TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Arti Penting Ruang Terbuka Hijau RTH menurut UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang adalah area memanjang atau jalur atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka sebagai tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah atau sengaja ditanam. Menurut Chafid Fandeli ( 2004 ) RTH Kota merupakan bagian dari penataan ruang perkotaan yang berfungsi sebagai kawasan lindung. Kawasan hijau kota terdiri atas pertamanan kota, kawasan hijau hutan kota, kawasan hijau rekreasi kota, kawasan hijau kegiatan olahraga, kawasan hijau pekarangan. RTH diklasifikasikan berdasarkan status kawasan bukan berdasarkan bentuk dan struktur vegetasinya. RTH bertujuan untuk menjaga ketersediaan lahan sebagai kawasan resapan air. Dilihat dari aspek planologis perkotaan RTH diharapkan dapat menjaga keseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna untuk kepentingan masyarakat. Keberadaan RTH memberikan keserasian lingkungan sebagai sarana lingkungan perkotaan yang aman, nyaman, segar, indah dan bersih (Direktorat Penataan Bangunan dan Lingkungan, 2008). Kondisi Ruang Terbuka Hijau Pertambahan jumlah penduduk mengakibatkan terjadinya pertumbuhan penduduk dan pemukiman yang cepat dan tidak terkendali di bagian kota. Hal tersebut menyebabkan kebutuhan ruang meningkat untuk mengakomodasi kepentingannya. Semakin meningkatnya permintaan akan ruang khususnya untuk pemukiman dan lahan terbangun yang berdampak pada semakin merosotnya
kualitas lingkungan. Rencana Tata Ruang yang telah dibuat tidak mampu mencegah alih fungsi lahan di perkotaan sehingga keberadaan Ruang Terbuka Hijau semakin terancam dan kota semakin tidak nyaman untuk beraktivitas. Arifin (2005) menyatakan bahwa kecenderungan terjadinya penurunan kuantitas ruang publik, terutama RTH pada 30 tahun terakhir sangat signifikan. Di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, dan Bandung, luasan RTH telah berkurang dari 35% pada awal tahun 1970-an menjadi 10% pada saat ini. Ruang terbuka hijau yang ada sebagian besar telah dikonversi menjadi infrastruktur perkotaan dan kawasan permukiman baru. Permasalahan utama keberadaan RTH adalah semakin berkurangnya RTH karena keterbatasan lahan dan ketidakkonsistenan dalam menerapkan tata ruang. Berkurangnya RTH disebabkan oleh konversi lahan yaitu beralih fungsinya RTH untuk peruntukan ruang yang lain. Selain itu, adanya ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan menurut Peraturan Daerah (Perda) Kota Medan No. 13 Tahun 2011 merupakan sesuatu yang harus ada dalam tata ruang kota yang luasnya sekitar 30,58% dari luas wilayah kota. Klasifikasi dan Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan yang merupakan daerah potensi untuk pengembangan ruang terbuka hijau adalah : 1. Penataan RTH Perumahan / Pemukiman Penghijauan pada kawasan perumahan adalah penataan ruang terbuka hijau pada halaman/pekarangan rumah. Kawasan ini merupakan lahan milik perorangan maka dalam penetapan kriteria bentuk ruang terbuka hijau sepenuhnya tergantung pada pemiliknya. Namun demikian pemilihan tanaman sebaiknya disesuaikan
