BAB I PENDAHULUAN. Sebagai bagian dari disiplin ilmu geografi, geografi perkotaan berhubungan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB VI PENUTUP. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perkembangan kota kecil di Joglosemar

TATA LOKA VOLUME 19 NOMOR 2, MEI 2017, BIRO PENERBIT PLANOLOGI UNDIP P ISSN E ISSN

PENILAIAN PENGARUH SEKTOR BASIS KOTA SALATIGA TERHADAP DAERAH PELAYANANNYA

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. A. Kesimpulan

KOORDINASI PEMBANGUNAN PERKOTAAN DALAM USDRP

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

STUDI EVALUASI PERANAN KOTA KECIL PADA SISTEM PERKOTAAN SEPANJANG KORIDOR JALAN REGIONAL KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR L2D

EVALUASI SISTEM PERWILAYAHAN DI WILAYAH JOGLOSEMAR BERDASARKAN ASPEK SOSIO EKONOMI

KAPASITAS KELEMBAGAAN PERENCANAAN TATA RUANG DI KOTA AMBARAWA TUGAS AKHIR. Oleh: IMANDA JUNIFAR L2D005369

PENENTUAN TIPOLOGI PERKEMBANGAN KECAMATAN DI KABUPATEN PEKALONGAN TUGAS AKHIR

Perilaku Pergerakan Masyarakat Perkotaan Dalam Proses Urbanisasi Wilayah di Kabupaten Tegal TUGAS AKHIR. Oleh: TITI RATA L2D

Daya Saing Kota-Kota Besar di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN. arah perubahan struktural desa-kota diharapkan dapat berlangsung secara seimbang

DAFTAR PUSTAKA. Alonso, W. (1968). Urban and regional imbalances in economic development. Economic Development and Cultural Change, 17(1), 1.

KETERKAITAN EKONOMI ANTARA KOTA GEMOLONG DENGAN WILAYAH BELAKANGNYA TUGAS AKHIR. Oleh:

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. pemicu munculnya permasalahan lingkungan baik biotik, sosial, kultural,

KARAKTERISTIK STRUKTUR RUANG INTERNAL KOTA DELANGGU SEBAGAI KOTA KECIL DI KORIDOR SURAKARTA - YOGYAKARTA TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. sebagai Negara berkembang mirip dengan Negara lainnya. Pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. karena kawasan ini merupakan pusat segala bentuk aktivitas masyarakat. Pusat

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN

Makalah Kunci. Peningkatan Kesetaraan Pembangunan Antara Kawasan Perdesaan dan Perkotaan Melalui Pembangunan Kota-Kota Sekunder.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar belakang

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PERANCANGAN ARSITEKTUR DAN PERANCANGAN KOTA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat.

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Populasi Penduduk Perkotaan dan Perdesaan di Indonesia Tahun

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang yaitu bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

BAB I PENDAHULUAN. Museum Permainan Tradisional di Yogyakarta AM. Titis Rum Kuntari /

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara berkembang, Indonesia dihadapkan pada berbagai. dari tahun ke tahun, hal tersebut menimbulkan berbagai masalah bagi

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk yang hidup dan tinggal di daerah kota tersebut. Penduduk yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Indikator pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki struktur pemerintahan dan kualitas pembangunan nasional guna

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan Isu Perkembangan Properti di DIY

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

KETERKAITAN ANTARA KEMISKINAN PERKOTAAN DENGAN KESEHATAN LINGKUNGAN DI WILAYAH KABUPATEN TEGAL TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. seiring perjalanan waktu, baik dimensi kenampakan fisik maupun non fisiknya.

BAB I PENDAHULUAN. Kesejahteraan masyarakat merupakan tujuan dari pembangunan, namun pada

BAB I PENDAHULUAN. mengenai faktor-faktor yang tidak hanya berasal dari faktor demografi saja

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

INDONESIA NEW URBAN ACTION

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP PERENCANAAN KOTA Studi kasus kota New York, London dan Tokyo (Global Cities)

BAB I PENDAHULUAN. turun, ditambah lagi naiknya harga benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

SUMMARY STRATEGI DAN MODEL PERENCANAAN POPULIS DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH

TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KABUPATEN KENDAL. 0 Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah (LP2KD) Kabupaten Kendal

Transformasi Wilayah Di Koridor Purwokerto-Purbalingga Dalam Perspektif Geospatial

ARAHAN PEMANFAATAN KEMBALI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) SAMPAH (Studi Kasus: TPA Putri Cempo, Kota Surakarta) TUGAS AKHIR

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Latar Belakang Formal Latar Belakang Material

BAB I PENDAHULUAN. kematian dan perpindahan penduduk (mobilitas) terhadap perubahan-perubahan. penduduk melakukan mobilitas ke daerah yang lebih baik.

BAB I PENDAHULUAN. keadilan sejahtera, mandiri maju dan kokoh kekuatan moral dan etikanya.

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. ini telah menjadi pendorong pada integrasi kota-kota besar di Indonesia, dan juga di

BAB I PENDAHULUAN. mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi di daerah adalah pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan ke arah desentralisasi. Salinas dan Sole-Olle (2009)

BAB I PENDAHULUAN. fasilitas kehidupan. Perkembangan yang terjadi di perkotaan diikuti dengan

BAB I PENDAHULUAN. Ungkapan motivatif dari C.K. Prahalad dan Garry Hamel yang

MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1

Menakar Kinerja Kota Kota DiIndonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ALTERNATIF POLA HUBUNGAN KOTA TEGAL DALAM KONTEKS KAWASAN BREGAS TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. terhadap penduduk kota maupun penduduk dari wilayah yang menjadi wilayah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PLANO MADANI VOLUME 5 NOMOR 2, OKTOBER 2016, P ISSN X - E ISSN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. rakyat. Untuk mencapai cita-cita tersebut pemerintah mengupayakan. perekonomian adalah komponen utama demi berlangsungnya sistem

