BAB V KESIMPULAN Bagian kesimpulan ini menyampaikan empat hal. Pertama, mekanisme ekstraksi surplus yang terjadi dalam relasi sosial produksi pertanian padi dan posisi perempuan buruh tani di dalamnya. Kedua, posisi perempuan buruh tani dalam ranah reproduksi sosial baik di rumah tangga maupun komunitas pedesaan. Ketiga, hubungan antara keduanya dalam konteks langgengnya kemiskinan pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian terakhir berisi saran atau rekomendasi. Penelitian ini telah menunjukkan bahwa pedesaan bukanlah entitas homogen dan tertutup yang diwarnai relasi guyub-rukun, gotong-royong, dan nilai-nilai keutamaan lain yang sering kali membawa kita pada romantisisme dalam memandang pedesaan. Bertolak dari kondisi tersebut, pedesaan adalah sebuah entitas yang terdiri dari beragam kelas petani dan non-petani, yang telah sedemikian rupa terbuka bagi sistem ekonomi dan politik modern dan mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Dapat dikatakan bahwa corak produksi yang paling dominan di pedesaan ialah corak produksi kapitalis. Ini ditandai dengan timpangnya hubungan produksi yang didasarkan pada perbedaan kepemilikan dan akses atas sarana produksi, terutama tanah; hubungan kerja upahan baik dalam pertanian maupun non-pertanian; produksi beras berorientasi komoditas; program pembangunan berorientasi pertumbuhan ekonomi; serta komodifikasi hampir 139
seluruh kebutuhan hidup warganya. Dalam kondisi seperti inilah para perempuan buruh tani bertahan hidup. Bentuk-bentuk hubungan produksi yang berlaku dalam konteks pertanian yang bercorak kapitalistik telah dijelaskan, yakni hubungan penyakapan antara pemilik tanah dan penggarap, juga hubungan kerja upahan antara pemilik/penguasa tanah dengan para buruh tani. Pengerjaan sawah keluarga, baik yang statusnya milik ataupun garap, dilakukan dengan mengerahkan tenaga kerja keluarga utamanya suami dan istri dengan tidak menghitung tenaga kerja mereka sebagai variabel (ongkos) produksi. Nilai kerja mewujud dalam surplus produk yang oleh petani digunakan baik untuk konsumsi rumah tangga maupun dijual sebagai komoditas di pasar, di mana pendapatan dari penjualan gabah/beras akan digunakan kembali untuk membeli barang-barang konsumsi dan penggantian sarana-sarana produksi serta membayar dana-dana sosial seremonial yang dibutuhkan untuk keberlangsungan hidup keluarga. Dalam arti inilah corak produksi kapitalis mengambil keuntungan (ekstraksi surplus) dari tenaga kerja keluarga petani: tidak dihitungnya tenaga kerja petani berakibat pada rendahnya harga komoditas padi di pasar, sedangkan keluarga petani selalu berada dalam posisi terjepit dalam rangka membayar semua biaya hidup yang dibutuhkan. Dalam pasar tenaga kerja pertanian, yang mayoritas diisi oleh perempuan, mereka mengalami eksploitasi dan subordinasi lewat pembagian kerja gender yang berlaku di mana jenis dan waktu kerja perempuan lebih banyak daripada laki-laki namun dibayar dengan upah yang rendah. Saya menyebutnya dengan istilah feminisasi pertanian padi. Kondisi ini langgeng dan akan terus 140
