BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Uji Asumsi 1. Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui sebaran data normal atau tidak. Alat yang digunakan adalah One Sample Kolmogorov- Smirnov Test. Dasar pengambilan keputusan, nilai p>0,05 dinyatakan sebaran data normal sehingga asumsi normalitas terpenuhi. Hasil uji normalitas sebagai berikut: a. Variabel pemaafan pada istri yang mengalami problematika perkawinan memiliki nilai Z KS = 0,080 atau nilai p = 0,200 (nilai p>0,05) yang berarti sebaran data dari variabel pemaafan pada istri yang mengalami problematika perkawinan berdistribusi normal. b. Variabel neuroticism memiliki nilai Z KS = 0,106 atau nilai p = 0,200 (nilai p>0,05) yang berarti sebaran data dari variabel neuroticism berdistribusi normal. c. Variabel extraversion memiliki nilai Z KS = 0,121 atau nilai p = 0,200 (nilai p>0,05) yang berarti sebaran data dari variabel extraversion berdistribusi normal. d. Variabel openness to experience memiliki nilai Z KS = 0,089 atau nilai p = 0,200 (nilai p>0,05) yang berarti sebaran data dari variabel openness to experience berdistribusi normal 53
54 e. Variabel agreeableness memiliki nilai Z KS = 0,124 atau nilai p = 0,200 (nilai p>0,05) yang berarti sebaran data dari variabel agreeableness berdistribusi normal. f. Variabel conscientiouness memiliki nilai Z KS = 0,106 atau nilai p = 0,200 (nilai p>0,05) yang berarti sebaran data dari variabel conscientiouness berdistribusi normal. Berdasarkan hasil di atas, tampak bahwa masing-masing variabel penelitian memiliki distribusi normal, sehingga asumsi normalitas terpenuhi. (Lampiran 4). 2. Uji Linieritas Uji linieritas bertujuan untuk mengetahui apakah antara variabel independen dengan variabel dependen memiliki hubungan yang linier. Alat yang digunakan adalah uji F, dimana antara variabel independen dengan variabel dependen dinyatakan memiliki hubungan linier apabila memiliki nilai p<0,05. Hasil uji linieritas pada penelitian ini adalah: a. Untuk varibel neuroticism dengan pemaafan pada istri yang mengalami problematika perkawinan diperoleh nilai F = 51,918 atau nilai p = 0,000 (nilai p<0,05) yang berarti antara variabel neuroticism dengan pemaafan pada istri yang mengalami problematika perkawinan memiliki hubungan yang linier. b. Untuk varibel extraversion dengan pemaafan pada istri yang mengalami problematika perkawinan diperoleh nilai F = 25,417 atau nilai p = 0,000 (nilai p<0,05) yang berarti antara variabel
55 c. extraversion dengan pemaafan pada istri yang mengalami problematika perkawinan memiliki hubungan yang linier. d. Untuk varibel openness to experience dengan pemaafan pada istri yang mengalami problematika perkawinan diperoleh nilai F = 9,334 atau nilai p = 0,005 (nilai p<0,05) yang berarti antara variabel openness to experience dengan pemaafan pada istri yang mengalami problematika perkawinan memiliki hubungan yang linier. e. Untuk varibel agreeableness dengan pemaafan pada istri yang mengalami problematika perkawinan diperoleh nilai F = 8,180 atau nilai p = 0,008 (nilai p<0,05) yang berarti antara variabel agreeableness dengan pemaafan pada istri yang mengalami problematika perkawinan memiliki hubungan yang linier. f. Untuk varibel conscientiouness dengan pemaafan pada istri yang mengalami problematika perkawinan diperoleh nilai F = 15,596 atau nilai p = 0,000 (nilai p<0,05) yang berarti antara variabel conscientiouness dengan pemaafan pada istri yang mengalami problematika perkawinan memiliki hubungan yang linier. Berdasarkan hasil di atas, tampak bahwa masing-masing variabel independen memiliki hubungan linier dengan variabel dependen, sehingga asumsi linieritas terpenuhi. (Lampiran 4).