I. PENDAHULUAN. pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan ruang. penambahan penduduk di kota-kota besar pada umumnya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Sinkronisasi Rencana Pola Ruang Pada Wilayah Perbatasan Kota Semarang dan Kabupaten Semarang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Identifikasi Perkembangan Perkotaaan Metropolitan Cirebon Raya

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki

Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1) Sumber Daya Air, 2) Pertanian dan Ketahanan Pangan, 3) Kesehatan Manusia, 4) Ekosistem daratan,

PEREMPUAN DALAM PEMANFAATAN AIR SUNGAI KAPUAS KOTA PONTIANAK TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. dinantikan serta diinginkan oleh rakyat Indonesia. Harapan dan cita-cita yang

Masalah lain yang muncul adalah berubahnya struktur

PERMUKIMAN UNTUK PENGEMBANGAN KUALITAS HIDUP SECARA BERKELANJUTAN. BAHAN SIDANG KABINET 13 Desember 2001

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

RENCANA DETAIL TATA RUANG (RDTR) IBUKOTA KECAMATAN TALANG KELAPA DAN SEKITARNYA

KAJIAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI KECAMATAN UMBULHARJO, KOTA YOGYAKARTA TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai bagian dari disiplin ilmu geografi, geografi perkotaan berhubungan penjelasan distrbusi perkotaan serta kesamaan dan perbedaan aspek sosial-spasial (sociospatial) yang terdapat di dalam kota dan di antara kota-kota (Pacione, 2009: 18). Studi mengenai kota dalam geografi perkotaan dapat dikelompokkan menjadi dua bagian atau tingkatan. Bagian pertama yang dominan adalah studi kota dalam perspektif tunggal atau internal kota. Studi ini memfokuskan pada kota sebagai sebuah sistem (city as a system) (Pacione, 2009). Tema utama dalam kajian kota sebagai sebuah sistem mencakup bentuk dan struktur internal kota (urban form and internal structure). Bagian kedua melihat kota dalam sistem perkotaan (system of cities), yaitu hubungan fungsional dan kekerkaitan antarkota dalam sistem perwilayahan. Fokus studi kota yang kedua ini adalah eksplorasi perkembangan kota dalam konteks perkembangan wilayah. Tema pokok kajian umumnya berhubungan dengan fungsi dan peran kota dalam sistem perwilayahan. Baik pada kelompok pertama maupun kedua, studi kota dalam geografi perkotaan lebih banyak dilakukan dalam kerangka kota sebagai tempat permukiman skala besar (Ofori-Amoah, 2007). Karena itulah, teori dan konsep yang berkembang dalam geografi perkotaan umumnya menggunakan referensi atau kasus kota besar atau kota metropolitan. Ofori-Amoah (2007) lebih jauh mengatakan bahwa terdapat bias kota besar dalam studi geografi perkotaan karena dominannya kajian pada kota besar dalam pengembangan pengetahuan teoritik dalam disiplin geografi perkotaan ini. Pada kenyataannya, konsep dan teori yang berhubungan dengan kota, khususnya dalam kajian tentang bentuk dan 1

2 struktur internal kota, sebagian besar menggunakan rujukan empirik kota-kota besar atau kota metropolitan. Hal yang kurang lebih sama terjadi pada kajian perkotaan dalam kerangka sistem kota-kota. Bahkan ketika konsep globalisasi muncul dan menjadi tema baru dalam studi perkotaan dengan fokus kajian kota dalam perspektif ruang yang lebih luas atau dalam konteks sistem perkotaan dunia/global, perhatian lebih banyak diberikan pada kota besar. Konsep-konsep mengenai kota-kota global (global cities) atau kota-kota dunia (world cities) mendominasi wacana teoritis dalam studi sistem kota-kota ini (Friedmann, 1986; Knox dan Taylor, 1995; Sassen, 2005). Namun demikian, di antara bahasan tentang penting kota dunia/global dalam kajian sistem perkotaan itu, terdapat beberapa konsep yang mencoba mengangkat peran kota berhirarki lebih lebih rendah dalam sistem perkotaan dunia, seperti yang dikemukakan oleh Dix (1986). Pendekatan yang digunakan dalam kajian geografi perkotaan juga beragam. Pacione (2009) menyebutkan adanya dua pendekatan dasar dalam kajian geografi perkotaan, yaitu pendekatan sistem perkotaan (systems of cities) dan pendekatan kota sebagai sistem (city as systems). Selain dua pendekatan dasar itu, dalam perspektif geografi secara umum, seperti yang dikemukakan oleh Yunus (2010), terdapat tiga pendekatan yang menjadi arus utama (mainstream) dalam kajian kewilayahan. Ketiga pendekatan ini mempunyai pandangan yang berbeda dalam melihat konsep ruang dalam kajiannya. Pada pendekatan keruangan (spatial approach), ruang dipandang sebagai variabel dalam kajian wilayah, sementara dalam pendekatan ekologis ruang dianggap sebagai hasil dari interaksi antara manusia dengan lingkungan. Pendekatan ketiga, yaitu sistem kompleks wilayah, melihat wilayah sebagai sebuah sistem yang di dalamnya

