BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Menurut Badan Pusat Statistik DIY (2015), jumlah penduduk Indonesia tahun 2014 sebesar 252,04 juta jiwa, terdiri dari 125,38 juta perempuan dan 126,65 juta laki-laki. Struktur umur penduduk Indonesia didominasi oleh penduduk muda yaitu umur 10-14 tahun. Menurut Badan Pusat Statistik DIY (2013), sebanyak 21,97% penduduk Daerah IstimewaYogyakarta berusia muda (0-14 tahun), 68,78% berusia produktif (15-64 tahun), dan 9,26% berumur 65 tahun lebih, sehingga diperoleh angka ketergantungan (dependency ratio) penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar 45,40. BKKBN (2012), menyampaikan jumlah penduduk Indonesia pada kelompok umur 10 24 tahun (remaja) sekitar 27,6% atau kurang lebih 64 juta jiwa, dari total penduduk Indonesia berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, jumlah yang banyak ini memerlukan perhatian khusus dari semua pihak, apalagi usia remaja. BKKBN (2012), menyampaikan masa remaja merupakan masa yang paling sulit untuk dilalui oleh individu. Masa ini dapat dikatakan sebagai masa yang paling kritis bagi perkembangan pada tahap-tahap kehidupan selanjutnya. BKKBN (2009), menyampaikan masa remaja adalah masa pancaroba, masa pencarian jati diri, ditambah lagi dengan arus globalisasi dan informasi yang kian tak terkendali, mengakibatkan perilaku hidup remaja menjadi tidak sehat yang selanjutnya berdampak pada tiga resiko Triad KRR, 1
2 seperti seks pranikah, narkoba, HIV dan AIDS. Kondisi ini apabila dibiarkan terus menerus maka akan mempengaruhi kualitas bangsa Indonesia 10 20 tahun yang akan datang. Menurut BKKBN (2006), bahwa jumlah remaja umur 10-19 tahun di Indonesia terdapat sekitar 43 juta atau 19,61% dari jumlah penduduk Indonesia sebanyak dua ratus dua puluh juta. Sekitar satu juta remaja pria (5%) dan dua ratus ribu remaja wanita (1%) menyatakan secara terbuka bahwa mereka pernah melakukan hubungan seksual. Sebanyak 8% pria umur 15-24 tahun telah menggunakan obat-obatan terlarang. Sedangkan untuk kasus HIV/AIDS dari 6.987 penderita AIDS, 3,02% adalah kelompok usia 15-19 tahun dan 54,77% adalah kelompok usia 20-29 tahun. Menurut Kementerian Kesehatan RI (2013), di antara perempuan 10-54 tahun, 2,6% menikah pertama kali pada umur kurang dari 15 tahun dan 23,9% menikah pada umur 15-19 tahun. Menikah pada usia dini merupakan masalah kesehatan reproduksi karena semakin muda umur menikah semakin panjang rentang waktu untuk bereproduksi. Djiwandono (2006), menyebutkan pubertas adalah suatu rangkaian perubahan fisik yang membuat organisme secara matang mampu bereproduksi. Anak yang sedang mengalami puber awal akan berbeda dengan puber akhir dalam penampakan luar karena perubahan tinggi, proporsi tubuh, dan adanya tanda-tanda perkembangan seksual pertama dan kedua. Satu dari tantangan yang paling penting untuk remaja adalah menyesuaikan diri terhadap perubahan tubuhnya. Koordinasi dan aktivitas
3 fisik harus disesuaikan cepat-cepat, seperti tinggi, berat, dan perubahan ketrampilan. Tubuh baru harus diintegrasikan ke dalam kesan diri (self-image) yang ada. Kebiasaan baru harus dipelajari dan dikembangkan. Sebagai remaja yang menjadi orang dewasa dalam penampilannya, mereka menemukan diri mereka sendiri dan diharapkan untuk bertingkah laku sebagai orang dewasa tanpa memandang emosi, intelek, dan kematangan sosial mereka. Pestein (1987) dalam Djiwandono (2006), menunjukkan bahwa anak yang matang lebih awal mempunyai rasa cemas, lebih suka marah, sering konflik dengan orang tua, dan mempunyai harga diri yang lebih rendah daripada anak yang masuk pubertas lebih akhir. Mereka lebih populer, lebih mudah bergaul, dan lebih matang daripada anak-anak yang mengalami pubertas terlambat. Menurut hasil penelitian Hidayati (2012), anak perempuan yang matang lebih awal menunjukkan tingkat kecemasan lebih tinggi daripada mereka yang lambat matang. Djiwandono (2006), menyampaikan hampir sebagian besar anak remaja mengalami suatu konflik emosi. Mereka mengalami depresi, kecemasan yang berlebihan tentang kesehatan sampai pikiran bunuh diri atau mencoba bunuh diri. Banyak anak remaja yang terlibat dalam kenakalan remaja, bertingkah laku aneh, minum minuman keras, kecanduan obat bius, alkohol, sehingga memerlukan bantuan medis. Menurut Lien et al (2010) dan Marvan et al (2012), kesiapan mental menghadapi menarche sangat diperlukan karena perasaan terkejut, cemas, dan takut akan muncul saat datangnya menarche. Remaja juga akan merasa sedih,