56 B. Hasil Uji Hipotesis 1. Uji Hipotesis Mayor Uji hipotesis mayor diperoleh nilai R 12y = 0,874; nilai F hitung = 15,548 (nilai p<0,01) yang berarti ada hubungan yang sangat signifikan antara kepribadian big five dengan pemaafan pada istri yang mengalami problematika perkawinan. Dengan demikian Hipotesis mayor diterima (Lampiran G-1) 2. Uji Hipotesis Minor a. Hubungan antara Neuroticism dengan Pemaafan pada Istri yang Mengalami Problematika Perkawinan Hasil uji korelasi antara variabel neuroticism dengan variabel pemaafan pada istri yang mengalami problematika perkawinan diperoleh nilai r = -0,806 dan p = 0,000 (nilai p<0,01), yang berarti ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara neuroticism dengan pemaafan pada istri yang mengalami problematika perkawinan. Semakin tinggi neuroticism maka semakin rendah pemaafan pada istri yang mengalami problematika perkawinan, dan sebaliknya. Dengan demikian hipotesis minor pertama yang menyatakan ada hubungan negatif antara neuroticism dengan pemaafan pada istri yang mengalami problematika perkawinan diterima. b. Hubungan antara Extraversion dengan Pemaafan pada Istri yang Mengalami Problematika Perkawinan Hasil uji korelasi antara variabel extraversion dengan variabel pemaafan pada istri yang mengalami problematika perkawinan
57 diperoleh nilai r = 0,690 dan p = 0,000 (nilai p<0,01), yang berarti ada hubungan positif yang sangat signifikan antara extraversion dengan pemaafan pada istri yang mengalami problematika perkawinan. Semakin tinggi extraversion maka semakin tinggi pemaafan pada istri yang mengalami problematika perkawinan, dan sebaliknya. Dengan demikian hipotesis minor kedua yang menyatakan ada hubungan positif antara extraversiondengan pemaafan pada istri yang mengalami problematika perkawinan diterima. c. Hubungan antara Openness to Experience dengan Pemaafan pada Istri yang Mengalami Problematika Perkawinan Hasil uji korelasi antara variabel openness to experience dengan variabel pemaafan pada istri yang mengalami problematika perkawinan diperoleh nilai r = 0,500 dan p = 0,002 (nilai p<0,01), yang berarti ada hubungan positif yang sangat signifikan antara openness to experience dengan pemaafan pada istri yang mengalami problematika perkawinan. Semakin tinggi openness to experience maka semakin tinggi pemaafan pada istri yang mengalami problematika perkawinan, dan sebaliknya. Dengan demikian hipotesis minor ketiga yang menyatakan ada hubungan positif antara openness to experience dengan pemaafan pada istri yang mengalami problematika perkawinan diterima.