3 terdapat banyak elemen yang berinteraksi antara satu dengan lainnya, baik dalam konteks sistem internal maupun eksternal (Yunus, 2010). Dalam kerangka kerja seperti itu, studi mengenai perkotaan dapat dilakukan dalam pendekatan yang berbeda-beda. Jika fokus studi pada bagaimana suatu kota berkembang sebagai sebuah entitas, maka pendekatan kota sebagai sistem, pendekatan keruangan atau pendekatan ekologis dapat menjadi pilihan. Di sisi lain, jika studi dilakukan dengan mengambil fokus tentang kota dan perannya dalam pengembangan wilayah, maka perspektif pendekatan kompleks wilayah maupun pendekatan sistem perkotaan lebih sesuai digunakan sebagai kerangka dasar. Namun demikian, perkembangan pendekatan ini dapat berubah karena dalam konteks pengembangan wilayah di mana salah satu komponen pentingnya adalah perkotaan, geografi berjalan beriringan dengan disiplin ilmu lain seperti ekonomi, perencanaan kota, dan teori lokasi (Misra, 1982). Lebih lanjut Rijanta (2008) mengemukakan meskipun geografi agak terlambat berbaur dengan disiplin ilmu lain dalam pengembangan wilayah, peran geografi ini semakin penting dalam kajian pengembangan wilayah. Perpaduan antar berbagai disiplin ilmu ini pada akhirnya memperkaya pendekatan dalam kajian kota (Ofori- Amoah, 2007). Seperti yang disampaikan sebelumnya, konsep dan teori yang berhubungan dengan perkembangan perkotaan di dunia lebih banyak didominasi oleh konsep metropolitan. Kecenderungan fokus pada isu metropolitan dalam studi urbanisasi ini menjadikan perhatian pada studi mengenai kota kecil terabaikan (Bell dan Jayne, 2009). Banyak pendapat yang muncul sehubungan dengan adanya pengabaian tentang pentingnya kota kecil ini. Bell dan Jayne (2006) berpendapat bahwa pemahaman tentang

4 apa itu kota kecil menjadi salah satu penyebab terjadinya pengabaian itu. Lebih lanjut Bell dan Jayne (2006: 2) menyatakan sebagai berikut:.the woeful neglect of the small city in the literature on urban studies means that we don t yet have to hand wholly appropriate ways to understand what small cities are, what smallness and bigness mean, how small cities fit or don t fit into the new urban order, or what their fortunes and fates might be. Pengabaian itu juga membawa implikasi lain. Ofori-Amoah (2007) menambahkan bahwa sedikitnya studi pada kota kecil ini menjadikan pengembangan pengetahuan tentang komposisi sistem perkotaan (urban system) dalam transformasi keruangan menjadi tidak seimbang, karena sebagian besar studi yang ada, khususnya dalam bidang geografi, dilakukan dalam konteks kota besar atau kota metropolitan (Ofori-Amoah, 2007: 5). Pemihakan ini sebenarnya sedikit kontradiktif dengan kenyataan empirik di mana sebagian besar penduduk perkotaan mendiami kota-kota dengan jumlah penduduk 100.000 jiwa atau kurang (Brennan dkk., 2005; Tacoli ed., 2006). Kurangnya perhatian pada studi kota kecil ini menimbulkan celah pengetahuan (knowledge gap) dalam geografi perkotaan (Ofori-Amoah, 2007). Celah itu terjadi karena studi geografi perkotaan yang berfokus hanya pada fenomena kota besar/metropolitan atau kota global cenderung mengurangi keragaman pemaknaan perkotaan itu sendiri (Benerjee-Guha, 2013). Selain itu ada banyak kekhawatiran mengenai hilangnya identitas kota, karena kota dianggap sama, tidak ada perbedaan yang didasarkan atas berbagai macam pertimbangan (Pacione, 2009). Robinson (2006) mengusulkan konsep kota biasa (ordinary city), yaitu kota adalah kota dengan segala problematikanya tanpa mempertimbangkan aspek lain yang menjadi pembentuk karakteristik kotanya. Dalam perspektif ini, kota kecil dapat memberikan perspektif lain dalam bidang geografi perkotaan.

5 Penelitian tentang kota kecil akan mempunyai relevansi tinggi tidak saja dalam perspektif akademik tetapi juga pada pada sisi perumusan kebijakan pembangunan perkotaan. Banerjee-Guha (2013) berargumentasi bahwa dengan semakin maraknya studi tentang kota dalam konteks global dan proses terbentuknya wilayah mega-urban atau kota-kota neoliberalistik, studi mengenai kota kecil akan mampu memberikan genre lain dalam studi geografi dan perencanaan perkotaan (lihat juga Shaw, 2013). Dengan demikian, penelitian-penelitian mengenai kedudukan kota kecil dan signifikansinya dalam perekonomian wilayah dan nasional akan memberikan perspektif teoritik baru tidak saja dalam ranah geografi perkotaan tetapi juga dalam ranah perencanaan wilayah dan kota (perencanaan). Terdapat pertautan antara disiplin geografi perkotaan dengan perencanaan dalam studi perkotaan. Ofori-Amoah (2007) mengatakan bahwa studi kota dalam perspektif perencanaan dan pengelolaan belakangan menjadi perhatian peneliti geografi. Sifat dari kota yang dinamis dan sangat heterogen (Hall, 2001) mempunyai potensi memunculkan masalah, baik karena perkembangan maupun kemundurannya, sehingga menarik perhatian tentang bagaimana cara mengatasinya. Dalam studi perkotaan, dua disiplin bisa saling melengkapi karena geografi perkotaan lebih bersifat deskriptif, interpretif dan eksplanatoris (Hall, 2001), sementara perencanaan kota dan wilayah lebih bersifat preskriptif (Willatts, 1971; Wise dkk., 1971; Diamond, 1995; Phelps dan Tewdwr-Jones, 2008). Penelitian ini secara substansi tergolong ke dalam ranah disiplin geografi perkotaan, meskipun bahasan dalam beberapa bagian bersinggungan dengan disiplin perencanaan. Penelitian ini mengadopsi pendekatan dasar geografi perkotaan yang dikemukakan oleh Pacione (2009) yaitu sistem perkotaan (systems of cities). Pendekatan