4 kecewa, malu, bingung bahkan menjadi depresi saat datangnya menarche. Menurut Shanbhag et al (2012), beberapa penelitian menunjukkan prevalensi kecemasan yang cukup tinggi terhadap pengalaman menarche. Studi di India diperoleh hasil sebanyak 44,1% remaja merasa takut, 26,1% merasa cemas. Hasil penelitian Ozdemir et al (2010), menunjukkan bahwa 22,5% merasa takut, 22,0% malu, 9,9% menangis dan 7,3% merasa cemas dengan datangnya menarche. Hasil penelitian Oliva-Moreno et al (2010), Dudek & Sobanski (2012), dan Walvoord (2010), menunjukkan gangguan kecemasan menarche yang terjadi pada remaja apabila tidak diatasi dapat menurunkan mood dan kualitas hidup yang dapat membawa dampak buruk terhadap kesehatan reproduksi remaja pada masa datang. Selain itu hasil penelitian Patton & Vinner (2007) dan Herpertz-Dahlmann et al (2013), menunjukkan gangguan kecemasan bila tidak segera ditangani akan mempunyai risiko gangguan tumbuh kembang, gangguan perkembangan emosi, kepribadian, rasa rendah diri, gangguan prestasi belajar dan mengganggu kegiatan sekolah. Suliswati dkk (2005), menyampikan bahwa kecemasan merupakan respon individu terhadap suatu keadaan yang tidak menyenangkan dan dialami oleh semua mahluk hidup dalam kehidupan sehari-hari. Hasil penelitian Sudjana dkk (2015), menunjukkan sebagian besar remaja mengatakan cemas dalam menghadapi menarche dikarenakan kurangnya informasi/pengetahuan mengenai menarche. Notoatmodjo (2014), menyampaikan bahwa informasi yang diberikan secara adekuat mengenai menarche diharapkan dapat
5 membantu mengurangi kecemasan remaja dalam proses pemberian informasi bahwa metode dan media yang digunakan dapat mempengaruhi pemahaman kelompok sasaran. Terdapat bermacam-macam metode dan media pendidikan kesehatan yang dapat digunakan. Metode pendidikan kesehatan yang banyak digunakan adalah ceramah, seminar, diskusi kelompok, brain stroming, bermain peran, simulasi dan konseling. Sedangkan media pembelajaran yang sering dipakai antara lain film, slide, modul, lembar balik, brosur, handout, leaflet, dan poster. BKKBN (2002), menyampaikan bahwa pemberian informasi melalui KIE biasanya bersifat umum, massal dan terbuka. Dalam banyak kasus, remaja juga memiliki masalah kesehatan reproduksi yang bersifat pribadi dan tidak mungkin diungkapkan secara terbuka. Dalam konteks itulah konseling dibutuhkan. BKKBN (2012), menyampaikan kematangan psikologis remaja diperlukan dalam penyiapan kehidupan berkeluarga agar dapat menerima keadaan fisik dirinya sendiri dan menggunakan tubuhnya secara efektif dan mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang-orang dewasa lainnya. Dari hasil penelitian Novia dan Thohir (2013) dengan judul Bimbingan Dan Konseling Islam Dengan Terapi Silaturahmi Pada Seorang Remaja Yang Mengalami Depresi dapat disimpulkan bahwa proses Bimbingan dan Konseling Islam dengan terapi silaturahmi cukup berhasil dengan prosentase 60%, yang mana hasil tersebut dapat di lihat dari adanya
6 perubahan pada sikap atau perilaku responden yang awalnya mengurung diri di dalam rumah menjadi berani keluar rumah. Dinas Kesehatan DIY (2013), menyampaikan gangguan mental emosional dikenal juga dengan istilah distres psikologik yang mengindikasikan seseorang sedang mengalami perubahan psikologis. Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk berumur 15 tahun ke atas (berdasarkan Self Reporting Questionnaire-20)* menurut kabupaten/kota, Daerah Istimewa Yogyakarta 2013 yaitu 8,1% dengan Kabupaten Kulon Progo 12,1%, Bantul 8,3%, Gunung Kidul 8,3%, Sleman 5,4%, Kota Yogyakarta 11,4% dengan nilai batas pisah (cut off point) 6. Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk berumur 15 tahun ke atas tersebut (berdasarkan Self Reporting Questionnaire-20) menurut karakteristik responden Daerah Istimewa Yogyakarta 2013 yaitu pada kelompok umur 15 24 tahun sebanyak 9,5%, pada jenis kelamin laki laki 6,0% dan perempuan 10,3%. Pada penilitian ini, peneliti tertarik menggunakan metode pendidikan kesehatan reproduksi khusunya pubertas melalui bimbingan dan konseling. Hasil dari suatu penelitian menyimpulkan bahwa proses bimbingan dan konseling Islam dengan terapi silaturahmi cukup berhasil dengan prosentase 60%, yang mana hasil tersebut dapat di lihat dari adanya perubahan pada sikap atau perilaku responden yang awalnya mengurung diri di dalam rumah menjadi berani keluar rumah.
