1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan wilayah yang berfungsi sebagai jembatan antara daratan dan lautan. Ekosistem mangrove sangat penting sebagai tempat untuk berlindung, mencari makan dan berkembang biak bagi berbagai berbagai jenis ikan, udang dan moluska. Hal ini karena lingkungan mangrove menyediakan perlindungan. Ekosistem mangrove juga merupakan pemasok bahan organik, sehingga dapat menyediakan makanan untuk organisme yang hidup pada perairan sekitarnya (Mann 2000). Dengan demikian, penurunan kualitas dan kuantitas ekosistem mangrove dapat mengancam kelestarian mangrove sebagai habitat flora dan fauna. Selanjutnya akan mengancam kehidupan fauna yang menggantungkan kehidupannya pada ekosistem mangrove. Pemanfaatan mangrove yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan akan mengakibatkan kemunduran terhadap fungsi-fungsi dari ekosistem mangrove. Kegiatan penebangan mangrove untuk diambil kayu bagi pembuatan arang atau pembukaan untuk areal tambak dapat mengurangi atau bahkan akan merusak fungsi ekosistem mangrove. Oleh karena itu, dalam rangka pemanfaatan ekosistem mangrove diperlukan suatu pengelolaan ekosistem mangrove yang baik dan benar. Salah satu pengelolaan wilayah pesisir di kawasan mangrove adalah dengan konsep minawana. Pengelolaan sumberdaya mangrove berbasis minawana ini sudah banyak dikenal dan dipraktekkan baik di dalam maupun di luar negeri. Namun, penerapan pola minawana yang memenuhi prinsip-prinsip yang benar, baik dari segi bioteknis, ekologi maupun kelembagaan belum terwujud. Minawana pertama kali diperkenalkan di Burma dan di Indonesia. Minawana yang diterapkan di Indonesia diperkenalkan oleh Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Minawana yang diperkenalkan di Indonesia, pada awalnya dikenal dengan istilah tambak tumpangsari, tambak empang parit, atau hutan tambak (Primavera 2000). Saat ini konsep minawana ini dikenal luas dengan istilah silvofishery. Pada awalnya pengembangan minawana didasari oleh adanya konversi ekosistem mangrove secara ilegal menjadi tambak sejak tahun 1970-an. Untuk mengurangi potensi konflik antara pembangunan tambak dan
2 konservasi mangrove, Departemen Kehutanan RI melalui Perum Perhutani kemudian mengembangkan program Kehutanan Sosial (Social Forestry) pada tahun 1976. Program tersebut kemudian dikenal dengan minawana. Pada program ini, masyarakat diberikan kesempatan untuk memanfaatkan ekosistem mangrove. Pemanfaatan ini ditujukan untuk usaha perikanan tanpa merusak ekosistem mangrove. Sehingga, diharapkan kesejahteraan masyarakat meningkat. Pada saat yang sama ekosistem mangrove tetap lestari. Namun dalam penerapannya di lapangan, pola minawana yang telah diterapkan oleh Departemen Kehutanan RI maupun yang dipraktekkan oleh masyarakat belum dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bahkan, ekosistem mangrove cenderung rusak, contohnya di pesisir Blanakan. Penelitian ini dengan maksud untuk mencari sebab-sebab kegagalan penerapan minawana baik dari segi ekologi, bioteknis budidaya perikanan, sosial ekonomi, dan kelembagaan. Sehingga nantinya diperoleh rumusan pola pengelolaan minawana yang tepat dan benar. Penelitian ini mengambil studi kasus di Perairan Pesisir Blanakan. Pada areal ini sudah terdapat percontohan tambak pola minawana yang di buat oleh Perum Perhutani. Namun diduga tidak diaplikasikan oleh masyarakat dengan benar. Hasil akhir dari penelitian ini adalah berupa rumusan pola pengelolaan pesisir berbasis minawana yang berlaku umum dan dapat diterapkan di tempat lain 1.2. Kerangka Pikir dan Perumusan Masalah Wilayah pesisir Kabupaten Subang memiliki potensi ekosistem mangrove. Wilayah ini merupakan hutan negara yang pengelolaannya dalam otoritas Perum Perhutani, Kesatuan Pemangkuan Hutan Purwakarta (KPH Purwakarta). Luas hutan mangrove di wilayah KPH Purwakarta mencapai 14,535.08 ha. Agar hutan tersebut lestari dan mampu meningkatkan kesejahtraan masyarakat, maka kemudian dikembangkan pola pemanfaatan minawana. Pola pemanfaatan ini diperoleh dari KPH Purwakarta, sebagai pemegang otoritas wilayah. Pada awalnya model minawana tersebut dikenal dengan empang parit tradisional dengan komposisi 80 % mangrove dan 20 % tambak. Sejak krisis moneter melanda Indonesia pada tahun 1997, mangrove tersebut ditebang oleh
