BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sukun Sukun merupakan tanaman tahunan yang tumbuh baik pada lahan kering (daratan), dengan tinggi pohon dapat mencapai 10 m atau lebih dan mempunyai cabang-cabang yang melebar kesamping dengan tajuk sekitar 5 m. Daunnya berbentuk oval panjang dengan belahan daun simetris yang ditunjung dengan tulang daun yang menyisip simetris pula. Permukaan daun bagian atas halus dan berwarna hijau mengkilap sedang bagian bawah kasar berbulu dan berwarna kusam (Widowati, dkk., 2010). Sukun masuk dalam lampiran Perjanjian Internasional tentang Sumber Daya Genetik untuk Pangan dan Pertanian sehingga sukun berkontribusi terhadap upaya global dalam menjamin ketahanan pangan. Dalam bidang kehutanan, sukun merupakan salah satu jenis pohon yang dipilih dalam kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Jones, et al., 2011). Menurut MEDA (2013), taksonomi tanaman sukun sebagai berikut: Kingdom Divisio Classes Ordo Famili Genus Spesies : Plantae : Spermatophyta : Dicotyledoneae : Urticales : Moraceae : Artocarpus : Artocarpus communis, Forst
Buah sukun (Artocarpus communis, Forst) merupakan sumber karbohidrat potensial yang mempunyai nama daerah, yaitu sakon (Aceh), Suku (Nias), Sukun ( Jawa,Sunda, Bali), Bakara (Sulawesi Selatan). Terdapat dua jenis sukun, yaitu sukun tanpa biji dan sukun dengan biji. Di Indonesia, jenis pertama lebih populer dengan sebutan sukun yang diolah menjadi produk makanan, sedangkan sukun dengan biji lebih dikenal dengan sebutan kluwih dan biasanya dimanfaatkan sebagai sayur (Widowati, dkk., 2010). Pembentukan buah sukun tidak didahului dengan proses pembuahan bakal biji, maka buah sukun tidak memiliki biji. Pada mulanya kulit memiliki kulit yang kasar mirip duri; selanjutnya kulit seolah tertarik dan terbentang sehingga berbekas seperti gambar heksagonal dengan titik ditengahnya, dan kulit menjadi halus. Buah sukun akan menjadi tua setelah tiga bulan sejak munculnya bunga betina. Buah yang muncul awal akan menjadi tua lebih dahulu, kemudian diikuti oleh buah berikutnya (Widowati, dkk., 2010). Buah sukun terdiri dari tiga bagian yaitu kulit, hati dan daging yang merupakan bagian yang dapat dimakan. Persentase setiap bagian buah dengan tingkat kematangan yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 1. Daging buah yang masih muda berwarna putih, sedangkan bila sudah masak akan berwarna kekuning-kuningan (Widowati, dkk., 2010). Tabel 1. Proporsi bagian buah sukun. Bagian Buah matang (%) Buah sangat matang (%) Kulit 22 12 Hati 8 10
Daging 70 78 Sumber : Widowati, dkk. (2010). Menurut Ragone (1997), berdasarkan tingkat kematangannya buah sukun dikategorikan menjadi: 1. Buah sukun sangat belum matang; memiliki getah yang banyak jika tangkai buah di tusuk atau dilukai, daging buah cepat berubah warna dan menjadi gelap ketika dipotong serta belum siap untuk dimakan. 2. Buah sukun belum matang; memiliki ukuran sedikit lebih besar dan getahnya lebih sedikit, tidak cepat berubah warna (gelap) ketika dilukai atau ditusuk. 3. Buah sukun matang; ukuran lebih besar dari buah sukun belum matang, warna kulitnya tergantung pada jenis dan warnanya hijau sedikit agak kekuningan serta daging buahnya berwarna putih-krem dan tidak cepat berubah warna saat di potong. 