BAB I PENDAHULUAN. pernah rasakan disebabkan oleh hal hal yang sudah diharapkan tidak berjalan dengan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. harapan yang diperoleh tiba-tiba sirna karena kejadian yang tak terduga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia yang dianggap sebagai fase kemunduran. Hal ini dikarenakan pada

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meninggalnya seseorang merupakan salah satu perpisahan alami dimana

BAB I PENDAHULUAN. orang disepanjang hidup mereka pasti mempunyai tujuan untuk. harmonis mengarah pada kesatuan yang stabil (Hall, Lindzey dan

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya, pengertian kejahatan dan kekerasan memiliki banyak definisi

Bab I Pendahuluan. adalah memiliki keturunan. Namun tidak semua pasangan suami istri dengan mudah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk

1. PENDAHULUAN. (Wawancara dengan Bapak BR, 3 Maret 2008)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merawat dan memelihara anak-anak yatim atau yatim piatu. Pengertian yatim

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada waktu dan tempat yang kadang sulit untuk diprediksikan. situasi

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan pria dan wanita. Menurut data statistik yang didapat dari BKKBN,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. paling penting dalam pembangunan nasional, yaitu sebagai upaya meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dianggap sebagai masa topan badai dan stres, karena remaja telah memiliki

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. semua orang, hal ini disebabkan oleh tingginya angka kematian yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dan memasuki tahap epidemis dengan beberapa sub-populasi beresiko

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap individu akan melewati tahap-tahap serta tugas perkembangan mulai dari lahir

RESILIENSI PADA PENYINTAS PASCA ERUPSI MERAPI. Naskah Publikasi. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana-S1

BAB I PENDAHULUAN. memiliki berbagai keinginan yang diharapkan dapat diwujudkan bersama-sama,

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Panti asuhan merupakan lembaga yang bergerak dibidang sosial untuk

BAB II LANDASAN TEORI. Lazarus menyebut pengatasan masalah dengan istilah coping. Menurut

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Resiliensi. Sedangkan Hildayani (2005) menyatakan resiliensi atau ketangguhan adalah suatu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dukungan sosial merupakan keberadaan, kesediaan, keperdulian dari

BAB I PENDAHULUAN. Individu yang hidup pada era modern sekarang ini semakin. membutuhkan kemampuan resiliensi untuk menghadapi kondisi-kondisi

Konsep Krisis danangsetyobudibaskoro.wordpress.com

BAB I PENDAHULUAN. A. Konteks Penelitian (Latar Belakang Masalah) (WHO), Setiap tahun jumlah penderita kanker payudara bertambah sekitar tujuh

2015 KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

RESILIENSI PADA PENYANDANG TUNA DAKSA PASCA KECELAKAAN

BAB II LANDASAN TEORITIS. reaksi fisik yang disebabkan karena persepsi seseorang terhadap kehilangan (loss).

RESILIENSI PADA JANDA CERAI MATI. NASKAH PUBLIKASI Diajukan kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. salah satunya adalah kecelakaan. Ada berbagai jenis kecelakaan yang dialami oleh

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tidak tahu kehidupan macam apa yang akan dihadapi nanti (Rini, 2008). Masa

BAB I PENDAHULUAN. Para individu lanjut usia atau lansia telah pensiun dari pekerjaan yang

OLEH : Letkol Laut ( K/W) Drg. R Bonasari L Tobing, M.Si INTERVENSI PSIKOSOSIAL PADA BENCANA

RESILIENSI PADA LANSIA YANG DITINGGAL MATI PASANGAN HIDUPNYA NASKAH PUBLIKASI. Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

BAB I PENDAHULUAN. selesaikan oleh individu untuk kemudian di lanjutkan ketahapan berikutnya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Konteks Penelitian (Latar Belakang Masalah) Perkawinan merupakan salah satu titik permulaan dari misteri

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Dari uraian yang telah disampaikan dari Bab I sampai Bab IV, maka dapat

KECEMASAN PADA WANITA YANG HENDAK MENIKAH KEMBALI

BAB I PENDAHULUAN. coba-coba (bereksperimen) untuk mendapatkan rasa senang. Hal ini terjadi karena

