SN BB I PNHULUN 1.1 Latar Belakang Komoditas hortikultura merupakan komoditas potensial yang mempunyai nilai ekonomi dan permintaan pasar yang tinggi. Tomat adalah komoditas yang tingkat produksinya paling tinggi dibandingkan komoditas hortikultura lainnya. Produksi tomat tertinggi berada di kabupaten Tabanan yaitu sebesar 65,21% produksi Bali. Kecamatan Baturiti merupakan sentra penghasil tomat terbesar di kabupaten Tabanan. ata dari inas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura N Kabupaten Tabanan menunjukkan, produksi tomat kecamatan Baturiti pada tahun 2010 adalah sebesar 98% produksi kabupaten Tabanan. Permasalahan utama yang dihadapi oleh sebagian besar petani hortikultura S pada negara berkembang adalah ketidakmampuan untuk memenuhi keinginan konsumen, fasilitas yang tidak memadai, serta lemahnya infrastruktur dan pengetahuan. isisi lain, meningkatnya pendapatan konsumen biasanya diiringi dengan permintaan terhadap mutu yang baik. Faktor-faktor penyebab dari rendahnya mutu komoditas pertanian adalah: 1( ) kurangnya pemupukan; (2) kurangnya air untuk irigasi; (3) kurangnya tenaga kerja pada masa panen raya; (4) kurangnya proses penanganan prapanen untuk hama dan penyakit; dan (5) penggunaan bibit yang tidak baik terus menerus (Parining, 1999; Ssejemba, 2008). isisi lain, tuntutan masyarakat terhadap produk hortikultura bermutu semakin tinggi. Pada produk hortikultura segar, mutu dapat didefinisikan sebagai kumpulan dari karakteristik dan atribut yang memberikan nilai terhadap produk 1
SN 2 itu sendiri. Relatif pentingnya masing-masing atribut tersebut tergantung pada produk itu sendiri, penggunaannya pada sektor industri, atau individu yang menentukan/menguji mutu tersebut. Cita rasa, tekstur, nilai nutrisi, tidak adanya kerusakan fisiologi dan mekanis secara internal akan menentukan secara berarti apakah produk akan dapat dijual atau tidak (Utama, 2005). Walaupun produk hortikultura umumnya mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, tetapi produk hortikultura mempunyai karakteristik yang mudah rusak (perishable) sehingga mengakibatkan tingginya susut pascapanen (loss) serta terbatasnya masa simpan(sheff life) dari komoditas pertanian setelah pemanenan. ipihak lain, sebagian besar komoditas hasil pertanian ini juga bersifat musiman. N Tingginya susut pascapanen akan berakibat menurunnya pendapatan dan nilai jual dari komoditas tersebut, sedangkan pendeknya masa simpan serta sifat musiman akan membatasi jangkauan pemasaran dari produk hasil pertanian tersebut S (Sutrisno, 1996). Kedua karakteristik tersebut sangat berdampak terhadap harga dan penerimaanpetani. Meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di dalam negeri, dicirikan salah satunya dengan pesatnya perkembangan supermarket di Indonesia. Pesatnya perkembangan supermarket disisi lain tidak diiringi dengankemampuan petani untuk menembus pasar supermarket. Penelitian yang dilakukan oleh The World Bank (2007) menunjukkan hanya 7% petani yang memasarkan langsung produknya ke pasar modern, sedangkan 93% masih memasarkan produknya ke pasar tradisional. ari 93% tersebut, 46% memasarkan ke pedagang besar, 40% ke pedagang pengumpul, serta 7% ke pemasok. Faktor utama yang menghambat petani untuk memasarkan produknya ke supermarket diantaranya: (1) modal yang
SN 3 terbatas; (2) sebagian besar petani memiliki lahan yang sempit dan bekerja secara individu tanpa perencanaan; (3) kurang tersedianya informasi tentang permintaan supermarket; (4) kurangnya penanganan pascapanen; (5) kurangnya informasi dan transparansi harga; (6) kecilnya permintaan dari supermarket; (7) kurang berfungsinya kelompok tani; dan (8) penundaan perencanaan pembayaran (Parining, 1999; The World Bank, 2007; Ssejemba, 2008). Sistem distribusi hortikultura saat ini dicirikan dengan perdagangan yang tidak transparan yang lebih menguntungkan pedagang dan merugikan petani. Sistem terlalu dipengaruhi kepentingan para pemodal dan banyak mata rantai, sehingga posisi tawar petani lemah dan hanya mendapat bagian terkecil dari usaha N tani yang dikembangkan. Posisi tawar petani lemah akibat terlalu dominannya peran para pemilik modal dan pihak-pihak yang menjadi penghubung antara petani dengan pasar atau biasa dikenal dengan sebutan tengkulak. Mata rantai S sistem