dengan lingkungan disekitarnya dan tipe RTH permukiman serta tidak mengganggu jaringan utilitas umum disekitarnya. Penataan tata hijau pada kompleks perumahan bertujuan untuk pengelolaan lingkungan pemukiman sehingga yang harus dibangun adalah ruang terbuka hijau tipe pemukiman. Jenisjenis yang dapat ditanam pada tipe pemukiman ini adalah Nangka (Arthocarpus integra), Kenanga (Canangium odoratum), Sirsak (Annona muricata), Rambutan (Nephelium lappaceum), Asam Keranji (Ptecelubium dulce), dan lain-lain. 2. Penataan RTH Kawasan Bisnis dan Perdagangan Penghijauan pada kawasan bisnis dan perdagangan mencakup usaha penataan areal parkir dan halaman dengan maksud memberikan batas terhadap suasana dan kegiatan yang ditimbulkan oleh lingkungan sekitar, memberikan kesan keteduhan dan keindahan serta memperkecil/mengurangi tingkat polusi. Jenis yang dapat ditanam dalam kawasan ini adalah Beringin (Ficus benjamina), Pinus (Pinus merkusii), Bambu Kuning (Bambusa vulgaris), dan Boungenvil (Boungainvillea spectabilis). 3. Penataan RTH Kawasan Industri Pengembangan RTH kawasan industri dikonsentrasikan di zona tepi yang berarti daerah yang mempunyai kepadatan penduduk rendah. Pembangunan ruang terbuka hijau kawasan industri mempunyai fungsi sebagai penyerap dan penjerab polutan, tempat istirahat para pekerja dan tempat parkir kendaraan. Pengembangan RTH kawasan industri bukan hanya bermanfaat bagi pekerja/karyawan tetapi juga bermanfaat bagi penduduk yang bermukim disekitar kawasan industri tersebut. Pemilihan jenis tanaman dikawasan ini juga perlu diperhatikan, haruslah tanaman yang mampu menyerap polutan yang dihasilkan oleh aktivitas industri. Karena itu pemilihan tanaman pada kawasan industri nilai
keindahannnya bukan menjadi tujuan utama tetapi lebih berorientasi kepada pola penghijauan yang dapat memberi kesan kenyamanan. 4. Penataan RTH Taman Kota Taman yang dimaksud disini adalah taman yang bersifat public facility dan tidak ada pungutan untuk menikmatinya. Taman yang bersifat dekoratif merupakan ruang terbuka yang tidak boleh dibanguni kecuali beberapa fasilitas penunjang. Penanaman tanaman ini didasarkan atas fungsi yang diembannya yaitu fungsi estetika, fungsi ekologis, dan fungsi sosial. Aspek manfaat merupakan prinsip utama sebuah taman kota. Kelegaan taman menjadi prioritas utama agar dapat bermanfaat bagi masyarakat banyak. Taman yang penataannya kurang teratur tidak akan dimanfaatkan oleh masyarakat sehingga tak jarang ditemui taman-taman kota yang akhirnya terbengkalai karena tidak pernah digunakan oleh masyarakat. Adapun jenis-jenis tanaman yang cocok untuk taman kota ialah Palem Raja (Oerodoxa regia), Puspa (Schima wallichii), Flamboyan (Delonix regia) dan Cemara Angin (Casuarina mountana). 5. Penataan RTH Jaringan Jalan Penataan RTH ini dilakukan berupa penghijauan sepanjang jalur jalan, baik merupakan jalur tepi kanan kiri jalan maupun jalur tengah (median). Fungsi unsur hijau disini adalah sebagai pengaman, pelindung, pemberi arah serta memberi pandangan visual pada pengemudi dan mengurangi pencemaran udara serta bunyi bising dari kendaraan bermotor. Yang harus diperhatikan dalam pengembangan RTH pada jaringan jalan ini adalah : a. Jarak penanaman antar pohon dan hirarki jalan yang akan menentukan karakteristik pergerakan.
