BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

POLA SEBARAN SPASIAL JENIS MERBAU (Intsia spp.) PADA HUTAN PRIMER DAN HUTAN BEKAS TEBANGAN DI AREAL IUPHHK-HA PT MAMBERAMO ALASMANDIRI, PROVINSI PAPUA

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN. Kesimpulan ' Dari penelitian ini disimpulkan antara lain: "

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak

DWI ANJARSARI AYUNINGTYAS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

METODOLOGI PENELITIAN

Proses Pemulihan Vegetasi METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

Baharinawati W.Hastanti 2

SINTESA HASIL PENELITIAN PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI KOORDINATOR: DARWO

Lokasi Kajian Metode Penelitian Lanjutan Metode Penelitian

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

STRUKTUR TEGAKAN PASCA PENEBANGAN PADA SISTEM TEBANG PILIH TANAM JALUR DI KONSESI HUTAN PT ERNA DJULIAWATI TITIN MARTINA MARPAUNG

PENGARUH ELEVASI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KUALITAS KAYU MUHDI. Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB IV PROFIL VEGETASI GUNUNG PARAKASAK

IV. METODE PENELITIAN

Sebagian besar hutan rawa gambut di Indonesia mengalami penyusutan. Hutan rawa gambut di Riau tersebar pada lima bentang alam yang masih

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang

GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN (GBPP) I. KULIAH

POLA SEBARAN JENIS KERUING (Dipterocarpus spp.) DI AREAL KONSESI HUTAN PT. SALAKI SUMMA SEJAHTERA, PULAU SIBERUT, SUMATERA BARAT ABDUL KAFI ASSIDIQ

GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN (GBPP) II. PRAKTIKUM

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

KONSEP EVALUASI LAHAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN


Ekologi Padang Alang-alang

BAB III METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. (MacKinnon, 1997). Hakim (2010) menyebutkan, hutan tropis Pulau Kalimantan

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian. dalam kawasan wisata alam Trinsing yang secara administratif termasuk ke dalam

Nursal, Suwondo dan Irma Novita Sirait Program Studi Pendidikan Biologi Jurusan PMIPA FKIP Universitas Riau Pekanbaru ABSTRACT

Klasifikasi Kemampuan Lahan

3/8/2017. KETUA TIM Dr. Ir. Hendra Gunawan, M.Si. Peneliti Utama. Wanda Kuswanda, S.Hut. M.Sc. Ir. Adi Susilo, M.Sc.

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TEKNIK PEMBIBITAN MERBAU (Intsia bijuga) Oleh : Budi Budiman, S.Hut, M.Sc Penyuluh Kehutanan Pusat

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI

I. PENDAHULUAN. Distribusi dan status populasi -- Owa (Hylobates albibarbis) merupakan

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di

TINJAUAN PUSTAKA. Deskripsi dan Klasifikasi Ilmiah Daun Sang (Johannestijsmania altifrons)

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus

HASIL DAN PEMBAHASAN

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS VEGETASI DI AREAL CALON KEBUN BENIH (KB) IUPHHK-HA PT. KAWEDAR WOOD INDUSTRY KABUPATEN KAPUAS HULU

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

TASIKMALAYA 14 DESEMBER 2015

BAHAN DAN METODE. Gambar 3 Lokasi penelitian ( ) Alat dan Bahan

BAB I PENDAHULUAN. Perhutani sebanyak 52% adalah kelas perusahaan jati (Sukmananto, 2014).

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

BAB I PENDAHULUAN. tinggi sehingga rentan terhadap terjadinya erosi tanah, terlebih pada areal-areal

MONITORING LINGKUNGAN

BAB I PENDAHULUAN. Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

EKSPLORASI ANAKAN ALAM EBONI (Diospyros celebica Bakh.) DI TIGA KABUPATEN DI SULAWESI SELATAN. C. Andriyani Prasetyawati dan Edi Kurniawan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang dipengaruhi sifat-sifat

PROPOSAL PENELITIAN PENYIAPAN PENYUSUNAN BAKU KERUSAKAN MANGROVE KEPULAUAN KARIMUNJAWA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 3. Peta lokasi penelitian

Lampiran 2. Peta sebaran pohon pakan orangutan jantan dan betina dewasa (Jenggot dan Minah) berdasarkan ketinggian pohon (m dpl)

KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT PEMANENAN KAYU DI AREAL IUPHHK-HA PT WAPOGA MUTIARA TIMBER UNIT II PAPUA RESTU DWI ATMOKO

MONITORING LINGKUNGAN

BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

WARTA RIMBA ISSN: Volume 2, Nomor 1 Hal: Juni 2014

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.6

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Silvilkultur. Hasil Hutan Kayu. Pemanfaatan. Pengendalian. Areal.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2015 STRUKTUR VEGETASI DAN KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN PANTAI DI HUTAN PANTAI LEUWEUNG SANCANG, KECAMATAN CIBALONG, KABUPATEN GARUT

Evaluasi Lahan. Evaluasi Kemampuan Lahan

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

seluas Ha yang seluruhnya terletak di kelompok B. KONFIGURASI LAPANGAN, TANAH DAN IKLIM Kiani Lestari di kelompok Hutan Jele-Beliwit

Estimasi Cadangan Karbon di Atas Permukaan Tanah di Hutan Bukit Tangah Pulau Area Produksi PT. Kencana Sawit Indonesia (KSI), Solok Selatan

Gambar 2 Peta lokasi studi

TINJAUAN PUSTAKA. Ordo : Liliales ; Famili : Liliaceae ; Genus : Allium dan Spesies : Allium

Penelitian dilakukan di areal HPH PT. Kiani. penelitian selama dua bulan yaitu bulan Oktober - November 1994.