BAB I PENDAHULUAN. ). Sedangkan Semua agama ( yang diakui ) di Indonesia tidak ada yang. menganjurkan untuk menceraikan istri atau suami kita.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kelompok yang disebut keluarga (Turner & Helmes dalam Sarwono & Weinarno,

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Khaulah Marhamah, 2014

BAB I PENDAHULUAN. Pencapaian utama masa dewasa awal berkaitan dengan pemenuhan. intimasi tampak dalam suatu komitmen terhadap hubungan yang mungkin

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. upaya penanggulangan sikap dan pola perilaku yang kekanak-kanakan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa kini banyak pola hidup yang kurang sehat di masyarakat sehingga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB 1 PENDAHULUAN. Dimensi kemanusiaan yang saling terkait yaitu aspek biologis, psikologis,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Usia tua adalah periode penutup dalam rentang hidup individu, yaitu suatu masa

BAB I PENDAHULUAN. pasangan suami-istri. Bagi seorang wanita kehamilan merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. Dalam hidup semua orang pasti akan mengalami kematian, terutama kematian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

2016 PROSES PEMBENTUKAN RESILIENSI PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK PENYANDANG DOWN SYNDROME

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Fenomena orangtua tunggal beberapa dekade terakhir ini marak terjadi di

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan interaksi tersebut dalam berbagai bentuk. Manusia. malam harinya. Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan hubungan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. menerima dirinya apa adanya, membentuk hubungan yang hangat dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyandang tunadaksa seringkali digambarkan sebagai figur yang

BAB I PENDAHULUAN. sampai akhir hayat. Belajar bukan suatu kebutuhan, melainkan suatu. berkembang dan memaknai kehidupan. Manusia dapat memanfaatkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Individu pada hakikatnya selalu mengalami proses pertumbuhan dan

BAB I PENDAHULUAN. membagi lansia ke dalam 3 tahapan yaitu young old, old-old, dan oldest old.

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan anugerah Tuhan yang diberikan kepada. orang tua. Pada saat dilahirkan ke dunia anak membawa

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

HUBUNGAN ANTARA GEGAR BUDAYA DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA MAHASISWA BERSUKU MINANG DI UNIVERSITAS DIPONEGORO

BAB I PENDAHULUAN. Pengalaman positif maupun negatif tidak dapat dilepaskan dalam. kehidupan seseorang. Berdasarkan pengalaman-pengalaman tersebut

BAB II KAJIAN PUSTAKA

LAMPIRAN LAMPIRAN A PANDUAN WAWANCARA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah mengentaskan anak (the launching of a child) menuju kehidupan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I PENDAHULUAN. sesuatu yang tidak dapat diperkirakan waktu terjadinya. Sehingga kematian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kehidupan memberikan banyak pembelajaran bagi manusia. Pembelajaran

BAB I PENDAHULUAN. sosial, sehingga dapat menurunkan kualitas hidup individu. Salah satu jenis

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB DEPRESI PASCA MELAHIRKAN PADA KELAHIRAN ANAK PERTAMA

BAB I PENDAHULUAN. Payudara merupakan salah satu bagian tubuh wanita yang memiliki

BAB III TEMUAN PENELITIAN. kedukaan X mahasiswi Fakultas Teologi UKSW pasca kematian kedua orang tua.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mengenang kembali peristiwa erupsi Gunung Merapi hampir dua tahun lalu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebuah organisasi atau perusahaan yang maju tentunya tidak lain didukung

BAB I PENDAHULUAN. periode yang berurutan, mulai dari periode prenatal hingga lanjut usia atau lansia

