjol oleh media. Aspek-aspek yang 17
tidak disajikan secara menonjol, bahkan tidak diberitakan, menjadi terlupakan dan sama sekali tidak diperhatikan oleh khalayak. Framing adalah sebuah cara bagaimana peristiwa disajikan oleh media. 2.2.2 Aspek Framing Ada 2 aspek framing yaitu : Memilih fakta/realitas Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi, wartawan tidak melihat peristiwa tanpa perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu terkandung dua kemungkinan: apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (exluded). Penekanan aspek tertentu itu dilakukan dengan memilih angle tertentu, memilih fakta tertentu, dan melupakan fakta yang lain Menuliskan fakta Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Gagasan ini diungkapkan dengan, kalimat dan proposisi apa, dengan bantuan aksentuasi foto dan gambar apa, dan sebagainya. Bagaimana fakta yang sudah dipilih tersebut ditekankan dengan pemakaian perangkat tertentu: penempatan yang mencolok (menempatkan di headline depan, atau bagian belakang), pengulangan, pemaikaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang/ peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap symbol budaya, generalisasi, simplikasi, dan pemakaian kata yang mencolok, gambar, dsb. Realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok, 18
mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami suatu realitas. 2.3 Ideologi Media Massa Teori ini menjelaskan tentang definisi ideologi dan keterlibatan ideologi dalam media massa. Teori ini dicantumkan oleh peneliti karena ideologi dalam media massa adalah unsur yang menjadi bagian dari berita di media massa tersebut. Ideologi yang dipresentasikan mempengaruhi kontruksi media massa tentang suatu realita. 2.3.1 Definisi Ideologi Istilah ideologi adalah salah satu istilah yang paling banyak digunakan, terutama dalam ilmu-ilmu sosial. Menurut arti kata Ideologi ialah pengucapan dari yang terlihat atau pengutaraan apa yang terumus di dalam pikiran sebagai hasil dari pemikiran (Sukarna, 1981). Ideologi memang mempunyai banyak arti, atau dengan kata lain ideologi dipergunakan dalam arti yang berbeda-beda. Dalam pengertian paling umum, ideologi adalah pikiran yang terorganisir, yakni nilai, orientasi, dan kecenderungan yang saling melengkapi sehingga membentuk perspektif-perspektif ide yang diungkapkan melalui komunikasi dengan media teknologi dan komunikasi antar pribadi. Masih banyak lagi pendapat mengenai makna dari ideologi dengan versinya sendiri-sendiri. Menurut Magis-Suseno, meskipun ada berbagai macam arti yang digunakan untuk memaknai ideologi itu, pada hakikatnya semua arti itu dapat dikembalikan pada salah satu dari tiga arti, yakni : (1) ideologi sebagai kesadaran palsu; (2) ideologi dalam arti netral; dan (3) ideologi adalah keyakinan yang tidak ilmiah (Sobur, 2009). 19
2.3.2 Ideologi Media Massa Ideologi merupakan konsep dasar cara berfikir seseorang atau golongan, konsep ini dihasilkan melalui proses berpikir mendalam atas realita dan atau keadaan yang terjadi di sekitarnya. Dan akhirnya konsep tersebut akan mempengaruhi cara berpikir dan sudut pandang atas segala sesuatu. Sering terjadi seseorang atau kelompok berusaha mempengaruhi atau sekedar mensosialisasikan sudut pandang mereka kepada orang lain,agar memiliki konsep berpikir yang sama. Media massa kerap menjadi sarana yang paling efektif untuk mensosialisasikan ideologinya. Selain untuk kepentingan bisnis,pemilik media massa lebih bertujuan mempengaruhi banyak orang agar mengetahui dan turut serta dalam setiap peristiwa yang terjadi di negara Indonesia.. Tujuan dan kepentingan itulah yang membentuk ideologi sebuah media. Pada penerapannya ideologi sebuah media tercermin dari visi dam misi media tersebut. Akan tetapi ideologi juga bisa berubah seiring waktu. Hal ini dikarenakan ideologi media massa juga dipengaruhi oleh lingkungan sekitar tempat dia berada. Keadaan politik, ekonomi, pengiklan, agama juga merupaka faktor faktor yang mampu mempengaruhi pembentukan ideologi media massa. 2.4 Peradilan Media Teori ini menjelaskan tentang Peradilan media dan keterlibatan media dalam pemberitaannya. Teori ini dicantumkan oleh peneliti karena peradilan media adalah masalah yang diangkat dalam penelitian ini. Peneliti ingin melihat apakah dalam pemberitaannya media melakukan bias peradilan media. 2.4.1 Definisi Peradilan Media 20