Gambar 8. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

IV. GAMBARAN UMUM. Gebernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 202 tahun Hutan Kota

KERUSAKAN TINGKAT TIANG DAN POHON JENIS KOMERSIAL AKIBAT PENEBANGAN INTENSITAS RENDAH DI IUPHHK-HA PT. INHUTANI II MALINAU ARUM NGESTI PALUPI

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. . Gambar 4 Kondisi tegakan akasia : (a) umur 12 bulan, dan (b) umur 6 bulan

E ROUP PUROBli\1 .IURUSAN TEKNOLOGI BASIL HUTAN E C\KULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR. Oleh :

BAB III METODE PENELITIAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

Transkripsi:

24 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Faktor Fisik Lingkungan Faktor fisik lingkungan dianalisis untuk mengetahui faktor-faktor yang berbeda nyata atau tidak berbeda nyata pada masing-masing lokasi penelitian. Kondisi lingkungan dapat mempengaruhi komposisi individu yang ditemukan dalam lingkungannya. Perbedaan faktor fisik lingkungan pada kelima lokasi penelitian (Tabel 5) dapat menyebabkan pola sebaran merbau yang berbeda. Tabel 5 Kondisi fisik lingkungan pada masing-masing lokasi penelitian Kondisi Fisik Kelas kelerengan Hutan primer datar-curam LOA 2 tahun LOA 5 tahun LOA 11 tahun LOA 15 tahun datar-sangat curam datar-sangat curam datar-sangat curam datar-sangat curam Aspek Barat-Utara Timur-Utara Barat-Utara Timur-Selatan Timur-Selatan Posisi bentang lahan Tinggi tempat (mdpl) lembahpunggung bukit lembahpunggung bukit lembahpunggung bukit lembahpunggung bukit lembahpunggung bukit 314 ± 9,81 329 ± 26,27 75 ± 34,99 55 ± 15,25 4 ± 8,64 Suhu rata-rata 28,33 ±,58 27 ±, 27,67 ±,58 28,75 ±,66 27 ±,9 harian ( C) Kelembapan 92,33 ±,58 92 ±, 86,25 ±,43 94,33 ± 4,93 96,33 ±,58 relatif (%) Tekstur tanah 1, Pasir 12,44 ± 2,71 15,45 ± 1,63 37,62 ± 4,97 24,51 ± 12,11 23,48 ± 4,78 2, Debu 59,74 ± 5,14 55,95 ± 4,49 42,11 ± 14,39 59,28 ± 18,31 53,17 ± 6,78 3, Liat 27,82 ± 2,82 28,6 ± 3,41 2,27 ± 9,49 16,17 ± 6,23 23,35 ± 2,58 Kelas tekstur tanah lempung liat berdebu lempung liat berdebu lempung lempung berdebu lempung berdebu Penggenangan - - - - - Berdasarkan Tabel 5, topografi pada kelima lokasi relatif sama, yaitu datar hingga sangat curam dengan persen kelerengan terendah adalah % dan tertinggi 8%. Konfigurasi kelima lokasi bergelombang dengan posisi bentang lahan setiap jalur pengamatan melewati lembah dan punggung bukit. Kondisi di atas

25 menunjukkan bahwa pembuatan jalur pengamatan telah mewakili semua kelas kelerengan atau memotong garis kontur sesuai dengan yang diharapkan. Tinggi tempat pada hutan primer berbeda sangat nyata (p value <,1) dengan LOA berumur 15 tahun, 11 tahun, dan 5 tahun, serta berbeda nyata (p value <,5) dengan LOA berumur 2 tahun. Hal ini disebabkan lokasi LOA berumur 2 tahun dan hutan primer relatif berdekatan sedangkan dengan lokasi lainnya berjauhan. Semakin tua umur lokasi bekas tebangan akan memiliki ketinggian tempat yang semakin rendah karena garis pantai pada areal IUPHHK- PT Mamberamo Alasmandiri memotong dari Utara-Selatan. Hasil uji t berpasangan ketinggian tempat disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6 Hasil uji t berpasangan untuk ketinggian tempat pada kelima kondisi hutan Lokasi Hutan LOA 15 LOA 11 LOA 5 LOA 2 primer tahun tahun tahun tahun Hutan primer,**,**,**,43* LOA 15 tahun,2**,1**,** LOA 11 tahun,48*,** LOA 5 tahun,** LOA 2 tahun Keterangan : ns: tidak berbeda nyata (p >,5) *: berbeda nyata (p <,5) **: berbeda sangat nyata (p <,1) Suhu udara rata-rata harian pada kelima lokasi memiliki nilai terendah 27 ±, C pada LOA berumur 2 tahun dan tertinggi 28,75 ±,66 C pada LOA berumur 11 tahun. Semua lokasi memiliki nilai suhu harian rata-rata yang tidak berbeda nyata (Tabel 7) kecuali lokasi LOA berumur 2 tahun dan 11 tahun yang berbeda nyata (p value <,5). Tabel 7 Hasil uji t berpasangan untuk suhu rata-rata harian kelima kondisi hutan Lokasi Hutan LOA 15 LOA 11 LOA 5 LOA 2 primer tahun tahun tahun tahun Hutan primer,235 ns,423 ns,184 ns,57 ns LOA 15 tahun,73 ns,513 ns 1, ns LOA 11 tahun,238 ns,44* LOA 5 tahun,184 ns LOA 2 tahun Keterangan : ns: tidak berbeda nyata (p >,5) *: berbeda nyata (p <,5) **: berbeda sangat nyata (p <,1)