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan tubuhnya secara efektif. Lebih lanjut Havighurst menjelaskan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesedihan, kegagalan maupun keterpurukan merupakan hal yang setiap orang pernah rasakan disebabkan oleh hal hal yang sudah diharapkan tidak berjalan dengan sesuai atau disebabkan oleh kejadian tidak terduga (Anggraeni, 2008). Termasuk individu yang di tinggal mati oleh pasangannya. Kematian pasangan memiliki nilai perubahan kehidupan yang paling tinggi dibandingkan peristiwa peristiwa lain dalam kehidupan seseorang yang ditinggalkan (Papalia. D. E, Human Development, 2009). Pada pasangan hidup yang mati mendadak dan tidak terduga seperti kecelakaan, bunuh diri dan sakit dapat menimbulkan duka yang sangat mendalam terlebih karena kematian tersebut tanpa adanya persiapan dan terjadi dengan proses yang sangat cepat. Hal ini juga turut serta mematikan harapan harapan dan mimpi mimpi yang telah dibangun bersama. Kematian pasangan ini merupakan masalah yang paling menyebabkan stress dalam kehidupan orang dewasa (Santrock, 2012). Peristiwa ini membutuhkan penyesuaian tersendiri apabila terjadi di usia dewasa awal, ketika beberapa tugas perkembangan menuntut individu untuk menciptakan sebuah hubungan suami - istri yang harmonis, memiliki keluarga yang hangat, memiliki anak hingga memantau perkembangan anak hingga dewasa serta mencapai kepuasan dalam pekerjaan. Kehilangan pasangan dapat menjadi salah satu fenomena hidup yang menyedihkan bagi seorang wanita. Umumnya wanita akan merasa lebih sulit untuk 1

menerima perasaan kehilangan dan menerima kenyataan bahwa pasangan hidupnya telah tiada daripada pria. Perasaan sedih dan kesepian yang dirasakan saat kenangan bersama pasangan muncul pun akan menjadi hal yang mampu membuat wanita semakin terpuruk dalam rasa kehilangan. Dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk benar-benar pulih dari kesedihan yang dirasakan. Menurut Bell (1991), secara sosial maupun psikologis, peran janda lebih menyulitkan daripada duda, hal ini dikarenakan perkawinan biasanya dianggap lebih penting bagi wanita daripada pria, sehingga akhir dari suatu perkawinan dirasakan oleh wanita sebagai akhir dari peran dasarnya sebagai istri. Wanita secara sosial dipandang kurang agresif dan memiliki keberanian tidak menikah lagi serta lebih memilih untuk membatasi kehidupan sosialnya. Fenomena kehilangan ini menjadi suatu fenomena yang traumatik dan memberikan efek melemahkan diri bagi sebagian wanita namun bagi sebagian yang lain ini menjadi suatu proses kematangan diri untuk menjalani kehidupan tanpa pasangan dan sebagai orang tua tunggal. Inilah proses awal wanita menjadi orang tua tunggal, proses ini tentu tidak mudah dan terasa berat. Perubahan hidup yang tiba-tiba mengharuskan wanita satu-satunya orang yang bertanggung jawab terhadap kehidupan keluarga. Wanita dituntut menjalankan semua tugas yang dulu ia lakukan bersama pasangannya seperti mengurus rumah, mengurus anak-anak dan sejak kematian suami, seorang ibu harus pula menduduki posisi sang ayah dan bertanggung jawab dalam menjaga perilaku serta kedisiplinan anaknya, kini dengan tugas baru yang harus diembannya itu, ia memiliki tanggung jawab yang jauh lebih sulit dan berat ketimbang sebelumnya. 2

Menurut beberapa peneliti, tidak ada stress yang lebih parah daripada stress akibat kematian pasangan hidup. Berdasarkan wawancara awal yang peneliti lakukan pada Tika, yang telah 6 tahun menikah dan 2 tahun ditinggal mati pasangannya. Tentang kehidupannya kini, ia mengatakan, Pastilah kadang kadang suka merasa sepi. Kan biasanya setiap hari bareng, berangkat kerja bareng, pulang kerja bareng. Yaa, sepi. Sewaktu pasangannya meninggal, banyak teman dan sanak saudara yang berdatangan kerumah untuk membantu dan menghibur. Namun meski telah mendapatkan berbagai bantuan dan hiburan yang datang silih berganti, rasa duka tentu saja tidak dapat hilang dalam waktu yang singkat. Rasa duka tentu akan hilang seiring dengan berjalannya waktu, tetapi rasa sedih mungkin tidak akan pernah benar benar hilang. Wawancara awal pada subjek kedua bernama SK berusia 39 tahun, ditinggal mati pasangannya pada tahun 2015, terjadi karena suaminya menderita sakit komplikasi kemudian meninggal. Dalam wawancara awal ini, subjek mengatakan, Sehabis si mas meninggal, aku beberapa kali masuk rumah sakit. Berat badanku juga turun drastis. Dokter bilangnya ya, masih syok, ya memang syok ya, kaget banget. Nggak nyangka. Aku biasa kan ngurus mas sewaktu sakit, anak anak sekolah ya aku sama mas, ngurus dia, sekarang kalo anak anak sekolah ya aku dirumah sendiri. Kehilangan yang dirasakan oleh wanita yang ditinggal mati pasangan akan mempengaruhi bukan saja kondisi psikologis tapi juga kesehatan fisik. Dukacita dapat merusak sistem kekebalan tubuh, merasa pusing, gangguan pencernaan dan nyeri dada. Dukacita juga dapat menyebabkan terganggunya masalah memori, kehilangan nafsu makan, kesulitan berkonsentrasi, mempertinggi resiko kecemasan, depresi, insomnia dan 3