58 d. Hubungan antara Agreeableness dengan Pemaafan pada Istri yang Mengalami Problematika Perkawinan Hasil uji korelasi antara variabel agreeableness dengan variabel pemaafan pada istri yang mengalami problematika perkawinan diperoleh nilai r = 0,475 dan p = 0,004 (nilai p<0,01), yang berarti ada hubungan positif yang sangat signifikan antara agreeableness dengan pemaafan pada istri yang mengalami problematika perkawinan. Semakin tinggi agreeableness maka semakin tinggi pemaafan pada istri yang mengalami problematika perkawinan, dan sebaliknya. Dengan demikian hipotesis minor keempat yang menyatakan ada hubungan positif antara agreeableness dengan pemaafan pada istri yang mengalami problematika perkawinan diterima. e. Hubungan antara Conscientiouness dengan Pemaafan pada Istri yang Mengalami Problematika Perkawinan Hasil uji korelasi antara variabel conscientiouness dengan variabel pemaafan pada istri yang mengalami problematika perkawinan diperoleh nilai r = 0,598 dan p = 0,000 (nilai p<0,01), yang berarti ada hubungan positif yang signifikan antara conscientiouness dengan variabel pemaafan pada istri yang mengalami problematika perkawinan. Semakin tinggi conscientiouness maka semakin tinggi pemaafan pada istri yang mengalami problematika perkawinan, dan sebaliknya. Dengan demikian hipotesis minor kelima yang menyatakan ada hubungan positif antara conscientiouness dengan
59 pemaafan pada istri yang mengalami problematika perkawinan diterima. (Lampiran 5). 3. Koefisien Determinasi Koefisien determinasi bertujuan untuk mengetahui besarnya pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen yang diketahui dengan rumus adjusted R 2 x 100%. Pada penelitian ini nilai adjusted R 2 = 0,715, sehingga besarnya koefisien determinasi adalah 71,5%. Hal ini berarti bahwa neuroticism, extraversion, openness to experience, agreeableness, dan conscientiouness memberikan pengaruh terhadap pemaafan pada istri yang mengalami problematika perkawinan sebesar 71,5% dan 28,5% dipengaruhi oleh variabel lain diluar model yang diteliti. C. Pembahasan Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa hipotesis mayor diterima karena memiliki nilai R 12y = 0,874; nilai F hitung = 15,548 (nilai p<0,01) yang berarti ada hubungan positif yang sangat signifikan antara kepribadian big five dengan pemaafan pada istri yang mengalami problematika perkawinan. Hal ini sesuai dengan pendapat McCollough, dkk (dikutip Sari, 2012, h.55-56) bahwa faktor kepribadian merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pemaafan. Adapun kepribadian big five merupakan kepribadian yang dikembangkan dengan menggunakan pendekatan traits.
60 Big five merupakan trait kepribadian yang digambarkan dalam lima dimensi dasar. Kelima dimensi itu adalah neuroticism, extraversion, openness to experience, agreeableness, dan conscientiouness (McCrae & John, 1991, h.175). Penelitian ini mengungkapkan hipotesis minor pertama diterima karena memiliki nilai r = -0,806 dan p = 0,000 (nilai p<0,01), yang berarti ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara neuroticism dengan pemaafan pada istri yang mengalami problematika perkawinan. Semakin tinggi neuroticism maka semakin rendah pemaafan pada istri yang mengalami problematika perkawinan, dan sebaliknya. Neuroticism menggambarkan seseorang yang memiliki masalah emosi yang negatif seperti rasa khawatir dan rasa tidak aman. Secara emosional mereka labil, mereka juga merubah perhatian menjadi sesuatu yang berlawanan. Seseorang yang memiliki tingkat neuroticism yang rendah cenderung akan lebih gembira dan puas terhadap hidup, dibandingkan dengan seseorang yang memiliki neuroticism yang tinggi. Seseorang yang memiliki tingkat neuroticism tinggi memiliki kesulitan dalam menjalin hubungan dan berkomitmen, mereka juga memiliki tingkat self esteem yang rendah, kepribadian yang mudah mengalami kecemasan, rasa marah, depresi dan memiliki kecenderungan emotionally reactive. Hal ini sesuai dengan pendapat Costa & McCrae (1978, h.81-90) bahwa seseorang yang mempunyai neuroticism tinggi mudah mengalami stres, mempunyai ide-ide yang tidak realistik, dan mempunyai respon koping yang maladaptif sehingga membuatnya sulit melakukan pemaafan. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian Abid, dkk (2015, h.149) yang
61 mengungkapkan bahwa neuroticism berhubungan negatif dengan pemaafan. Penelitian ini mengungkapkan hipotesis minor kedua diterima karena memiliki r = 0,690 dan p = 0,000 (nilai p<0,01), yang berarti ada hubungan positif yang sangat signifikan antara extraversion dengan pemaafan pada istri yang mengalami problematika perkawinan. Semakin tinggi extraversion maka semakin tinggi pemaafan pada istri yang mengalami problematika perkawinan, dan sebaliknya. Extraversion dicirikan dengan afek positif seperti memiliki antusiasme yang tinggi, senang bergaul, memiliki emosi yang positif, energik, tertarik dengan banyak hal, ambisius, juga ramah terhadap orang lain. Extraversion yang tinggi digambarkan memiliki tingkat motivasi yang tinggi dalam bergaul, menjalin hubungan dengan sesama dan juga dominan dalam lingkungannya. Extraversion dapat memprediksi perkembangan dari hubungan sosial. Hal ini sesuai dengan pendapat Costa & McCrae (1987, h.81-90) bahwa seseorang yang ekstravert cenderung ramah dan terbuka serta bersedia menghabiskan banyak waktu untuk mempertahankan dan menikmati sejumlah pertemanan sehingga membuatnya mudah memaafkan karena kebutuhan untuk mempertahankan pertemanan dengan orang lain. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian Arthasari (2010), Hafnidar (2013, h.167) dan Abid, dkk (2015, h.149) mengungkapkan bahwa extraversion berhubungan positif dengan pemaafan. Penelitian ini mengungkapkan hipotesis minor ketiga diterima karena memiliki r = 0,500 dan p = 0,002 (nilai p<0,01), yang berarti ada
62 hubungan positif yang sangat signifikan antara openness to experience dengan pemaafan pada istri yang mengalami problematika perkawinan. Semakin tinggi openness to experience maka semakin tinggi pemaafan pada istri yang mengalami problematika perkawinan, dan sebaliknya. Openness to experience mempunyai ciri mudah bertoleransi, kapasitas menyerap informasi, menjadi sangat fokus, dan mampu untuk waspada pada berbagai perasaan, pemikiran dan impulsivitas. Seseorang dengan openness to experience yang tinggi digambarkan sebagai seseorang yang memiliki imajinasi dan kehidupan yang indah. Sedangkan seseorang yang memiliki tingkat openness to experience yang rendah memiliki nilai kebersihan, kepatuhan dan keamanan bersama, juga menggambarkan pribadi yang mempunyai pemikiran yang sempit, konservatif dan tidak menyukai adanya perubahan. Openness to experience dapat membangun pertumbuhan pribadi. Pencapaian kreativitas lebih banyak pada orang yang memiliki tingkat openness to experience yang tinggi. Juga memiliki rasa ingin tahu, kreatif, terbuka terhadap pengalaman, lebih mudah untuk mendapatkan solusi untuk suatu masalah. Dengan demikian, individu dengan karakter openness to experience akan lebih mudah memaafkan karena memiliki toleransi yang tinggi. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian Arthasari (2010), Abid, dkk (2015, h.149) mengungkapkan bahwa extraversion berhubungan positif dengan pemaafan. Rahmawati (2015) mengungkapkan bahwa keterbukaan diri berpengaruh positif terhadap perilaku memaafkan.