26 Nilai kelembaban relatif (RH%) pada kelima lokasi bervariasi dengan nilai terendah 86,25% ±,43% pada LOA berumur 5 tahun dan tertinggi pada LOA berumur 15 tahun dengan 96,33% ±,58%. Berdasarkan Tabel 8, hutan primer memiliki nilai RH % yang tidak berbeda nyata dengan LOA 2 tahun dan LOA 11 tahun, berbeda nyata dengan LOA berumur 15 tahun dan berbeda sangat nyata dengan LOA berumur 5 tahun. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi nilai RH% adalah kerapatan penutupan tajuk, dimana semakin rapat tajuk suatu tegakan maka akan memiliki nilai RH% yang semakin tinggi. Tabel 8 Hasil uji t berpasangan untuk kelembaban relatif kelima kondisi hutan Lokasi Hutan LOA 15 LOA 11 LOA 5 LOA 2 primer tahun tahun tahun tahun Hutan primer,2*,58 ns,**,423 ns LOA 15 tahun,574 ns,3**,6** LOA 11 tahun,115 ns,499 ns LOA 5 tahun,2** LOA 2 tahun Keterangan : ns: tidak berbeda nyata (p >,5) *: berbeda nyata (p <,5) **: berbeda sangat nyata (p <,1) Tekstur tanah pada hutan primer dan LOA berumur 2 tahun berupa lempung liat berdebu, LOA berumur 5 tahun berupa lempung dimana komposisi ketiga fraksinya seimbang dan tekstur tanah pada LOA berumur 11 dan 15 tahun adalah lempung berdebu. Kandungan pasir antara LOA 2 tahun dan hutan primer relatif sama, sedangkan kandungan pasir pada LOA 5 tahun berbeda nyata dengan kedua lokasi tersebut namun tidak berbeda nyata dengan lokasi lainnya. Hutan primer dan LOA berumur 2 tahun memiliki kandungan pasir yang lebih rendah dibandingkan ketiga lokasi lainnya. Tabel 9 Hasil uji t berpasangan untuk kandungan pasir kelima kondisi hutan Lokasi Hutan LOA 15 LOA 11 LOA 5 LOA 2 primer tahun tahun tahun tahun Hutan primer,97 ns,239 ns,24*,98 ns LOA 15 tahun,842 ns,98 ns,97 ns LOA 11 tahun,296 ns,298 ns LOA 5 tahun,28* LOA 2 tahun Keterangan : ns: tidak berbeda nyata (p >,5) *: berbeda nyata (p <,5) **: berbeda sangat nyata (p <,1)

27 Tabel 1 Hasil uji t berpasangan untuk kandungan debu kelima kondisi hutan Lokasi Hutan LOA 15 LOA 11 LOA 5 LOA 2 primer tahun tahun tahun tahun Hutan primer,272 ns,968 ns,243 ns,83 ns LOA 15 tahun,456 ns,442 ns,639 ns LOA 11 tahun,438 ns,796 ns LOA 5 tahun,293 ns LOA 2 tahun Keterangan : ns: tidak berbeda nyata (p >,5) *: berbeda nyata (p <,5) **: berbeda sangat nyata (p <,1) Tabel 11 Hasil uji t berpasangan untuk kandungan liat kelima kondisi hutan Lokasi Hutan LOA 15 LOA 11 LOA 5 LOA 2 primer tahun tahun tahun tahun Hutan primer,23*,69 ns,395 ns,717 ns LOA 15 tahun,11 ns,72 ns,161 ns LOA 11 tahun,678 ns,131 ns LOA 5 tahun,3 ns LOA 2 tahun Keterangan : ns: tidak berbeda nyata (p >,5) *: berbeda nyata (p <,5) **: berbeda sangat nyata (p <,1) Kandungan debu pada kelima lokasi (Tabel 1) tidak berbeda nyata (p value >,5) begitupun juga kandungan liat (Tabel 11) kecuali antara hutan primer dengan LOA 15 tahun yang berbeda nyata (p value <,5). Oleh karena itu, ketiga fraksi tekstur tanah yang berbeda nyata antara masing-masing lokasi hanyalah fraksi pasir. Tokede et al. (26) menyatakan bahwa permudaan merbau akan lebih mudah tumbuh pada lokasi yang memiliki kandungan pasir tinggi. Berdasarkan kedelapan faktor di atas, faktor ketinggian tempat, kelembaban relatif dan kandungan pasir dalam tekstur tanah ternyata berbeda-beda antar lokasi penelitian sehingga dapat dijadikan sebagai faktor pembatas untuk menganalisis pola sebaran, sedangkan faktor-faktor lainnya seperti topografi, posisi bentang lahan, suhu, kandungan debu dan liat relatif homogen. Ketinggian tempat berpengaruh terhadap kandungan unsur hara tanah dan penyebaran biji. Posisi ini mengakibatkan bagian yang lebih rendah memiliki unsur hara yang lebih baik akibat aliran permukaan tanah dan aliran sungai yang membawa serta unsur-unsur hara dari hulu. Selain itu, penyebaran biji merbau yang dibantu oleh aliran sungai turut menyebabkan berkumpulnya biji merbau di areal yang altitudenya lebih rendah.