4. Buah sukun sangat matang; kulit berwarna kuning-kecokelatan memiliki retakan atau celah. Daging buahnya cukup kuning dan lembut, rasanya manis dan memiliki aroma yng khas. Menurut Ijarotimi dan Aroge (2005), buah sukun (Artocarpus communis, Forst) mengandung berbagai jenis nutrisi yaitu karbohidrat (25%), protein (1,5%) dan lemak (0,3%) dari berat buah sukun. Selain itu, buah sukun juga banyak mengandung unsur-unsur mineral serta vitamin yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Unsur-unsur mineral yang terkandung dalam buah sukun antara lain adalah kalsium (Ca), Fosfor (P), dan Zat Besi (Fe),
sedangkan vitamin yang menonjol antara lain adalah vitamin B 1, B 2, dan vitamin C. Kandungan air dalam buah sukun cukup tinggi yaitu sekitar 63,3 %. Komposisi zat gizi buah sukun dapat dilihat pada Tabel 2 dan perbandingan kandungan zat gizi utama pada sukun dengan beberapa bahan pangan lainnya disajikan pada Tabel 3. Tabel 2. Komposisi zat gizi buah sukun per 100 g bahan Zat Gizi Sukun Sukun Sangat Tepung Sukun Matang Matang Karbohidrat (g) 9,2 28,2 78,9 Lemak (g) 0,7 0,3 0,8 Protein (g) 2,0 1,3 3,6 Vitamin B1 (mg) 0,12 0,12 0,34 Vitamin B2 (mg) 0,06 0,05 0,17 Vitamin C (mg) 21,00 17 47,6 Kalsium (mg) 59 21 58,8 Fosfor (mg) 46 59 165,2 Zat besi (mg) - 0,4 1,1 Sumber : Widayati dan Damayanti (2000). Tabel 3. Perbandingan kandungan zat gizi sukun per 100 g dengan beberapa bahan pangan lainnya. Komposisi Tepung Sukun * ) Buah Sukun sangat matang Beras giling Jagung kuning Ubi kayu Ubi jalar merah Terigu Kentang hitam Energi (Kal) 302 108 349 317 158 125 357 142 Air (g) 15,0 69,3 13,0 24,0 60,0 68,5 12,0 64,0 Protein (g) 3,6 1,3 6,8 7,9 0,7 1,8 8,9 0,9 Lemak (g) 0,8 0,3 0,7 3,4 0,3 0,7 1,3 0,4 Karbohidrat (g) 78,9 28,2 78,9 63,6 37,9 27,9 77,3 33,7
Abu (g) 2,0 0,9 - - - - - - Ca (mg) 58,8 21,0 10,0 9,0 33,0 49,0 16,0 34,0 Fe (mg) 1,1 0,4 0,8 2,1 0,7 0,7 1,2 0,2 P (mg) 165,2 59,0 140,0 148,0 40,0 0,7 106,0 75,0 Vit B 0,34 0,12 0,12 264 230 2310 0 0 Vit B 0,17 0,06 0 0,33 0,06 0,09 0,12 0,02 Vit C (mg) 47,6 17,0 0 0 0 20,0 0 38,0 Sumber : Widowati, dkk. (2010). 2.2. Mineral Mineral merupakan bagian dari tubuh dan memegang peranan penting dalam pemeliharaan fungsi tubuh, baik pada tingkat sel, jaringan, dan organ. Mineral digolongkan ke dalam mineral makro dan mineral mikro. Mineral makro adalah mineral yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah lebih dari 100 mg sehari, sedangkan mineral mikro dibutuhkan kurang dari 100 mg sehari. Yang termasuk mineral makro antara lain: natrium, klorida, kalium, kalsium, fosfor, dan magnesium, sedangkan yang termasuk mineral mikro antara lain: besi, mangan dan tembaga (Almatsier, 2004). Mineral merupakan unsur essensial bagi fungsi normal sebagian enzim. Mineral merupakan konstituen tulang dan gigi, yang memberikan kekuatan kepada jaringan misalnya Fe, Ca, P dan Mg. Tubuh tidak mampu mensintesa mineral sehingga unsur-unsur ini harus disediakan lewat makanan (Budianto,2009). Secara tidak langsung, mineral banyak yang berperan dalam proses pertumbuhan. Peran mineral dalam tubuh kita berkaitan satu sama