6 ini sejalan dengan pendekatan kompleks wilayah yang dikemukakan oleh Yunus (2010). Dengan pendekatan ini, penelitian tentang kota kecil yang dilakukan bersifat kontekstual, yakni melihat kota kecil yang menjadi obyek penelitian dalam kerangka sistem yang lebih luas, apakah itu terkait dengan aspek keruangan, ekonomi, kependudukan maupun keterkaitan di antara ketiga hal tersebut. Sesuai dengan pilihan pendekatan ini, penelitian tidak mendalami secara detail aspek internal kota, melainkan lebih fokus kepada faktorfaktor perkembangan kota secara agregatif. Secara faktual, kota kecil adalah tempat hidup bagi penduduk perkotaan, karena setengah dari penduduk perkotaan di seluruh dunia bertempat tinggal di kota-kota kecil ini (Tacoli ed., 2006). Jumlah penduduk kota kecil, yaitu kota-kota yang berpenduduk kurang dari 500.000 jiwa, adalah 25% dari jumlah populasi dunia. Dari jumlah ini, hampir 50% berada di kawasan Asia (UNDESA, 2014). Dengan kata lain, penduduk perkotaan di Asia umumnya berada pada kota-kota kecil ini. Untuk kasus Indonesia, sebagaimana yang diungkapkan dalam UNDESA (2014), pada 2010 jumlah penduduk perkotaan yang bertempat tinggal di kota-kota kecil dengan ukuran kurang dari 300.000 jiwa adalah sebanyak 68% dari jumlah populasi perkotaan secara keseluruhan. Proporsi ini meningkat jika dibandingkan dengan kondisi pada tahun 1980, di mana ada sekitar 57% penduduk perkotaan berdiam pada kota-kota kecil ini. Data sensus juga menunjukkan bahwa laju perkembangan penduduk perkotaan pada kota-kota kecil di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk pada kota-kota besar. Sebagaimana ditunjukkan oleh Firman dkk. (2007), laju pertumbuhan penduduk perkotaan di banyak kabupaten di Pulau Jawa lebih tinggi dari kota-kota yang selama ini menjadi rujukan kajian urbanisasi di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Dalam konteks ini, beberapa kabupaten di Jawa Tengah, dalam

7 kurun waktu 1980-1990, bahkan menunjukkan tingkat urbanisasi yang sangat pesat, seperti misalnya Sukoharjo (27,64%), Klaten (10,22%), Jepara (16,12%), dan Tegal (16,0%) (Mardiansjah, 2007). Fakta ini menunjukkan bahwa selain fenomena urbanisasi yang mengarah kepada terbentuknya extended mega-urban regions seperti yang dikemukakan oleh Ginsburg dkk. (1991), proses urbanisasi juga terjadi pada wilayah yang bercirikan perdesaan. Fenomena ini sering disebut sebagai rurbanisasi sedangkan Mardiansjah (2007) menyebut fenomena ini sebagai urbanisasi wilayah (regional urbanization). Proses ini juga mengakibatkan munculnya extended urbanization pada perkotaan kecil, seperti yang terjadi di Cirebon dan sekitarnya (Fahmi dkk., 2014). Perkembangan ini belum direspon dengan baik dalam kebijakan pembangunan perkotaan di Indonesia, khususnya dalam penataan ruang. Sejarah penataan ruang perkotaan di Indonesia lebih menekankan pada sisi perencanaan tata ruang, namun kurang memberikan perhatian pada pengelolaan kota (lihat misalnya di Reyansih, 2003; Roosmalen, 2003). Pada tataran konseptual Indonesia memang mengalami pergeseran dari master urban planning menuju kepada manajemen perkotaan dan akhirnya pada tata kelola perkotaan (urban governance) seperti halnya negara berkembang lainnya (Devas dan Rakodi, 1991; van Dijk, 2003), namun dalam praktik perubahan ini tidak banyak terlihat pada kota-kota kecil, sehingga memunculkan beberapa permasalahan dalam perkembangan kotanya. Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh kota kecil di Indonesia di antaranya adalah sebagai berikut: Sebagian besar kota kecil di Indonesia tidak mempunyai pemerintahan sendiri (Malo dan Nas, 1991; Nas, 1990; Niessen, 1999).

8 Pengelolaan kota-kota kecil di Indonesia berada di dalam kewenangan pemerintah kabupaten, sementara pemerintahan kabupaten tersebut juga harus mengurusi berbagai kegiatan lain pada skala yang lebih luas (Mardiansjah, 2007). Menyadari persoalan ini, pemerintah telah menerbitkan PP Nomor 34 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Perkotaan sebagai payung hukum bagi pengelolaan kawasan perkotaan yang tidak berstatus daerah otonom. Saat ini Pemerintah juga sedang menyiapkan RUU Perkotaan yang akan menjadi dasar bagi pengelolaan kawasan perkotaan baik yang berstatus daerah otonom maupun bagian dari kabupaten (Ditjen Bangda Kemendagri, 2014). Karena PP 24/2009 berpotensi untuk dicabut sebagai konsekuensi diundangkannya UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah dan RUU Perkotaan masih berproses, dalam jangka pendek bahkan menengah pengelolaan kota kecil cenderung tidak mengalami perubahan yang berarti. Adanya celah dalam pemerintahan tersebut berakibat pada banyak permasalahan kota, khususnya permasalahan tata ruang yang tidak tertangani dengan baik. Contoh kasus dari betapa problematiknya pengelolaan kota kecil tersebut dapat dilihat dari kondisi tata ruang kota-kota kecil di Jawa Tengah. Studi yang dilakukan oleh Novitasari (2009) menunjukkan bahwa perubahan pemanfaatan ruang pada kawasan pinggiran Kota Kudus tidak dapat ditangani oleh pemerintah, sehingga pelanggaranpelanggaran yang terjadi menjadi sesuatu yang dianggap biasa. Keberadaan kota besar yang berdekatan dengan kota-kota kecil memberikan pengaruh terhadap perkembangan kotanya. Pada kasus tertentu, perubahan pemanfaatan ruang pada kota-kota kecil juga dipengaruhi oleh tarikan yang terjadi pada kota-kota besar yang berada di dekatnya, seperti misalnya yang terjadi di Delanggu, Kabupaten Klaten (Nurcholis, 2008) dan

