BAB V PENUTUP. didalam ranah kajian ilmu-ilmu sosial bahkan hingga saat ini. Berbagai macam jenis

Transkripsi

1 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Daerah pedalaman di Indonesia sudah sejak lama mendapatkan tempat didalam ranah kajian ilmu-ilmu sosial bahkan hingga saat ini. Berbagai macam jenis penelitian dengan rupa-rupa kepentingan sejak masa misionaris kolonial hingga era paska-kolonial, dari zaman pra-kapitalis sampai era pasar bebas-neoliberal cukup mempengaruhi wajah dan imajinasi tentang daerah pedalaman. Memakai terminologi daerah pedalaman untuk mendeskripsikan dan mengkategorikan suatu komunitas masyarakat tertentu, sepertinya, sudah tidak relevan lagi saat ini. Setidaknya dinamika kaum tani di Tobaku menunjukkan hal demikian, dinamika sosial-ekonomi bergerak sedemikian rupa dipandu oleh mekanisme pasar membentuk pola-pola kebudayaan dan kekuatan-kekuatan produktif tertentu dan menjadi denyut dalam jantung laku-hidup Tau Tobaku hingga saat ini. Petani Tobaku dalam lintasan ruang dan waktu semakin berbenah, berubah dan mengikuti gerak perubahan zaman, transformasi ini dimungkinkan oleh tarikan-tarikan pasar (terkadang dilihat sebagai pilihan-pilihan ekonomi) yang ditandai dengan komodifikasi, dan urutan-urutan prosesnya menjadi fakta material dan historis transformasi tersebut.

2 Penerapan pajak bagi petani pegunungan oleh pemerintah kolonial mendorong petani-petani subsisten di pegunungan untuk memproduksi rotan menjadi komoditi. Introduksi tanaman komersial oleh pedagang Eropa makin membentuk pola kesadaran petani akan produksi komoditi, periode ini merupakan fase-fase awal proses komodifikasi atas tanaman berlangsung. Periode paska-kolonialisme (terutama ketika masa Orde Baru) yang dimotori oleh semangat pembagunanisme melapangkan jalan atas perubahan sosial, pertumbuhan ekonomi diukur dengan tingkat produktifitas pangan dan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersier. Formulasi pembangunan itu nyatanya tidak relevan bagi petani pegunungan yang memproduksi pangan untuk kebutuhan sendiri tidak untuk tujuan komersil. Alhasil, sebagai solusinya adalah dengan memproduksi kembali tanaman komoditi yang tengah laku di pasar global yakni kakao. Setelah periode-periode puncak kejayaan kakao berlalu, produktifitasnya mulai menurun sementara kebutuhan akan uang tunai semakin meningkat, dalam situasi krisis ini pasar kembali menawarkan jalan keluar dengan cara kembali masuk ke hutan bukan untuk mengolah rotan tetapi memproduksi kayu-kayu bernilai tinggi di pasaran. Praktik komodifikasi hasil hutan-basenso ini menjadi sumber pendapatan utama yang mereka tempuh hingga saat ini. Meskipun cara produksi mereka semakin ekstraktif, makin jauh dari usaha pertanian, akan tetapi tidak serta merta meninggalkannya dan mencurahkan waktu dan tenaga kerja dalam usaha basenso

3 tersebut. Nah, pada konteks inilah, penelitian ini melihat dan mengkaji mengapa hal tersebut terjadi. Peralihan komoditas ini juga menunjukkan karakteristik yang beragam dan tentu saja berbeda tentang hubungan antar manusia dengan alam atau posisi produsen dengan sarana produksinya. Tulisan ini di bab-bab awal menunjukkan pola produksi dengan karakter subsisten yang bisa dilihat sebagai bentuk kerja produksi asali dari tipe masyarakat yang tradisional. Tetapi, subsistensi tersebut menjadi unit skala pertanian yang beroperasi dalam skema reproduksi produsen dan non-produsen langsung demi keberlangsungan unit kerja produksi usaha pertanian dan nonpertanian atau produksi kakao, sawit dan kerja pembalakan kayu hutan (basenso). Hubungan antar kerja produksi tersebut berlangsung secara timbal-balik, artinya subsistensi padi ladang musiman dan berpindah-pindah itu bergantung pada kerja produksi berbasis komoditas dagang, dan sebaliknya kerja produksi berbasis komoditas, baik itu produksi kakao dan basenso juga dipengaruhi oleh proses reproduksi dari usaha pertanian moda subsistensi. Artinya, agar produksi pangan skala rumah-tangga (subsistensi) dan produksi komoditi dagang seperti kakao bisa terus berlangsung, hanya bisa dilakukan dengan cara menjual tenaga kerjanya untuk mendapatkan upah, proses ini disebut komodifikasi subsistensi. Lantas, apa implikasinya secara sosio-kultural? Relasi-relasi komoditas tidak hanya berimplikasi terhadap perubahan pada relas-relasi produksinya tetapi juga menyebabkan relasi mereka dengan tanah menjadi