28 Krebs (1978) menyatakan bahwa kelembapan udara berkaitan dengan kemampuan tumbuhan untuk menahan air serta berkaitan dengan suhu udara dan penyinaran matahari. Area yang memiliki kelembapan relatif tinggi menunjukkan bahwa penutupan tajuk pada lokasi tersebut tinggi. Merbau yang merupakan jenis intoleran yang membutuhkan cahaya penuh untuk pertumbuhannya, sehingga jenis ini dapat beregenerasi dengan baik pada areal yang memiliki kerapatan tajuk rendah atau dengan kata lain yang memiliki RH% rendah. Tokede et al. (26) menyatakan bahwa merbau sering dijumpai pada muara sungai yang berpasir. Tanah yang berpasir cenderung bertekstur kasar sehingga dapat melukai biji merbau yang berarti membantu terjadinya imbibisi. Oleh karena itu, merbau akan mudah tumbuh pada tanah yang mengandung fraksi pasir tinggi. 5.2 Pola Sebaran Spasial Merbau Pola sebaran spasial merupakan tahap awal dalam melihat perilaku suatu individu dalam komunitasnya. Saat ini banyak pihak yang beradu argumen apakah merbau patut dimasukkan dalam Appendix III CITES atau tidak mengingat jenis ini merupakan target utama dalam kegiatan logging di Papua dan tidak diimbangi oleh kemampuan regenerasi merbau secara alami di alam. Bahkan sejak tahun 1998, IUCN telah memasukkan jenis I. bijuga dan I. acuminata ke dalam kategori jenis yang terancam punah kategori vulnerable. Hal ini menunjukkan bahwa spesies tersebut menghadapi resiko menuju kepunahan di habitat aslinya. Terdapat 3 jenis merbau yang dapat ditemukan di Papua, namun dalam penelitian ini hanya ditemukan dua jenis yaitu Intsia bijuga (Colebr.) O. Ktze. dan Intsia palembanica Miq. Heyne (1987) menyatakan bahwa jenis I. palembanica lebih sering ditemui pada ketinggian di atas 1 mdpl, sedangkan I. bijuga sering ditemui di sepanjang pantai berkarang atau berpasir. Pola sebaran spasial kedua jenis merbau ini disajikan dalam Tabel 12. Jenis I. bijuga dan I. palembanica memiliki pola sebaran yang berbeda pada berbagai kondisi hutan. I. bijuga tumbuh mengelompok pada hutan primer dan LOA berumur 2 tahun, tumbuh acak pada LOA berumur 5 tahun dan membentuk pola seragam pada LOA berumur 11 tahun dan 15 tahun. Jenis I. palembanica

29 tumbuh seragam pada hutan primer, LOA berumur 2, 5 dan 15 tahun, namun berkelompok pada LOA berumur 11 tahun. Pola sebaran yang berbeda-beda ini disebabkan oleh kondisi fisik lingkungan yang berbeda-beda pada masing-masing lokasi. Faktor fisik lingkungan yang berbeda di sini adalah ketinggian tempat, kelembaban relatif, dan kandungan pasir yang disajikan pada Gambar 6, 7 dan 8. Tabel 12 Pola sebaran spasial kedua jenis merbau pada lima kondisi hutan No Tipe Hutan Ip Pola Sebaran I. bijuga I. palembanica I. bijuga I. palembanica 1 Hutan primer 1-1 Berkelompok Seragam 2 LOA 2 tahun 1-1 Berkelompok Seragam 3 LOA 5 tahun -1 Acak Seragam 4 LOA 11 tahun -1 1 Seragam Berkelompok 5 LOA 15 tahun -1-1 Seragam Seragam Jika pola sebaran pada hutan primer dijadikan acuan, maka hanya tegakan pada LOA berumur 2 tahun yang memiliki pola sebaran yang sama. Hal ini disebabkan oleh kondisi fisik yang mirip pada kedua lokasi baik ketinggian, kelerengan, suhu, RH%, maupun tekstur tanah. Ketinggian tempat (mdpl) 35 3 25 2 15 1 5 Hutan primer LOA 2 tahun LOA 5 tahun LOA 11 tahunloa 15 tahun Gambar 6 Ketinggian tempat pada kelima lokasi penelitian. 1 95 RH (%) 9 85 8 Hutan primer LOA 2 tahun LOA 5 tahun LOA 11 tahunloa 15 tahun Gambar 7 Kelembaban relatif pada kelima lokasi penelitian.