7 Penelitian ini dilakukan di SMP N 3 Sentolo, yaitu sebagai salah satu SMP yang terdapat di Kulon Progo. Dimana Kabupaten Kulon Progo mempunyai angka prevalensi gangguan mental emosional tertinggi pada penduduk berumur 15 tahun ke atas (berdasarkan Self Reporting Questionnaire-20) yaitu 12,1% dari 8,1%, informasi dari dinas pendidikan Kabupaten Kulon Progo merekomendasikan sebaiknya penelitian dilakukan di SMP N 3 Sentolo dan melalui penyebaran kuisoner yang telah dilakukan terhadap 3 siswa laki-laki dan 3 siswa perempuan, ada 3 siswa perempuan dan 1 siswa laki-laki yang terdapat tanda kecemasan dalam menghadapi pubertas. Dari fenomena tersebut diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut terkait Pengaruh Bimbingan dan Konseling terhadap Tingkat Kecemasan Remaja Putri dalam Menghadapi Masa Pubertas. B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian dalam latar belakang, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Apakah ada pengaruh bimbingan dan konseling terhadap kecemasan remaja putri dalam menghadapi pubertas? C. TUJUAN PENELITIAN 1. Tujuan Umum Mengetahui pengaruh bimbingan dan konseling terhadap kecemasan remaja putri dalam menghadapi pubertas.
8 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui tingkat kecemasan remaja putri dalam menghadapi pubertas sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan melalui pemberian buku saku dengan bimbingan dan konseling pada kelompok intervensi. b. Untuk mengetahui tingkat kecemasan remaja putri dalam menghadapi pubertas pada kelompok kontrol sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan melalui pemberian buku saku tanpa bimbingan dan konseling pada kelompok kontrol. c. Untuk mengetahui perbandingan tingkat kecemasan remaja putri dalam menghadapi pubertas pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis a. Sebagai bahan masukan memaksimalkan program pendidikan kesehatan reproduksi khususnya pubertas melalui bimbingan dan konseling di pendidikan formal sehingga diharapkan siswa siap dalam menghadapi masa pubertas. b. Sebagai bahan masukan bagi mahasiswa kebidanan pada khususnya, maupun tenaga kesehatan pada umumnya untuk dapat memberikan edukasi yang tepat bagi remaja tentang gambaran persiapan menghadapi masa pubertas, sehingga remaja dapat dengan mudah menangkap informasi yang diberikan dan siap dalam menghadapi pubertas.
9 2. Manfaat Praktis a. Untuk personil sekolah, membantu dalam mendukung dan meningkatkan dan menyusun program untuk siswa agar menjadi siswa yang bersikap positif dan membantu menyediakan fasilitas untuk melaksanakan program layanan di pendidikan formal dengan pelayanan Bimbingan Konseling seperti Layanan Informasi, Bimbingan Kelompok, Konseling Kelompok, dan Konseling Individual berkenaan dengan materi kesehatan reproduksi terutama pubertas dan kegiatan pendukung Bimbingan dan Konseling yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan siswa sehingga siswa mampu berkembang secara optimal. b. Untuk siswa, sebagai bahan acuan/informasi yang benar dan tepat agar siswa mengetahui hal-hal yang perlu dipersiapkan dalam menghadapi masa pubertas. E. KEASLIAN PENELITIAN 1. Penelitian sebelumnya serupa dengan penelitian ini pernah dilakukan oleh Novia dan Thohir tahun 2013 dengan judul Bimbingan Dan Konseling Islam Dengan Terapi Silaturahmi Pada Seorang Remaja Yang Mengalami Depresi. Penelitian tersebut menggunakan metode kualitatif dengan analisa deskriptif kualitatif. Sampel remaja 15 tahun yang mengalami depresi, dan dengan variabel independent remaja yang mengalami depresi. Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa proses Bimbingan dan Konseling Islam dengan terapi silaturahmi ini cukup berhasil dengan prosentase 60%,