disfungsi sosial. Reaksi ini dapat berkisar dari jangka waktu yang cukup pendek dan ringan sampai yang ekstrem dan tahan lama, bahkan sampai bertahun tahun (Stroebe dalam Papalia & Fieldman, 2014). Dukacita juga dapat menyebabkan kehidupan individu menjadi berbeda karena merasakan perasaan kesepian saat melakukan kegiatan sehari hari diakibatkan telah terbiasa melalui hari bersama. Wanita yang ditinggal mati pasangan juga cenderung menarik diri dari lingkungan dan hanya berinteraksi dengan keluarga dan kerabat dekat. Berdasarkan pada kenyataan tersebut, maka diperlukan suatu kemampuan atau kapasitas individu dalam menghadapi dan mengatasi berbagai permasalahan serta penderitaan hidup secara positif sehingga individu dapat memandang permasalahan tersebut sebagai hal yang wajar dan dikenal dengan istilah resiliensi (Reivich & Shatté, 2002). Resiliensi didefinisikan sebagai kemampuan atau kapasitas yang dimiliki individu untuk mengatasi dan melakukan adaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan seseorang. Kemampuan tersebut meliputi kemampuan bertahan dalam keadaan tertekan dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan atau trauma yang dialami dalam kehidupan (Reivich & Shatté, 2002). Secara umum, resiliensi bermakna kemampuan seseorang untuk bangkit dari keterpurukan yang terjadi dalam perkembangannya. Awalnya mungkin ada tekanan yang mengganggu. Namun orangorang dengan resiliensi yang tinggi akan mudah untuk kembali ke keadaan normal. Istilah resiliensi berasal dari kata Latin resilire yang artinya melambung kembali. Awalnya istilah ini digunakan dalam konteks fisik atau ilmu fisika. Resiliensi berarti kemampuan untuk pulih kembali dari suatu keadaan, kembali ke bentuk semula setelah dibengkokkan, ditekan, atau diregangkan. Bila digunakan sebagai istilah 4

psikologi, resi1iensi adalah kemampuan manusia untuk cepat pulih dari perubahan, sakit, kemalangan, atau kesulitan (The Resiliency Center, 2005). Middleton dkk (dalam Macini & Bonano, 2009) menyatakan bahwa individu yang mengalami stress atau tekanan akibat kehilangan seseorang yang dekat dalam hidup mereka beranggapan akan mengalami kesulitan hidup di masa depan. Penelitian yang dilakukan Luthans, (dalam Yuniar dkk, 2011) menyatakan bahwa resiliensi menjadi faktor yang sangat penting untuk dapat mengubah ancaman ancaman yang ada disekitar menjadi kesempatan untuk beradaptasi demi perubahan kearah yang baik. Sedangkan Siebert (dalam Yuniardi, 2009) menjelaskan bahwa resiliensi ini sangat penting karena orang yang resilien mengetahui bagaimana mengembalikan mental dari suatu kemalangan atau kesengsaraan dan membaliknya menjadi sesuatu yang lebih baik, bahkan dibandingkan keadaan sebelum kemalangan itu sendiri. Mereka maju dengan cepat dalam perubahan yang berlangsung terus menerus karena mereka fleksibel, cerdas, kreatif, secara cepat menyesuaikan diri, sinergik, dan belajar dari pengalaman. Mereka dapat mengendalikan kesulitan kesulitan besar dengan lebih baik meski mengalami berbagai macam kemunduran atau permasalahan, mereka tetap tidak mengeluh dengan kondisi hidupnya. Resiliensi (Reivich & Shatté, 2002) merupakan kapasitas individu untuk merespon secara sehat pada saat ia menghadapi kesulitan atau trauma. Resiliensi terbentuk melalui pemikiran yang memungkinkan individu untuk mencari pengalaman yang baru dan memandang kehidupan sebagai sebuah kemajuan. Individu yang memiliki resiliensi yang baik mampu memahami bahwa sebuah kesalahan bukan akhir dari segalanya. Individu dapat mengambil makna dari kesalahan dan menggunakan 5