dipertahankan demi menjaga struktur upah, struktur pasar tenaga kerja, dan struktur harga yang cenderung merugikan perempuan buruh. Dalam hubungan penyakapan, pengambilalihan surplus kerja petani terjadi dalam bentuk bagi hasil, di mana petani penggarap harus menyerahkan sebagian hasil panennya kepada pemilik lahan dengan ongkos pertanian ditanggung oleh penggarap. Lantas, bagaimana kaitan antara mekanisme pengambilalihan surplus pertanian dan perempuan buruh tani? Ada dua penjelasan. Kaitan langsungnya yakni perempuan buruh senantiasa berkontribusi dalam proses produksi pertanian, baik dalam konteks pertanian keluarga maupun pasar tenaga kerja pedesaan. Dalam ranah produksi ini, perempuan mengalami eksploitasi dan subordinasi lewat pembagian kerja seksual yang berakibat pada beban kerja (jenis dan waktu) perempuan yang lebih banyak ketimbang laki-laki. Kaitan tidak langsungnya ialah kerja-kerja produksi pertanian, baik yang dilakukan perempuan maupun laki-laki, telah ditopang oleh kerja-kerja reproduksi perempuan. Tanpa kerja-kerja reproduksi tersebut, suatu masyarakat tidak akan dapat melakukan aktivitas produksi. Hal yang sangat penting untuk diperhatikan ialah bahwa posisi perempuan yang tersubordinasi dalam produksi pertanian padi tidak dialami oleh semua perempuan pedesaan. Hanya perempuan dari kelas buruhlah yang mengalami eksploitasi dan subordinasi semacam ini. Dengan demikian, kesimpulan pertama yang dapat ditarik ialah: perempuan buruh menempati posisi subordinat dan tereksploitasi dalam hubungan produksi pertanian pedesaan di mana nilai kerja mereka dinikmati oleh berbagai macam kelompok baik di pedesaan maupun di 141
masyarakat yang lebih luas. Selain itu, tidak dapat dipisahkan antara kerja produksi dan kemampuan reproduksi sebuah rumah tangga, juga kaitan antara kerja reproduktif rumah tangga dengan kemampuan kerja produksi. Pada dua hubungan tersebut, perempuan menempati posisi vital mengingat kontribusi kerja yang mereka berikan. Kesimpulan kedua mengenai posisi perempuan dalam ranah reproduksi keluarga dan sosial. Di satu sisi, perempuan memang mengalami subordinasi yang mewujud dalam berbagai bentuk, utamanya dalam bentuk beban kerja yang terlalu berat baik di dalam rumah tangga maupun pasar tenaga kerja pertanian. Dalam ranah rumah tangga, telah ditunjukkan bahwa sesungguhnya keluarga ialah unit atau organisasi yang tidak berisi kepentingan yang selaras dari masing-masing anggota keluarga, melainkan penuh dengan perbedaan kepentingan, pendapat, dan tak jarang aksi-aksi kekerasan. Posisi subordinat perempuan di masyarakat sering kali menjadikan perempuan sebagai korban kekerasan yang dilakukan oleh suaminya. Namun demikian, di dalam rumah tangga, perempuan sesungguhnya memiliki otonomi relatif dalam hal pengelolaan ekonomi. Perempuan merasa memiliki hak dalam mengalokasikan dan menggunakan pendapatan yang ia miliki. Hal ini dapat dilihat dari keputusan perempuan dalam belanja rumah tangga, menentukan menu makanan, menjual hasil panen, dan membayar iuran serta simpan pinjam di arisan. Menurut saya, kekerasan dan subordinasi yang dialami perempuan di dalam rumah tangga tidak selalu terkait langsung dengan urusan ekonomi atau kegiatan produksi, melainkan lebih disebabkan oleh langgengnya budaya patriarki yang 142
menempatkan laki-laki sebagai sosok yang lebih kuat dan berkuasa. Ini menyebabkan otonomi dalam hal ekonomi yang dimiliki perempuan dalam rumah tangga tidak serta merta berdampak pada status sosialnya di masyarakat. Ini bisa dilihat dari penyingkiran perempuan dari ranah-ranah publik, misalnya dalam kelompok tani pedesaan dan isu-isu politik lainnya. Namun, di sisi lain, perempuan buruh tetap memiliki daya untuk bersiasat dengan memanfaatkan jaringan sosial yang mereka miliki, misalnya dalam kegiatan rewang, arisan PKK, dan arisan dasawisma. Yang menarik lagi, justru pada ranah reproduksi arena yang menjadi simbol subordinasi perempuan ternyata perempuan memiliki peluang untuk melakukan sejumlah strategi bertahan hidup. Pada ranah ini, peluang yang diciptakan perempuan buruh tampaknya dapat dilakukan dalam skala individu maupun berkelompok (tidak perlu mengedepankan kesatuan dan solidaritas kelas) tergantung dari sejauh mana upaya pendekatan dan kepandaian seorang perempuan menjaga relasi sosial yang mereka miliki. Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab IV, rewang merupakan salah satu bentuk jaminan sosial keselamatan yang bersifat asimetris yang masih bertahan di desa. Namun, kerja rewang, selain mampu memberikan manfaat ekonomi (khususnya penghematan dalam biaya konsumsi harian), juga memberikan status sosial pada perempuan buruh. Ada semacam kebanggaan pada diri perempuan buruh ketika ia terpilih menjadi tenaga langganan rewang bagi keluarga yang lebih kaya. Otonomi relatif semacam ini sulit dijumpai dalam ranah hubungan produksi pertanian, mengingat struktur pasar tenaga kerja dan struktur upah 143
terlalu sulit untuk digoyahkan kecuali melibatkan perempuan buruh sebagai satu kesatuan kelas yang melakukan perlawanan terhadap struktur tersebut. Sedangkan, sebagaimana telah dibahas, kondisi kekurangan sumber penghidupan bagi perempuan buruh telah menyebabkan kompetisi di sesama mereka dalam mendapatkan pekerjaan, sehingga sulit untuk membangun kesadaran kelas sebagai buruh tani. Kondisi-kondisi yang dibutuhkan dalam membangun kesadaran kelas perempuan buruh juga tidak dapat ditemukan dalam organisasi atau kelompok yang mereka ikuti. Pembentukan kelompok tani wanita yang menempatkan perempuan sebagai petani pekarangan sama sekali tidak menyediakan prakondisi bagi terciptanya kesadaran kelas para perempuan buruh. Selain itu, anggota kelompok bukanlah para perempuan yang berprofesi sebagai petani, melainkan berisi para perempuan petani dan non-petani yang ditempatkan sebagai ibu rumah tangga, yang didorong untuk meningkatkan pendapatan lewat pemanfaatan pekarangan. Ini tentu mengesampingkan peluang berkumpulnya sesama perempuan buruh dalam rangka memahami dan menganalisis posisi mereka di tengah masyarakat. Begitu juga dengan kelompok arisan. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa kelompok ini memiliki manfaat besar bagi perempuan buruh tani, namun keanggotaannya yang terdiri dari perempuan dari semua lapisan kelas berpotensi mengaburkan atau memoderasi relasi eksploitatif yang terjadi dalam hubungan produksi. Di sini perempuan buruh akan melihat perempuan pemilik tanah sebagai sesama anggota, yang memberi kesan egaliter di antara mereka. 144
Kondisi sosial yang cenderung mengaburkan dan memoderasi relasi asimetris yang eksploitatif memang menjadi ciri dari masyarakat pedesaan. Ini disebabkan oleh banyaknya kegiatan sosial kultural yang dicanangkan oleh negara dan lembaga keagamaan, misalnya kelompok PKK, dasawisma, dan pengajian. Selain itu, hubungan tetangga yang sering kali menampilkan kesan peduli dan saling membantu juga turut berkontribusi menyamarkan relasi asimetris antar-kelas pedesaan. Berlangsungnya proses produksi di dalam pedesaan juga telah mengakibatkan penyamaran relasi yang sesungguhnya bersifat antagonis. Predikat sebagai tetangga atau kerabat tentu lebih melekat baik pada pemberi kerja maupun penerima upah. Kesimpulan ketiga: terdapat hubungan yang erat dan saling memengaruhi antara kemampuan produksi dan reproduksi keluarga petani dengan proses diferensiasi kelas pedesaan. Maksudnya, kemampuan produksi sebuah keluarga petani akan menentukan besaran surplus yang mereka miliki untuk kemudian digunakan