agribisnis yang terlalu panjang juga menjadikan posisi tawar petani lemah. Lemahnya posisi tawar tersebut membuat petani tidak berdaya dalam menentukan harga berbagai komoditas tanaman. Fenomena yang terjadi selama ini, harga semua komoditas ditentukan oleh tengkulak. Petani ditekan sedemikian rupa dan berada dalam poisi terjepit. una meningkatkan posisi tawar petani, perlu dilakukan pemangkas mata rantai dalam sistem agribisnis.untuk dapat memangkas rantai tersebut, maka petani perlu melakukan penambahan nilai berupa: proses produksi yang baik, penanganan pascapanen yang baik, serta pemasaran yang baik. Sebagai penunjang, perlu adanya pemberdayaan kelembagaan usaha, baik di tingkat petani maupun pedagang, yang keduanya mengarah pada posisi kesetaraan, sehingga kedua belah pihak sama-sama
SN 4 merasakan manfaat keuntungan dalam melaksanakan usaha hortikultura (irje n Hortikultura, 2008). Secara umum, sistem distribusi hortikultura terdiri atas produsen middleman supermarket, pasar tradisional, atau hotel. Masing-masing pelaku bisnis tersebut akan memperoleh besaran nilai tambah dan mengelu arkan biaya yang berbeda-beda. Besarnya nilai tambah bersih yang didapat oleh masing- masing pelaku bisnis tergantung pada posisi tawar, efisiensi bisnis dan keadilan (fairness) di dalam pembagian total nilai tambah kepada setiap pelaku bisnis yang terkait (Widia, 2010). Konsep nilai tambah adalah suatu perubahan nilai yang terjadi karena N adanya perlakuan terhadap suatu input pada suatu proses produksi (Marimin, 2010). rus peningkatan nilai tambah komoditas pertanian terjadi di setiap mata rantai, dari hulu ke hilir, yang berawal dari petani dan berakhir pada konsumen S akhir. Nilai tambah dalam pertanian adalah terbentuk ketika terjadi perubahan dalam bentuk fisik produk pertanian, adopsi metode produksi, atau proses penanganan yang bertujuan untuk meningkatkan basis konsumen bagiproduk tersebut serta mendapatkan porsi yang lebih besar dari pengeluaran pembelanjaan konsumen yang tumbuh untuk produsen (Perdana, 2009). Pemberian nilai tambah pada komoditas pertanian biasanya meliputi pembersihan, sortasi,grading, pengemasan, transport, dan keamanan pangan. Collins (2009) mengatakan bahwa penanganan pascapanan adalah merupakan domain dalam proses penciptaan nilai. Pascapanen hortikultura melibatkan transformasi sederhana dari suatu produk, sehingga produk siap dikonsumsi oleh konsumen. Penanganan pascapanen yang tidak baik akan menyebabkan tingginya loss pada produk. Tingginya loss pada
SN 5 produk akan menyebabkan harga produk menjadi tinggi di tingkat konsumen, karena konsumenlah yang pada akhirnya menanggung seluruh loss yang terjadi pada rantai nilai. Rantai nilai (value chain) adalah keseluruhan aktivitas yang diperlukan untuk membawa produk/jasa dari titik awal, melalui berbagai tahap produksi, melibatkan berbagai kegiatan transformasi secara fisik dan berbagai input jasa, untuk selanjutnya menyampaikan produk tersebut kepada konsumen akhir (ndriyanto, 2009). Menurut Simatupang (2010), rantai nilai adalah rangkaian proses mulai dari penerimaan bahan bahan baku sebagai masukan, penambahan nilai pada bahan baku melalui proses yang berbeda, dan penjualan produk akhir N kepada pelanggan. alam suatu rantai nilai, keseluruhan nilai yang diperoleh dalam rantai nilai tersebut akan dibagi pada masing-masing rantai. Share yang diperoleh oleh masing-masing rantai tidak sama, tergantung nilai tamb ah yang S dilakukan oleh masing-masing rantai tersebut. da tiga alasan alasan perusahaan bersinergi untuk membentuk rantai nilai: (1) untuk dapat meresponkonsumen lebih baik; (2) untuk meningkatkan efisiensi, dan (3) untuk mengurangi risiko. Perusahaan yang beroperasi dengan cara ini menjadi sangat sulit untuk ditiru oleh pesaing, karena mereka harus bersaing tidak hanya dengan kemampuan penciptaan nilai teknis rantai, tetapi juga terhadap kekuatan hubungan yang telah terbentuk melalui pemenuhan kebutuhan konsumen, selain itu motivasi kedua di belakang formasi rantai nilai berkaitan dengan efisiensi (Collins, 2009). Tomat termasuk hortikultura yang mudah rusak perishable), ( sehingga memerlukan penanganan yang tepat sejak dipanen. Pada umumnya, petani tomat tidak memiliki gudang untuk penyimpanan, sehingga mereka menjual hasil