3 masyarakat sekitar, sehingga luasan tambak lebih besar proporsinya dibanding luasan mangrovenya. Penebangan mangrove di tambak (modifikasi empang) bertujuan untuk memperluas areal budidaya dan diharapkan produksi ikan meningkat. Akan tetapi yang terjadi adalah semakin rusaknya ekosistem mangrove. Selain itu, produksi perikanan pun menurun, baik hasil budidaya maupun non budidaya (hasil tangkapan udang harian). Berdasarkan uraian diatas, untuk mengembalikan fungsi dan tujuan awal dikembangkannya pola minawana, maka perlu perbaikan sistem minawana. Perbaikan ini harus dilakukan secara menyeluruh baik dari aspek ekologi, bioteknik maupun aspek kelayakan ekonomi. Dengan demikian, akan didapatkan pola minawana yang dapat meningkatkan kesejahtraan masyarakat dan ekosistem mangrove tetap lestari. Perbaikan sistem ini nantinya diharapkan dapat menjadi pola pengelolaan minawana yang berkelanjutan. Untuk itu, perbaikan sistem kelembagaan mutlak dilakukan, agar pola minawana berjalan sesuai dengan aturan yang ditetapkan. Berdasarkan uraian diatas, diperlukan penelitian pengelolaan ekosistem mangrove berbasis minawana. Penelitian ini nantinya diharapkan mampu mengidentifikasi faktor-faktor kegagalan penerapan minawana baik dari segi ekologi, bioteknis budidaya perikanan, sosial ekonomi, dan kelembagaan. Pemecahan permasalahan akan diuraikan sebagai berikut: Pertama, untuk mengetahui penurunan produksi perikanan dari kegiata non budidaya, maka aspek yang dilihat adalah hubungan antara mangrove (kerapatan/penutupan mangrove) dengan hasil tangkapan udang harian. Penelitian ini akan membandingkan hasil tangkapan udang harian pada berbagai rasio minawana yang berbeda. Selain itu, melakukan pengamatan terhadap hasil tangkapan kepiting, wideng dan belut di kawasan minawana untuk mendukung kontribusi mangrove terhadap produksi minawana dari non budidaya. Kedua, untuk melihat produksi perikanan dari budidaya ada 2 hal yang dilakukan yaitu: 1) mengukur sebaran salinitas di kawasan pertambakan minawana; 2) mengukur kualitas air di tambak. Pengukuran sebaran salinitas dengan maksud untuk melihat apakah komoditas yang dibudidayakan sudah tepat atau belum. Pengukuran kualitas air tambak meliputi kualitas air in situ dan logam
4 berat. Pengukuran kualitas air ini dengan maksud mengetahui apakah kondisi perairan masih layak atau tidak untuk kegiatan budidaya. Selain itu, untuk mendapatkan hasil produksi yang optimal baik hasil budidaya maupun non budidaya, perlu dilakukan kajian terhadap proporsi mangrove dan tambak serta prosedur standar budidaya yang layak dan berlaku umum. Kajian terhadap proporsi mangrove dan tambak ini akan dilakukan studi literatur terhadap hasil penelitian yang relevan. Untuk prosedur standar budidaya akan dilakukan dengan prosedur standar yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui instansi yang terkait. Ketiga, untuk melihat atau mengukur fungsi dan manfaat mangrove terhadap produksi perikanan, dilakukan perhitungan aspek biaya (cost) dan penerimaan (revenue) dari kegiatan minawana. Perhitungan biaya dan penerimaan ini mencakup hasil budidaya maupun hasil tangkapan udang harian. Sehingga dapat dibandingkan bagaimana kontribusi nilai ekonomi mangrove secara langsung. Selain itu, dilakukan perhitungan kelayakan ekonomi tangkap kondisi eksisting dan kondisi mendatang dengan berbagai perbaikan teknis. Keempat, untuk melihat alasan atau latar belakang mengapa masyarakat berani melakukan penebangan maupun modifiksasi minawana untuk memperluas areal budidaya, maka dilakukan analisis terhadap aturan main yang berlaku. Sistem aturan main ini dengan menganalisis terhadap kondisi eksisting dan kondisi ideal yang seharusnya dijalankan. Setelah, menganalisis permasalahan ekologi, bioteknik, sosial ekonomi dan kelembagaan serta solusinya, langkah selanjutnya dengan memperbaiki pengelolaan minawana secara sistemik yang menitik beratkan pada disain pengelolaan minawana. Dengan demikian diperlukan desain kelembagaan yang adaptif didasarkan pada karakteristik sumberdaya, lingkungan maupun pengelolaannya. Perbaikan dalam struktur organisasi pengelolaan minawana menjadi langkah pertama dalam perbaikan pengelolaan. Langkah selanjutnya dalam perbaikan pengelolaan minawana adalah perbaikan dalam aturan main pengelolaan (Taryono 2009). Kerangka pemikiran kajian Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Minawana (studi kasus ekosistem mangrove di RPH Tegal- Tangkil, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat) disajikan pada Gambar 1.
5 Gambar 1 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui kondisi ekologi, bioteknik, dan ekonomi sistem minawana RPH Tegal-Tangkil 2. Merumuskan pola pengelolaan kawasan minawana di RPH Tegal-Tangkil. Penelitian ini diharapkan menjadi contoh pengelolaan kawasan pesisir berbasis minawana yang dapat diterapkan di tempat lain.