pengetahuan untuk meraih sesuatu yang lebih tinggi. Individu juga akan menguji dirinya dan berusaha memecahkan persoalan dengan bijaksana. Resiliensi juga dianggap sebagai adaptasi positif atau sukses, kompetensi dan fungsi dalam menghadapi pengalaman masa lalu yang mengakibatkan stress (Eeland, Carlson & Sroufe dalam Gaugler, Kane & Newcomer, 2007). Lebih lanjut dijelaskan bahwa resiliensi disebut sebagai kualitas pribadi yang memungkinkan individu untuk berkembang dan bertahan di tengah tengah kesulitan. Penelitian yang dilakukan oleh D Pinay dkk (2003) menyatakan bahwa kematian dari orang terdekat (pasangan, saudara atau teman) tidak berdampak pada fungsi kesehatan fisik pada lansia, akan tetapi kehilangan orang terdekat lebih diasosiasikan sebagai simptom depresi dari kemampuan untuk bertahan akibat kesepian. Secara tidak langsung hal ini menunjukkan bahwa perilaku resilien diperlukan guna menghadapi berbagai kesulitan hidup. Resiliensi merupakan proses yang alamiah terjadi dalam diri individu. Hanya saja, seberapa waktu yang diperlukan oleh seseorang untuk melewati proses tersebut bersifat individual. Individu dengan resiliensi yang baik adalah individu yang optimis, yang percaya bahwa segala sesuatu dapat menjadi lebih baik. Individu mempunyai harapan terhadap masa depan dan percaya bahwa individu dapat mengontrol arah kehidupannya. Optimis membuat fisik menjadi lebih sehat dan mengurangi kemungkinan menderita depresi. Resiliensi adalah kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika berhadapan dengan kesengsaraan atau trauma, yang diperlukan untuk mengelola tekanan hidup sehari hari. Menurut Wagnild dan Young (1993) resiliensi ialah kemampuan seseorang untuk beradaptasi dalam menghadapi kesulitan hidup. Jadi dapat disimpulkan 6

bahwa seseorang yang memiliki resilien, maka ia dapat bangkit dari keterpurukannya atau kesulitan dalam hidupnya. Resiliensi dapat terbentuk karena dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu faktor eksternal meliputi pengalaman masa kecil, seperti hubungan dekat dengan lingkungan (Beardsle dalam Wagnild dan Young, 1993), peran model yang dapat menimbulkan kebahagiaan dan kemandirian (Drugs dan Douglas dalam Wagnild dan Young, 1993), dan kontribusi dari dukungan keluarga secara efektif (Richmond dan Beardslee dalam Wagnild dan Young, 1993). Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri seseorang (karakteristik seseorang). Seseorang yang memiliki resiliensi menurut Rutter (dalam Wagnild dan Young, 1993) dapat dipengaruhi oleh harga diri yang tinggi, keyakinan pada dirinya sendiri, penyelesaian masalah, dan kepuasan hubungan interpersonal. Demikian pula menurut Richmond et. all (dalam Wagnild & Young, 1993) bahwa resiliensi dapat dipengaruhi kedisiplinan diri, kepercayaan diri, rasa ingin tahu, harga diri, dan konsep diri. Resiliensi sebagai kemampuan untuk secara terus menerus mendefinisikan diri dan pengalaman, menjadi dasar untuk proses kehidupan yang menghubungkan antara sumber daya individu dan spiritual (Bronie, 2011). Rutter dalam Lam dan Grossman (1997) menyatakan bahwa resiliensi berkaitan dengan menghadapi stress pada masa lalu dengan menggunakan cara yang memungkinkan untuk meningkatkan kepercayaan diri dan kompetensi sosial melalui tanggung jawab yang sesuai. Karena pada dasarnya resiliensi memiliki keterkaitan dengan aspek aspek yang dimiliki oleh diri individu. Connor, Davidson dan Lee (2003) menyebutkan bahwa resiliensi berkaitan dengan kompetensi personal, standar yang tinggi dan keuletan; kepercayaan pada diri sendiri, memiliki toleransi terhadap aspek negatif 7