4 berbeda lagi, sebagai sarana produksi-tanah sudah bagian dari komoditi yang bisa dipertukarkan. Dalam hal ini, tanah tidak hanya dipandang sebagai alat produksi saja tetapi komoditi yang dalam kasus yang diangkat dalam tulisan ini terjadi dalam konteks ketika petani mengalami goncangan akibat himpitan reproduksi sederhana sebagai konseksuensi kelas mereka sebagai petani produsen komoditi skala kecil. Transformasi itu disebut implikasi sosio-kultural karena relasi-relasi komoditas dan komodifikasi telah merubah kesadaran dan relasi petani akan tanah. Dulunya, sebelum tanah jadi komoditi, mereka meyakini bahwa alam ini dikuasai oleh dewa-dewa atau Pue jadi manusia hanya meminjam dan mengolah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, sehingga ketika hendak mengolah tanah mereka akan meminta ijin kepada Pue dengan menyembelih hewan ternak begitupun ketika masa panen atau dalam bahasa uma disebut ngalompe. Kepercayaan tradisional ini kemudian dirubah oleh kehadiran ajaran baru (Bala Keselamatan), setelah mereka memeluk keyakinan baru, praktek ritual ngalompe tetap dilaksanakan. Praktik keagamaan dan representasi kultural diatas hanyalah tampilan luar saja dari realitas masyarakat. Peran agama menjustifikasi tetapi tidak mendeterminasi perubahan kultural mereka, ketika ideologi baru mengantikan yang lama tetapi praktik (ritus) tidak berubah total berarti hal tersebut dipengaruhi oleh faktor lain. Perubahan pada cara produksinyalah yang mendeterminasi perubahan cara mereka berelasi dengan alam, dengan kata lain bahwa cara-cara produksi (basis produksi) itulah yang menentukan cara mereka berhubungan dengan tanah, relasi-relasi

5 komoditas mengubah praktik hubungan kerja ke relasi produksi yang berlandaskan upahan, ketika terdesak oleh kebutuhan apakah untuk biaya produksi, reproduksi (termasuk dana seremonial dll) maka tanah sebagai sarana produksi sudah menjadi komoditi dengan sebelumnya telah terjadi komodifikasi atas tanaman produksi komoditi di atasnya. Jadi, alam atau tanah bukan lagi dipinjam dari Pue atau Tuhan dalam keyakinan baru, tetapi sudah menjadi kekuasaan si pengolah tanah (produsen), bahkan ritus ngalompe bisa berlangsung ketika surplus dalam produksi mereka memadai untuk melakukannya. Musim tanam hingga masa panen sangat bergantung pada ketersediaan tenaga kerja dari proses baparas hingga bepete padi ladang, sementara sumber tenaga kerja berasal dari anggota keluarga sendiri ataukah angkatan tenaga kerja yang diupah. Artinya, selain kekuatan tarikan pasar merubah cara produksi dan relasi sosial di Tobaku, institusi keagamaan juga ikut menjustifikasi perubahan itu karena pandangan moral agama cenderung sejalan dengan mekanisme pasar yang mengasumsikan petani akan sejahtera dengan terus-menerus mengusahakan tanaman komoditi, apapun resikonya. Kondisi demikian karena moda subsistensi petani digiring untuk semakin terhubung dengan praktik-praktik baru yang lebih ekonomis dan berorientasi profit. Petani pegunungan diperkenalkan dengan komoditas pasar yang lebih menguntungkan, komoditas yang mensyaratkan penggunaan uang tunai. Oleh karena itu, petani subsisten semakin terintegrasi dan tunduk pada mekanisme pasar melalui