b. Penempatan pohon dan lampu harus diperhitungkan antara bentuk/ukuran tajuk pohon dengan atribut jalan. c. Agar tidak terkesan monoton dan menghindari tajuk pohon saling bertemu maka pohon ditanam selang-seling. d. Selain kriteria keamanan pada daerah tikungan jalan, diperhatikan pula kenampakan visual yang memberikan kesan estetika. Ruang Terbuka Hijau Jaringan jalan terbagi atas : A. Jalur Hijau Pengembangan RTH di jalur tepi jalan untuk memenuhi fungsi : (i) Peneduh Tanaman yang akan dijadikan sebagai peneduh harus memiliki syarat percabangan tidak merunduk, struktur daunnya padat, sistem perakaran tidak muncul keatas permukaan tanah karena dapat merusak konstruksi jalan. Tanaman yang cocok untuk peneduh adalah Mahoni (Switenia macrophylla), Pohon Sapu Tangan (Amhersti nobilis), Tanjung (Mimusops elengii) dan lain-lain. ( ii ). Penyerap Polusi Udara Penyebab pencemaran udara terbesar adalah berasal dari mesin kendaraan bermotor. Bahan pencemar yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor tersebut diantaranya NO2, SO2, debu dan timbal (Pb). Debu dan timbal merupakan pencemar terbesar. Syarat tanaman yang dapat digunakan sebagai penyerap polusi udara adalah memiliki ketahanan tinggi terhadap pengaruh udara, struktur daunnya padat dengan jarak tanam yang rapat. Jenis-jenis yang dapat ditanam sebagai penyerap polusi udara adalah Kerai Payung (Filicium decipiens), Kenari (Canarium commune), dan Mahoni (Switenia macrophylla). Pohon-pohon tersebut dapat mengurangi polusi udara 47 % sampai 69 %.
B. Jalur Tengah (Median) Jalur tengah (median) sangat berpotensi menjadi taman yang berfungsi dekoratif jika perencanaan dan perancangannya dilakukan dengan baik. Pemeliharaan taman dan tanaman yang ditanaman juga harus memperhatikan kerapatan jenis sehingga terkadang saling tumpang tindih. Penggunaan jenis pohon yang bercabang pada jalur tengah (median) harus dihindari karena menimbulkan efek bayangan sehingga mengundang pejalan kaki untuk berjalan disekitar jalur tersebut. Pohon yang bercabang rendah dapat digunakan pada jalur tengah ini namun harus dilaksanakan pemangkasan secara rutin. Jenis pohon yang dapat dipergunakan pada jalur tengah ini adalah Glodokan Tiang (Polyathia longifolia Pendula). 6. Penataan RTH Kawasan Bantaran Sungai dan Kanal Pembangunan RTH kawasan bantaran sungai dan kanal dilakukan dengan memilih jenis tanaman yang dapat mengikat struktur tanah sehingga dapat berfungsi sebagai zona penyangga dan konservasi. Kriteria umum pemilihan tanaman untuk kawasan ini adalah : - Sistem perakaran tanaman mampu mengikat struktur tanah. - Tidak memerlukan perawatan yang intensif. - Batang kuat dan elastis. Jenis tanaman yang dapat dipilih adalah Akasia (Acacia auriculiformis), Angsana (Pterocarpus indicus) dan Ketapang (Terminalia catappa). Untuk daerah pinggiran kanal sangat dibutuhkan tanaman karena tanaman tersebut dapat menciptakan nilai estetika dan dapat menyekat bau yang berasal dari kanal itu sendiri (Tinambunan,2006).
