ANALISIS KARYA SENI LUKIS MODERN SENIMAN ASAL SUMATERA BARAT DI YOGYAKARTA
ABSTRACT Yogyakarta is a city in which a number of the West Sumatera originated artists that has opened a new firmament for those who wish to develop the various possibilities in the artistic activities. Mostly all West Sumateraoriginated painters who live and come to Yogyakarta city initially with the same objective, that is to continue a study to Institut Seni Indonesia (ISI) that was traditionally name Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI). The mixture of Minangkabau culture taken from a native village and has attacted to themselves since childhood, together with urban culture and Javanese culture, provides a different influence for every artist. In its development, in result in the occrurence of several thing in relation with the problems of change and survival of the culture in the works they create, specially here they are modern fine arts works. In order to face such condition Minangkabau people always return to refer to their custom value orders that teaching "Alam takambang jadi Guru". the nature is a teacher that is properly learned, understood and obeyed. Passing through the nature human being can learn about the meaning of the life itself. The depth understanding to the concept, it will ultimatelly certainly take the human being to the end of the consciousness for the existence of God, creator the nature. In broad outline, the worth of Minangkabau culture being a morale basic for them in making works proved not splited and not become moldy in the pursuing process to do. This leads to a realization in a symbolic meaning reflected in their works. With having a track in Yogyakarta, they try to catch and make a meaning of the "nature has been developed become a teaher". From the result of research we find that in fact between the custome value and religious values have been mixtured and become one into their works. A change or exactly a shift in a cultural values being in their works is only assosiated with the custom matter, not religious matter. The shift is happened becaused in doing the works they tend to be more adaptive to the current environmental condition and circumtance they face, so that there are things making them to have to going to follow a passing of age. That is fit to a philosophy of Minangkabau custom saying "syara' babuhua mati, adat babuhua sentak" (syara' has a firm knot, custom has pull knot). So the custom is indeed survival and will continously developing.
ABSTRAK Yogyakarta adalah salah satu kota tempat berkumpulnya sejumlah seniman asal Sumatera Barat, yang telah membuka cakrawala baru bagi mereka untuk mengembangkan berbagai kemungkinan dalam aktifitas berkesenian. Hampir semua perupa asal Sumatera Barat yang berada dan datang ke kota Yogyakarta berawal dengan tujuan yang sama yaitu melanjutkan studi ke Institut Seni Indonesia (ISI) yang dulu bernama Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI). Pembauran budaya Minangkabau yang dibawa dari kampung halaman dan telah melekat dalam diri mereka sejak kecil, dengan budaya perkotaan dan budaya Jawa, memberikan pengaruh yang berbeda bagi setiap seniman. Dalam perkembangannya, mengakibat terjadinya beberapa hal yang berkaitan dengan masalah perubahan dan kebertahanan budaya pada karya-karya yang mereka ciptakan, khususnya disini adalah karya seni Iukis modem. Untuk menghadapi keadaan seperti itu orang Minangkabau selalu kembali merujuk kepada tata nilai adat mereka yang mengajarkan "a/am takambang jadi gum". Alam adalah guru yang patut dipelajari, dipahami dan dan dipatuhi. Melalui alam manusia dapat belajar tentang makna kehidupan itu sendiri. Pemahaman yang mendalam terhadap konsep itu, akhirnya pasti akan membawa manusia ke ujung kesadaran akan kehadiran Tuhan, sang pencipta alam itu. Secara garis besar, nilai budaya Minangkabau yang menjadi dasar moral mereka dalam berkarya ternyata tidak sampai melekang dan tidak melapuk dalam proses pencarian yang dilakukan. Ini memunculkan wujud pada makna simbolik yang direfleksikan ke dalam karya-karya mereka. Dengan bertapak di Yogyakarta, mereka berusaha menangkap dan memaknai "alam terkembang jadi guru" itu. Dan hasii penelitian didapatkan bahwa temyata antara nilai adat dan agama sudah membaur dan menjadi satu dalam karya-karya mereka. Perubahan atau tepatnya pergeseran dalam nilai budaya yang terdapat dalam karyakarya mereka hanya terkait dalam masalah adat, bukan masalah agama. Pergeseran tersebut terjadi karena dalam berkarya mereka cenderung Iebih menyesuaikan diri dengan keadaan dan kondisi lingkungan sekarang yang mereka hadapi, sehingga ada hal-hal yang menjadikan mereka untuk harus berjalan mengikuti arus zaman. Hal tersebut cocok sekali dengan sebuah falsafah adat Minangkabau yang mengatakan "syara' babuhua mati, adat babuhua sentak" (syara' bersimpul mati, adat bersimpul sentak). Jadi adat itu memang hidup dan akan terus berkembang.
T 759. 959 81 WID