9 yang terjadi di Sokaraja-Patikraja, Kabupaten Banyumas (Prihantini, 2007). Pada kasus Delanggu keberadaan koridor jalan arteri primer Yogyakarta-Surakarta telah memberikan pengaruh terhadap perubahan struktur ruang kota (lihat juga Giyarsih, 2010), sementara pada kasus Sokaraja-Patikraja, perkembangan Kota Purwokerto mempengaruhi perkembangan kedua kota kecil tersebut. Urusan pembangunan tidak efektif, khususnya pada kota kecil yang tidak menjadi pusat pemerintahan atau ibukota kabupaten. Problematika ini menyangkut tantangan kelembagaan (institutional challenges). Karena rentang kendali yang menjadi kewenangan pemerintahan kabupaten sangat besar, seringkali urusan pembangunan pada kota kecil yang bukan merupakan ibukota kabupaten menjadi kurang efektif. Studi yang dilakukan oleh Junifar (2009) di Kota Ambarawa menunjukkan masih terjadinya capacity gap dalam kegiatan perencanaan di antara aktor yang terlibat. Dalam kerangka keterbatasan kapasitas ini, seringkali masyarakat mempunyai cara sendiri dalam penyelesaian permasalahan yang berhubungan dengan pemanfaatan dan pengendalian pembangunan ruang, sebagaimana yang terjadi pada kasus Kota Bawen, Kabupaten Semarang (Suwignyo, 2009). Hal ini mengindikasikan bahwa beberapa inisiasi model tata kelola berbasis masyarakat sudah ada dan berjalan dalam proses perkembangan kota kecil. Permasalahan-permasalahan tersebut memberikan gambaran bahwa kota-kota kecil mempunyai dinamikanya sendiri dan peran yang penting dalam proses perubahan di suatu wilayah. Peran ini akan semakin meningkat di masa yang akan datang karena pergeseran mengarah kepada kekotaan ini akan terus berlangsung dan diprediksikan bahwa pada 2050, kurang lebih 70% populasi Indonesia akan berada di perkotaan (UNDESA, 2014). Peran kota kecil seperti yang dikemukakan oleh Tacoli ed. (2006)

10 sebagai jembatan penghubung terciptanya keterkaitan desa-kota yang bersifat timbal balik (reciprocal) dan berkelanjutan semakin relevan di masa-masa yang akan datang. Selain itu, gagasan-gagasan tentang pembangunan wilayah dan kota berkelanjutan yang mewarnai wacana akademik seharusnya juga mulai memperhitungkan signifikansi kota kecil dalam proses ini. Penelitian ini mengambil koridor Yogyakarta-Surakarta-Semarang sebagai lokasi penelitian. Koridor Yogyakarta-Surakarta-Semarang ini lebih dikenal dengan nama Joglosemar, sebagai akronim dari JOGjakarta-SoLO-SEMARang mengambil nama lama/populer Yogyakarta (JOGJA) dan Surakarta (SOLO) sebagai pembentuk istilah. Beberapa pertimbangan mendasari pemilihan ini, yaitu: Tingginya laju urbanisasi pada koridor tersebut dibandingkan dengan koridor kota besar lain di Pulau Jawa. Firman (2003) menyebutkan bahwa wilayah Metropolitan Semarang dan Metropolitan Yogyakarta adalah dua wilayah yang bertumbuh cepat di luar dua kutub pertumbuhan utama di Pulau Jawa, yakni Jakarta dan Surabaya beserta wilayah pengaruhnya (lihat juga Firman, 2004; Firman, 2016b). Meskipun wilayah metropolitan di koridor ini tumbuh cepat, pertumbuhan penduduk perkotaan kota kecil pada koridor Semarang-Yogyakarta cenderung stagnan (Hinderink dan Titus, 2002; Firman, 2004; Firman, 2016b). Ini menjadi fenomena menarik karena dapat mengindikasikan tentang tingkat ketergantungan atau dependensi kota kecil terhadap perkotaan besar terdekatnya. Proporsi jumlah penduduk wilayah Joglosemar terhadap populasi Jawa Tengah (Provinsi Jawa Tengah dan DIY) adalah 32%. Tingkat urbanisasi wilayah Joglosemar pada 2010 sebesar 62%, melebihi rata-rata Jawa Tengah (Provinsi Jawa Tengah dan DIY) yang sebesar 43% (BPS, 2011). Pada kurun waktu 1990-2000, laju urbanisasi

11 wilayah Joglosemar lebih dari dua kali rata-rata Jawa Tengah yakni sebesar hampir 4%, meskipun kemudian melambat di periode 2000-2010. Tapi dengan pertumbuhan populasi yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata Jawa Tengah, Joglosemar merupakan wilayah pertumbuhan yang penting bagi Provinsi Jawa Tengah dan DIY. 1.2 Masalah dan Fokus Penelitian Penelitian yang dilakukan dengan obyek kota-kota kecil pada beberapa negara berkembang oleh Hinderink dan Titus (2002) menghasilkan temuan bahwa kota-kota kecil secara umum mempunyai karakteristik sebagai kota yang tidak mandiri, berkembang secara modest, dan memiliki fungsi pelayanan lemah. Prabatmojo dan Firman (1996) menunjukkan melalui kasus Kota Soreang, Jawa Barat bahwa kota kecil sekadar berfungsi sebagai kota tempat istirahat (dormitory town) ketimbang sebagai pusat perkembangan baru. Firman (2016a) lebih lanjut mengatakan kota-kota kecil di Jawa mengalami perkembangan yang stagnan. Fenomena yang sama juga terjadi pada kota-kota di koridor Joglosemar. Kotakota kecil di koridor Joglosemar cenderung tidak berkembang. Data BPS (2011) menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan penduduk kota-kota kecil di Joglosemar sebesar 1,01% per tahun selama kurun waktu 1990-2010, sedangkan pertumbuhan penduduk perkotaan Jawa Tengah dan DIY pada periode yang sama adalah 2,90% per tahun. Kondisi ini menegaskan kecenderungan stagnasi sebagaimana yang dikemukakan oleh Firman (2016a) dalam kajiannya terhadap perkembangan kota di Jawa. Dengan permasalahan yang seperti itu, maka penelitian ini dilakukan dengan penekanan pada empat hal pokok sebagai berikut: 1. Perkembangan kota kecil dalam konteks perkembangan wilayah yang lebih luas;