lainnya, kekurangan atau kelebihan salah satu mineral akan berpengaruh terhadap kerja mineral lainnya (Pudjiadi, 1993). 2.2.1 Besi Besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam tubuh manusia dan hewan. Besi mempunyai beberapa fungsi esensial di dalam tubuh : sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron di dalam sel, dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh (Almatsier, 2004). Kebutuhan akan zat besi untuk berbagai jenis kelamin dan golongan usia adalah sebagai berikut: untuk laki-laki dewasa 10 mg/hari, wanita yang mengalami haid 12 mg/hari, dan anak-anak 8-15 mg/hari. Zat besi yang tidak mencukupi bagi pembentukan sel darah, akan mengakibatkan anemia, menurunkan kekebalan tubuh, sehingga sangat peka terhadap serangan penyakit (Budianto, 2009). Tubuh sangat efisien dalam penggunaan besi. Sebelum diabsorpsi, didalam lambung besi dibebaskan dari ikatan organik seperti protein. Sebagian besar besi dalam bentuk feri direduksi menjadi bentuk fero. Hal ini terjadi dalam suasana asam di dalam lambung dengan adanya HCl dan vitamin C yang terdapat di dalam makanan. Absorpsi terutama terjadi di bagian atas usus halus (duodenum) dengan alat angkut protein khusus (Almatsier, 2004). 2.2.2 Kalsium Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat di dalam tubuh, yaitu 1,5 2% dari berat badan orang dewasa atau kurang lebih
sebanyak 1 kg. Dari jumlah ini, 99% berada didalam jaringan keras, yaitu tulang dan gigi terutama dalam bentuk hidroksiapatit selebihnya kalsium tersebar luas di dalam tubuh. Absorpsi kalsium terutama terjadi di bagian atas usus halus yaitu duodenum (Almatsier, 2004). Peningkatan kebutuhan akan kalsium terjadi pada masa pertumbuhan, kehamilan, dan menyusui (Ijarotimi dan Aroge, 2005). Mineral kalsium dibutuhkan untuk perkembangan tulang. Kalsium sangat penting terutama untuk anak-anak, wanita hamil, dan wanita menyusui. Jumlah yang dianjurkan per hari untuk anak-anak sebesar 500 mg, remaja 600-700 mg, dan dewasa sebesar 800 mg (Almatsier, 2004). Kekurangan kalsium pada masa pertumbuhan dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan. Tulang kurang kuat, mudah bengkok dan rapuh. Tulang menjadi rapuh dan mudah patah disebut juga osteoporosis yang dapat dipercepat oleh keadaan stres sehari-hari. Osteoporosis lebih banyak terjadi pada wanita daripada laki-laki dan lebih banyak pada orang kulit putih daripada kulit berwarna (Almatsier, 2004). 2.3 Spektrofotometri Serapan Atom Spektrofotometri serapan atom digunakan untuk analisis kuantitatif unsur-unsur logam dalam jumlah sekelumit (trace) dan sangat kelumit (ultratrace). Cara analisis ini memberikan kadar total unsur logam dalam suatu sampel dan tidak tergantung pada bentuk molekul dari logam dalam sampel tersebut. Cara ini cocok untuk analisis kelumit logam karena mempunyai
kepekaan yang tinggi (batas deteksi kurang dari 1 ppm), pelaksanaannya relatif sederhana, dan interferensinya sedikit (Gandjar dan Rohman, 2009). Spektrofotometri serapan atom didasarkan pada penyerapan energi sinar oleh atom-atom netral dan sinar yang diserap biasanya sinar tampak atau ultraviolet. Secara garis besar, prinsip spektrofotometri serapan atom sama saja dengan spektrofotometri sinar tampak dan ultraviolet. Perbedaan nya terletak pada bentuk spektrum, cara pengerjaaan sampel dan peralatannya. Metode Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) mendasarkan pada prinsip absorbsi cahaya oleh atom. Atom-atom akan menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada sifat unsurnya (Gandjar dan Rohman, 2009). Jika suatu larutan yang mengandung suatu garam logam (atau suatu senyawa logam) dihembuskan kedalam suatu nyala (misalnya asetilena yang terbakar di udara) maka terbentuk uap yang mengandung atom-atom logam itu. Atom logam bentuk gas tersebut tetap berada dalam keadaan tak tereksitasi atau dengan perkataan lain, dalam keadaan dasar. Jadi jika cahaya dengan panjang gelombang yang khas dengan logam tersebut dilewatkan nyala yang mengandung atom-atom yang bersangkutan, maka sebagian cahaya tersebut akan diserap dan jauhnya penyerapan akan berbanding lurus dengan banyaknya atom keadaan dasar yang berada dalam nyala. Inilah asas yang mendasari spektrofotometri serapan atom (SSA) (Bassett, dkk., 1994). 2.3.1 Instrumentasi Spektrofotometri Serapan Atom Sistem peralatan spektrofotometer serapan atom dapat dilihat pada gambar di bawah ini (Gandjar dan Rohman, 2009):
Gambar 1. Instrumentasi Spektrofotometer Serapan Atom a. Sumber sinar Sumber sinar yang lazim dipakai adalah lampu katoda berongga (hollow catodhe lamp). Lampu ini terdiri atas tabung kaca tertutup yang mengandung suatu katoda dan anoda. Katoda sendiri berbentuk silinder berongga yang terbuat dari logam atau dilapisi dengan logam tertentu (Gandjar dan Rohman, 2009). b. Tempat sampel Dalam analisis dengan spektrofotometri serapan atom, sampel yang akan dianalisis harus diuraikan menjadi atom-atom netral yang masih dalam keadaan dasar (Gandjar dan Rohman, 2009). c. Monokromator Pada spektrofotometri serapan atom, monokromator dimaksudkan untuk memisahkan dan memilih panjang gelombang yang digunakan untuk analisis (Gandjar dan Rohman, 2009). d. Detektor
Detektor digunakan untuk mengukur intensitas cahaya yang melalui tempat pengatoman (Gandjar dan Rohman, 2009). e. Readout Readout merupakan suatu sistem pencatatan hasil yang berupa hasil pembacaan. Hasil pembacaan dapat berupa angka atau kurva. 2.3.2 Gangguan-gangguan pada Spektrofotometri Serapan Atom Gangguan-ganguan pada SSA adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan pembacaan absorbansi unsur yang dianalisis menjadi lebih kecil atau lebih besar dari nilai yang sesuai dengan konsentrasinya dalam sampel. Gangguan-gangguan yang dapat terjadi dalam SSA adalah sebagai berikut (Gandjar dan Rohman, 2009): a. Gangguan yang berasal dari matriks sampel yang dapat mempengaruhi banyaknya sampel yang mencapai nyala Sifat-sifat tertentu matriks sampel dapat mengganggu analisis yakni matriks tersebut dapat berpengaruh terhadap laju aliran bahan bakar gas pengoksidasi. Sifat-sifat tersebut adalah viskositas, tegangan permukaan, berat jenis dan tekanan uap. Gangguan matriks yang lain adalah pengendapan unsur yang dianalisis sehingga jumlah atom yang mencapai nyala menjadi lebih sedikit dari konsentrasi yang seharusnya yang terdapat dalam sampel (Gandjar dan Rohman, 2009). b. Gangguan kimia yang dapat mempengaruhi jumlah/banyak nya atom yang terjadi di dalam nyala
Terbentuknya atom-atom netral yang masih dalam keadaan dasar di dalam nyala sering terganggu oleh dua peristiwa kimia yaitu: disosiasi senyawa-senyawa yang tidak sempurna dan ionisasi atom-atom di dalam nyala. Terjadi disosiasi yang tidak sempurna disebabkam oleh terbentuknya senyawasenyawa yang bersifat refraktorik (sukar diuraiakan di dalam nyala api). Contoh senyawa refraktorik adalah garam-garam fosfat, silikat, aluminat dari logam alkali tanah. Dengan terbentuknya senyawa ini, maka akan mengurangi jumlah atom netral yang ada di dalam