Proporsi Ruang Terbuka Hijau Kota Medan Menurut status kepemilikan Ruang Terbuka Hijau, Ruang Terbuka Hijau dapat dibagi menjadi : 1. Ruang Terbuka Hijau Publik Ruang Terbuka Hijau Publik merupakan Ruang Terbuka Hijau yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah kota, berlokasi pada lahan-lahan public atau lahan yang dimiliki oleh pemerintah dan digunakan untuk kepentingan masyarakat, termasuk RTH Taman, Hutan Kota dan RTH Jalur Hijau. Proporsi RTH Publik paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari luas wilayah kota dan disesuaikan dengan sebaran penduduk dan hirearki pelayanan dengan memperhatikan rencana struktur dan pola ruang. 2. Ruang Terbuka Hijau Privat Ruang Terbuka Hijau Privat merupakan Ruang Terbuka Hijau yang terdapat pada lahan-lahan privat. Proporsi RTH paling sedikit adalah 30% dari luas wilayah kota. Dimana 20% merupakan proporsi RTH public yang harus dipenuhi. Selebihnya diusahakan melalui RTH privat minimal 10% dari luas wiayah kota. Yang termasuk RTH Privat antara lain kebun atau halaman rumah/gedung milik mastarakat atau swasta yang ditanami tumbuhan atau lain sebagainya. Proporsi RTH Publik murni Kota Medan yang terdata secara rinci adalah milik Dinas Pertamanan Kota Medan seluas 85,69ha. Dengan proporsi RTH Publik ditambah RTH Privat, maka proporsi minimal RTH Publik yang seharusnya yaitu 7.953 ha, baru mencapai lebih kurang 5343,3 ha dari 26.510 ha luas wilayah kota, sedangkan untuk RTH Privat yang sifatnya tertutup belum terdata sama sekali (Mayasari, 2009).
Biomassa dan Karbon Tersimpan Biomassa adalah jumlah bahan organik yang diproduksi oleh tumbuhan per satuan unit area pada suatu saat. Biomassa bisa dinyatakan dalam ukuran berat seperti berat kering dalam satuan gram atau dalam kalori. Di permukaan bumi terdapat kurang lebih 90% biomassa yang terdapat dalam hutan berbentuk pokok kayu, dahan, daun, akar dan serasah, hewan dan jasad renik. Biomassa merupakan tempat penyimpanan karbon. Namun pencemaran lingkungan, pembakaran hutan dan pengerusakan lahan hutan telah mengganggu proses penyimpanan karbon tersebut. Akibatnya karbon yang tersimpan dalam biomassa hutan terlepas ke atmosfer dan kemampuan bumi untuk menyerap CO 2 dari udara melalui fotosintesis hutan berkuran selain akibat tersebut, intensitas efek rumah kaca akan ikut naik dan menyebabkan suhu permukaan bumi dan hal inilah yang menyebabkan pemanasan global. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak perubahan iklim adalah dengan cara meningkatkan penyerapan karbon dan menurunkan emisi karbon. Hal ini dapat dilakukan dengan mempertahankan cadangan karbon yang telah ada, meningkatkan cadangan karbon melalui penanaman tanaman berkayu dan mengganti bahan bakar fosil dengan bahan bakar yang dapat diperbahrui, dan menanam serta memelihara pohon (Hairiah dan Rahayu, 2007). Metode Pendugaan Karbon Tersimpan Karbon Tersimpan adalah kandungan karbon yang tersimpan baik itu dipermukaan tanah sebagai biomassa tanaman, sisa tanaman yang sudah mati maupun dalam tanah sebagai bahan organik tanah. Perubahan wujud karbon ini kemudian menjadi dasar untuk menghitung emisi, dimana sebagia besar unsur karbon yang terurai ke udara biasanya terkait dengan oksigen dan menjadi