dalam memenuhi kebutuhan konsumsi dan investasi sarana-sarana produksi yang lain. Surplus yang dihasilkan keluarga buruh tani hanya cukup digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan produksi dalam jumlah yang sama dengan sebelumnya. Ini disebabkan oleh tingginya ongkos produksi, kewajiban menyerahkan sebagian hasil pertanian pada pemilik tanah, dan rendahnya harga jual gabah di pasaran. Belum lagi petani sering mengalami kerugian ketika hasil panen buruk sehingga harga jual menjadi lebih rendah. Pengalaman keluarga buruh tani tentu berbeda dengan mereka yang memiliki luasan tanah yang cukup atau di atas rata-rata yang sering kali menyerahkan 145
tanahnya untuk digarap oleh para buruh tani. Artinya, mereka akan menerima hasil pertanian tanpa harus bekerja (dan menanggung ongkos produksi) sehingga mereka dapat menggunakan waktunya untuk pekerjaan yang lain. Kelompok ini pada umumnya akan menggunakan surplus yang dihasilkan petani untuk melipatgandakan aset entah dalam usaha pertanian ataupun non-pertanian. Sementara itu, keterbatasan keluarga buruh tani dalam berproduksi maupun reproduksi pada akhirnya akan melahirkan generasi buruh berikutnya. Perbedaan antara generasi orang tua dan anak-anak dari keluarga buruh tani ialah bahwa anak-anak mereka tidak lagi menjadi buruh dalam sektor pertanian melainkan buruh dalam sektor-sektor informal pedesaan dan luar pedesaan, maupun buruh dalam sektor industri pabrik. Dengan kata lain, reproduksi kemiskinan pedesaan telah menjadikan wilayah ini sebagai sumber penyedia tenaga kerja murah bagi keberlangsungan sistem kapitalisme baik di pedesaan maupun perkotaan. Penelitian lapangan ini telah memberikan pengalaman dan pengetahuan baru bagi saya tentang bagaimana melihat dan memahami dinamika pedesaan. Pengetahuan yang dapat saya bagikan kepada khalayak ialah bahwa pedesaan dan segala perubahan yang terjadi di dalamnya turut digerakkan oleh kerja-kerja perempuan buruh, baik melalui kerja-kerja produksi (pertanian dan non-pertanian, perdagangan, jasa, dsb.) dan kerja-kerja reproduksi yang ternyata memegang peranan sangat penting bagi keberlangsungan kehidupan pedesaan. Segala bentuk kerja tersebut berlangsung dalam kondisi yang timpang, baik dalam konteks kelas (berdasarkan perbedaan kepemilikan) maupun dalam konteks hubungan gender. 146
Kondisi timpang tersebut merupakan akar dari kemiskinan pedesaan yang hingga kini belum menemukan jalan keluar. Pertanyaan lebih lanjut, bagaimana merealisasikan pembentukan Kelompok Tani Perempuan di desa sebagai cara mengatasi dominasi negara dalam melanggenggkan budaya patriarki di desa? Secara top-down (mengandalkan peran pemerintah); frontal (memaksa masuk ke Poktan laki-laki); atau dengan cara menyamping (membentuk Poktan perempuan secara independen)? Menurut saya cara ketiga adalah cara yang paling relevan, yakni dengan membentuk secara independen kelompok tani perempuan. Kelompok ini bisa dibentuk dengan proses gradual (misalnya didahului dengan pembentukan kelompok arisan buruh tani). Sebagaimana telah saya katakan di bagian kesimpulan tesis saya bahwa peran peneliti/ intelektual lewat hasil penelitiannya sangat penting dalam mendorong inisiatif ini. Kita dapat berkontribusi dalam membangun argumen/ dasar legitimasi mengapa kelompok ini penting untuk dibangun. Misalnya, dengan menjelaskan besarnya keterlibatan/ kontribusi perempuan dalam kerjakerja pertanian, namun mereka sama sekali tidak diberikan kesempatan dalam meningkatkan pengetahuan/ kapasitasnya dalam hal bertani. 147