SN 6 produksi segera setelah panen berdasarkan berat atau secara tebasan. Penjualan cara ini hanya akan memberikan sedikit nilai tambah, sehingga petani hanya akan mendapatkan share yang sangat kecil, dibandingkan middleman (pedagang pengepul dan pedagang pasar Baturiti) dan ritel (supermarket, pasar tradisional, dan hotel). Biasanya, untuk meningkatkan nilai tambah, middleman akan melakukan perlakuan pascapanen. Perlakuan yang diberikan antara lain: pencucian, grading, sortasi, pendinginan, pengemasan kembali, pemindahan, dan jaminan keamanan pangan.berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh World Bank (2007), rata-rata petani mengeluarkan biaya sebesar 22% sd 27% dan memperoleh nilai tambahsebesar 4% sd 9%, pedagang pengumpulmengeluarkan N biaya 7% sd 8% dengan perolehan nilai tambah sebesar 21% sd 22%, pengecer khusus/pemasok mengeluarkan biaya sebesar 44%-48% dengan perolehan nilai tambah sebesar 35% sd 37%, serta supermarket mengeluarkan biaya 21% sd 23% S dan memperoleh nilai tambah sebesar 35% sd 37%. Penelitian dari World Bank tersebut menunjukkan bahwa petani mendapatkan share nilai tambah yang sangat kecil dibandingkan dengan middleman dan ritel, sedangkan biaya yang dilekuarkan relatif sama jika dibandingkan dengan rantai yang lain. Kondisi ini menimbulkan ketimpangan, khususnya bagi pertani. Penelitian ini berusaha untuk menjawab permasalahan tersebut, yaitu: bagaimana kondisi objektif rantai nilai, berapakah nilai tambah yang diterima pada masing-masing mata rantai, apakah adil perlakuan pascapanen yang dilakukan dengan share yang diterima petani, serta bagaimanakah respon masing-masing rantai terhadap issue-issue yang berkembang tentang keamanan pangan. Proses pencarian jawaban tersebut dilakukan dengan melakukan
SN 7 penelitian pada rantai nilai tomat dari Kecamatan Baturiti menuju Kota enpasar dengan menggunakan metode CSM ( Commoditi System ssessment Methodology), analisis rantai nilai, dan analisia nilai tambah. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimanakahpola rantai nilai komoditas tomat? 2. Bagaimanakah kreasi nilai yang dilakukan pada masing-masing rantai nilai? 3. Berapakah share keuntungan serta nilai tambah yang diperoleh pada masing-masing rantainilai? 1.3 Tujuan Penelitian N 4. Bagaimanakah manajemen rantai nilai yangditerapkan? konsumen. S 1. Mengetahui pola serta menganalisis rantai nilai dari produsen sampai ke 2. Menganalisis nilai-nilai yang diberikan masing-masing anggota rantai nilai. 3. Menganalisis nilai tambah serta share keuntungan yang diperoleh pada masing-masing rantai. 4. Menganalisis manajemen yang diterapkan sepanjang rantai nilai. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah supaya para pelaku dalam agribisnis tomat, serta mahasiswa dapat mengatahuidan memahami :
SN 8 struktur rantai nilai, manajemen rantai nilai,pola aliran informasi pada masingmasing rantai, proses penanganan pascapanen yang dilakukan pada masingmasing rantai, kreasi nilai, nilai tambah pada masing-masing rantai, share keuntungan yang diperoleh, serta tanggapan anggota rantai nilai terhadap issue cemaran pestisida dan ketertelusuran produk. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian dibatasi pada komoditas tomat yang dikonsumsi secara segar atau tanpa diolah menjadi bentuk baru. Rantai nilai diteliti mulai dari tingkat produsen, middleman, hingga ritel yang ada di Kota enpasar. Penelitian N dilakukan pada komoditas tomat yang diproduksi di Kecamatan Baturiti, karena wilayah tersebut merupakan sentra penghasil tomat di Bali. Selain itu, tomat juga merupakan produk unggulan Kabupaten Tabanan. Loss atau kehilangan yang S dimaksud adalah kuantitas komoditas yang terbuang dan tidak dapat dijual kembali. Objek pelaku dari penelitian ini adalah adalah para petani, pedagang pengumpul,hotel, supermarket, dan pedagang pasar tradisional. Untuk mengetahui pola, menganalisisrantai nilai dari produsen sampai ke konsumen, serta menganalisis nilai-nilai yang diberikan masing-masing anggota rantai nilai, analisis yang digunakan adalah CSM ( Commodity System ssessment Methodology). Untuk menganalisis nilai tambah serta share keuntungan yang diperoleh pada masing-masing rantai digunakan metode Hayami. Menganalisis manajemen yang diterapkan sepanjang rantai nilai digunakan metode Collins.