3 Kandungan Pasir (%) 4 35 3 25 2 15 1 5 Hutan primer LOA 2 tahun LOA 5 tahun LOA 11 tahun LOA 15 tahun Gambar 8 Kandungan pasir pada kelima lokasi penelitian. Pola yang berkelompok menunjukkan bahwa suatu area memiliki kondisi fisik yang heterogen, sehingga jenis tersebut akan tumbuh mengelompok pada lokasi yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Pola acak disebabkan oleh kondisi fisik lingkungan yang homogen dan tidak terdapat persaingan antar individu atau dengan kata lain bersifat independent. Pola acak menurut Odum (1971) sangat jarang ditemui di alam. Pola sebaran yang seragam timbul akibat interaksi negatif atau persaingan antar individu sehingga jumlah maksimal individu dalam unit dibatasi oleh adanya kompetisi makanan dan ruang. Pola sebaran spasial I. bijuga yang berkelompok pada hutan primer dan LOA berumur 2 tahun disebabkan oleh terbatasnya kondisi yang sesuai dengan kebutuhan hidup jenis tersebut pada lokasi ini. Kedua lokasi ini berada pada altitude yang lebih tinggi serta pada hulu Sungai Mamberamo yang mengakibatkan unsur hara tanah sering terbawa oleh aliran permukaan ke daerah yang lebih rendah sehingga kesuburan tanahnya berkurang. Kandungan pasir pada kedua area ini juga lebih rendah dibandingkan ketiga lokasi lainnya. RH pada kedua lokasi ini tidak berbeda nyata yang berarti kerapatan tajuknya pun relatif sama. Biji merbau tidak memiliki sayap dan cukup berat sehingga penyebarannya tidak akan jauh dari induknya serta hanya akan terpisah jauh dari induknya jika terbawa aliran air. Biji-biji merbau yang berada di bawah induknya sulit untuk berkecambah karena merbau bersifat intoleran sedangkan tajuk merbau dewasa cukup rapat. Akibatnya, merbau tumbuh mengelompok pada titik-titik yang mereka senangi seperti pada areal yang sedikit terbuka serta di pinggir-pinggir sungai yang berpasir dan berbatu.

31 Pada LOA berumur 5 tahun I. bijuga tumbuh membentuk pola sebaran acak. Lokasi ini berada pada altitude yang lebih rendah, memiliki kandungan pasir yang paling tinggi, serta RH yang paling rendah. Kondisi ini merupakan kondisi yang disenangi oleh merbau. Akan tetapi biji merbau yang menyebar karena terbawa aliran air atau sungai akan terus mengumpul di lokasi yang lebih rendah sehingga keberadaan biji merbau yang kurang melimpah. Akibat lokasi yang mendukung untuk pertumbuhan merbau dan tanpa adanya persaingan karena kurang melimpahnya biji, maka pada lokasi ini merbau tumbuh secara acak. Kondisi yang berbeda terjadi pada LOA berumur 11 tahun dan 15 tahun. Pada lokasi ini I. bijuga tumbuh membentuk pola sebaran seragam. Hal ini disebabkan kedua lokasi ini berada pada ketinggian tempat yang paling rendah dibandingkan dengan lokasi lainnya sehingga unsur hara dari lokasi yang lebih tinggi berkumpul di tempat ini akibat terbawa aliran permukaan. Selain membawa unsur hara, biji merbau juga terbawa oleh aliran sungai menuju bagian hilir yang mengakibatkan biji merbau akan berkumpul pada area ini. Kandungan pasir yang tinggi ikut membantu dalam proses perkecambahan biji merbau. Perpaduan kondisi ini mendorong tingginya peluang biji merbau untuk berkecambah. Hal ini mengakibatkan timbulnya persaingan ruang dan makanan sehingga akan membentuk pola sebaran yang seragam. Kondisi tersebut sesuai dengan pernyataan Ludwig & Reynold (1988) bahwa pola sebaran seragam timbul akibat interaksi negatif antar individu. Intsia palembanica menunjukkan pola sebaran yang berbeda dengan I. bijuga. I. palembanica tumbuh membentuk pola sebaran seragam pada semua kondisi hutan kecuali pada LOA berumur 11 tahun. Jenis ini sebenarnya lebih sering dijumpai pada ketinggian tempat di atas 1 mdpl, sedangkan kelima lokasi penelitian berada pada ketinggian tempat di bawah 3 mdpl. Sesuai dengan penyebaran biji merbau yang dibantu oleh aliran sungai, maka tentu saja biji I. palembanica akan berkumpul pada daerah-daerah yang lebih rendah. Banyaknya biji I. palembanica yang mampu berkecambah menyebabkan terjadinya persaingan antar jenis tersebut sehingga membentuk pola seragam. Pada LOA berumur 11 tahun I. palembanica membentuk pola sebaran yang berbeda yaitu mengelompok, padahal lokasi ini memiliki kondisi fisik lingkungan