Pers sebagai lembaga yang memiliki kemampuan untuk memberikan informasi kepada publik tentang berbagai peristiwa sekaligus dapat memberikan tanggapan atas berbagai peristiwa yang di informasikan. Pers dalam tatanan negara demokrasi merupakan pilar yang berfungsi sebagai kontrol bagi kekuasaan. Tentunya tidak hanya pers yang dapat secara bebas menyajikan berbagai peristiwa saja yang mampu menjalankan fungsi pengawasan terhadap berbagai aktivitas kebijakan negara, akan tetapi haruslah pers yang bersifat independen. Saat ini dapat dilihat bagaimana pers menjalankan perannya. Berbagai peristiwa aktual dapat dengan sangat cepat diketahui perkembangannya melalui berbagai media pers seperti koran, majalah, radio, televisi dan situs-situs internet. Berbagai macam informasi berseliweran dengan sangat cepat menembus batas ruang dan waktu. Apa yang telah terjadi di belahan dunia lain sangat dengan cepat diketahui peristiwanya oleh bagian masyarakat belahan dunia lainnya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin mendukung dan mendorong aktivitas pers untuk dapat bekerja dengan lebih baik dan menjalankan fungsingya secara maksimal. Berbagai peristiwa hukum adalah salah satu bagian yang sangat menarik untuk disajikan oleh pers. Dapat dilihat bagaimana kasus-kasus hukum begitu banyak mewarnai berbagai media pers setiap hari melebihi pemberitaan bidang-bidang sosial lainnya, mulai dari kasus pencurian sandal sampai dengan kejahatan-kejahatan terkategori seperti korupsi, terorisme dan kejahatan hak asasi manusia. Disamping pers memiliki kekuatan untuk memantau penegakan hukum, pers juga memiliki kemampuan untuk menggiring massa menciptakan persepsi masyarakat melalui opini-opini yang dibentuknya. Seperti misalnya Kasus Prita versus RS. Omni Internasional, kasus Antasari Azhar, kasus Gayus Tambunan, kasus Ariel Peter Pan, kasus Abu Bakar Ba asyir, dan berbagai kasus hukum yang pastinya mampu melibatkan partisipasi aktif pers 21
untuk menginformasikan perkembangan kasus hukum, dan memberitakan kasus tersebut dengan mencari narasumber yang beragam seperti pakar hukum, aparat penegak hukum, politisi, kalangan birokrat, wakil dari LSM dan menghadirkan pengacara-pengacara pihak yang terkait kasus hukum, bahkan menelusuri jejak-jejak kehidupan oknum yang terlibat kasus tersebut. Dan itulah yang kemudian menghasilkan berbagai persepsi tertentu di masyarakat. Kadang publik atau masyarakat lebih percaya kepada apa yang diberitakan pers dibandingkan putusan-putusan hukum yang dibuat hakim peradilan negara disebabkan oleh antara lain (1) ketidakpercayaan masyarakat yang akut dan kronis pada penegakan hukum oleh lembaga-lembaga hukum negara (2) Mudahnya akses informasi masyarakat pada media pers, sedangkan pada peradilan resmi akses untuk mengikuti perkembangan kasus sangatlah terbatas mengingat peradilan terikat erat oleh ruang dan waktu (3) Keterbatasan pemahaman masyarakat terhadap ilmu hukum dan perkembangan teori-teori hukum. Masyarakat hanya melihat hukum pada kejahatan yang didakwakan dan vonis hukumnya, tanpa memperhatikan proses hukum acara di peradilan (4) Kemampuan pers mengemas kasus-kasus hukum dengan penyajian yang sangat apik dan menarik. (http://news.bbc.co.uk/onthisday/hi/witness/october/29/newsid_4395000/4395984.st m) Pada dasarnya bias media terjadi karena media massa tidak berada diruang vakum. Media sesungguhnya berada ditengah realitas sosial yang sarat dengan bergabagi kepentingan. Media massa bukanlah sesuatu yang bebas, tetapi memiliki keterkaitan dengan realitas sosial. Bias menurut Macnamara (Sobur, 2009: 34) terjadi karena berbagai alasan. Kadang-kadang terjadi dengan sengaja, karena wartawan atau editor memproyeksikan pandangan pribadi mereka dalam cerita atau pandangan yang telah di tunjukkan kepada mereka. Ini terjadi karena sistem tuntutan media yang menghimpit akan kecepatan dan rasa haus yang tidak pernah terpuaskan terhadap 22