karbondioksida. Total karbon tersimpan di atas permukaan tanah diperoleh dari biomassa total dikali 0,46 yaitu nilai rata-rata kandungan karbon dari biomassa vegetasi. Adinugroho (2010) membagi dua kelompok metode pendugaan biomassa tanah, yaitu : 1. Metode Pemanenan Terdiri dari pemanenan individu tanaman, metode pemanenan kuadrat dan metode pemanenan individu pohon yang mempunyai luas bidang dasar rata-rata. 2. Metode Pendugaan Tidak Langsung Metode yang terdiri dari metode Alometrik dan metode Cropmeter. Banyak studi menggunakan model allometrik dalam pendugaan biomassa di atas permukan tanah karena pemanenan pohon bersifat merusak dan membutuhkan biaya besar. Nilai karbon tersimpan pada suatu RTH juga dapat dihitung dengan menggunakan aplikasi SIG. SIG adalah suatu sistem berbasis computer yang memiliki kemampuan dalam menangani data bereferensi geografis yaitu pemasukan data, manajemen data, manipulasi dan analisis data, serta keluaran akhir sebagai output. Hasil akhir dapat dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan pada masalah yang berhubungan dengan geografi. Teknologi penginderaan jarak jauh dengan pendekatan berbasis spasial dapat merekam dan menganalisis data spasial kondisi penyerapan CO 2 oleh vegetasi. Sensor penginderaan jarak jauh mempunyai kemampuan dalam menangkap gelombang yang dipantulkan oleh vegetai dan non vegetasi serta mampu membedakan kualitas dan kuantitas vegetasi melalui pemanfaatan nilai indeks vegetasi. Nilai indeks vegetasi merupakan suatu nilai yang dihasilkan dari persamaan matematika dari beberapa band penginderaan jarak jauh yang
menghasilkan suatu indeks. Indeks vegetasi dirancang untuk memperjelas tampilan objek berklorofil. Nilai indeks vegetasi dapat memberikan informasi tentang persentase penutupan vegetasi, indeks tanaman hidup, biomassa tanaman, kapasitas fotosintesis dan estimasi penyerapan karbondioksida (As-syukur dan Adnyana, 2009). Jalur Hijau (Green Belt) Green belt atau jalur hijau adalah pemisah fisik daerah perkotaan dan pedesaan yang berupa zona bebas bangunan atau ruang terbuka hijau yang berada di sekeliling luas kawasan perkotaan atau daerah pusat aktivitas/kegiatan yang menimbulkan polusi. Sabuk hijau merupakan RTH yang berfungsi sebagai daerah penyangga dan untuk membatasi perkembangan suatu penggunaan lahan (batas kota, pemisah kawasan, dan lain lain) atau membatasi aktivitas satu dengan aktivitas lainnya agar tidak saling mengganggu, serta pengamanan dari faktor lingkungan sekitarnya. Green belt unsur utamanya berupa vegetasi yang secara alamiah berfungsi sebagai pembersih atmosfir dengan menyerap polutan yang berupa gas dan partikel melalui daunnya. Vegetasi berfungsi sebagai filter hidup yang menurunkan tingkat polusi dengan mengabsorbsi, detoksifikasi, akumulasi dan atau mengatur metabolisme di udara sehingga kualitas udara dapat meningkat dengan pelepasan oksigen di udara Lebih lanjut bahwa polusi udara di daerah perkotaan dan daerah industri yang terserap dan terakumulasi oleh badan tanaman. Jika polusi tersebut beracun, maka akan mempengaruhi kesehatan tanaman tersebut. Level kesehatan tanaman ini terbagi menjadi spesies dengan tingkat kesensitifan terhadap polutan tinggi dan spesies tanaman dengan tingkat toleransi tinggi. Spesies tanaman dengan sensitifitas tinggi berguna untuk peringatan awal
indikasi adanya bahan pencemar di udara, sedangkan untuk spesies tanaman dengan tingkat toleransi tinggi akan mengurangi tingkat polusi di udara secara menyeluruh. Hal ini menjelaskan bahwa green belt merupakan faktor pengontrol tingkat polusi. Kualitas hidup manusia ditentukan dari segala aspek kehidupan, salah satu aspek terpenting adalah kesehatan masyarakat. Kesehatan masyarakat perkotaan ditentukan oleh kondisi lingkungan yang bersih dan bebas pencemaran, baik pencemaran air, tanah, dan udara. Manfaat dari adanya tajuk vegetasi di green belt area adalah menjadikan udara yang lebih bersih dan sehat, jika dibandingkan dengan