nyala. Ionisasi atom-atom di dalam nyala dapat terjadi jika suhu yang digunakan untuk atomisasi terlalu tinggi. Prinsip analisis dengan SSA adalah mengukur absorbansi atom-atom netral yang berada dalam keadaan dasar. Jika terbentuk ion maka akan mengganggu pengukuan absorbansi atom netral karena atom-atom yang mengalami ionisasi tidak sama spektrum atom dalam keadaan netral (Gandjar dan Rohman, 2009). c. Gangguan oleh penyerapan non-atomik (non atomic absorption) Gangguan jenis ini berarti terjadinya penyerapan cahaya dari sumber sinar yang bukan berasal dari atom-atom yang akan dianalisis. Penyerapan non atomik dapat disebabkan oleh adanya penyerapan cahaya oleh partikel-partikel padat yang berada di dalam nyala (Gandjar dan Rohman, 2009). 2.4 Validasi Metode Analisis Menurut Harmita (2004), validasi metode analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu berdasarkan percobaan laboratorium untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk
penggunaannya. Beberapa parameter analisis yang harus dipertimbangkan dalam validasi metode analisis adalah sebagai berikut: a. Kecermatan Menurut Harmita (2004), kecermatan adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil analisis dengan kadar analit yang sebenarnya. Kecermatan dinyatakan sebagai persen perolehan kembali (recovery) analit yang ditambahkan. Kecermatan ditentukan dengan dua cara, yaitu: - Metode simulasi Metode simulasi (Spiked-placebo recovery) merupakan metode yang dilakukan dengan cara menambahkan sejumlah analit bahan murni ke dalam suatu bahan pembawa sediaan farmasi (plasebo), lalu campuran tersebut dianalisis dan hasilnya dibandingkan dengan kadar analit yang ditambahkan (kadar yang sebenarnya) (Harmita, 2004). - Metode penambahan baku Metode penambahan baku (standard addition method) merupakan metode yang dilakukan dengan cara menambahkan sejumlah analit dengan konsentrasi tertentu pada sampel yang diperiksa, lalu dianalisis dengan metode yang akan divalidasi. Hasilnya dibandingkan dengan sampel yang dianalisis tanpa penambahan sejumlah analit. Persen perolehan kembali ditentukan dengan menentukan berapa persen analit yang ditambahkan ke dalam sampel dapat ditemukan kembali (Harmita, 2004). b. Keseksamaan (presisi)
Keseksamaan atau presisi diukur sebagai simpangan baku relatif atau koefisien variasi. Keseksamaan atau presisi merupakan ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji individual ketika suatu metode dilakukan secara berulang untuk sampel yang homogeny (Harmita, 2004). c. Selektivitas (Spesifisitas) Selektivitas atau spesifisitas suatu metode adalah kemampuannya yang hanya mengukur zat tertentu secara cermat dan seksama dengan adanya komponen lain yang ada di dalam sampel (Harmita, 2004). d. Linearitas dan rentang Linearitas adalah kemampuan metode analisis yang memberikan respon baik secara langsung maupun dengan bantuan transformasi matematika, menghasilkan suatu hubungan yang proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel (Harmita, 2004). e. Batas deteksi (Limit of detection) dan batas kuantitasi (Limit of quantitation) Batas deteksi merupakan jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi yang masih memberikan respon signifikan, sedangkan batas kuantitasi merupakan kuantitas terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria cermat dan seksama (Harmita, 2004).