berita pada batas waktu yang sedikit. Kadang-kadang terjadi karena standar pelatihan dan pendidikan yang kurang memadai diantara wartawan. Selain itu para wartawan juga editor berkuasa penuh atas pilihan kata yang akan dipakainya. Secara tidak sadar bias peradilan media akan terus muncul, padahal seharusnya media merasa sadar akan salah satu fungsi pers adalah menyajikan informasi seakurat mungkin dan sebagai lembaga sub sistem dari negara yang bertugas mengawasi penegakan hukum di negara. Kehidupan pers yang berkembang di Indonesia diharapkan adalah lembaga pers yang bersifat independen/netral, pers yang ber-etika, pers yang tidak mengutamakan keuntungan atau menaikkan rating semata, pers yang dijiwai semangat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, pers yang secara konsisten meneguhkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan dan pers yang berjuang menyatukan kehidupan berbangsa. Peradilan Media merupakan informasi yang harus dilihat dan dibaca dalam kerangka berpikir kritis, mengingat informasi bukanlah sesuatu yang bersifat mutlak netral. Informasi merupakan serangkaian konsep-konsep, ide-ide, nilai-nilai, pahampaham, kerangka berpikir yang ingin ditegakkan/ mempengaruhi publik oleh penyaji informasi. Penilaian secara komprehensif atas peradilan media mutlak dilakukan untuk menghindari kesalahpahaman pada kasus-kasus hukum yang ada. Mengingat pers seringkali dimiliki oleh seseorang yang kaya dan memiliki kepentingan politis, artinya pers tidak selalu bersifat netral, tidak selalu menyajikan berita tanpa distorsi. 23
2.5 Kerangka Pikir Penelitian Kasus Penyuapan Wisma Atlet SEA Games Oleh Nazaruddin Kompas Wacana Kompas Kerangka framing Robert N. Entman Problem Identification Casual Interpretation Moral Evaluation Treatment Recomendation Konstruksi Kompas Peradilan Media Gambar 2.5 Model Kerangka Pikir Penelitian 24
Berdasarkan proses pada gambar 2.5 yang merupakan model kerangka pemikiran di atas dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Kasus penyuapan wisma atlet SEA Games oleh Nazaruddin merupakan berita yang sedang hangat-hangatnya di beritakan di berbagai media. Pada kolom kerangka pikir yang pertama menjelaskan bahwa kasus Nazaruddin tersebut adalah kasus yang menarik banyak perhatian masyarakat, pemerintah dan oknum-oknum politik juga hukum. 2. Kompas : Kompas merupakan harian nasional ternama di Indonesia. Kompas juga media yang memuat berita dari awal kasus Nazaruddin. pada penelitian ini peneliti memilih Kompas sebagai media yang akan diteliti terkait pemberitaan Nazaruddin. 3. Wacana Kompas : pada kolom ke tiga menjelaskan bahwa dalam penmelitian ini akan dilihat bagaimana wacana yang di bentuk Kompas dalam pemberitaannya mengenai kasus Nazaruddin. 4. Kerangka Framing Robert N. Entman : kolom ini menjelaskan teori yang digunakan untuk menganalisa berita-berita kompas yang diteliti. Adapun elemen penelitiannya adalah sebagai berikut: a. Problem Identification: merupakan elemen awal yang melihat bagaimana suatu peristiwa/ isu dilihat. Sebagai apa. Atau sebagai masalah apa. 25
b. Casual Interpretation : dalam proses ini dilihat bagaimana peristiwa itu dilihat disebabkan oleh apa. Apa yang dianggap penyebab dari suatu masalah. Atau Siapa (who/aktor) yang dianggap sebagai penyebab masalah c. Moral Evaluation: proses ini menerangkan nilai moral apa yang disajikan untuk menjelaskan masalah. Nilai moral apa yang dipakai untuk melegitimasi atau mendelegitimasi suati tindakan d. Treatment Recomendation: proses yang terakhir adalah bagaimana penyelesaian apa yang ditawarkan untuk mengatasi masalah/isu. Jalan apa yang ditawarkan dn harus di tempuh untuk mengatasi masalah. 5. Konstruksi Kompas: dari analisa framing yang dilakukan selanjutnya akan terlihat bagaimana konstruksi yang di bentuk Kompas dalam pemberitaan kasus Nazaruddin. 6. Peradilan Media: merupakan salah satu bentuk bias yang terjadi di media. Dalam penelitian ini akan dilihat apakah dalam pemberitaan Kompas mengenai kasus Nazaruddin ini terdapat bias peradilan Media atau tidak. 26