dan kuat atau tegar dalam menghadapi stress; menerima perubahan secara positif dan dapat membuat hubungan yang aman (mampu beradaptasi) dengan orang lain; kontrol atau pengendalian diri dalam mencapai tujuan dan bagaimana meminta atau mendapatkan bantuan dari orang lain; pengaruh spiritual terhadap Tuhan (Sulistyorini, 2011). Resiliensi dianggap sebagai karakteristik kepribadian yang merupakan hasil dari efek negatif stress dan menunjukkan adaptasi. Selain memiliki karakteristik kepribadian tertentu, individu tangguh sering mengandalkan faktor perlindungan untuk membantu menyesuaikan diri dengan masa masa sulit. Model resiliensi menurut Richardson menjabarkan jika individu yang mengalami masalah di kehidupan, mereka akan bergantung pada faktor pelindung internal. Seperti kemandirian dan kesehatan yang baik. Serta faktor pelindung eksternal, seperti hubungan dengan orang lain untuk mengembalikan keseimbangan dalam hidup mereka. Proses ini disebut reintegrasi sebagai tangguh (Wells, 2010). Tahap akhir tiba ketika orang berduka memperbarui minat pada kegiatan sehari hari. Kenangan orang yang meninggal membawa perasaan suka bercampur dengan kesedihan daripada rasa sakit dan kerinduan (Papalia & Fieldman, 2014). Berdasarkan latar belakang masalah yang disertai dengan fenomena dan beberapa penelitian sebelumnya yang telah dikemukakan, maka dapat diutarakan bahwa setiap orang pernah mengalami kesedihan karena kehilangan orang yang dicintainyadan respon setiap orang pada saat kehilangan tersebut juga pasti berbeda. Sehingga, resiliensi sangat dibutuhkan oleh individu. 1.2. Penelitian Terdahulu 8

Agar dapat mendeskripsikan proses resiliensi yang dijalani oleh wakita dewasa awal yang ditinggal mati oleh pasangan hidupnya, berikut merupakan beberapa hasil penelitian terdahulu dengan konsep yang sama: 1. Pada penelitian yang dilakukan oleh Coiffman, Bonnano & Rafaeli, 2007 dengan judul penelitian Affect Dynamics, Bereavement & Resilience to Loss dan menggunakan metode penelitian Kuantitatif, ditemukan hasil bahwa individu yang ditinggal mati oleh pasangannya cenderung mencapai tingkat resiliensi karena memiliki kontrol perilaku yang baik. Individu menunjukkan hasil resilien bahkan selama masa berduka karena memiliki sifat regulasi diri yang alamiah terlepas dari kesulitan yang disebabkan oleh peristiwa yang tidak menyenangkan. Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh peneliti dengan penelitian ini adalah dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara SSI (Semi Structured Narrative Interview), menggunakan Skala Symptoms Check List (SCL-90-R; Derogatics, 1983) sedangkan peneliti menggunakan wawancara mendalam, observasi dan triangulasi. Selain itu subjek yang digunakan adalah individu dewasa madya sedangkan subjek peneliti adalah individu dewasa awal. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Mancini & Bonnano, 2009 dengan judul penelitian Predictors & Parameters of Resilience to Loss: Toward an Individuals Models yang menggunakan metode Desain Penelitian Deskriptif, ditemukan hasil bahwa individu yang resilien adalah individu yang dalam dirinya memiliki faktor dan prediktor yang berkembang dalam diri mereka seperti emosi positif, karakter yang mampu beradaptasi, memiliki kepercayaan yang baik, terus menerus berusaha mencari identitas diri dan faktor dari diberkati seperti mampu mengatasi hal yang 9