12 2. Perkembangan awal kota kecil yang dilihat dari faktor lokasi dan faktor keterkaitan; 3. Perkembangan kota kecil yang dilihat dari aspek pergeseran struktur perekonomian, perubahan penduduk perkotaan, serta kawasan terbangun; dan 4. Kecenderungan perkembangan kota kecil tersebut yang dilihat dari fungsinya dalam sistem perkotaan wilayah, baik fungsi yang membangun (development function) dan fungsi yang bersifat keterkaitan (linkage function); 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perkembangan kota kecil pada koridor Yogyakarta-Surakarta-Semarang (Joglosemar) sebagai bagian dari sistem perkotaan wilayah Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pengkajian ini menjadi dasar bagi pengembangan pengetahuan tentang perkembangan kota kecil. Penelitian ini mempunyai sasaran sebagai berikut: 1. Menganalisis perkembangan kota-kota kecil di wilayah Joglosemar dalam konteks perkembangan perkotaan Jawa Tengah dan DIY, dengan kajian pada: a. Perkembangan perkotaan; b. Perkembangan perekonomian wilayah; dan c. Distribusi kawasan perkotaan. 2. Menganalisis faktor-faktor awal yang memberikan kontribusi terhadap perkembangan kota-kota kecil di koridor Joglosemar, khususnya pada: a. Faktor lokasi; dan b. Faktor keterkaitan. 3. Menganalisis perkembangan kota-kota kecil di koridor Joglosemar saat ini dalam hal:

13 a. Perubahan struktur perekonomian; b. Perubahan penduduk perkotaan; dan c. Perubahan kawasan terbangun. 4. Menganalisis fungsi kota-kota kecil dalam sistem perkotaan wilayah dalam aspek: a. Fungsi pembangunan; dan b. Fungsi keterkaitan. 1.4 Batasan Penelitian Penelitian ini berfokus pada perkembangan kota kecil. Perkembangan kota kecil dilihat dari dua hal, yaitu perkembangan awal kota kecil yang menyangkut faktor lokasi dan faktor keterkaitan serta perkembangan saat ini yang terkait dengan faktor perkembangan internal dan fungsi kota dalam sistem perkotaan wilayah. Faktor internal dibatasi pada aspek perubahan struktur perekonomian, perubahan penduduk, serta perubahan kawasan terbangun. Ada dua fungsi kota yang akan dikaji, yaitu fungsi pembangunan dan fungsi keterkaitan. 1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan pengetahuan dalam studi kota kecil, yang dianggap masih kurang memperoleh perhatian, khususnya dalam bidang geografi perkotaan (Ofori-Amoah, 2007; Bell dan Jayne, 2009), termasuk juga dalam konteks Indonesia (Fahmi dkk., 2014). Secara lebih spesifik penelitian ini dapat menjadi fondasi untuk penelitian lain yang lebih fokus pada cara dan bentuk pengelolaan kota kecil di Indonesia secara umum dan lebih khusus di Jawa Tengah. Dalam tataran praktik kebijakan pembangunan kota di Indonesia, pengetahuan ini akan bermanfaat bagi perumusan kebijakan pembangunan perkotaan khususnya

14 pengelolaan kawasan perkotaan, terlebih dalam kaitan dengan upaya pemerintah untuk mengelola perkotaan dengan diterbitkannya PP 34/2009. Hasil ini juga dapat menjadi masukan bagi penyusunan RUU Perkotaan yang sekarang sedang dibahas oleh Pemerintah. Pengenalan terhadap aspek perkembangan kota kecil ini penting karena di Indonesia tidak ada perbedaan antara kota kecil dan kota besar dalam sistem penataan ruang. Sistem penataan ruang berlaku seragam telah terbukti kurang efektif sebagai pengarah perkembangan kota-kota di Indonesia, khususnya dari aspek tata ruang (lihat Hudalah dan Wotjer, 2007). 1.6 Keaslian dan Kebaruan Penelitian 1.6.1 Keaslian Penelitian ini merupakan upaya lanjutan dari penelitian dengan fokus perkotaan atau urbanisasi secara umum maupun dalam kerangka perkembangan kota kecil di Indonesia dan Jawa (Fahmi dkk. 2014; Firman, 2016b). Secara khusus, penelitian ini meneruskan penelitian sebelumnya yang mengambil tema kota kecil di Jawa Tengah (Jong dan Steenbergen, 1987; Wouden, 1997). Penelitian ini dapat menjadi dasar bagi penelitian lanjutan dengan tema pengelolaan kota, karena penelitian sebelumnya lebih banyak menyoroti kedudukan dan peran kota kecil dalam perkembangan wilayah, namun kurang banyak mendalami sisi pengelolaan kota (lihat Tabel 1.1). Selain itu, penelitian ini dapat dilihat dalam konteks penelitian urbanisasi di Indonesia. Posisi Indonesia di antara negara dengan ekonomi transisional dan berkembang serta keanekaragaman aspek sosial-budaya telah menjadikan studi urbanisasi Indonesia menjadi salah satu perhatian dunia. Salah satu studi tentang urbanisasi dan perkotaan di Indonesia yang paling komprehensif dilakukan oleh Rutz (1987) yang menjelaskan pola perkembangan kota di Indonesia pada dekade 1970an. Sebelumnya,