10 yang mana hasil tersebut dapat dilihat dari adanya perubahan pada sikap atau perilaku konseli yang awalnya mengurung diri di dalam rumah menjadi berani keluar rumah. Sedangkan penelitian yang akan peneliti lakukan pada penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh bimbingan dan konseling terhadap tingkat kecemasan remaja putri dalam menghadapi pubertas. Persamaan dengan penelitian sebelumnya terletak pada sampelnya yaitu remaja usia 13-15 tahun. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya terletak pada variabel independent, metode penelitian dan subjek penelitian. Variabel independent dalam penelitian ini adalah tingkat kecemasan remaja dalam menghadapi masa pubertas, metode penelitian yang digunakan quasi eksperiment dan subjek penelitian semua siswi kelas VII SMP N 3 Sentolo. 2. Penelitian yang serupa dengan penelitian ini pernah dilakukan oleh Lestari tahun 2014 dengan judul Bimbingan Dan Konseling Pribadi Sosial Dalam Mengatasi Kesulitan Penyesuaian Sosial Siswa Mts Negeri 1 Yogyakarta bertujuan untuk mengetahui bentuk-bentuk kesulitan penyesuaian sosial siswa. Penelitian tersebut menggunakan metode deskriptif kualitatif, sampel siswa yang teridentifikasi mengalami kesulitan dalam penyesuaian sosial. Hasil penelitian tersebut adalah menunjukkan bahwa terdapat 4 bentuk kesulitan penyesuaian sosial siswa MTs yaitu kesulitan dalam persahabatan, merasa terasing dalam aktivitas kelompok, kesulitan menghadapi situasi sosial baru, kesulitan memperoleh penyesuaian dalam kelompok.
11 Faktor-faktor yang menyebabkan siswa mengalami kesulitan dalam penyesuaian sosial meliputi, faktor transisi dari sekolah dasar ke sekolah menengah, perubahan-perubahan masa pubertas yang mengakibatkan terjadinya banyak perubahan fisik maupun psikis, perubahan kognisi sosial, faktor kondisi keluarga sedangkan penelitian yang akan peneliti lakukan pada penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh bimbingan dan konseling terhadap tingkat kecemasan remaja putri dalam menghadapi masa pubertas. Persamaan dengan penelitian ini ada pada sampelnya yaitu remaja yang sedang duduk di bangku sekolah menengah pertama. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya terletak pada metode penelitian dan sampel penelitian. Metode penelitian yang digunakan quasi eksperiment. 3. Penelitian sebelumnya serupa dengan penelitian ini pernah dilakukan oleh Hardiningsih tahun 2009 dengan judul Pengaruh Penyuluhan Tentang Menstruasi Terhadap Tingkat Kecemasan Menghadapi Menarche Pada Remaja Putri Kelas VI Di Sdn Mangkubumen Lor No. 15 Surakarta yang bertujuan untuk mengetahui adakah pengaruh penyuluhan tentang menstruasi terhadap tingkat kecemasan menghadapi menarche pada remaja putri kelas VI di SDN Mangkubumen Lor No. 15 Surakarta. Penelitian tersebut menggunakan penelitian jenis eksperimen semu dan dengan populasi dalam penelitian ini adalah remaja putri kelas VI SDN Mangkubumen Lor No. 15 Surakarta. Hasil penelitian tersebut adalah pengaruh positif adanya penyuluhan tentang menstruasi terhadap tingkat
12 kecemasan menghadapi menarche pada remaja putri kelas VI di SDN Mangkubumen Lor No. 15 Surakarta. Persamaan dengan penelitian ini ada pada metode penelitiannya, yaitu menggunakan metode quasi eksperimental. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya terletak pada variabel bebas dan sampel penelitian. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah bimbingan dan konseling dan sampel penelitian semua siswi kelas VII SMP N 3 Sentolo. 4. Penelitian yang serupa dengan penelitian ini pernah dilakukan oleh Dwiyati tahun 2015 dengan judul Pengaruh Peer Education Terhadap Kecemasan Pada Remaja Post Menarche Di Wilayah Kecamatan Kasihan Kabupaten Bantul yang bertujuan untuk mengetahui adakah pengaruh peer education terhadap kecemasan pada remaja post menarche di SMP Muhammadiyah. Penelitian tersebut menggunakan penelitian jenis quasi eksperimental dengan variabel bebas pengaruh peer education. Hasil penelitian tersebut adalah menunjukkan terdapat penurunan kecemasan yang signifikan sebelum dan setelah diberikan peer education. Persamaan pada penelitian ini ada pada metode penelitiannya, yaitu metode quasi eksperiment. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya terletak pada variabel bebas dan sampel penelitian. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah bimbingan dan konseling.