menekan, bebas dari ketergantungan pada orang lain dan kebiasaan untuk meningkatkan atribusi diri, ditambah dengan adanya dukungan dari teman dekat serta lingkungan hidupnya. Perbedaan pada penelitian yang dilakukan oleh peneliti dengan penelitian ini adalah peneliti dalam penelitian ini menggunakan studi CLOC (Changing Lives of Older Couples) karena subjeknya adalah dewasa akhir, dan juga metode yang digunakan berbeda. 3. Penelitian yang dilakukan oleh Rossi, Bisconti & Bergeman, 2007 dengan judul penelitian The Role of Dispositional Resilience in Regaining Life Satisfaction after the Loss of a Spouse yang menggunakan metode penelitian Kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa stress mampu mengolah keinginan individu untuk menjadi resilien karena individu akan berusaha untuk memilih strategi coping yang efektif seperti mencari dukungan dari berbagai sisi (relasi, keluarga, anak) untuk dapat membantu menangani stress yang dialami. Perbedaan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti dengan penelitian ini adalah penelitian ini berfokus pada bagaimana individu memperoleh kepuasan hidup setelah kematian pasangan sedangkan peneliti berfokus pada bagaimana individu mampu menjadi resilien atau bagaimana individu mampu beradaptasi pada situasi baru yang terbentuk akibat kematian pasangan. 4. Penelitian yang dilakukan oleh Ott, Lueger, Kelber & Prigerson, 2007 dengan judul penelitian Spousal Bereavements in Older Adults: Common, Resilient and Chronic Grief with Defining Characteristics yang menggunakan metode penelitian Kuantitatif. Didapatkan hasil bahwa terdapat 3 cluster (klasifikasi) pasca berduka pada individu dewasa akhir: umum, resilien dan kronis. 10

a. Individu pada klasifikasi umum mampu resilien seiring dengan berjalannya waktu. b. Individu yang cenderung resilien adalah karena mereka sudah mempersiapkan akan datangnya kematian. c. Individu pada cluster kronis cenderung membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mampu beradaptasi dengan situasi baru karena ingin menikmati masa tua bersama sehingga membutuhkan dukungan sosial yang kuat untuk berkeluh kesah mengenai apa yang dirasakannya. Perbedaan antara penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti dengan penelitian ini adalah dalam penelitian ini mengklasifikasikan subjek dalam 3 kelompok yaitu umum, resilien dan kronis sedangkan peneliti berfokus pada sifat resilien subjek. Selain itu metode yang digunakan juga berbeda. 5. Penelitian yang dilakukan oleh Bonnano, 2004 dengan judul penelitian Loss, Trauma & Human Resilience: Have We Underestimate the Human Capacity to Thrive After Extremely Aversive Events? yang menggunakan metode penelitian Desain Penelitian Deskriptif menemukan hasil bahwa: a. Resiliensi Berbeda dengan Pemulihan (Recovery). Resiliensi mencerminkan kemampuan untuk mempertahankan keseimbangan diri yang stabil. Sedangkan pemulihan menggambarkan bahwa individu sebelumnya menunjukkan symptom trauma. b. Resiliensi Hal yang Lumrah. Rasa duka yang muncul pasca kematian adalah wajar. Rasa sedih akan hilang seiring berjalannya waktu karena manusia memiliki masa depan. 11

c. Terdapat Banyak Jalan dan Terkadang Hal Tak Terduga untuk Mencapai Resiliensi; kesulitan membuat manusia tumbuh menjadi lebih kuat, melakukan peningkatan kualitas diri, mengatasi represi, dan mampu menghadapi kesulitan dengan emosi positif dan tawa. Perbedaan antara penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti dengan penelitian ini adalah peneliti berusaha mendeskripsikan proses terbentuknya resiliensi sedangkan dalam penelitian ini membandingkan antara resiliensi dengan pemulihan (recovery). 6. Penelitian yang dilakukan oleh Greis, 2011 dengan judul penelitian Fostering Resiliency After a Loss: A Focus on adjustment Disorder Related to Bereavement yang menggunakan metode penelitian Desain Penelitian Deskriptif, ditemukan hasil bahwa bagi mereka yang mengalami kekalutan berlebih yang diakibatkan oleh kematian, bantuan berupa terapi, konseling, bantuan dengan obat dan juga psikoedukasi sangat penting. Setelah berbagai treatment yang diberikan, akan membuat individu mampu untuk membicarakan kematian tanpa merasa sedih secara berlebih, pola tidur menjadi normal kembali dan kembali menjadi individu yang percaya diri. Kesedihan merupakan proses bukan sebuah akhir. Tujuan dari kesedihan adalah antara untuk melupakan atau untuk mampu menangani sebuah kehilangan, tetapi juga untuk tetap mengingat mereka yang telah pergi, untuk memahami perbedaan yang tercipta setelah kehilangan dan untuk menentukan bagaimana membangun hidupnya kembali. Perbedaan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti dengan penelitian ini adalah fokus penelitian milik Greis adalah pada individu yang memiliki gangguan (disorder) seperti PTSD dan depresi 12