15 Milone (1964 dan 1966) mengkaji tentang perkembangan kota dan kawasan perkotaan di Indonesia berdasarkan hasil Sensus Penduduk 1960 dan membandingkannya dengan kondisi pada jaman kolonial. Nas (1986b dan 2002) membahas beberapa kasus menarik tentang keunikan kota-kota di Indonesia, khususnya dari sudut pandang budaya dan administrasi publik. Ford (1993) mengembangkan sebuah model struktur ruang kota di Indonesia dengan referensi kota besar, Jakarta pada khususnya. Penelitian yang dilakukan oleh Firman (1992; 2002; 2003; 2004) dengan menganalisis data hasil sensus penduduk menjadi tonggak penting dalam pemahaman urbanisasi di Indonesia. Penelitian lanjutan yang berhubungan dengan urbanisasi secara umum di Indonesia dilakukan oleh Firman dkk. (2007). Terakhir, Firman (2016a dan 2016b) mengemukakan hasil penelitian tentang tren urbanisasi di Indonesia dan Jawa berdasarkan data Sensus Penduduk 2010. Seperti penelitian urbanisasi yang biasa dilakukan dalam konteks negara sedang berkembang, studi urbanisasi di Indonesia secara umum juga memberikan penekanan yang lebih pada fenomena terbentuknya wilayah mega-urban, atau penelitian dalam konteks metropolitan. Fokus yang seperti ini dapat dipahami karena literatur mengenai urbanisasi yang diadopsi dari negara maju memang banyak membahas isu metropolitan (lihat misalnya dalam Laquian, 2005). Penelitian dengan basis metropolitan ini juga dapat sejalan dan dapat dibandingkan (comparable) dengan fenomena serupa di negara maju, di mana teori perkotaan umumnya berasal (diskusi mengenai comparative urbanism ini dapat dilihat misalnya dalam Pierre, 2005 dan Minnery dkk., 2012). Untuk kasus Jawa Tengah, penelitian kota kecil yang dilakukan dalam kerangka pengembangan wilayah dapat dikatakan sangat kurang. Jong dan Steenbergen (1987) meneliti tentang keberadaan kota kecil sebagai bagian dari perkembangan wilayah belakang (hinterland) di Jawa Tengah. Dengan mengambil kasus Kota Banjarnegara,

16 penelitian ini berhasil mengembangkan pengetahuan tentang struktur produksi di kota kecil dalam kaitan dengan perkembangan wilayah sekitarnya. Titus (1991) dalam penelitiannya di kota-kota di wilayah Lembah Sungai Serayu (Banyumas) menemukan struktur perekonomian yang menjadi basis perkembangan kota-kota kecil di wilayah tersebut. Wouden (1997) melanjutkan penelitian Jong dan Steenbergen dengan mengambil kasus di tiga kota kecil di wilayah lembah Sungai Serayu, yakni Wonosobo, Banjanegara dan Purbalingga. Penelitian ini memberikan penjelasan tentang adanya sirkulasi internal serta keterkaitan antarkota sebagai penguatan dari penelitian Jong dan Steenbergen (1987). Titus dan Wouden (1998) memperkuat penelitian ini dengan mengambil kasus di Bantul (DI Yogyakarta) sebagai perbandingan untuk memberikan gambaran penting tentang adanya ketergantungan kota-kota kecil dengan wilayah belakangnya (hinterland). Dalam penelitiannya itu, Titus dan Wouden (2002) juga membandingkan dengan keadaan kota kecil di negara berkembang lain. Dari perbandingan ini dikemukakan bahwa sulit untuk membuat sebuah perampatan (generalisasi) terhadap fenomena kedudukan dan peran kota kecil, karena setiap kota kecil mempunyai peranan sendiri-sendiri yang bersifat unik (Hinderink dan Titus, 2002). Penelitian ini didukung oleh penelitian pendahuluan yang dilakukan pada tahun 2011-2012, di mana peneliti terlibat dalam kegiatan tersebut. Prawatya dan Setyono (2013) mengklasifikasikan kota-kota kecil di Jawa Tengah berdasarkan pada dua aspek perkembangan ruang yaitu struktur ruang dan perkembangan kawasan terbangun dan jaringan jalan. Landra dan Setyono (2013) menganalisis dan menyusun tipologi kota-kota kecil di Jawa Tengah berdasarkan indikator sosial dan ekonomi. Kedua penelitian tersebut memberikan gambaran makro mengenai perkembangan kota-kota kecil di Jawa Tengah.

Tabel 1.1 Penelitian Sebelumnya dengan Tema Sejenis Judul, Peneliti, Tahun Tujuan Pendekatan/Metode Hasil/Kesimpulan Town and hinterland in Central Java: the Banjarnegara production structure in regional perspective De Jong dan van Steenbergen 1987 Three small towns in Central Java van der Wouden 1997 Town and hinterland in Central Java, Indonesia Titus dan van der Wouden 1998 Small town and regional development: major findings and policy implications from comparative research Hinderink dan Titus 2002 Perkembangan Kota Kecil di Koridor Yogyakarta-Surakarta-Semarang (Joglosemar) Setyono 2017 Menentukan posisi Banjarnegara dalam sistem perkotaan dan wilayah pelayanan dari kegiatan ekonomi kota Banjarnegara. Menganalisis peran kota Banjarnegara, Purbalingga, dan Wonosobo sebagai pusat pelayanan wilayah belakang. Mengembangkan model struktur produksi dan hubungan produksi kota kecil di Lembah Sungai Serayu dengan wilayah belakangnya. Melakukan perbandingan fungsi kota kecil dalam perkembangan wilayah dari berbagai wilayah yang berbeda. Mengkaji faktor dan kecenderungan perkembangan kota kecil Penelitian survei dengan sampel para pengusaha lokal Banjarnegara. Penelitian survei dengan sampel pengusaha lokal dan rumah tanggal di ketiga kasus. Penelitian survei dengan sampel pengusaha lokal dan rumah tangga di ketiga kasus. Penelitian studi kasus dengan perbandingan dari empat wilayah/negara yang berbeda. Penelitian studi kasus pada empat kota di koridor Yogyakarta- Surakarta-Semarang (Joglosemar). Banjarnegara berpesan sebagai kutub pertumbuhan propulsif, pusat penyerapan migrasi desa-kota, pendorong pertumbuhan perdesaan, dan pusat pelayanan. Struktur produksi ekonomi perkotaan di ketiga kasus dan kaitannya dengan dinamika perkembangan wilayah belakang. Tipe hubungan intra-wilayah dan antarwilayah dari sisi unit usaha, sektor publik dan pasar tenaga kerja. Model struktur produksi wilayah dan keterkaitan sektoralnya. Model sektoral hubungan antar kota pada level nasional. Kelemahan fungsi produksi dan pelayanan kota kecil. Kota kecil berkembang dengan laju yang biasa saja (modest). Ketergantungan kota kecil. Pengaruh wilayah terhadap kota kecil. Perkembangan perkotaan dalam perkembangan wilayah Faktor perkembangan kota kecil. Fungsi kota kecil dalam sistem perkotaan 17