32 yang sama dengan LOA 15 tahun. Kondisi ini diduga dipengaruhi oleh posisi LOA berumur 11 tahun yang berada di tepi hilir Sungai Mamberamo sehingga keberadaaan I. palembanica akan benar-benar mengelompok di tepi sungai tersebut. Pola sebaran merbau yang berbeda-beda pada masing-masing lokasi tersebut menunjukkan bahwa kehadiran merbau sangat bergantung terhadap kondisi tapaknya. Oleh karena itu untuk menjaga regenerasi merbau, kegiatan penebangan pada lokasi-lokasi yang lebih tinggi atau di hulu sungai terutama di sekitar lokasi penyebaran merbau sebaiknya dilakukan dengan perencanaan yang matang guna mencegah kerusakan tempat tumbuh merbau. Selain itu, regenerasi buatan jenis merbau di lokasi ini perlu dilakukan dengan lebih intensif guna menjaga keberadaannya. 5.3 Kesamaan Komunitas antara Berbagai Kondisi Hutan Kesamaan komunitas antara hutan primer dan LOA di berbagai umur dihitung menggunakan Index of Similarity Bray-Curtis. Kesamaan komunitas menunjukkan seberapa mirip suatu lokasi dengan lokasi lain berdasarkan komposisi jenisnya. Menurut Wibowo (1995), semakin tua umur tegakan hutan bekas tebangan, maka komunitasnya akan semakin menyerupai hutan primer. Tabel 13 Indeks Kesamaan Komunitas pada berbagai kondisi hutan yang diperbandingkan IS (%) Hutan LOA 2 LOA 5 LOA 11 LOA 15 primer tahun tahun tahun tahun Hutan primer 1, 71,57 74,149 6,28 7,428 LOA 2 tahun 1, 78,168 61,823 58,56 LOA 5 tahun 1, 64,783 62,473 LOA 11 tahun 1, 64,13 LOA 15 tahun 1, Berdasarkan indeks kesamaan komunitas yang disajikan pada Tabel 13, lokasi bekas tebangan yang paling mirip dengan hutan primer adalah LOA berumur 5 tahun (74,149%), disusul dengan LOA berumur 2 tahun (71,57%), LOA berumur 15 tahun(7,428%) dan yang paling tidak mirip adalah LOA berumur 11 tahun (6,28%). Kondisi tersebut dapat disebabkan oleh teknik

33 kegiatan penebangan yang semakin berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Akan tetapi, pada lokasi LOA yang umur tebangannya relatif berdekatan (LOA 2 tahun dan 5 tahun, serta LOA 11 tahun dan 15 tahun), LOA yang lebih tua memiliki indeks kesamaan komunitas yang lebih besar. Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan bahwa komposisi jenis pada masing-masing hutan bekas tebangan secara berangsur-angsur akan menyerupai hutan primer. 5.4 Hubungan Asosiasi antar Jenis Merbau dan Asosiasi Merbau dengan Jenis Dominan Lainnya Keberadaan suatu spesies di alam dapat saja bersifat independent terhadap kehadiran atau ketidakhadiran jenis lain, namun dapat juga terjadi interaksi antara dua atau lebih spesies (Krebs 1978). Hubungan asosiasi antara dua spesies tersebut dapat berbentuk positif atau negatif. Asosiasi positif terjadi apabila kedua spesies memerlukan suatu kondisi yang sama. Asosiasi negatif dapat terjadi jika keduanya memerlukan kondisi yang berbeda atau bersaing satu sama lain (Southwood 1966). Hubungan asosiasi individu dengan jenis lain dapat menjadi suatu penciri untuk menentukan keberadaan individu yang bersangkutan. Jika individu A berasosiasi positif dengan individu B, maka apabila ditemukan individu A dalam suatu tempat, kemungkinan besar akan ditemukan pula individu B disekitarnya. Hal ini bisa menjadi penanda untuk menemukan jenis-jenis yang relatif langka. Tabel 14 Pola hubungan asosiasi antara Intsia bijuga dan Intsia palembanica Kondisi Hutan a X 2 Ea OI Pola hubungan asosiasi Hutan primer 3 4,336,853,375 asosiasi positif LOA umur 15 tahun 3,168,8, tidak berasosiasi LOA umur 11 tahun,266,693, tidak berasosiasi LOA umur 5 tahun 3 2,4 1,52,281 tidak berasosiasi LOA umur 2 tahun 2 1,86,8,258 tidak berasosiasi Berdasarkan perhitungan dengan metode presence-absence atau matriks kontingensi, ternyata pada hutan primer jenis I. bijuga berasosiasi positif dengan jenis I. palembanica dengan indeks asosiasi sebesar,375. Kasus yang berbeda terjadi pada keempat area bekas tebangan dimana antara I. bijuga dan I. palembanica tidak memiliki hubungan asosiasi. Hal ini disebabkan di lokasi yang altitudenya lebih rendah, kedua jenis merbau dapat tumbuh dengan baik akibat