63 Penelitian ini mengungkapkan hipotesis minor keempat diterima karena memiliki nilai r = 0,475 dan p = 0,004 (nilai p<0,01), yang berarti ada hubungan positif yang sangat signifikan antara agreeableness dengan pemaafan pada istri yang mengalami problematika perkawinan. Semakin tinggi agreeableness maka semakin tinggi pemaafan istri yang mengalami problematika perkawinan, dan sebaliknya. Dimensi Agreeableness dapat disebut juga social adaptability yang mengidentifikasikan seseorang yang ramah, memiliki kepribadian yang selalu mengalah, menghindari konflik dan memiliki kecenderungan untuk mengikuti orang lain. Individu yang berada pada skor agreeableness yang tinggi digambarkan sebagai seseorang yang suka membantu, mudah memaafkan, dan penyayang. Dengan kata lain, individu yang memiliki karakter agreeableness akan lebih mudah memaafkan karena kemampuannya yang baik dalam beradaptasi secara sosial membuat individu lebih mudah melihat segala sesuatu (termasuk sesuatu yang memicu konflik) dengan lebih luas dan menerima perbedaan yang ada. Penelitian ini mengungkapkan hipotesis minor kelima diterima karena memiliki r = 0,598 dan p = 0,000 (nilai p<0,01), yang berarti ada hubungan positif yang signifikan antara conscientiouness dengan variabel pemaafan pada istri yang mengalami problematika perkawinan. Semakin tinggi conscientiouness maka semakin tinggi pemaafan pada istri yang mengalami problematika perkawinan, dan sebaliknya.dimensi Conscientiousness disebut juga impulsive control yang menggambarkan perbedaan keteraturan dan self discipline seseorang. Individu yang
64 conscientiousness memiliki nilai kebersihan dan ambisi, yang biasanya digambarkan sebagai orang yang tepat waktu dan ambisius. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian McCullough, dkk (2001, h.601), Hafnidar (2013, h.167) dan Abid, dkk (2015, h.149) mengungkapkan bahwa individu yang memiliki karakter conscientiousness lebih mudah memaafkan. Neuroticism, extraversion, openness to experience, agreeableness, dan conscientiouness memberikan pengaruh terhadap pemaafan pada istri yang mengalami problematika perkawinan sebesar 71,5% dan 28,5% dipengaruhi oleh variabel lain diluar model yang diteliti. Faktorfaktor lain yang mempengaruhi pemaafan di luar model yang diteliti antara lain agama, jenis kelamin, pola asuh orangtua dan teman sebaya (Soesilo, 2006, h.122-125); empati, atribusi terhadap pelaku dan kesalahannya, tingkat kelukaan, dan kualitas hubungan (Wardhati & Faturochman, 2014, h.507). Hasil penelitian ini juga mengungkapkan bahwa dari 30 orang responden, 20 orang (66,7%) beragama Kristen, 3 orang (10%) beragama Katolik dan 7 orang (23,3%) beragama Islam (lihat Lampiran D). Hasil ini menunjukkan bahwa mayoritas responden beragama Kristen. Menurut Soesilo (2006, h.122-125) agama berhubungan dengan pemaafan. Agama yang menekankan pemaafan menghasilkan para pengikut yang mudah memaafkan. Sebaliknya agama yang kurang menekankan pemaafan, pengikutnya lebih sulit untuk memaafkan. Selain itu, pada penelitian ini digunakan responden berjenis kelamin perempuan. Menurut Soesilo (2006, h.122-125), perempuan
65 lebih mudah memaafkan dibandikan pria tanpa pandang pola persoalan mereka, meskipun wanita dan pria sama-sama memiliki rasa ingin membalas dendam. Hal ini dikarenakan wanita lebih menghargai proses pemaafan dan lebih percaya bahwa dalam proses penyembuhan mereka harus memaafkan, tetapi pria pada umumnya tidak berpikir demikian. Bagi pria, umur, rasa malu dan harga diri sangat mempengaruhi keputusan untuk memaafkan. Pria yang semakin berumur semakin menjaga harga diri sehingga semakin sulit memaafkan. Sebaliknya apabila pria tersebut lebih terbuka dan suka bersosialisasi maka pria tersebut akan lebih mudah memaafkan. Penelitian ini memiliki keterbatasan sehingga perlu berhati-hati dalam menafsirkan hasil penelitian. Keterbatasan penelitian antara lain disebabkan TRIM-18 yang digunakan untuk mengukur pemaafan merupakan versi terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia, dimana dalam proses terjemahan ini ada kemungkinan terjadinya perbedaan persepsi karena latar budaya yang berbeda sehingga terjemahan yang dihasilkan kurang sesuai dengan versi asli. Selain itu, penelitian ini tidak mengontrol jenis kelamin, agama, dan intensitas dari problematika perkawinan, dimana hal tersebut diduga memiliki kaitan erat dengan pemaafan.