18 Selain dua penelitian tersebut, ada tiga penelitian lain yang memberikan gambaran kasus kota kecil di Jawa Tengah, di mana peneliti juga terlibat di dalamnya. Utami (2012) meneliti mengenai partisipasi masyarakat dalam penyediaan air minum di Delanggu. Manurung (2012) mengkaji mengenai hubungan antara pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan persampahan di Ambarawa. Penelitian terakhir dilakukan oleh Shawma (2012) yang mengkaji mengenai konsepsi perencanaan tata ruang di Kota Muntilan. Ketiga penelitian tersebut memberikan gambaran spesifik mengenai keunikan yang ada di kota-kota kecil yang menjadi studi kasus dalam penelitian ini. Penelitian Shawma dan Setyono (2014) tentang komponen nilai lokal dalam perencanaan kota kecil dengan kasus di Muntilan memberikan gambaran tentang kurang signifikannya aspek lokal sebagai pertimbangan dalam proses perencanaan kota kecil. 1.6.2 Kebaruan Penelitian dan studi tentang kota (urban studies) bisa dilakukan dalam beragam perspektif teoritik yang berbeda-beda, tergantung dari latar belakang disiplin ilmu para penelitinya. Penelitian tentang kota di dalam payung Ilmu Geografi, khususnya Geografi Perkotaan, secara umum terbagi menjadi dua bagian besar. Pertama penelitian yang fokus kepada analisis kota dalam sebuah sistem perkotaan. Konsep sistem perkotaan ini pada mulanya hanya dikaji dalam perspektif lokal, namun belakangan sistem kota dipandang dalam konstelasi yang lebih luas dalam paradigma sistem kota dunia atau global (wold/global cities). Baik dalam kerangka paradigma lokal ataupun global, penelitianpenelitian ini menempatkan kota kecil dalam sebuah kontinum hirarki perkotaan. Tema turunan yang berkembang pada kajian kelompok ini di antaranya adalah transformasi desa-kota, terbentuknya aglomerasi perkotaan, serta keterkaitan global-lokal dalam perkembangan kota. Perhatian yang secara khusus diberikan kepada kota kecil dalam

19 penelitian kelompok ini umumnya hanya terbatas melihat peran kota kecil dalam sistem perkotaan tersebut. Bagian kedua dalam penelitian kota memberikan penekanan pada perkembangan struktur internal perkotaan (internal structure of city). Penelitian-penelitian pada bagian ini lebih banyak fokus pada kajian kota besar dan berbasis pada kondisi empirik kota negara maju. Kondisi ini memunculkan istilah metropolitan bias dan western urban theory dalam pengembangan pengetahuan pada disiplin Geografi Perkotaan. Sedikit sekali kajian yang menghasilkan teori kota yang berasal dari Timur atau Selatan atau negara sedang berkembang. Beberapa pandangan memang muncul dari kajian kota di luar negara maju (beyond the West), namun secara ontologis fokusnya tetap pada kota besar atau metropolitan. Hampir tidak ada kajian mengenai struktur internal kota dalam sudut pandang kota kecil. Kajian perkotaan dalam Geografi Perkotaan sering bersinggungan dengan bidang Ilmu Perencanaan Wilayah dan Kota (Planning). Kedua disiplin ilmu ini bersesuaian secara ontologis karena memiliki kesamaan dalam obyek keilmuan, yakni ruang; tetapi berbeda dalam ranah epistemologis. Geografi Perkotaan lebih menekankan pada sisi deskripsi, eksplanasi dan eksplorasi terhadap kota sebagai obyek keilmuan, sementara Ilmu Perencanaan lebih mengedepankan perspektif preskripsi dalam kajiannya terhadap kota. Persinggungan di antara kedua disiplin ilmu ini terjadi pada kajian-kajian masalah dan perkembangan perkotaan. Dalam kajian masalah dan perkembangan kota, Geografi Perkotaan lebih condong pada pendalaman terhadap faktor penentu masalah perkembangan kota sementara Perencanaan umumnya fokus pada cara mengatasi permasalahan dan pengarahan perkembangan.

20 Penelitian yang dilakukan ini dapat diposisikan dalam kerangka pengembangan pengetahuan ilmiah dalam kedua disiplin ilmu sebagaimana telah dijelaskan di bagian sebelumnya. Ragam penelitian yang berada dalam kerangka pembahasan seperti itu dan mengambil kasus di Jawa atau Jawa Tengah sebagai obyek penelitian tergolong sedikit (lihat Gambar 1.1). Fokus penelitian kepada dua hal sebagaimana disebutkan dalam masalah penelitian dapat memberikan gambaran bahwa secara substansi, penelitian ini menawarkan kebaruan (novelty) dalam studi perkotaan di Indonesia dan Jawa pada umumnya serta Jawa Tengah pada khususnya. Aspek novelty dibahas dalam implikasi keilmuan dari penelitian ini pada bab terakhir dan merupakan refleksi teoritis dari penelitian ini.

Gambar 1.1 Posisi Penelitian dalam Perkembangan Keilmuan Geografi Perkotaan 21