34 kondisi tapak yang lebih kaya unsur hara serta berkumpulnya biji merbau di lokasi ini. Akibatnya kedua jenis merbau bersifat saling bebas satu sama lain. Bahkan pada pada LOA berumur 11 dan 15 tahun, walaupun kedua jenis merbau tidak berasosiasi, nilai a Ea menunjukkan adanya kecenderungan persaingan satu sama lain akibat peluang tumbuh yang besar. Selain asosiasi antara kedua jenis merbau, juga dilakukan perhitungan hubungan asosiasi dengan jenis dominan lainnya yaitu jenis yang berjumlah 2 pada masing-masing lokasi. Mahfudz (21) menyatakan bahwa jenis Intsia spp. berasosiasi dengan jenis Hopea spp., Palaquium sp., Maniltoa sp., Myristica spp., dan Pometia spp. Menurut Thaman et al. (26), jenis Intsia bijuga berasosiasi positif dengan jenis Pisonia grandis, Manilkara dissecta, Diospyros elleptica, Excoecaria agallocha, Cynometra, Maniltoa spp., Vavaea amicorum, Planconella grayana, Elattostachys falcata, Polyalthia amicorum, Santalum spp., Ficus spp., Neisosperma oppositifolia dan Pandanus tectoris. Pada penelitian ini ternyata di hutan primer jenis I. bijuga berasosiasi positif dengan jenis kenari (Canarium hirsutum), pala hutan (Horsfieldia irya), sindur (Sindora sp.) dan resak (Vatica rassak). Indeks asosiasi tertinggi sebesar,463 yaitu dengan jenis Vatica rassak. Jenis I. palembanica pada lokasi ini tidak memiliki hubungan asosiasi dengan jenis lainnya. Jenis I. bijuga pada LOA berumur 2 tahun berasosiasi positif dengan jenis kenari (Canarium hirsutum) dengan indeks asosiasi sebesar,435 dan dengan jenis matoa (Pometia pinnata) dengan indeks asosiasi,396. Jenis I. palembanica tidak berasosiasi dengan jenis lainnya pada lokasi ini. Pada LOA berumur 5 tahun, I. bijuga berasosiasi positif dengan jenis kenari (Canarium hirsutum), palapi (Heritiera littoralis), matoa (Pometia acuminata), jambu-jambu (Syzygium spp.) dan resak (Vatica rassak). Indeks asosiasi tertinggi sebesar,421 pada jenis jambu-jambu. Jenis I. palembannica tidak memiliki hubungan asosiasi dengan jenis manapun. LOA berumur 11, jenis I. bijuga berasosiasi positif dengan jenis Hopea dyeri dengan nilai indeks asosiasi,347. Sedangkan jenis I. palembanica tidak berasosiasi dengan jenis lain. Pada LOA berumur 15 tahun, baik jenis I. bijuga

35 maupun jenis I. palembanica tidak memiliki hubungan asosiasi dengan jenis manapun. Fakta di atas menunjukkan bahwa pada pada hutan primer, LOA berumur 2 dan 5 tahun, begitu banyak jenis yang berasosiasi dengan I. bijuga sehingga keberadaanya satu sama lain tidak saling bebas (dependent). Pada area yang berada pada ketinggian tempat yang lebih rendah, I. bijuga hanya berasosiasi dengan jenis Hopea dyeri sedangkan pada LOA 15 tahun tidak berasosiasi dengan jenis apapun. Hal ini menunjukkan bahwa pada daerah yang lebih rendah altitudenya, jenis I. bijuga bersifat independent terhadap jenis lain. Begitupun dengan jenis I. palembanica yang hanya berasosiasi dengan I. bijuga pada hutan primer. Kondisi ini dapat menjadi penciri suatu tapak yang disukai oleh merbau atau adanya saling ketertarikan antar jenis tersebut. Dengan ditemukannya jenis-jenis yang berasosiasi positif dengan merbau pada area yang lebih tinggi ketinggian tempatnya, maka besar kemungkinan merbau juga dapat tumbuh pada area tersebut. Oleh karena itu, regenerasi buatan merbau di tempat yang lebih tinggi atau di daerah hulu sungai dapat dilakukan dengan menanam terlebih dahulu jenis-jenis yang berasosiasi positif dengan merbau. Pada lokasi yang berada pada ketinggian tempat lebih rendah, permudaan buatan jenis merbau dapat langsung dilakukan karena jenis ini tidak memiliki hubungan asosiasi dengan jenis lain. 5.5 Struktur Tegakan Horizontal Struktur tegakan horizontal menunjukkan distribusi pohon berdasarkan kelas diameter pohon penyusun tegakan. Kegiatan pemanenan hutan tentu saja akan berdampak terhadap perubahan struktur tegakan akibat kerusakan tegakan tinggal dan diambilnya pohon-pohon pada kelas diameter tinggi. Berikut ini disajikan hasil perhitungan model struktur tegakan, dimana k menunjukkan jumlah pohon pada kelas diameter rendah dan a menyatakan laju pengurangan pohon dengan semakin meningkatnya kelas diameter. Semakin besar nilai k maka semakin tinggi kerapatan tegakan pada kelas diameter rendah, dan semakin besar nilai a maka semakin banyak pohon berkurang bila kelas diameter bertambah.