6 pembudidayaan tanaman komoditas dagang tersebut. Relasi produksi upahan ini dimungkinkan juga oleh kehadiran pendatang dari luar yang memang datang untuk menjual tenaga kerjanya. Berdasarkan uraian diatas, kajian ini diharapkan bisa berkontribusi dalam debat panjang dalam ranah ilmu-ilmu sosial, khususnya antropologi yang menempatkan transformasi kaum tani sebagai subjek-tinelitinya dengan dikotomi mereka sebagai kelompok yang termarginalkan baik secara ekonomi, politik dan budaya. Sulawesi Tengah adalah salah satu daerah yang cukup kentara proses kontestasi antar pusat dan pinggiran (marjinalitas) yang tidak hanya melahirkan kesenjangan bahkan menimbulkan konflik massa secara horizontal seperti kasus poso yang bercorak agama, Lindu, Katu, Dongi-Dongi dan Lauje yang bermotif perampasan ruang hidup dan perubahan agraria, juga bisa sebagai contoh semakin meluasnya tarikan pasar bagi kehidupan petani kecil. Sebagaimana Tania Li dkk melihat dan mengkaji proses transformasi daerah pedalaman di Asia Tenggara, dan khususnya di Indonesia, bahwasanya apa yang terjadi merupakan suatu model pemaksaan kehendak oleh negara dan pasar (hegemoni). Negara hadir dengan model pembangunan dengan visi pembudayaan yang tradisional menjadi modern. Sementara pasar hadir sebagai bentuk baru sistem ekonomi yang dicirikan dengan uang sebagai alat transaksi utamanya, singkat kata kondisi tersebut menandakan proses kapitalisme dari bawah.

7 B. Refleksi Tau Tobaku yang bermukim di dalam hutan sangat jauh dari gambaran umum yang mendeskripsikan mereka, tertinggal, terbelakang dan pedalaman. Pandangan menyesatkan itu sangat politis karena dikonstruksi oleh orang kota, dataran rendah, yang akarnya berasal dari kolonialisme Eropa di Indonesia. Jika dilihat dari kacamata pembangunanisme, petani Tobaku sangat marginal tetapi bukan berarti jauh dari kesan modern jika ukuran modernitas adalah gaya hidup yang konsumtif. Mereka tetap terhubung dengan dunia luar melalui praktik gaya hidup seperti memakai alatalat elektronik: Handphone, Tivi parabola, yang berfungsi tidak hanya sebagai status sosial tetapi juga media hiburan mereka di waktu senggang. Pelajaran yang bisa dipetik sebagai seorang pembelajar antropologi dari realitas diatas adalah perubahan yang didorong oleh gelombang besar pasar global tidak selamanya berlangsung dari atas, tetapi juga bisa terjadi melalui proses-proses dari bawah dengan tarikan pasar yang memaksa secara halus dan pelan-pelan. Dengan kata lain, bahwa pandangan romantik dalam melihat petani pegunungan yang tradisional sudah tidak relevan dan cenderung menyesatkan karena romantisisme itu bisa jadi hanya sebungkus kesadaran akan realitas yang tampil secara empiris tetapi bukan kenyataan yang sebenarnya. Dengan begitu, peran antropolog tidak hanya sekedar menyelami kehidupan tineliti saja, tetapi bisa terlibat langsung dalam penyelesaian masalah-masalah sosial,

8 politik-kultural yang ada, dengan begitu defenisi kata terlibat dalam metode partisipatoris tidak hanya terlibat langsung dalam pekerjaan rumahan, harian dll, tetapi juga memiliki tanggung jawab atas persoalan-persoalan yang keterlibatan kita akan membantu menemukan (bukan memberikan) jalan keluar secara bersama-sama dari setiap persoalan tersebut atau bertindak dan berpikir selayaknya intelektual organik yang melihat permasalahan-permasalahan utama petani sebagai implikasi sosial atas berlakunya sistem pasar sebagai masalah kita bersama.