kondisi udara pada kondisi tanpa tajuk dari hutan kota. Disinilah peranan green belt untuk kesehatan masyarakat perkotaan, khususnya untuk atau sebagai pengendali pencemaran atau polusi udara. Selain kesehatan, masyarakat juga berhak dan memerlukan kehidupan sosial yang baik yang dapat terpenuhi dengan adanya green belt yang berfungsi sebagai tempat rekreasi bagi masyarakat perkotaan. Green belt merupakan unsur signifikan bagi suatu sistem perkotaan sebagai kontrol polusi dan menjaga kualitas hidup masyarakat perkotaan. Jika luasan green belt semakin besar maka kontrol polusi meningkat sehingga kualitas hidup masyarakat meningkat. Sedangkan penurunan luasan green belt menyebabkan polusi udara meningkat dan menurunkan kualitas hidup masyarakat perkotaan. Green belt sebagai salah satu bentuk hutan kota memiliki fungsi menjaga kelangsungan hidup bumi, yakni sebagai media yang memiliki kemampuan mengurangi zat pencemar udara termasuk karbondioksida (CO 2 ) yang melayang di udara dan penghasil oksigen (O 2 ). Disamping itu hutan memiliki fungsi dan
peran sebagai penyerap panas sehingga dapat mendinginkan bumi dan hutan kota yang di dalamnya terdapat berbagai macam vegetasi pada saat berfotesitesis memerlukan sinar matahari dan karbondioksida (CO 2 ) serta unsur-unsur lainnya sehingga dengan demikian keberadaan hutan kota dapat mengurangi konsentrasi CO 2 di udara dan dapat menurunkan suhu. Kemampuan vegetasi untuk menyerap atau menangkap zat-zat pencemar yang terdapat di udara dipengaruhi oleh jenis, umur, lebar dan karakteristik daun vegetasi tersebut. Vegetasi menyerap zat pencemar di udara berupa gas buang melalui stomata dan akan mengikat butirbutir partikel di daun. Tingkat kepadatan dan keteduhan vegetasi pada hutan kota memberikan pengaruh langsung atau tidak langsung terhadap keadaan suhu dan iklim mikro kota tersebut (Anggraeni, 2005). Hasil-Hasil Penelitian yang Terkait Penelitian yang dilakukan oleh Ratnaningsih dan Suhesti (2010) di hutan kota Pekanbaru memberikan hasil bahwa potensi rata-rata biomassa, dengan menggunakan rumus Brown (1997) yang dimiliki hutan kota bentuk jalur hijau adalah 122,07Ton/Ha, sedangkan bentuk gerombol adalah 151,02 Ton/Ha. Perbedaan biomassa perhektarnya pada dua bentuk hutan kota disebabkan oleh tingkat kerapatan pohon perhektarnya. Perbedaan kandungan karbon disebabkan adanya perbedaan kerapatan, diameter, tinggi pohon, dan faktor lingkungan dimana semua faktor ini berkorelasi positif dengan potensi karbon tegakan per hektar. Berdasarkan hasil penelitian BPKH Wilayah XI Jawa-Madura yang bekerja sama dengan Forest Governance and Multistakeholder Forestry Programme (MFP II) tahun 2009 diperoleh kesimpulan bahwa perkalian antara diameter batang setinggi dada kuadrat dan tinggi total pohon (D 2.H) merupakan
prediktor yang sangat baik untuk menaksir kandungan biomassa di atas permukaan tanah, terutama untuk jenis-jenis pohon yang tumbuh di hutan rakyat. Hal ini dapat dilihat dari nilai koefisien determinasi (R 2 ) yang masih di atas 84% variasi kandungan biomassa pohon yang dapat diteliti dapat dijelaskan oleh variabel diameter batang setinggi dada dan tinggi total pohon. Hasil penelitian Combalicer et al (2011) pada penghitungan karbon di Filiphina memperoleh hasil bahwa dari ketiga jenis tanaman yang dihitung biomassa total permukaanya, yaitu jenis Acacia mangium, Acacia auriculiformis, dan Pterocarpus indicus, nilai biomassa dan karbonnya lebih tinggi pada tegakan umur 20 tahun daripada tegakan berumur 10 tahun. Nilai biomassa dan karbon pada tegakan berumur 10 tahun adalah 91,80 Ton/Ha dan 42,10 Ton/Ha.