36 Tabel 15 Nilai konstanta k dan a pada model persamaan struktur tegakan Kondisi Hutan Persamaan N = k e -ad R 2 Hutan primer N = 345,532 e -,62 D 89,139 LOA 15 tahun N = 541,717 e -,74 D 93,536 LOA 11 tahun N = 311,214 e -,68 D 88,559 LOA 5 tahun N = 297,984 e -,65 D 9,196 LOA 2 tahun N = 27,814 e -,59 D 88,342 Kurva struktur tegakan pada kelima kondisi hutan sama-sama membentuk huruf J terbalik (Gambar 9). Nilai k dan a pada keempat lokasi bekas tebangan juga memiliki pola yang sama yaitu akan semakin kecil dengan berkurangnya umur lokasi bekas tebangan (Tabel 15). LOA berumur 15 tahun bahkan memiliki nilai k dan a yang lebih besar daripada hutan primer yang berarti kerapatan permudaan pada lokasi ini lebih besar daripada hutan primer serta semakin cepat pohon berkurang bila kelas diameter bertambah. Kegiatan penebangan telah membuka celah kanopi sehingga mendukung jenis-jenis intoleran untuk tumbuh dalam jumlah banyak namun kemampuan pohon untuk tumbuh ke kelas diameter yang lebih besar kurang. Kondisi yang demikian menunjukkan adanya persaingan yang tinggi antar permudaan sehinggga pada lokasi bekas tebangan tersebut perlu dilakukan kegiatan pembebasan untuk mengurangi persaingan. N/Ha 2 18 16 14 12 1 8 6 4 2 15 25 35 45 55 65 75 85 95 15 115 Virgin forest LOA 15 LOA 11 LOA 5 LOA 2 Diameter (cm) Gambar 9 Model struktur tegakan kelima kondisi hutan.

37 N/Ha N/Ha 2 18 16 14 12 1 8 6 4 2 2 18 16 14 12 1 8 6 4 2 Hutan primer 15 25 35 45 55 65 75 85 95 15 Diameter (cm) LOA 5 tahun 15 25 35 45 55 65 75 85 95 15 Diameter (cm) N/Ha N/Ha 2 18 16 14 12 1 8 6 4 2 2 18 16 14 12 1 8 6 4 2 LOA 15 tahun LOA 11 tahun 2 18 16 14 12 1 8 6 4 2 15 25 35 45 55 65 75 85 95 15 15 25 35 45 55 65 75 85 95 15 Diameter (cm) Diameter (cm) LOA 2 tahun Ulmaceae Tiliaceae Sterculiaceae Sonneratiaceae Sapotaceae Rubiaceae Rhamnaceae Podocarpaceae Moraceae Mimosaceae Meliaceae Malvaceae Lauraceae Gnetaceae Flacourtiaceae Euphorbiaceae Ebenaceae Dilleniaceae Datiscaceae Combretaceae Clusiaceae Burseraceae Bombacaceae Apocynaceae Annonaceae Anacardiaceae Sapindaceae Fabaceae 15 25 35 Myristicaceae Myrtaceae 45 55 65 75 85 95 15 Dipterocarpaceae data aktual Diameter (cm) model N/Ha Gambar 1 Struktur tegakan per suku, model, dan data aktual pada kelima kondisi hutan. 37

38 Kelima gambar di atas menyajikan perbandingan kurva struktur tegakan berdasarkan data aktual, hasil model, dan struktur per suku. Grafik yang dibuat berdasarkan data aktual tidak berbeda jauh dengan grafik model struktur tegakan bahkan cenderung berhimpit. Akan tetapi kurva model cenderung berada di bawah kurva data aktual terutama pada kelas diameter rendah. Hal ini menunjukkan bahwa model yang ada cenderung underestimate pada kelas diameter tersebut. Semakin tinggi kerapatan suatu famili pada setiap kelas diameter, maka akan semakin lebar kurvanya. Terdapat satu famili yang selalu mendominasi di semua lokasi penelitian, yaitu jenis yang berasal dari famili Dipterocarpaceae. Suku ini memiliki kerapatan tegakan yang tinggi baik pada kelas diameter rendah atau kelas diameter tinggi. Kondisi ini tentu saja sangat menguntungkan karena jenis-jenis Dipterocarpaceae memiliki nilai ekonomis tinggi. Jenis Dipterocarpaceae yang ditemukan pada lokasi penelitian antara lain mersawa (Anisoptera iriana), merawan (Hopea dyeri) dan resak (Vatica rassak). Famili lain yang juga memiliki kerapatan tinggi adalah Myrtaceae dan Myristicaceae. Kerapatan yang tinggi pada hampir semua kelas diameter menunjukkan bahwa ketiga famili di atas mampu beregenerasi dan tumbuh dengan baik pada berbagai kondisi hutan. Pada pembahasan sebelumnya juga disebutkan bahwa jenis I. bijuga memiliki hubungan asosiasi positif dengan beberapa jenis dari famili Dipterocarpacea (Vatica rassak dan Hopea dyeri), Myrtaceae (Syzygium spp.) dan Myristicaceae (Horsfieldia irya). Oleh karena itu, kerapatan yang tinggi pada jenis-jenis tersebut dapat mendorong tumbuhnya permudaan merbau di sekitarnya. Sesuai JPT RKT tahun 21 PT MAM, jenis merbau sendiri ditebang dengan intensitas 1,51 pohon/ha. Nilai JPT ini tidak melebihi rata-rata kerapatan tegakan merbau diameter 4 cm-up pada kelima lokasi penelitian yaitu 3,8 pohon/ha sehingga intensitas penebangan yang digunakan pada jenis tersebut relatif aman.