1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Prosedur Refraksi adalah salah satu prosedur elektif yang paling sering dilakukan dan akan terus populer dengan semakin halusnya pengerjaan teknik ablasi dan meningkatnya pengetahuan mengenai penyembuhan kornea. Dua prosedur refraksi yang paling sering dilakukan adalah Photorefractive Keratectomy (PRK) dan Laser in Situ Keratomileusis(LASIK). Perbaikan pengelihatan yang cepat dan minimnya nyeri post-prosedur menyebabkan LASIK lebih sering di pilih jika dibandingkan dengan PRK, dimana setelah prosedur PRK biasanya pasien mengalami ketidaknyamanan pengelihatan dan recovery yang lebih lama. Namun, akhir-akhir ini PRK mulai kembali dipertimbangkan karena meningkatnya kekhawatiran akan komplikasi yang terjadi setelah prosedur LASIK, yaitu pembentukan Flap post-lasik, termasuk gejala mata kering, corneal ectasia, dan flap tears.(hatch BB,2011) Prosedur perlakuan ablasi pada permukaan kornea dengan tujuan koreksi kelainan refraktif di mulai dengan penemuan 1
2 excimer laser. Istilah laser memiliki arti amplifikasi cahaya oleh stimulated emission of radiation. Photorefractive Keratectomy (PRK) pertama kali dikembangkan oleh Trokeland colleagues pada 1983, menggunakan excimer laser yang menghasilkan sinar ultraviolet dengan panjang gelombang 193 nanometer (nm), kombinasi Argor dan Fluor (ArF) untuk memperbaiki Kornea. Namun baru pada 1996 akhirnya prosedur PRK ini diakui oleh the Food and Drug Administration(FDA) sebagai teknik koreksi kelainan refraktif. Pada prosedur PRK, excimer laser digunakan pada bagian anterior stroma kornea, berperan dalam stromal remodeling, dan menyebabkan perubahan pada refraksi kornea. Prosedur ini mampu memperbaiki mild-moderate myopia, hyperopia, dan astigmatisme, dengan tingkat efikasi dan keamanan yang tinggi. Bagaimanapun, penggunaan PRK saat ini telah menurun setelah munculnya prosedur Laser in Situ Keratomileusis (LASIK). Meskipun LASIK memiliki beberapa keuntungan, yaitu, nyeri post-prosedur yang lebih ringan, inflamasi yang lebih minimal, dan proses penyembuhan kornea serta pengelihatan yang lebih cepat, PRK masih sangat berguna untuk dijadikan tindakan alternatif pada post-radial keratotomy, post-penetrating keratoplasty, kornea tipis,
3 topografi irregular, alterasi membrana basalis, treatment komplikasi flap post-lasik atau kelainan refraktif residual post-lasik. (Tomas-Juan, 2014) Jika dilakukan oleh dokter yang kompeten, mayoritas pasien yang telah menjalani PRK mengalami perbaikan dalam ketajaman visual tanpa koreksi. Kemungkinan untuk mendapatkan ketajaman visual tanpa koreksi sesuai dengan tingkat yang diinginkan berbanding terbalik dengan tingkat baseline koreksi. Sebagai contoh, pada mata dengan myopia 2 dioptri, kemungkinan untuk mendapatkan hasil ketajaman mata tanpa koreksi 20/20 adalah 70-80%, dan kemungkinan untuk mendapatkan hasil 20/40 atau lebih(ketajaman mata, dengan atau tanpa lensa korektif) adalah lebih dari 98%. Di sisi lain, pada mata dengan myopia 9 dioptri, kemungkinan untuk mendapatkan ketajaman pengelihatan 20/20 adalah 40-55 persen, dan kemungkinan untuk memperoleh ketajaman pengelihatan 20/40 adalah 95-98%. Perbaikan bermakna dari kondisi mata awal hampir selalu terjadi pada pasien yang menjalani PRK, meskipun jika ketajaman pengelihatan 20/40 tidak tercapai. Hal ini paling dipengaruhi oleh skill dokter dan juga kondisi inisial saat koreksi akan dilakukan, sekitar 5-20% mata yang membutuhkan tindakan
4 reoperasi dengan ablasi laser tambahan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. (Wilson,E.S.,2004) Prosedur PRK mampu memperbaiki keadaan myopia hingga 6 Dioptri, astigmatisme hingga 3 Dioptri, dan juga Hypermetropia ringan (Kanski, 2007) Setelah prosedur, pasien akan diberikan resep antibiotik (umumnya Chloramphenicol) setelah tindakan PRK untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi, selain itu segera setelah prosedur pasien dianjurkan untuk menggunakan kaca mata gelap (karena photophobia ringan), menghindari olahraga khususnya berenang selama minimal 4 minggu. Halhal diatas dilakukan untuk mencegah komplikasi-komplikasi serius yang dapat terjadi post- PRK seperti infectious keratitis, diffuse lamelar keratitis, dan komplikasi komplikasi yang lebih ringan, seperti peningkatan lakrimasi, corneal haze,dan penurunan ketajaman pengelihatan best corrected.(bastawrous, 2011) Peningkatan lakrimasi merupakan refleks hipersekresi (produksi berlebihan, ekskresi normal) yang terjadi pada kondisi-kondisi tertentu seperti adanya corpus alienum, inflamasi keratitis, atau juga stimulasi emosi. (Suhardjo, 2007)
5 Hipersekresi primer jarang terjadi dan harus dibedakan dengan epifora dimana terdapat sumbatan pada sistem ekskresi. Hipersekresi sekunder dapat bersifat psikogenik atau sebagai refleks akibat iritasi epitel permukaan atau retina. (Vaughan, 2009) Peneliti ingin mengetahui insidensi peningkatan lakrimasi yang terjadi pasca tindakan PRK di RS mata dr. YAP Yogyakarta. 1.2. Rumusan Masalah -Bagaimana insidensi peningkatan lakrimasi pasca tindakan PRK di RS Mata YAP Yogyakarta? 1.3. Tujuan Penelitian -Mengetahui insidensi peningkatan lakrimasi pasca tindakan PRK di RS Mata YAP Yogyakarta. 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Bagi Peneliti - Untuk mengetahui bagaimana kondisi aktual mengenai peningkatan lakrimasi pasca tindakan PRK di RS Mata dr. YAP Yogyakarta.
6 1.4.2. Bagi Masyarakat - Menyajikan data mengenai efek samping dari tindakan PRK. - Sebagai bahan pertimbangan masyarakat dan dokter mata dalam memilih terapi untuk koreksi visus selain kacamata dan lensa kontak. - Sebagai bahan pertimbangan untuk dokter mata mengenai apakah perlu dilakukan prosedur profilaksis dalam prosedur PRK. 1.5. Keaslian Penelitian Penelitian belum pernah dilakukan sebelumnya.