akut, sedangkan peneliti tidak berfokus pada mereka yang memiliki gangguan pasca kematian pasangan. Penelitian terdahulu diatas menggunakan responden yang berada dalam usia dewasa akhir dan responden menunjukkan sifat resilien yang tinggi diakibatkan pada masa dewasa akhir, kebanyakan manusia merasa sudah siap menghadapi kematian. Selain itu, penelitian diatas berfokus pada pengalaman setelah ditinggal mati oleh pasangan. Oleh karena itu, pada penelitian milik peneliti akan melihat tidak hanya proses prospektif tetapi juga proses secara retrospektif untuk menggambarkan lebih lanjut mengenai sifat resiliensi yang mungkin dimiliki oleh responden. 1.3. Rumusan Masalah Rumusan masalah yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah: a. Retrospektif 1. Bagaimana karakteristik alamiah yang dimiliki oleh responden? 2. Bagaimana proses kehidupan yang dijalani bersama dengan pasangan sebelum terjadi kematian? b. Prospektif 1. Bagaimana wanita dewasa awal beradaptasi dengan lingkungan baru pasca kematian pasangan? 2. Seperti apa reaksi yang muncul pada wanita dewasa awal dalam situasi penuh tekanan? 3. Apa saja perbedaan kehidupan yang terjadi pada masa sebelum dan sesudah kematian pasangan? 13

4. Bagaimana resiliensi pada wanita dewasa awal yang ditinggal mati oleh pasangan hidupnya? 5. Siapa sumber terbesar dalam terbentuknya resiliensi? 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan resiliensi pada wanita dewasa awal yang ditingga mati oleh pasangan hidupnya. 1.5. Manfaat Penelitian Adapun hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk: 1.5.1. Manfaat Teoritis Kajian mengenai resiliensi pada wanita di masa dewasa awal yang ditinggal mati oleh pasangan hidupnya ini dapat menambah pengetahuan masyarakat bahwa setelah kemalangan yang menimpa, manusia dapat terus melanjutkan hidup secara positif. 1.5.2. Manfaat Praktis Hasil dari penelitian ini dapat digunakan untuk: a. Sebagai gambaran dan juga infomasi dalam menyikapi situasi setelah kematian pasangan. b. Sebagai masukan bagi masyarakat bahwa begitu pentingnya untuk membangun resiliensi dan untuk tetap hidup dengan penuh harapan setelah ditinggalkan oleh pasangan hidup. 14

1.6. Sistematika Penulisan BAB I : Pendahuluan yang menerangkan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian dan sistematika pembahasan BAB II : Landasan teori yaitu bab memuat bahasan tentang pengertian resiliensi, faktor faktor pembentuk resiliensi dan fungsi fundamental resiliensi. Bahasan mengenai definisi dewasa awal, tugas dewasa awal, tugas perkembangan dewasa awal. Kemudian juga terdapat bahasan penelitian yang relevan dan kerangka berpikir. BAB III : Berisi bahasan mengenai jenis penelitian, design penelitian yang mencakup perencanaan, pelaksanaan, analisis data dan evaluasi, membahas lokasi dan subjek penelitian, pemilihan informan, sumber data yang terdiri dari data primer dan data sekunder. Bab ini juga membahas mengenai teknik pengumpulan data yang terdiri dari tekhnik wawancara dan teknik observasi.kemudian membahas mengenai teknik analisis data yang berisi tentang reduksi data, penyajian data, verifikasi atau penyimpulan data dan triangulasi. BAB IV : Berisi analisa data, triangulasi data dan hasil penelitian yang diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan. BAB V : Berisi kesimpulan kesimpulan yang dapat di ambil peneliti dari hasil analisis penelitian dan juga terdapat saran yang dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya. 15